• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.9. Penelitian Terdahulu

Studi terkait daya saing Komoditas udang telah banyak dilakukan dengan menggunakan berbagai pendekatan antara lain: RCA, CMSA, DRC, model Berlian Porter, dan pendekatan lainnnya seperti disajikan pada Tabel 11 dan 12. Secara umum, udang beku Indonesia mempunyai daya saing.

Ling et al., (1996) menggunakan pendekatan RCA untuk 9 (sembilan) negara pengekspor: Thailand, Indonesia, Philipina, Malaysia, China, India, Taiwan, Ekuador dan Mexico periode Tahun 1989-1991 ke pasar Jepang dan AS. Produk didiferensiasi kedalam empat kategori berdasarkan pengkodean Standard International Trade Center (SITC) yaitu beku, hidup, segar, dan kering/olahan. Hasilnya, Taiwan mempunyai keunggulan komparatif mengekspor udang bermutu (seperti udang hidup) ke Jepang dengan nilai RCA 17.2 - 19.1 dan bentuk peeled fresh ke AS karena memadainya jaringan pengapalan/pengiriman, kemasan, transportasi. Tingkat kelangsungan hidup udang mencapai di atas 80% dengan lama perjalanan sampai 15 jam (Chiang dan Liao, 1985 dalam Ling et al., 1996).

Tabel 11. Ringkasan Studi Terdahulu tentang Daya Saing Komoditas Udang

No Pengarang Pendekatan

Analisis Kasus

Ringkasan Studi/ Faktor Penentu Daya Saing

1. Ling et al. (1996) RCA 9 pengekspor tahun 1989- 1991 Memadainya jaringan (Taiwan), keunggulan geografis dan joint venture (Ekuador) 2. Sagheer et al., (2007) Model Ber- lian Porter Thailand dan India Kehadiran perusahaan multinasional dan

pemerintah berperan penting 3. Cong Sach

(2003)

RCA udang tambak, tahun 1985- 2001

Indonesia dan Thailand menurun, sedangkan Vietnam meningkat 4. Aisya et al.,

(2005b)

RCA Indonesia Indonesia tergantung pada udang segar dibandingkan udang olahan.

5. Aisya et al.,(2005b)

CMSA Indonesia udang segar relatif

terdistribusi pada pasar yang permintaanya relatif lambat, dan sebaliknya untuk udang olahan. 6 Ling et al., (1999) DRC 3 tipe tambak, 10 negara ke Jepang,UE,AS

Penentu daya saing: biaya oportunitas dan harga yang diterima di pasar

internasional 7. Aisya et al.,

(2005c)

PAM Indonesia Usaha intensif paling efisien dalam penggunaan biaya domestik. Terjadi transfer penerimaan dari petani udang intensif dan semi- intensif kepada konsumen dan produsen input. 8. Hutabarat et al., (2000) Biaya man- faat Sosial 3 tipe tambak di Sulsel

Udang Indonesia memiliki daya saing

9. Munandar et al., (2006)

RCA Indonesia Indonesia mempunyai daya saing tapi menurun

10. Kusumas- tanto dan PKSPL IPB (2007) Indeks Spe- sialisasi Perdagangan

Indonesia Udang Indonesia berada pada posisi pertumbuhan ke kematangan 11. Cai dan Leung (2006) Size dan comparative advantage 28 negara eksportir periode tahun 1990 dan 2000

Tahun 2000 lebih kompetitif dibandingkan tahun 1990, sementara di UE tidak nampak dominasi regional

Philipina dan Malaysia mempunyai keunggulan komparatif dalam mengekspor produk dried/salt/in brine shrimp ke Jepang. Indonesia, Philipina, Ekuador, dan Meksiko mempunyai keunggulan komparatif pada udang beku shell-on di pasar AS. India dan China netral, sedangkan Malaysia, India, dan Taiwan tidak mempunyai keunggulan komparatif. Ekuador dan Mexico mempunyai keunggulan komparatif ke pasar AS akibat keunggulan geografis dan adanya joint venture dengan AS untuk produk udangshell-on dan peeled fresh. Tabel 12. Ringkasan Studi Terdahulu tentang Produktivitas dan Mutu pada

Komoditas Udang No Topik Pengarang Pendekatan Analisis Kasus Ringkasan Studi/Faktor Penentu Daya Saing

