• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2. Penelitian Tahap Dua

Penelitian tahap dua terdiri atas beberapa tahap, yaitu memilih karang lunak hasil transplantasi yang mempunyai aktivitas antibakteri yang terbaik yang didapat dari penelitian tahap pertama, kemudian dilakukan uji lanjutan, yaitu uji

Minimum Inhibitory Concentration (MIC), uji toksisitas menggunakan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) dan uji fitokimia untuk mengetahui

kandungan senyawa kimia yang terdapat pada ekstrak terpilih yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri.

4.2.1. Hasil pemilihan sampel karang lunak

Sampel karang lunak Sinularia sp. hasil transplantasi pada dua kedalaman berbeda, yaitu 3 meter dan 10 meter yang memiliki aktivitas senyawa bioaktif yang terbaik adalah Sinularia sp. pada kedalaman 10 meter yang terlihat dari besarnya diameter zona hambat yang terbentuk bila dibandingkan dengan

Sinularia sp. pada kedalaman 3 m.

4.2.2. Uji Minimum Inhibitory Concentration (MIC)

Metode pengujian MIC merupakan salah satu metode yang biasa digunakan dalam pengujian aktivitas zat antimikroba secara invitro, dengan cara menentukan konsentrasi terendah dari zat tersebut yang dibutuhkan untuk

S. aureus E. coli

menghambat pertumbuhan dari mikroorganisme yang diuji (Schegel dan Schmidt 1994).

Uji MIC merupakan salah satu uji yang digunakan untuk mengetahui daya hambat minimum suatu senyawa bioaktif dalam menghambat pertumbuhan suatu jenis bakteri uji yang digunakan dalam suatu penelitian. Uji MIC dilakukan dengan cara meneteskan ekstrak sebesar 20 µl pada paper disc dengan konsentrasi antara 200-20.000 ppm atau 4-400 µg/disk pada media agar (MHA) 20 ml. Variasi konsentrasi ekstrak pada kertas cakram ini bertujuan untuk melihat konsentrasi ekstrak terendah yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri uji yang digunakan. Uji MIC pada penelitian ini dilakukan terhadap dua bakteri uji, yaitu

E. coli dan S. aureus. Hasil uji aktivitas ekstrak karang lunak terpilih Sinularia sp.

pada kedalaman 10 meter pada uji MIC dapat dilihat pada Tabel 9 .

Tabel 9. Aktivitas ekstrak Sinularia sp. kedalaman 10 meter dan kontrol pada uji MIC

Konsentrasi ekstrak Sinularia sp kedalaman 10 m (µ g/disk) Zona hambat (mm) E. coli S. aureus 4 - - 40 - - 200 - - 240 - - 280 - - 320 - 1 360 - 1,2 400 - 1,4 Konsentrasi kloramfenikol (µg/disk) Zona hambat (mm) E. coli S. aureus 4 - 4 40 - 6 200 1,5 8 240 2 8,5 280 2,8 9,2 320 3,5 9,8 360 4 10,5 400 5,5 11

Berdasarkan hasil uji MIC pada Tabel 9 terlihat bahwa ekstrak Sinularia sp. mampu menghambat aktivitas pertumbuhan bakteri S. aureus dan tidak bisa menghambat pertumbuhan bakteri E. coli yang terlihat dari diameter zona hambat yang terbentuk. Besarnya diameter zona hambat yang terbentuk untuk konsentrasi maksimum 400 µg/disk adalah sebesar 1,4 mm pada bakteri S. aureus dan konsentrasi terendah yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri uji ini adalah 320 µg/disk dengan diameter zona hambat sebesar 1 mm. Berdasarkan data ini diketahui bahwa konsentrasi minimum yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri adalah pada konsentrasi sebesar 320 µg/disk. Berdasarkan diameter zona hambat yang terbentuk, kemampuan ekstrak karang lunak Sinularia sp. dalam menghambat pertumbuhan bakteri termasuk dalam kategori lemah, yaitu kurang dari 5 mm (Davidstout 1971).

Adanya daya hambat pertumbuhan bakteri uji yang digunakan diduga dipengaruhi oleh adanya komponen bioaktif yang terekstrak dari Sinularia sp. hasil transplantasi yang dipengaruhi juga oleh umur sampel tersebut dan bagian tubuh dari karang lunak yang ditransplantasikan. Diameter zona hambat yang terbentuk dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain mikroorganisme uji yang digunakan, medium kultur, metode uji dan kecepatan difusi (Branen dan Davidson 1993).

Diameter zona hambat dari bakteri S. aureus lebih besar dari pada bakteri

E. coli. Hal ini karena bakteri S. aureus cenderung lebih sensitif terhadap

komponen terhadap komponen antibakteri. Hal ini karena struktur dinding sel bakteri S. aureus (bakteri gram positif) relatif lebih sederhana sehingga memudahkan senyawa antibakteri untuk masuk ke dalam sel dan menemukan sasaran untuk bekerja. Adapun bakteri E. coli merupakan bakteri gram negatif. Kelompok bakteri gram negatif mempunyai sifat kurang rentan terhadap beberapa antibiotik. Hal ini dikarenakan struktur dinding sel bakteri gram negatif relatif lebih kompleks dan berlapis tiga, yaitu lapisan luar berupa lipoprotein, lapisan tengah berupa lipopolisakarida, dan lapisan dalam berupa peptidoglikan (Pelczar dan Chan 2005).

