SKRIPSI
PERBANDINGAN KEAKURATAN CAPM DAN APT
DALAM MEMPREDIKSI TINGKAT PENDAPATAN SAHAM
LQ 45 ( PERIODE 2006 – 2009 )
OLEH : Nama : Andri NIM : 205081000127 Jurusan: Manajemen Keuangan
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Andri
Tempat/Tanggal Lahir : Tangerang, 28 Juli 1987
Alamat : Kp.Pulo No.16 RT003/04 Cipondoh Tangerang
Telp & HP : (021)5447829 / 02194731216
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
Kebangsaan : Indonesia
Moto Hidup : “Hidup Adalah Perjalanan Untuk Berdoa, Bekerja,
dan Berusaha, Karena Semua Itu Adalah Ibadah”
PENDIDIKAN FORMAL
1. SD Negeri 04 Pagi
2. SMP Negeri 176 Duri Kosambi
3. SMK Negeri 42 Jakarta Barat
4. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRACT
This research explain a comparison of accuracy level between Capital Asset Pricing Model (CAPM) and Arbitrage Pricing Theory (APT). Variable of this research are LQ 45 stock return, Beta, Risk free, Market return, SBI and Inflation. Analysis were based on 27 stock sampel of LQ 45 that always listed from 2006 unti 2009. The analysis tools that used to measure macro economics variable in the future is Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA) and to find macro economics variable that represented return of LQ 45 in research is value of MAD, MSE, and MAPE.
This observational population is all return stock per corporate moon – LQ 45 already go public at Indonesian Stock Exchange. There is sample that is utilized in this research is return stock per moon of 27 LQ 45 years 2006 – 2009. This observational result that: (a ) Arbitrage Pricing Theory APT models more accurate than Capital Asset Pricing Model CAPM in predict income zoom (Return) LQ 45. That thing is looked of appreciative MAD, MSE, and MAPE which resulted by CAPM'S model is even greater to be compared with APT model.
Keyword : stock return, Beta, Risk free, Market return, SBI and Inflation.
ABSTRAK
Penelitian ini menjelaskan perbandingan tingkat keakuratan model Capital Asset Pricing Model (CAPM) dengan Arbitrage Pricing Theory (APT). Variabel dalam penelitian ini adalah tingkat pendapatan saham LQ 45, Beta, Risk free,
Market return, SBI dan Inflasi. Alat analisis yang digunakan untuk mengukur tingkat variabel makro yang di harapkan adalah metode Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA) sedangkan untuk mencari variabel makro ekonomi yang merepresentasikan return LQ 45 digunakan analisis faktor. Tingkat keakuratan teori CAPM dan APT di ukur melalui nilai MAD, MSE, dan MAPE.
Populasi penelitian ini adalah seluruh return saham per bulan perusahaan – perusahaan LQ 45 yang sudah go public di Bursa Efek Indonesia. Adapun sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah return saham per bulan dari 27 perusahaan LQ 45 tahun 2006 – 2009. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa : (a) Model Arbitrage Pricing Theory (APT) lebih akurat dibandingkan Capital Asset Pricing Model (CAPM) dalam memprediksi tingkat pendapatan (Return) saham perusahaan - perusahaan LQ 45. Hal itu terlihat dari nilai MAD, MSE, dan MAPE yang dihasilkan model Capital Asset Pricing Model (CAPM) lebih besar dibandingkan dengan model Arbitrage Pricing Theory (APT).
Kata Kunci : Return, Beta, Risk free, Market return, SBI, Inflasi.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan nikmat yang
telah diberikan. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad
SAW.
Perkenankan penulis menyampaikan ucapan terimakasih atas
dukungan dan bantuan dari berbagai pihak yang turut andil dalam proses
penulisan skripsi ini sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Perbandingan Keakuratan Capital Asset Pricing Model (CAPM) &
Arbitrage Pricing Model (APT) Dalam Memprediksi Tingkat Pendapatan
Saham LQ45”, semoga Allah SWT membalas kebaikannya dengan balasan yang
lebih baik, mereka adalah:
1. Orang tua tersayang, Ayahanda Muhasim dan Ibunda Sadiah yang
senantiasa memberikan doa, motivasi, dan bantuan sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisah skripsi ini.
2. Bapak Prof. Dr. Ahmad Rodoni selaku Pudek I Akademik sekaligus
sebagai pembimbing I dan Bapak Indoyama Nasrudin SE.,MAB selaku
Ketua Jurusan Manajemen sekaligus pembimbing II yang selalu
memberikan inspirasi-inspirasi bermakna kepada penulis dalam segala
waktu dan kesempatan.
3. Bapak Prof. Dr. Abdul Hamid, Ms., selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan
Ilmu Sosial yang telah banyak memberi pengetahuan yang bermanfaat
bagi penulis.
v
4. Teman-teman seperjuangan semasa kuliah, Sadik, Dian, Erwin, Nova, Zein,
Hariyadi, Rosalina, Endang, Chafitz, Imam, Edi, Arif, Uden, Alfian, we did it
great brothers.