A. Produktivitas 1. Leung dan Gunaratne (1996) Fungsi produksi Stochastic Frontier (SF) 7 negara di Asia

Negara yang lebih

berpengalaman lebih produktif dibandingkan yang kurang berpengalaman

2. Tajerin (2007)

SF Indonesia Efisiensi teknis udang tambak

Indonesia 56% B. Mutu 1. Salayo (2000) Hedonic Price Index Dunia. periode tahun 1983- 1996

Harga menurun 1.4% per tahun. Artinya, dengan

menganggap mutu tetap, maka harga udang relatif menurun terhadap inflasi

2. Cato dan Santos (2000)

Bangladesh Bangladesh kehilangan $14.6 juta atau 35% dari pendapatan ekspor tahun 1996 akibat pelarangan ekspor oleh UE.

Selanjutnya, Ling et al. (1999) menganalisis keunggulan komparatif menggunakan DRC untuk udang tambak di 10 negara Asia yang mengekspor udang ke pasar Jepang, UE, dan AS tahun 1994/1995. Keunggulan komparatif dianalisis pada berbagai tipe usaha budidaya (intensif, semi-intensif, dan ekstensif). Survey mencakup 870 tambak intensif, 1 022 semi-intensif, dan 2 898 ekstensif. Hasilnya, negara-negara di Asia mempunyai keunggulan komparatif

dengan mengekspor udang ke Jepang dibanding dengan ke AS dan UE, terutama karena harga premium yang diperoleh di pasar Jepang. Thailand, Indonesia, dan Srilanka mempunyai posisi keunggulan komparatif relatif lebih baik dibandingkan negara-negara Asia lainnya untuk ketiga jenis tipe usaha budidaya yang diamati.

Sebaliknya, tambak semi-intensif di Bangladesh tidak mempunyai keunggulan bersaing untuk mengekspor ke AS dan UE karena memiliki biaya pakan lebih tinggi. Sistem budidaya intensif di China relatif netral untuk pasar AS karena nilai DRC sama dengan satu. Faktor penentu tingkat keunggulan komparatif dari negara produsen di Asia adalah biaya oportunitas dari biaya operasional dan harga yang diterima di pasar internasional. Keunggulan komparatif dapat ditingkatkan dengan perbaikan pada pajak, pinjaman pada tingkat bunga rendah, pengurangan tarif impor tepung ikan, dan bahan lainnya untuk membuat pakan. Selain itu, penting melakukan koordinasi dibidang ekspor dan pemasaran terkait aturan internasional, pengembangan produk, informasi pasar karena adanya fluktuasi harga udang di pasar internasional.

Aisya et al. (2005c) menganalisis dampak kebijakan insentif dan kinerja pasar udang Indonesia menggunakan pendekatan PAM. Hasilnya, udang Indonesia mempunyai keunggulan komparatif, danusaha intensif paling efisien dalam penggunaan biaya domestik. Selain itu, terjadi transfer penerimaan dari petani udang intensif dan semi-intensif kepada konsumen dan produsen input berturut-turut 1.83% dan 1.92% dari masing-masing pendapatan. Sebaliknya kebijakan ini menyebabkan penerimaan untuk pembudidaya udang untuk tambak tipe tradisional menjadi 14.07% lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa kebijakan.

Cong Sach (2003) menganalisis keunggulan komparatif udang tambak periode 1985-2001 menggunakan RCA. Hasilnya, nilai RCA udang tambak Indonesia menurun dari 10.03 menjadi 8.50, sedangkan Thailand meningkat dari 17.90 menjadi 23.5. Vietnam walaupun menurun dari 46.30 ke 22.30 akan tetapi nilainya masih jauh dibandingkan Indonesia. Selanjutya, Leung dan Cai (2005) menganalisis berdasarkan negara tujuan ekspor periode 1990 sampai dengan awal 2000, nilai RCA Indonesia untuk pasar AS menurun dan untuk pasar UE nilai RCA lebih rendah, akan tetapi pertumbuhannya positif.

Cai dan Leung (2006) melakukan studi terhadap 28 negara eksportir udang beku ke tiga tujuan pasar utama (Jepang, AS, dan UE) menggunakan indikator kinerja ekspor berupa “size advantage” dan “comparative advantage” untuk mengukur dominansi di suatu pasar. Perubahan pangsa pasar digunakan sebagai ukuran market power. Variasi market share didekomposisi menjadi “size variation” dan “structural variation”. Hasilnya, ketiga pasar makin kompetitif pada tahun 2000 dibandingkan dengan tahun 1990. Market power makin kurang terkonsentrasi di ketiga pasar tersebut. udangdi pasarJepang didominasi oleh pengekspor dari negara-negara Asia Fasifik, di pasarAS oleh Amerika Latin, sedangkan untuk UE tidak nampak adanya dominasi regional.

Berdasarkan jenis produk menggunakan kategori berdasarkan SITC, menurut Aisya et al., (2005b) ekspor Indonesia masih tergantung pada udang segar (SITC 34) dengan RCA mencapai 7.18 di tahun 2004, namun harga udang segar lebih rendah dibandingkan dengan udang olahan (SITC 37). Dengan demikian, upaya mendorong ekspor produk udang olahan menjadi penting, namun terkendala oleh nilai RCA udang olahan yang hanya 1.17. Artinya hanya sedikit

dari batas bawah keunggulan komparatif sebesar satu. Dengan demikian, perlu kerja keras dari pemerintah untuk mendorong peningkatan ekspor udang olahan. Masih studi yang sama, menggunakan metode CMSA, efek pasar dari udang segar bertanda negatif, artinya terdistribusi pada jenis-jenis komoditas yang permintaannya relatif lambat di negara tujuan ekspor utama, dan sebaliknya udang olahan. Ditinjau dari efek daya saing udang segar tandanya positif, artinya memiliki daya saing yang kuat. udang olahan (SITC 37) mempunyai tanda positif. Artinya, naiknya pertumbuhan dunia mengakibatkan ekspor komoditas udang olahan Indonesia meningkat. Hasil tersebut mendukung analisis menggunakan RCA. udang olahan yang nilai tambahnya lebih tinggi, efek pertumbuhan dan daya saingnya menguntungkan, akan tetapi masih kalah dibandingkan dengan daya saing udang segar.

Hutabarat et al., (2000) menganalisis daya saing menggunakan pendekatan nilai Biaya Manfaat Sosial (BMS) untuk tambak di Sulawesi Selatan. Nilainya berturut-turut 0.62, 0.63, dan 0.57 untuk sistem tradisional, semi-intensif, dan intensif. Artinya,udang tambak di Sulawesi Selatan masih mempunyai daya saing karena bernilai <1. Kusumastanto dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut (PKSPL) IPB (2007) menggunakan Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP), hasilnya menunjukkan bahwa udang Indonesia berada pada kondisi pertumbuhan ke kematangan. Swaranindita (2005), menggunakan teori Berlian Porter; Herfindahl Index dan RCA untuk pasar AS, menghasilkan bahwa struktur pasar udang beku yang dihadapi Indonesia tahun 1984-1989 dan 2000 adalah pasar persaingan monopolistik dan tahun 1990-2000 adalah pasar oligopoli. Struktur pasar udang segar adalah oligopoli periode 1984 sampai dengan 1999 dan pasar

persaingan monopolistik periode 1997-2000.Posisi Indonesia adalah market follower. Dari angka indeks RCA tersebut, Indonesia memiliki daya saing yang kuat.

Munandar et al., (2006) menganalisis udang Indonesia menggunakan indeks RCA dan memprediksi 10 tahun ke depan. Dengan skenario perekonomian stabil, udang masih mempunyai daya saing, walaupun menurun dengan presentase penurunan 13.4% per tahun. Tingkat kompetisi ekspor dipengaruhi suku bunga, upah, pendapatan per kapita negara domestik, pendapatan per kapita negara importir, dan prosentase anggaran untuk diferensiasi produk signifikan secara statistik, sedangkan harga produk ikan olahan dan produktivitas modal tidak signifikan.

Dari aspek penawaran dan permintaan, analisis ekonometrika menggunakan persamaan simultan telah banyak dilakukan antara lain: Gonarsyah (1990), Retnowati (1990), Irwan (1997), Soepanto (1999), Oktariza (2000), Raharjo (2001), DKP (2004), Pitaningrum (2005), dan Koeshendrajana (2006). Dari hasil studi tersebut dapat dikemukakan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap jumlah ekspor adalah harga ekspor udang, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, dan produksi udang. Impor udang dipengaruhi harga riil udang dunia, harga riil impor produk substitusi (harga tuna), dan pendapatan riil per kapita. Selanjutnya, menurut pangsa pasar hasilnya: terjadi persaingan nyata di pasar AS dan Jepang, di pasar UE belum terlihat (Rahardjo, 2001). di pasar ASEAN tingkat persaingan relatif rendah. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Singapura berpengaruh terhadap pangsa pasar udang Indonesia (Oktariza, 2000). Di pasar Jepang dalam jangka panjang relatif peka terhadap perubahan rasio harga ekspor (Gonarsyah,

1990). Tajerin dan Noor (2004) menambahkan di Jepang dan AS udang Indonesia sampai dengan 2004 masih dominan. Ancaman di pasar AS berasal dari Thailand dan di pasar Jepang dari sisa dunia.

Studi pada aspek mutu dan keamanan hasil produk perikanan memberikan hasil beragam. Salayo (2000) menganalisis hubungan antara harga udang dan perubahan mutu menggunakan Hedonic Price Index. Hasilnya menunjukkan bahwa dalam periode 1983-1996 harga menurun 1.4% per tahun. Artinya, dengan menganggap mutu tetap, maka harga udang relatif menurun terhadap inflasi. Menurut Wibowo (2003), penerapan HACCP/PMMT tidak menyebabkan persaingan antar skala usaha yang berbeda pada usaha rajungan, akan tetapi menyebabkan persaingan pada skala usaha yang sama.

Cato dan Santos (2000) menyebutkan Bangladesh kehilangan penghasilan $14.6 juta atau 35% dari pendapatan ekspor tahun 1996 akibat pelarangan ekspor ke UE. Studi oleh peneliti di University of Reading terhadap 99 negara dan fokus ke UE menyebutkan bahwa SPS merupakan faktor penting penentu kemampuan negara berkembang dalam melakukan ekspor ke negara maju. Menurut Kumar dan Kumar (2003) meskipun masih kompetitif, akan tetapi daya saing ekspor udang India menurun 16.7%. Hasil studi IFC (2007b) menyebutkan bahwa udang Nigeria berkembang karena menerapkan HACCP/PMMT. Kebijakan HACCP/ PMMT berpengaruh terhadap mutu, penerapan di unit pengolahan menjadi prioritas, dan berikutnya di tambak serta penampungan udang. Sebagai contoh, menurut Suryana et al., (1989) pada periode Januari sampai Juni 1988 ekspor udang Indonesia yang tidak lulus pemeriksaan FDA mencapai 17 000 ton senilai US$ 165 juta karena udang terkontaminasi Salmonela arizona, pemrosesan/

pembekuan kurang sempurna, dan terkena pembusukan kotoran. Akibat penolakan tersebut harga udang turun dari US$ 17/kg menjadi US$ 11/kg.

Terkait dengan risiko dan keuntungan, studi Oktaviani et al., (2008) di Sulawesi Selatan memperoleh hasil bahwa tidak ada pembagian risiko antara petani, pedagang pengumpul, dan koordinator. Berdasarkan analisis AHP: sumberdaya merupakan hal paling penting, disusul teknologi. Strategi terbaik yaitu menjalin kerja sama antara pembudidaya dan pedagang perantara.

Dari aspek srategi, petani di negara berkembang perlu merubah orientasinya dari product oriented menjadi market oriented. Kolaborasi manajemen rantai pasokan diperlukan karena produsen di negara berkembang terkendala oleh teknologi, infrastruktur belum memadai, tergantung pada tenaga kerja rumah tangga, teknik usahanya tradisional (Van Roekel, 2002). Persaingan industri sudah bergeser dari kompetesi industri secara individu menjadi kompetesi rantai pasok dan di masa mendatang akan menjadi persaingan yang berbasis kluster (Pertiwi, 2007). Hasil studi Herman (2002) pada komoditas sayuran bernilai tinggi, sayuran Edamame, penerapan model aliansi strategis dapat meningkatkan margin keuntungan rantai pasokan dari 8% menjadi 17% dan kinerja meningkat 345%. Keuntungan meningkat dari 7% menjadi 22%. Penerapan model meningkatkan kinerja rantai pasokan paprika sebesar 233%. Titik impas usaha tani pada 4.326 kg/panen/sungkup. Konsumen diuntungkan dengan penurunan harga pada tingkat konsumen (swalayan) sebesar 19%.

Dokumen terkait