• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

H. Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian empiris dalam penerapan multi-factor CAPM dengan menggunakan beta dan faktor fundamental sebagai faktor pengukur risiko telah dilakukan diantaranya penelitian yang telah dilakukan oleh Gancar Candra Premananto dan Muhammad Madyan meneliti mengenai Perbandingan Keakuratan Capital Asset Pricing Model Dan Arbitrage Pricing Theory Dalam Memprediksi Tingkat Pendapatan Saham Industri Manufaktur Sebelum Dan

Semasa Krisis Ekonomi. Hasil mpenelitiannya menemukan bahwa model CAPM lebih akurat dibandingkan APT baik sebelum dan semasa krisis ekonomi. Adapun penelitiannya yang lain dengan menggunakan model yang sama namun variabel independennya berbeda, yaitu Perbandingan Keakuratan CAPM Dan APT Dalam Memprediksi Tingkat Pendapatan Industri Perbankan Dan Lembaga Keuangan Selain Bank Baik Sebelum Dan Semasa Krisis Ekonomi Di Bursa Efek Jakarta yang menghasilkan bahwa CAPM lebih akurat dalam memprediksi return saham dibandingkan dengan APT baik semasa ataupun sebelum krisis.

Banz (1981) yang menguji ukuran perusahaan sebagai faktor fundamental; Rosenberg.et.al (1985) yang menguji ratio of book-to-market value; Chan.et.al (1991) yang menguji faktor makro dan price to earnings ratio.

Penelitian yang sama juga pernah dilakukan oleh Sudarto, dkk (1999) dengan menggunakan variabel beta saham dan Debt Equity Ratio (DER), demikian halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Wardani (2000) dengan melakukan penambahan nilai saham yang beredar. Pengujian oleh Black, Jansen dan Schooles, juga oleh Fama dan MacBeth menggabungkan saham-saham menjadi portofolio untuk menaksir beta tiap – tiap portofolio, kemudian melakukan regresi

cross sectional antara rata-rata return dengan beta tiap-tiap portofolio.

Ada juga pengujian yang menggunakan surat-surat berharga individual, misalnya oleh Linzerberger.et.al (2007). Hasil pengujian tersebut rata-rata membuktikan bahwa:

1. Intersep CAPM secara signifikan tidak sama dengan tingkat bebas risiko, hal ini membuktikan bahwa zero beta CAPM lebih berlaku di dunia nyata.

2. Kemiringan atau slope dari persamaan CAPM ternyata lebih rendah daripada yang diramalkan (Rm-Rf).

3. Tidak ada bukti bahwa hubungan antara risiko sistematis dan return tidak linear, hal ini masih sesuai dengan spesifikasi CAPM.

4. Faktor-faktor selain beta ternyata berperan di dalam menerangkan return surat berharga, misalnya P/E rasio, besar kecilnya perusahaan, jenis perusahaan, musiman dan sebagainya.

Pengujian CAPM di BEJ antara lain oleh Suad Husnan pada tahun 1990 yaitu dengan menggunakan metode yang sama dengan Black, Jensen, Scholes pada tahun 1972, hasilnya adalah banyak beta yang signifikan secara statistik dan standar CAPM tidak berlaku di BEJ, tetapi yang berlaku adalahzero

beta CAPM.

Budi Harsono Lim (2005) melakukan studi empiris yang didasarkan pada metode pengujian CAPM yang diajukan Lintner (1965) dan Fama dan MacBeth (1973). dalam pengujian hubungan risiko dan tingkat pengembalian dengan metode Lintner, selain menggunakan metode yang diajukan, juga mengelaborasi beberapa kritik Miller dan Shcoles yang menyatakan bahwa metode Lintner tersebut menyebabkan bias pada hasil yang ditemukan. Replikasi terhadap metode Fama dan MacBeth menggunakan pendekatan portofolio untuk memperoleh estimasi beta yang lebih akurat. Dengan menggunakan risiko portofolio tersebut, beliau melakukan pengujianhubungan tehadap risiko tingkat pengembalian bulan per bulan untuk mengamati relevansi risiko dan efisiensi pasar. secara keseluruhan, temuanempiris yang diperoleh menunjukan bahwa beta

adalah relevan sebagai risikosistematis dan kompensasi atas risiko tersebut adalah positif. Selain itu terbukti bahwa model dua faktor Black lebih mampu menggambarkan hubungan risiko tingkat pengembalian yang terjadi. Temuan denganmenggunakan metode Lintner menunjukkan bahwa:

1. Beta adalah relevan dan terdapat price of risk positif, 2. Risiko residual tidak relevan, dan

3. Tingkat pengembalian portofolio zero beta selama periode pengujian adalah negatif.

Ima Suryani (2003) melakukan pengujian empiris konsistensi CAPM di Pasar Modal Indonesia Periode 1999-2001 dengan menentukan korelasi antara E(Ri) dan Ri. dari hasil pengujian dapat disimpulkan bahwa CAPM konsisiten di Pasar Modal Indonesia dan menyarankan agar investor, emiten, BAPEPAM dan peneliti selanjutya menggunakan CAPM sebagai landasan teori.

Taufik Riantoso (2000) telah menguji aplikasi model CAPM dan portofolio saham untuk mempelajari risiko dan keuntungan daham pasar modal sebagai alternatif pengelolaan investasi yang semakin menguntungkan dan membawa kita untuk menganalisa bagaimana investasi saham harus dilakukan dengan mengamati risiko dan return saham. Pendekatan dilakukan dengan menggunakan model CAPM dan teori portofolio, untuk menganalisa risiko dan

return saham, dan dengan metodologi tertentu diharapkan memenuhi tujuan penelitian dengan menghasilkan keputusan dan rencana strategi yang baik. pengamatan dilakukan terhadap 12 saham yang termasuk dalam BI-40 dengan mengambil data kegiatan usaha, finansial dan data harga saham yang lalu. Data

harga saham yang telah diolah digunakan untuk mengulas dan menganalisa saham. Data-data yang telah diolah tersebut dianalisa dengan model CAPM tentang pola pergerakan saham, bagaimana hubungannya dengan harga pasar dan kemudian melalui teori portofolio dicoba menggabungkan beberapa saham untuk memperkecil risiko. Kemudian, setelah dilakukan penelitian terhadap 12 saham tersebut, disimpulkan bahwa investasi saham tidak dianjurkan untuk investasi jangka panjang dan disarankan dilakukan dengan investasi jangka pendek (transaksi harian atau mingguan).

Lain halnya dengan CAPM, model APT menggambarkan beragam tingkat sensitivitas terhadap berbagai variabel sistematis. Model APT pertama kali dikembangkan oleh Ross yang merupakan bentuk pengembangan dari CAPM. Beberapa penelitian empiris dalam penerapan model APT juga telah dilakukan diantaranya, penelitian yang dilakukan oleh Chan.et.al (1986) yang menggunakan empat faktor yang mempengaruhi return sekuritas, yaitu tingkat inflasi, premi

risk-default , dan suku bunga. Selain itu, Berry.et.al (1988) yang menggunakan variabel risk-default, tingkat bunga, inflasi, pertumbuhan ekonomi jangka panjang, dan risiko residual.

Dalam penelitiannya, Eko (2000) mencoba untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh suku bunga clan inflasi dalam mempengaruhi imbal hasil saham sektoral clan untuk melihat sektor-sektor manakah yang menarik sebagai tempat investasi saham apabila terjadi perubahan-perubahan pada suku bunga dan inflasi.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data suku bunga SBI dan inflasi sebagai variabel bebas dan imbal hasil saham-saham sektoral sebagai

variable tak bebas. Analisis dilakukan untuk dua periode waktu, yaitu sebelum krisis moneter (Januari 1996-Juni 1997) dan saat krisis ekonomi.

Gancar Candra Premananto dan Muhammad Madyan meneliti mengenai Perbandingan Keakuratan Capital Asset Pricing Model dan Arbitrage Pricing Theory Dalam Meprediksi Tingkat Pendapatan Saham Industri Manufaktur Sebelum dan Semasa Krisis Ekonomi yang menghasilkan bahwa CAPM lebih akurat dalam memprediksi return saham dibandingkan dengan APT baik semasa krisis ataupun sebelum krisis.

I. Perumusan Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah dan landasan teori maka hipotesis dalam penelitian ini adalah :

Ho : CAPM Lebih Akurat dibanding APT dalam memprediksi return saham LQ 45.

Ha : APT Lebih Akurat dibanding CAPM dalam memprediksi return saham LQ 45.

Dokumen terkait