5. Terima kasih spesial untuk Ferdy, Andri Hari Prasetyo yang telah banyak
membantu penulis dan memberikan motivasi.
6. Teman Kerja di PT. Glenindo Citramandiri, Pak Yongki Widjaya, Ibu Sifie,
Pak Tedy Gamma, Pak Herman, Pak Subur, Astrid, Retno, Ria. Nice job
partners.
Penulis Menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna, tetapi besar
harapan penulis skripsi ini dapat membawa nama baik almamater terutama Fakultas
Ekonomi dan Ilmu Sosial dan dapat membantu peneliti lain yang akan melanjutkan
penelitian.
Jakarta, 11 Juni 2010
DAFTAR TABEL
No. Keterangan Halaman
3.1 Daftar Perusahaan LQ 45 Periode 2006 – 2009... 52
4.1 Return Marker (RM) Periode 2006 – 2009... 68
4.2 Risk Free (RF) Periode 2006 – 2009... 70
4.3 Beta Terhadap Return... 72
4.4 KMO and Bartlett's Test... 73
4.5 Communalities... 74
4.6 Total Variance Explained... 75
4.7 Componen Matrix... 76
4.8 Rotated Component Matrix... 76
4.9 Inflasi Indonesia Periode 2006 – 2009... 78
4.10 SBI Periode 2006 – 2009... 79
4.11 Expected Return CAPM... 80
4.12 Correlogram SBI... 81
4.13 Correlogram Inflasi... 82
4.14 Model Arima SBI... 83
4.15 Model Arima Inflasi... 84
4.16 Perubahan Tingkat Inflasi Actual, Perubahan Tingkat Inflasi Yang Diharapkan, dan Perubahan Tingkat Inflasi Yang Tidak Diharapkan.. 85
4.17 Perubahan SBI Actual, Perubahan SBI Yang Diharapkan, Perubahan SBI Yang Tidak Diharapkan... 86
4.18 Expected Return APT... 88
4.19 Return Perusahaan LQ 45 Dengan Kolmogorov-Smirnov... 90
4.20 Pengujian Durbin Watson Pada Market Model CAPM... 92
4.21 Pengujian Dirbin Watson Pada Model APT... 93
4.22 Nilai MAD... 95
4.23 Nilai MSE... 97
4.24 Nilai MAPE... 99
DAFTAR GAMBAR
No. Keterangan Halaman
2.1 Kurva Risiko Sistematik Dan Non Sistematik... 22
2.2 Estimasi Model Arima... 43
2.3 Kerangka Pemikiran... 50
4.1 Scree Plot Eiqenvalue Analisis Faktor... 76
xii
DAFTAR LAMPIRAN
No. Keterangan Halaman
1. Actual Return... 104
2. Beta Model CAPM... 107
3. Expected Return Model CAPM... 110
4. Expected Return Model APT... 113
5. Uji Normal Kolmogorov-Smirnov Model CAPM... 116
6. Uji Normal Kolmogorov-Smornov Model APT... 117
7. Autokorelasi Model CAPM... 120
8. Autokorelasi Model APT... 121
9. Analisis Faktor Model APT... 121
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Iklim investasi di Indonesia secara keseluruhan sangat menarik bagi akses
investasi asing. Ketersediaan insentif fiskal untuk menarik investor asing, tidak ada
batasan nilai investasi, kemungkinan investor asing untuk memiliki seluruhnya
investasi mereka dalam hampir semua sektor dan proses persetujuan investasi yang
telah disederhanakan merupakan sebagian dari keuntungan bagi investasi asing untuk
menanamkan modalnya di Indonesia. Sebagai negara anggota ASEAN, Indonesia
terletak di persimpangan dua benua besar, yaitu Asia dan Australia, dan Samudera
Hindia dan Samudera Pasifik, menawarkan beberapa keunggulan komparatif kepada
investor dengan rentang dan perpaduan yang menarik seperti:
• Negara yang luas dan subur yang dilimpahi dengan sumber daya alam yang
kaya dan terdiversifikasi, antara lain, pertanian, perkebunan, perikanan,
tambang, minyak dan gas.
• Jumlah penduduk yang besar, yaitu kurang lebih 210 juta penduduk, yang
sangat dinamis dalam menyesuaikan diri terhadap kemajuan, suatu pasar yang
berpotensi sangat besar serta angkatan kerja yang kompetitif.
• Lokasi yang strategis mengendalikan jalur komunikasi laut internasional yang
sangat penting.
• Negara yang semakin demokratis.
1
Ekonomi terbuka yang berorientasi pasar, dengan rezim pertukaran mata
uang asing yang bebas. Pemerintah Indonesia menyadari bahwa investasi merupakan
salah satu faktor paling penting dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi dan,
dengan demikian, berupaya keras untuk memperbaiki prosedur investasi di masa
mendatang agar dapat merangsang iklim investasi yang lebih menguntungkan
(www.IDX.com).
Bursa Efek Jakarta (BEJ) ditetapkan menjadi bursa efek skala
internasional, yang mampu memberikan peluang investasi sesuai dengan
perkembangan ekonomi Indonesia. BEJ ditetapkan untuk ambil bagian dalam
mengembangkan basis investor dalam negeri yang besar dan mapan untuk
menjamin Pasar Modal Indonesia yang stabil. Tahun 1995 menandai awal baru
bagi BEJ. Pada tanggal 22 Mei 1995, BEJ meluncurkan Jakarta Automated
Trading System (JATS) [Sistem Perdagangan Terotomatisasi Jakarta], suatu
sistem terkomputerisasi yang menggantikan sistem perdagangan manual. Sistem
baru ini akan memfasilitasi frekuensi perdagangan saham yang lebih tinggi dan
memastikan terwujudnya pasar yang lebih adil dan lebih transparan dibandingkan
dengan sistem perdagangan manual. Sejak bulan Februari 2007, terdapat 342
perusahaan yang tercatat di BEJ. Dibandingkan dengan pasar saham di wilayah
Asia Pasifik pada tahun 2006, BEJ termasuk ke dalam 3 pasar saham Papan Atas
di wilayah Asia Pasific sesudah Shanghai dan Shenzen. Pada Desember 2006,
kapitalisasi pasar BEJ mencapai IDR 1.246.0 Triliun, naik 55,5% dari IDR 801,3
Triliun di akhir transaksi pasar 2005. Jumlah reksadana di Indonesia pada tahun
2006 meningkat 22,02% yaitu dari 327 reksadana pada tahun 2005 menjadi 399
reksadana pada tahun 2006, disamping selain nilai aset bersih reksadana yang
secara signifikan meningkat (79,23%) dari IDR 29,17 Triliun di bulan Desember
2005 menjadi IDR 52,28 Triliun pada tahun 2006. Pada bulan Desember 2006,
terdapat 108 fund manager dan 9 konsultan keuangan. Dan berdasarkan nilai
reksadana, terdapat peningkatan nilai reksadana dari IDR 48,07 Triliun di bulan
Desember 2005 menjadi IDR 71.15 Triliun di bulan Oktober 2006, atau meningkat
32,44%.(www.IDX.com).
Investasi merupakan sebuah cara alternativ yang dapat digunakan untuk
meningkatkan nilai asset di masa depan, dengan melakukan investasi, menurunnya
purchasing power akibat inflasi dapat di ofsett oleh return yang di dapatkan dari investasi ( Tandelilin,2001 dalam Puji Fitriana : 2005 ). Menurut Widiatmodjo,S
2000 (dalam Michell Suharli: 2005), Ekspetasi dari para investor terhadap
investasinya adalah memperoleh tingkat pendapatan (return) saham sebesar - besarnya dengan resiko tertentu. Return tersebut dapat berupa capital gain ataupun dividen untuk investasi pada saham dan pendapatan bunga untuk investasi pada surat hutang.
Dividen merupakan salah satu bentuk peningkatan wealth pemegang saham ( Suharli: 2004). Investor akan sangat senang apabila mendapatkan return investasi yang semakin tinggi dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, investor dan investor potensial
memiliki kepentingan untuk mampu memprediksi berapa besar investasi mereka.
Sesuai dengan pendapat Widiatmodjo (2000 : 84) Investor selalu mencari alternative
investasi yang memberikan return tertinggi dengan tingkat risiko tertentu. Mengingat risiko yang melekat pada investasi saham lebih tinggi dari pada investasi pada
perbankan, return yang diharapkan juga lebih tinggi.
Horne dan Wachoviz (2005: 26) mendefinisikan return sebagai:”Return as benefit which related with owner that includes cash dividend last year which is paid, together with market cost appreciation or capital gain which is realization in the end of the year”. Menurut Jones (2003: 124) “return is yield and capital gain (loss)”.(1) Yield, yaitu cash flow yang dibayarkan secara periodic kepada pemegang saham dalam bentuk dividen, (2) Capital Gain (loss), yaitu selisih antara harga saham pada saat pembelian dengan harga saham pada saat penjualan. Hal tersebut diperkuat oleh
Corrado dan Jordan (2000:5) yang menyatakan bahwa “Return from investment security is cash flow and capital gain/loss”.
Investasi sendiri dapat digolongkan ke dalam dua jenis, yaitu investasi pada
real asset dan investasi pada financial asset ( Achisien, 2003 dalam Puji Fitriana 2009). Investasi pada real asset dapat dilakukan dengan membeli peralatan, pendirian pabrik, perbaikan mesin produksi, dll. Sedangkan investasi pada financial asset (instrument kauangan) dapat dilakukan pada pasar uang (berupa sertifikat deposito,
commercial paper, dll) maupun pasar modal (berupa saham, obligasi, dll). Investor
pada umumnya merupakan pihak yang sangat tidak menyukai resiko tetapi
menginginkan return yang maksimal. Untuk itulah dewasa ini , invesatsi di sektor financial menjadi primadona di kalangan investor, karena menjanjikan tingkat return yang lebih tinggi dibandingkan dengan investasi di sektor real asset maupun pasar uang ( Achisien, 2003 dalam Puji Fitriana 2009 ). Meskipun investasi di pasar modal
menjanjikan tingkat return yang lebih tinggi, namun kita perlu ingat bahwa semakin besar return, maka tingkat resikonya akan semakin besar pula. Untuk itulah sebagai seorang investor yang rasional, hal yang paling penting untuk deperhatikan adalah
bagaimana investasi dapat menghasilkan return optimal pada tingkat resiko yang minimal ( Tandelilin,2001 dalam Puji Fitriana:2009).
Pasar modal didefinisikan sebagai institusi dan prosedur yang menyediakan
semua sarana untuk bertransaksi dalam instrument keuangan jangka panjang (R.Agus
Sartono 2002 : 21). Pasar modal di Indonesia dimulai ketika Pemerintah Hindia
Belanda mendirikan Bursa Efek di Jakarta (Batavia) pada akhir tahun 1912, sejak saat
itu pasar modal Indonesia mengalami pasang surut dalam perkembangannya sejalan
dengan kondisi pemerintahan dan perekonomian Negara. Salah satu perkembangan
paling signifikan adalah yang terjadi pada tahun 1987 saat pemerintahan
mengeluarkan paket 24 Desember 1987 (PAKDES 87) yang berkaitan dengan
pengembangan pasar modal yaitu menyarankan agar perusahaan di Indonesia untuk go
public dan investor asing menginvestasikan uang mereka di Indonesia (R.Agus
Sartono 2002 : 21).
Estimasi Stock Return atau cost of equity untuk saham individual adalah hal yang sangat krusial untuk pengambilan keputusan keuangan seperti manajemen
portofolio, Capital budgeting, dan evaluasi kinerja (Husnan, S 1993 dalam Effendi:2008). Dalam memprediksi pendapatan saham yang diharapkan, ada dua
model yang sering kali digunakan para investor, yaitu Capitasl Asset Pricing Model (CAPM) dan Arbitrage Pricing Theory (APT) ( Bodie.et.al. 2005:). kedua model ini sampai saat ini masih menjadi perdebatan para ahli manajemen keuangan tentang
ketepatan model tersebut dalam memprediksi tingkat pendapatan (return) suatu saham.
Capital Asset Pricing Model (CAPM) yang diperkenalkan oleh Sharp (1964) dan Lintner (1995) merupakan model untuk menentukan harga suatu assets
pada kondisi equilibrium ( Bodie.et.al.2005:). Perhatian mengenai model
keseimbangan ini telah secara menerus dikembangkan. Beberapa diantaranya adalah
Sharpe (1964) dan Treynor (1961) yang mengembangkan formulasi mean-variance. Formulasi ini kemudian dikembangkan lebih lanjut dan diklarifikasi oleh Lintner
(1965), Mossin (1966), Fama (1968) dan Long (1972). Sebagai tambahan, Treynor
(1965), Sharpe (1966), dan Jensen (1968-1969) telah mengembangkan evaluasi
portofolio yang mendasarkan pada Capitas Asset Pricing Model ini
(Husnan,S.2002.dalam Efendi Arianto:2007). Dalam keadaan equilibrium tingkat
keuntungan yang diisyaratkan oleh pemodal untuk suatu saham akan dipengaruhi oleh
resiko saham tersebut (Tandelilin,2001:90).
Sebagian investor merasa lebih nyaman dengan adanya gagasan bahwa
diperlukan risiko yang lebih tinggi untuk mendapatkan return yang lebih tinggi. Dengan adanya tingkat ketidakpastian yang semakin tinggi, return yang diperlukan untuk mengimbangi resiko tersebut juga akan semakin tinggi yang selanjutnya akan
menurunkan harga yang ingin dibayarkan oleh investor untuk asset tersebut. Lebih
jauh lagi para ekonom telah mengasumsikan bahwa investor bersifat risk-averse, dimana mereka mau mengorbankan return mereka dengan tujuan untuk mengurangi risiko yang mereka terima. Terdapat dua jenis risiko yang mempengaruhi return pada saham (R.Agus Sartono 2002 : 169)., yaitu sebagai berikut:
Resiko sistematik (systematic risk) adalah segala jenis risiko yang mempengaruhi sejumlah besar asset, masing – masing pada tingkat yang lebih tinggi
atau lebih rendah. Risiko non-sistematik (unsystematic risk) adalah risiko yang secara spesifik mempengaruhi suatu asset atau beberapa asset saja. Jika asumsi ini benar,
maka kita akan mengharapkan investor untuk meminta return yang lebih tinggi untuk
mengimbangi risiko tambahan yang diterima oleh pemegang asset yang lebih tinggi
risikonya (R.Agus Sartono 2002 : 169).
CAPM kemudian menjadi model yang sangat populer untuk digunakan
karena kemudahan dalam aplikasinya. CAPM memprediksi bahwa hanya ada satu
jenis risiko sistematik yang mempengaruhi return saham dan risiko itu adalah “Risiko Pasar”. Selanjutnya Ross tahun 1976 memperkenalkan model kedua yaitu Arbitrage Pricing Theory (APT) yang dianggap sebagai model yang lebih baik dari CAPM
(Bodie.et.al. 2005 : 456 ). Asumsi – asumsi dalam APT bersifat lebih umum daripada
CAPM dalam mengakomodasi sumber risiko yang bervariasi. Hal ini sesuai dengan
logika bahwa faktor – faktor seperti tingkat suku bunga, inflasi, serta aktivitas bisnis
memiliki dampak yang signifikan terhadap tingkat perubahan return saham.
Weston.et.al.1996 (dalam Muhammad Madyan:2004),
Kelemahan-kelemahan empiris yang terjadi pada model Capital Asset Pricing Model (CAPM) mendorong para ahli manajemen keuangan untuk mencari model alternatif yang
menerangkan hubungan pendapatan dengan risiko saham. Pada tahun 1976 Stephen A.
Ross merumuskan sebuah teori yang disebut dengan Arbitrage Pricing Theory (APT). Meskipun model ini tidak bisa secara keseluruhan memecahkan kekurangan yang
terjadi pada model CAPM, tetapi model inilah yang pertama kali dikembangkan untuk
mencoba mengeliminir kekurangan-kekurangan yang terjadi pada model CAPM dan
mempunyai kesempatan untuk menggantikan model tersebut . APT menyatakan
bahwa harga suatu aktiva bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor, tidak hanya satu
faktor (portofolio pasar) seperti yang telah dikemukakan pada teori CAPM
(Weston.et.al.1999 dalam Gancar Candra:2004). Menurut Reilly, 2000 (dalam
Muhammad Madyan:2004), seperti halnya CAPM, APT menggambarkan hubungan
antara risiko dan pendapatan, tetapi dengan menggunakan asumsi dan prosedur yang
berbeda. Tiga asumsi yang mendasari model Arbitrage Pricing Theory (APT) adalah: (1) pasar modal dalam kondisi persaingan sempurna, (2) para investor selalu lebih
menyukai kekayaan yang lebih daripada kurang dengan kepastian, (3) hasil dari proses
Stochastic artinya bahwa pendapatan asset dapat dianggap sebagai K model faktor
(Reilly : 2000;195).
Gancar Candra Premananto dan Muhammad Madyan.2004, meneliti
mengenai Perbandingan Keakuratan Capital Asset Pricing Model (CAPM) Dan Arbitrage Pricing Theory (APT) Dalam Memprediksi tingkat pendapatan saham industri perbankan dan lembaga keuangan selain bank sebelum dan semasa krisis
ekonomi di Bursa Efek Jakarta. Hasil penelitiannya menemukan bahwa model CAPM
lebih akurat dibandingkan APT baik sebelum dan semasa krisis ekonomi. Gancar
Candra Premananto dan Muhammad Madyan (Jurnal Penelitian Dinamika 2004 : 125
- 139) juga meneliti mengenai Perbandingan Keakuratan Capital Asset Pricing Model (CAPM) Dan Arbitrage Pricing Theory (APT) Dalam Memprediksi Tingkat Pendapatan Saham Industri Manufaktur Sebelum Dan Semasa Krisis Ekonomi. Hasil
penelitiannya menemukan bahwa model CAPM lebih akurat dibandingkan APT baik
sebelum dan semasa krisis ekonomi.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Gancar Chandra Premananto
dan Muhammad Madyan ( 2004) menggunakan variabel independen yaitu CAPM dan
APT. Peneliti menguji keakuratan CAPM dan APT dalam memprediksi return saham,
dimana pergerakan keseluruhan saham direpresentasikan oleh sebuah indeks pasar
yang disebut IHSG. Selain IHSG terdapat pula indeks pasar yang hanya terdiri dari 45
saham terlikuid dan memiliki pangsa pasar yang besar yaitu LQ45. LQ-45 diciptakan
oleh BEI dan terdiri dari hanya 45 saham likuid dan berfundamental bagus. kinerja
LQ45 mampu merefleksikan pasar ekuiti, lebih praktis dan likuiditas yang jauh lebih
baik dari IHSG.
Penelitian yang dilakukan oleh Andri Hari Prasetyo Mengenai keakuratan
model CAPM dan APT dalam memprediksi return LQ 45 periode 2006 – 2008 juga
memberikan kesimpulan bahwa model CAPM Lebih Akurat dibandingkan dengan
APT yang menggunakan faktor inflasi, tingkat suku bunga dan kurs. Pada APT
menggunakan tiga variabel yaitu perubahan tingkat suku bunga yang tidak
diharapkan. Sedangkan khususnya APT pada penelitian ini penulis mencoba
menambahkan satu variabel lagi yaitu perubahan jumlah uang beredar selain tingkat
inflasi, tingkat suku bunga SBI, perubahan kurs (dalam hal ini rupiah terhadap dollar).
Pada penelitian sebelumnya variabel dependen yang digunakan adalah tingkat
pendapatan saham industri manufaktur sebelum dan semasa krisis ekonomi sedangkan
pada penelitian ini variabel dependen yang digunakan adalah return saham LQ-45 yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2006-2009.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan maka hasil analisis ini akan dapat
memperbandingkan model mana yang lebih akurat digunakan untuk memprediksi
return saham. Motivasi inilah yang mendorong untuk dilakukan sebuah penelitian tentang perbandingan keakuratan model keseimbangan CAPM dan APT. Guna
mempermudah dan memperjelas ruang lingkup pembahasan maka penelitian tersebut
akan dikhususkan pada saham-saham yang membentuk indeks LQ-45, yaitu saham
yang stabil dan aktif serta likuid, sehingga mudah diperjualbelikan baik dalam kondisi
pasar bearish maupun bullish.
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis mengambil judul skripsi
ini: ”Perbandingan Keakuratan Capital Asset Pricing Model (CAPM) Dan
Arbitrage Pricing Theory (APT) Dalam MemprediksiTingkat PendapatanSaham LQ-45 Di Bursa Efek Indonesia”.
Mengingat faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan saham amat
banyak, maka dalam pembahasan penelitian ini penulis membatasi masalah hanya
pada variabel-variabel tertentu (return market, perubahan tingkat inflasi, perubahan tingkat suku bunga SBI, perubahan kurs, dan perubahan jumlah uang yang beredar)
terhadap return saham pada beberapa perusahaan di Bursa Efek Indonesia. Ruang lingkup penelitian ini hanya dibatasi pada perusahaan-perusahaan yang hanya
terdaftar dalam LQ-45 pada Bursa Efek Indonesia. Sampel perusahaan ditentukan
dengan syarat yaitu: perusahaan - perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia
yang mempunyai data keuangan yang lengkap dan dapat diandalkan kebenarannya
dan yang saham - sahamnya aktif diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia pada tahun
2006 - 2009.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalah di dalam
penelitian ini adalah, antara lain:
1. Model Manakah (CAPM atau APT) yang lebih akurat dalam memprediksi return saham LQ-45 di Bursa Efek Indonesia.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Berdasarkan perumusan masalah di atas maka tujuan penelitian meliputi:
11 a. Menganalisis model CAPM atau APT yang lebih akurat dalam memprediksi
return saham LQ-45 di BEI.
2. Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk berbagai kepentingan, diantaranya
sebagai berikut:
a. Bagi Investor Maupun Calon Investor
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan
masukan dalam pengambilan keputusan investasi yang optimal khususnya
perusahaan yang tergolong LQ-45.
b. Bagi Penulis
Dapat mengaplikasikan ilmu manajemen khususnya bidang
keuangan dan pasar modal yang telah diperoleh selama kuliah dalam
menganalisis perbandingan keakuratan CAPM dan APT dalam memprediksi
return saham LQ-45.
c. Bagi Akademik
Dapat memberikan sedikit masukan dan informasi yang
diharapkan mampu memberikan manfaat baik dalam bidang akademik
maupun dalam bidang praktisi.
d. Bagi Peneliti Selanjutnya
Dapat memberikan masukkan bagi peneliti selanjutnya dan
menjadikan penelitian ini sebagai informasi pelengkap dalam penyusunan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Investasi
1. Pengertian Investasi
Menurut Reilly dalam Muhammad Madyan (2004 : 2) mendefinisikan investasi secara lebih spesifik yaitu sebagai pengalokasian saat ini atas sejumlah uang selama periode waktu tertentu untuk memperoleh pembayaran di masa depan yang akan memberi imbalan kepada investor atas (1) waktu selama dana dialokasikan (2) tingkat inflasi yang diharapkan (3) ketidakpastian dari pembayaran masa depan. Untuk mengelola investasi dengan baik, diperlukan suatu ilmu yang disebut dengan manajemen investasi.
Sedangkan E.A Koetin dalam Fauzan (2007;7). Investasi adalah penggunaan uang untuk objek – objek tertentu dangan tujuan bahwa objek tersebut selama jangka waktu investasi akan meningkat, paling tidak bertahan dan selama jangka waktu itu pula memberikan hasil secara teratur.
Menurut Donald E. Fischer dan Ronald J. Jordan dalam Komarruddin Ahmad (2004:1), An Investment is a commitment of funds made in the expectation of some positive rate of return. Sedangkan menurut Jack Clark Francis dalam buku yang sama juga menyatakan An Investment is a commitment of money that is expected to generate of additional money. Dalam kommarruding Ahmad (2004:3), Investasi adalah menempatkan uang atau dana dengan harapan untuk memperoleh tambahan atau kekurangan tertentu atas uang atau dana tersebut. Menurut
Bodie.et.al. (2007:54), investasi dikategorikan menjadi dua jenis yaitu asset rill
(real asset) dan asset keuangan (financial asset). Asset rill adalah bersifat berwujud seperti gedung – gedung, kendaraan, dan sebagainya. Sedangkan aset keuangan merupakan dokumen (surat – surat) klaim tidak langsung pemegangnya terhadap aktiva rill pihak yang menerbitkan sekuritas tersebut. Bagi seseorang yang ingin melakukan investasi yang menguntungkan atau setidak – tidaknya mengamankan kekayaan dari berbagai resiko yang mungkin terjadi, dia mempunyai banyak pilihan investasi.
Menurut Suad Husnan (1996:19), investasi adalah setiap penggunaan uang dengan maksud untuk memperoleh penghasilan. Dalam suatu investasi selalu dipastikan terdapat unsur risiko. Keputusan investasi berkaitan positif dengan perbandingan antara tingkat pengembalian dan risiko. Berkaitan dengan risiko dalam suatu investasi, maka terdapat dua jenis investasi berdasarkan tingkat risiko, yaitu:
a. Investasi bebas risiko: jenis investasi ini memiliki tingkat risiko yang relatif kecil, dan biasanya memberikan tingkat keuntungan rendah. Yang termasuk dalam investasi bebas risiko yaitu deposito berjangka dan obligasi.
b. Investor berisiko: suatu jenis investasi yang ditandai dengan tingkat keuntungan dan risiko yang berfluktuasi dimana investor mungkin saja tidak mendapatkan keuntungan atau sebaliknya yang termasuk dalam investasi berisiko yaitu investasi saham.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa investasi saham adalah menempatkan uang dan dana dalam pembelian efek berupa saham dengan
harapan mendapatkan tambahan atau keuntungan tertentu atas dana yang diinvestasikan dalam perdagangan saham tersebut di bursa efek.
2. Motif Investasi
Menurut Warsono dalam Aliansyah (2001:8), dalam melakukan investasi, investor dikelompokkan ke dalam tiga bentuk, yaitu:
a. Risk Seeker
Risk seeker atau yang lebih dikenal dengan pengambil risiko, yaitu investor yang di dalam melakukan investasi lebih menyukai adanya risiko. Mereka memandang, semakin besar tingkat risiko yang mereka ambil maka akan menghasilkan tingkat pengembalian (return of investment) yang besar pula.
b. Risk Averter
Risk averter atau penghindar risiko adalah investor yang enggan atau tidak suka terhadap adanya investasi. Mereka beranggapan bahwa di dalam melakukan investasi jika terdapat risiko, akan berakibatpengembalian menjadi berkurang dan bisa jadi investasi yang merekatanamkan akan hilang.
c. Risk indeference
Investor jenis ini sering pula disebut sebagai investor yang acuh terhadap risiko. Para investor tidak memandang seberapa besar risiko yang bakal mereka hadapi, mereka hanya mempunyai keinginan untuk berinvestasi. Tinggi rendahnya tingkat risiko tidak berpengaruh terhadap investor dalam berinvestasi. Sebagai surat berharga yang ditransaksikan di
pasar modal, harga saham selalu mengalami fluktuasi harga tersebut pada kekuatan penawaran dan permintaan.
Dalam pasar modal tersebut selalu mengandung kelebihan dan kekurangan. Investasi yang dilakukan selalu mengandung dua sisi yaitu keuntungan dan kerugian dalam melakukan penanaman modal.
3. Tujuan Investasi
Menurut Kommarrudin Ahmad (2004:3), ada beberapa alasan mengapa seseorang melakukan investasi, antara lain adalah:
a. Untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak di masa yang akan datang. Seseorang yang bijak akan berfikir bagaimana cara meningkatkan taraf hidupnya dari waktu ke waktu atau setidak-tidaknya bagaimana berusaha untuk mempertahankan tingkat pendapatannya yang ada sekarang agar tidak berkurang di masa yang akan datang.
b. Mengurangi tekanan inflasi. Dengan melakukan investasi dalam memilih perusahaan atau objek lain seseorang dapat menghindarkan diri agar kekayaan atau harta miliknya tidak merosot nilainya karena digerogoti oleh inflasi.
c. Dorongan untuk menghemat pajak. Beberapa negara di dunia banyak yang melakukan kebijakan yang sifatnya mendorong tumbuhnya investasi di masyarakat melalui fasilitas perpajakan yang diberikan kepada masyarakat yang melakukan investasi pada bidang-bidang usaha tertentu.
4. Jenis Investasi
Investasi sendiri dapat digolongkan ke dalam dua jenis, yaitu investasi pada real asset dan investasi pada financial asset ( Achisien, 2003 dalam Puji Fitriana 2009). Investasi pada real asse dapat dilakukan dengan membeli peralatan, pendirian pabrik, perbaikan mesin produksi, dll. Sedangkan investasi pada financial asset (instrument kauangan) dapat dilakukan pada pasar uang (berupa sertifikat deposito, commercial paper, dll) maupun pasar modal (berupa saham, obligasi, dll).
B. Teori Portofolio
Menurut R. Agus Sartono dalam manajemen keuangan (2002:259) portofolio adalah sekumpulan investasi, baik pada aktiva rill maupun pada aktiva keuangan. Teori portofolio menekankan pada usaha untuk mencari kombinasi investasi optimal yang memberikan tingkat pengembalian atau rate of return maksimal pada suatu tingkat risiko tertentu. Teori portofolio yang akan dibahas pada bagian ini lebih berfokus pada investasi pada financial asset seperti saham. Tingkat pengembalian yang diharapkan dari suatu portofolio merupakan rata – rata tertimbang dari tingkat pengembalian berbagai aktiva keuangan di dalam portofolio tersebut. Sedangkan risiko portofolio ditunjukan oleh besar kecilnya penyimpangan tingkat pengembalian yang diharapkan. Semakian besar simpangan tingkat pengembalian yang diharapkan berarti semakin besar tingkat risikonya.
C. Return Saham Dan Return Market Serta Pengukurannya
Menurut Ahmad Rodoni dan Othman Yong (2002:11), Return atau tingkat keuntungan merupakan persentase kekayaan pemegang saham untuk
sesuatu jangka waktu. Peningkatan dalam rupiah adalah sama dengan deviden tunai yang diterima dalam satu jangka waktu ditambah dengan perubahan dalam nilai saham yang berlaku pada jangka waktu tersebut. Tingkat pengembalian saham (return) merupakan suatu pendapatan saham atau tingkat keuntungan yang berasal dari perubahan harga saham dan diperoleh dari deviden yang dihasilkan ditambah selisih antara harga saham pada periode tertentu dan harga saham pada periode berikutnya (Maulidah dan Irwan Gunawan dalam Widayanti 2007:24).
Menurut Sunariyah dalam Hamidah (2005:8) tingkat pengembalian investasi saham ditentukan berdasarkan ratio perubahan harga saham individual. Indeks harga saham individual menggambarkan suatu rangkaian informasi historis mengenai pergerakan harga masing-masing saham, sampai pada periode tertentu, yang dapat berfungsi sebagai pengukuran kinerja suatu saham di bursa efek. Menurut Siebert dalam Widayanti (2007:25), total return adalah keseluruhan uang yang diterima oleh investor dalam saham, merupakan kombinasi antara deviden dan capital gain. Return saham merupakan hasil yang diperoleh dari investasi saham. Return saham dapat berupa imbalan realisasi yang sudah terjadi expected return yang belum terjadi tetapi diharapkan akan terjadi di masa mendatang.
Imbalan realisasi (realized return) merupakan imbalan yang telah terjadi. Imbalan realisasi dihitung berdasarkan data historis. Imbalan realisasi penting karena digunakan sebagai salah satu pengukur kinerja perusahaan. Imbalan ini juga berguna sebagai dasar penentuan expected return dan risiko di masa datang.
Imbalan yang diharapkan (expected return) adalah imbalan yang diharapkan akan diperoleh oleh investor di masa mendatang. Berbeda dengan
imbalan realisasi yang sifatnya sudah terjadi, imbalan harapan sifatnya belum terjadi (Jogiyanto, 2003:109). Komponen return saham meliputi :
1. Capital gain (loss), merupakan keuntungan (kerugian) bagi investor yang diperoleh dari kelebihan harga jual (harga beli) di atas harga beli harga jual) yang keduanya terjadi di pasar sekunder.
2. Dividend yield, merupakan pendapatan atas aliran kas yang diterima investor secara periodik, misalnya berupa deviden atau bunga. Yield dinyatakan dalam presentase dari modal yang ditanamkan.
Dari kedua komponen return tersebut, selanjutnya dapat dihitung
return total dan rate of return sebagai berikut :
Return Total = Capital Gain (loss) + devidend yield
Rate of Return = Cash Payment Received + Price Change Over The period
Purchase Price of The Security
Dalam melakukan penelitian biasanya return saham yang digunakan adalah return saham yang berasal dari capital gain dan dividend yield, karena
dividen mempunyai sifat yang tetap sehingga relevan jika dimasukkan ke dalam penelitian. Keputusan investor memilih suatu saham sebagai objek investasinya membutuhkan data historis terhadap pergerakan saham yang beredar di bursa, baik secara individual, kelompok, dan gabungan. