• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.6 Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai analisis kelembagaan telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Adina (2012) mengenai kualitas Gapoktan di Desa Banyuroto Kabupaten Magelang diperoleh beberapa informasi penting tentang pengelolaan kelembagaan yang ada dalam Gapoktan Desa Banyuroto, yaitu:

1. Gapoktan Desa Banyuroto merupakan kelembagaan petani formal yang memiliki struktur dan infrastruktur (aturan main) kelembagaan yang sudah baik. Hal ini tercermin dari indikator penting seperti Gapoktan Desa Banyuroto bekerjasama dan mempunyai hubungan yang harmonis antar aktor serta antar stakeholders terkait.

2. Total biaya transaksi yang dikeluarkan untuk kelembagaan Gapoktan Desa Banyuroto mencapai Rp 533.980.000. Biaya transaksi ini ada yang hanya dikeluarkan sekali ada yang rutin dikeluarkan setiap tahunnya. Biaya tersebut terbagi menjadi tiga bagian yaitu biaya pembentukan kelembagaan, biaya sosialisasi kelembagaan, dan biaya operasional bersama. Biaya ini bersumber dari anggaran pemerintah dan iuran yang dikeluarkan oleh anggota Gapoktan Desa Banyuroto.

3. Kualitas dari kelembagaan Gapoktan Desa Banyuroto tersebut mampu mendorong motivasi dan partisipasi petani untuk terus menjaga semangat pertanian selaras dengan perkembangan dan inovasi teknologi pertanian serta menyelesaikan permasalahan yang ada secara bersama-sama.

17 4. Kelembagaan Gapoktan Desa Banyuroto berdampak terhadap peningkatan

kemandirian petani secara teknik bertanam, kesejahteraan petani, dan keberlanjutan pertanian strawberry.

Penelitian mengenai kelembagaan kelompok tani sebelumnya juga pernah dilakukan oleh Sari (2012) yang mengkaji ekonomi kelembagaan kelompok tani di Desa Banaran, Kecamatan Galur, Kabupaten Kulon Progo. Menurut Sari (2010) berdasarkan penelitian yang ia lakukan diperoleh hasil:

1. Sistem kelembagaan kelompok tani di Desa Banaran dapat dibedakan dalam dua macam, yaitu kelompok tani pesisir pantai dan kelompok tani non pesisir pantai. Sistem kelembagaan kelompok tani pesisir pantai lebih tertata secara sistematis sebagai lembaga formal, sedangkan sistem kelembagaan kelompok tani non pesisir pantai belum tertata secara sistematis dan bersifat non formal. Sistem kelembagaan tersebut meliputi aturan – aturan di dalam kelompok, tujuan kelompok didirikan dan struktur organisasi kelompok. Pada kelompok tani pesisir pantai, aturan–aturan, tujuan dan struktur organisasi sudah tertulis jelas di dalam AD/ART. Sedangkan kelompok tani non pesisir pantai tidak memiliki AD/ART.

2. Mekanisme bekerjanya kelembagaan kelompok tani di Desa Banaran dapat diklasifikasikan dalam beberapa aspek yaitu perkreditan, penyediaan saprodi, penyuluhan dan pemasaran hasil usahatani. Mekanisme kegiatan perkreditan, penyediaan saprodi, penyuluhan dan pemasaran hasil usahatani pada kelompok tani pesisir pantai sudah tertata dengan jelas serta berjalan dengan baik. Sedangkan di dalam kelompok tani non pesisir pantai tidak ada kegiatan perkreditan, penyediaan saprodi dan pemasaran. Sehingga mekanismenya juga belum jelas.

3. Jika dilihat dari hasil analisis statistik, rata – rata keuntungan usahatani di kelompok tani pesisir pantai lebih tinggi daripada usahatani pada kelompok tani non pesisir pantai. Hal tersebut berarti bahwa kelompok tani lebih berperan terhadap kemajuan usahatani di Desa Banaran ketika kelompok tani tersebut sudah memiliki aturan serta mekanisme yang jelas.

Selain penelitian yang dilakukan oleh Adina dan Sari, penelitian mengenai peran kelembagaan kelompok tani terhadap para anggota juga telah dilakukan

18

oleh Septian (2010) penelitian ini dilakukan untuk mengetahui peran kelembagaan kelompok tani terhadap produksi dan pendapatan petani ganyong di Desa Sindanglaya Kecamatan Sukamantri Kabupaten Ciamis Jawa Barat. Menurut Septian (2010) Keberadaan kelompok tani di Desa Sindanglaya Kecamatan Sukamantri pada kegiatan usahatani ganyong memberikan pengaruh yang positif. Peran atau pengaruh adanya kelompok tani pada usahatani ganyong ini adalah : 1. Berdasarkan analisis pendapatan usahatani, produksi ganyong dari sejumlah

petani responden di Desa Sindanglaya Kecamatan Sukamantri dikatakan menguntungkan. Hal ini terlihat pada R/C rasio atas biaya tunai dan R/C rasio atas biaya total usahatani ganyong yaitu masing-masing sebesar 1,93 dan 1,30. Adanya pengaruh kelompok tani ternyata mampu meningkatkan pendapatan petani angggota kelompok dibandingkan dengan petani bukan anggota. R/C rasio untuk petani anggota pada R/C rasio atas biaya tunai sebesar 1,98 dan R/C rasio atas biaya total sebesar 1,41. Sedangkan untuk petani bukan anggota, perolehan R/C rasio atas biaya tunai sebesar 1,89 dan R/C rasio atas biaya total sebesar 1,14. Keanggotaan petani terhadap kelompok ini merupakan variabel dummy yang memiliki pengaruh nyata dibandingkan petani yang tidak bergabung. Selain variabel dummy yang memiliki pengaruh nyata, terdapat variabel – variabel lain yang berpengaruh nyata terhadap produksi ganyong adalah variabel lahan dan bibit. Sedangkan yang berpengaruh terhadap pendapatan adalah harga jual ganyong.

2. Adanya kelompok tani pada usahatani ganyong memiliki pengaruh yang positif kepada petani anggotanya. Namun walaupun kelompok tani ini memberikan dampak yang positif, tetapi belum semua petani bergabung dengan kelompok karena petani bukan anggota tersebut masih menganggap kelompok hanya bisa membeli hasil panen saat harga murah saja. Tetapi berdasarkan hasil yang ada terlihat pada tingkat produksi dan pendapatan petani anggota memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan petani bukan anggota. Petani anggota menghasilkan jumlah produksi per hektar tiap periode panen sebesar 23.567,73 kg ganyong, sedangkan petani bukan anggota sebanyak 23.419,67 kg. Pengaruh yang positif ini terjadi karena

19 adanya bimbingan dan penyuluhan dari kelompok tani yang mampu memberikan manfaat kepada anggotanya.

Penelitian mengenai analisis pendapatan usaha peternakan sapi perah telah dilakukan oleh Kamiludin (2009). Kamiludin melakukan analisis pendapatan usaha peternakan sapi perah di kawasan peternakan sapi perah Cibungbulang Kabupaten Bogor. Pada penelitian ini untuk mengetahui apakah pendapatan yang diperoleh peternak menguntungkan atau tidak dianalisis menggunakan rasio penerimaan dan biaya (R/C ratio). Komponen biaya yang dihitung dalam penelitian ini dibagi menjadi biaya tunai dan biaya non tunai. Biaya tunai adalah biaya yang dibayarkan sedangkan biaya non tunai adalah biaya yang tidak dibayarkan. Biaya tunai dibagi menjadi biaya tetap dan biaya variabel. Biaya yang dibayarkan adalah biaya yang dikeluarkan untuk membayar upah tenaga kerja, biaya pembelian input seperti bibit, pupuk, dan obat-obatan. Sedangkan biaya non tunai terdiri dari perubahan nilai ternak.

Kesimpulan dalam penelitian ini total biaya variabel dan biaya tetap yang dikeluarkan oleh 45 peternak di kawasan peternakan sapi perah Kabupaten Bogor masing-masing yaitu Rp 2.018.797.386 dan Rp 2.324.917.833. Total penerimaan tunai sebesar Rp 5.545.192.480 dan total penerimaan tidak tunai sebesar Rp 458.222.570, sehingga total pendapatan usahaternak adalah sebesar Rp 1.659.699.831. Pendapatan yang diperoleh untuk memelihara satu ekor sapi laktasi adalah Rp 3.916.696 per tahun. Nilai rasio penerimaan atas biaya adalah 1,38. Penghitungan nilai rasio penerimaan jika hanya dari penjualan susu atas total biaya adalah 1,10. Hal ini menunjukan bahwa peternak akan mendapat keuntungan walau hanya mengandalkan penerimaan dari hasil penjualan susu.

Penelitian mengenai analisis keuntungan atau pendapatan usahaternak yang dilakukan di Kelompok Usahatani Sapi Perah Swadaya Pondok Ranggon juga pernah dilakukan sebelumnya oleh Widodo (2009). Secara umum penelitian ini bertujuan untuk melihat keberhasilan usahaternak sapi perah di wilayah DKI Jakarta. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik dan keuntungan usahaternak sapi perah berdasarkan input dan output yang diperlukan usahaternak sapi perah di wilayah Pondok Rangon, Jakarta Timur.

20

Input yang termasuk dalam penelitian ini terdiri dari pembelian ternak (inventaris ternak awal), pakan, tenaga kerja, biaya kesehatan ternak, kandang, bahan bakar, listrik, air dan peralatan. Sedangkan output terdiri dari penjualan (termasuk pemberian ternak atau hadiah), hasil ternak (susu, kotoran), ternak potong, nilai karkas dan inventaris ternak akhir. Keuntungan yang diperoleh oleh peternak adalah selisih antara output dengan input. Analisis kelayakan pendapatan pada penelitian ini menggunakan perbandingan dengan Upah Minimum Regional (UMR) untuk menentukan layak atau tidaknya keuntungan yang di dapat oleh peternak yang ada di Pondok Ranggon, Jakarta Timur. Upah Minimum Regional (UMR) yang digunakan adalah UMR DKI Jakarta tahun 2009 sebesar Rp 1.069.865,00/bulan.

Pada penelitian ini para peternak dibagi dua kelompok berdasarkan jumlah kepemilikan ternaknya, kelompok I kepemilikan ternak dibawah rata-rata jumlah kepemilikan ternak kelompok, dan kelompok II yang memiliki ternak lebih dari jumlah rata-rata kepemilikan ternak di dalam kelompok. Secara umum, seluruh peternak memiliki pendapatan per bulan di atas UMR hanya terdapat satu peternak pada kelompok I yang memiliki pendapatan per bulan dibawah UMR. Hal ini dikarenakan usahaternak sapi perah di Kelurahan Pondok Ranggon memiliki pasar yang besar dan peternak rata-rata sudah memiliki langganan pembeli susu sendiri. Selain itu jika kita dilihat dari jumlah skala usaha antara kelompok I dan II, maka dapat disimpulkan juga bahwa skala usaha akan berpengaruh terhadap pendapatan, yaitu semakin besar skala usaha maka semakin besar nilai pendapatannya.