Perbedaan diameter zona hambat antara ekstrak dengan kontrol yang digunakan (kloramfenikol) dikarenakan ekstrak Sinularia sp. hasil transplantasi

masih merupakan ekstrak kasar yang masih banyak senyawa lain yang mempengaruhi kemampuannya untuk menghambat pertumbuhan bakteri. Kloramfenikol adalah salah satu jenis antibiotik yang berspektrum luas terbukti dari diameter zona hambat pada kedua jenis bakteri uji yang digunakan. Besarnya nilai MIC untuk bakteri S. aureus adalah sebesar 4 mm pada konsentrasi 4 µg/disk dan untuk bakteri E. coli adalah sebesar 1,5 mm pada konsentrasi 200 µg/disk. Mekanisme kerja dari kloramfenikol dalam menghambat pertumbuhan bakteri adalah dengan menghambat sintesa protein yang sangat diperlukan dalam perbanyakan dan pembelahan sel bakteri (Pelzcar dan Chan 2005).

4.2.3. Uji toksisitas BSLT

Uji toksisitas dilakukan untuk mendukung hasil hasil uji antibakteri pada ekstrak terpilih karang lunak Sinularia sp. hasil transplantasi. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah uji toksisitas menggunakan larva A. salina (Mclaughlin 1998). Uji ini merupakan metode yang paling sederhana sebagai langkah awal untuk menentukan sifat toksisitas dari bahan. Toksisitas merupakan indikator biologi yang sangat berguna kaitannya dalam aktivitas biologi.

Uji toksisitas dilakukan menggunakan 10 ekor larva A. salina yang ditetaskan selama 48 jam. Kemudian larva A. salina dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi ekstrak dengan berbagai konsentrasi dan ditambahkan air laut murni yang steril sampai 5 ml. Konsentrasi ekstrak yang digunakan pada uji ini, yaitu 10 ppm, 100 ppm dan 1000 ppm. Sebagai kontrol digunakan air laut murni steril tanpa pemberian ekstrak. Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Data mentah jumlah kematian A. salina disajikan pada Lampiran 6.

Kategori toksisitas suatu bahan berdasarkan nilai LC50 terbagi menjadi 3 kategori, yaitu kategori sangat toksik bila nilai LC50 < 30 µg/ml, kategori toksik dengan nilai LC50 sebesar 30 -1000 µg/ml dan kategori tidak toksik dengan nilai LC50 > 1000 µg/ml (Meyer et al. 1982). Contoh perhitungan penentuan LC50 dapat dilihat pada Lampiran 6. Hasil uji toksisitas terhadap ekstrak Sinularia sp. pada kedalaman 10 m disajikan pada Tabel 10. Data mentah kematian A. salina pada berbagai konsentrasi disajikan pada Lampiran 6.

Tabel 10. Hasil uji BSLT ekstrak kasar Sinularia sp. kedalaman 10 meter hasil transplantasi Ekstrak Konsentrasi (ppm) Log konsentrasi Persen

mortalitas Probit (y)

LC 50 (ppm) Sinularia sp hasil transplantasi 10 1 23,33 4,26 201,93 100 2 46,67 4,92 1000 3 63,33 5,33

Tabel 10 menunjukkan hasil analisis uji BSLT terhadap ekstrak kasar

Sinularia sp. kedalaman 10 meter hasil transplantasi. Berdasarkan data tersebut

semakin tinggi konsentrasi yang diujikan semakin banyak A. salina yang mati. Gambar 28 menunjukkan grafik regresi kematian A. salina (hubungan antara log konsentrasi dengan mortalitas).

Gambar 28. Grafik kematian A. salina (hubungan antara log konsentrasi dengan mortalitas).

Berdasarkan grafik diatas diperoleh persamaan regresi, yaitu hubungan antara log konsentrasi dengan mortalitas A. salina Y=0,535X + 3,7667, dimana Y menunjukkan konsentrasi mortalitas, X menunjukkan log konsentrasi dan R menunjukkan koefisisen korelasi antara X dan Y. Berdasarkan persamaan tersebut diperoleh nilai koefisien korelasi (R2) sebesar 0,9821 artinya antara konsentrasi ekstrak dengan nilai mortalitas A. salina mempunyai hubungan yang sangat erat,

4.26 4.92 5.33 y = 0.535x + 3.7667 R2 = 0.9821 0 1 2 3 4 5 6 1 2 3 Log konsentrasi mortalitas probit

yaitu semakin tinggi konsentrasi ekstrak yang diberikan semakin besar pula jumlah A. salina yang mengalami kematian.

Nilai LC50 adalah konsentrasi yang dapat menyebabkan kematian 50 % populasi A. salina yang digunakan dalam penelitian. Nilai LC50 dapat dihitung dengan menggunakan regresi linear. Nilai LC50 yang dihasilkan dari perhitugan adalah sebesar201,93 ppm yang masuk dalam kategori toksik. Beberapa hasil penelitain terhadap senyawa bioaktif yang diuji dengan A. salina (BSLT) menunjukkan adanya korelasi spesifik terhadap uji antikanker bila mempunyai LC50<1000 ppm. Hal tersebut didukung beberapa hasil penelitian lainnya, penelitian Chao et al. (2006) menunjukkan bahwa ekstrak polar (etanol) dan non polar (heksana) karang lunak Sinularia sp. mengandung senyawa sinularianin (A) dan sinularianin (B) yang mampu menghambat pertumbuhan sel lestari kanker, paru-paru, lambung, dan hati. Hasil penelitian Jia et al. (2006) ekstrak Sinularia sp. mempunyai kandungan senyawa steroid yang mempunyai aktivitas sebagai antibakteri dan antiinflammatori. Manuputty (1989) melakukan penelitian terhadap karang lunak Sinularia flexibilis yang mempunyai kandungan senyawa terpenoid yang dalam dunia farmasi dapat dimanfaatkan sebagai antikanker, antijamur, dan antibiotik. Gambar 29 menunjukkan proses kultur A. salina dan uji toksisitas.

(a) (b)

Gambar 29. (a) Kultur A. salina pada media air laut steril (b) Uji toksisitas menggunakan A. salina

4.2.4. Uji fitokimia

Uji fitokimia adalah analisa yang mencakup pada aneka ragam senyawa

organik yang dibentuk dan ditimbun oleh mahluk hidup, yaitu mengenai struktur kimianya, biosintesisnya, perubahan serta metabolismenya, penyebarannya secara alamiah, dan fungsi biologinya. Alasan dilakukannya analisis fitokimia adalah untuk menentukan ciri senyawa yang terdapat pada suatu bahan yang mempunyai efek racun atau efek yang bermanfaat, yang ditunjukkan oleh ekstrak kasar bila diuji dengan sistem biologi (Harborne 1987). Uji fitokimia dapat digunakan untuk menganalisa sruktur kimia suatu bahan, biosintesis, perubahan metabolisme, dan fungsi biologi dari suatu bahan yang sedang dianalisis (Harborne 1987).

Sampel terpilih Sinularia sp. hasil transplantasi pada kedalaman 10 meter yang diketahui mempunyai aktivitas antibakteri dilakukan uji lanjut berupa uji fitokimia. Uji lanjut ini berfungsi untuk mengetahui kandungan kimia yang terdapat pada karang lunak Sinularia sp. hasil transplantasi tersebut. Kandungan senyawa kimia yang terdapat pada ekstrak Sinularia sp. terpilih dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Hasil identifikasi kandungan fitokimia Sinularia sp. hasil transplantasi

Uji Fitokimia Hasil (warna) Standar (warna)

a. Alkaloid - Wagner - Meyer - Dragendorf Coklat muda (-) Putih kuning (-) Orange (-) Endapan coklat

Endapan putih kekuningan Endapan merah sampai jingga

b. Steroid/Triterpenoid Hijau kekuningan (+ ) Merah → biru atau hijau

c. Flavonoid Transparan (-) Merah, kuning/jingga pada

amil lapisan amil alkohol d. Saponin (uji busa) Tidak terbentuk busa Terbentuk busa stabil

selama 30 menit

e. Fenol hidrokuinon Hijau kuning (-) Hijau / hijau biru

f. Molisch Krem (-) Ungu

g. Benedict Hijau muda (-) Hijau, kuning / merah bata

h. Biuret Hijau muda (-) Ungu

i. Ninhidrin Ungu muda (-) Biru

Keterangan : + + + + : Sangat kuat + + + : Kuat + + : Sedang + : Lemah - : Tidak ada

Hasil uji fitokimia terhadap ekstrak karang lunak Sinularia sp. terpilih hasil transplantasi yang mempunyai aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa

Sinularia sp. mengandung senyawa kimia berupa steroid/triterpenoid. Kandungan

senyawa steroid pada ekstrak karang lunak ini ditandai dengan terbentuknya warna hijau kekuningan pada ekstrak yang diuji. Steroid merupakan golongan dari senyawa triterpenoid, senyawa ini dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan obat (Harborne 1987). Kandungan Sinularia sp. yang mengandung steroid juga ditemukan pada penelitian Rui jia et al. (2006) yang menemukan bahwa karang lunak jenis Sinularia sp. mempunyai kandungan senyawa terpenoid diantaranya diterpen dan steroid yang juga mempunyai aktivitas sebagai antikanker, antiinflammatori dan antialergi. Senyawa terpenoid yang dihasilkan oleh karang lunak Sinularia sp. ini merupakan hasil metabolisme sekunder. Hasil uji kandungan steroid dari karang lunak transplantasi Sinularia sp. hasil analisis fitokimia disajikan pada Gambar 30.

Dokumen terkait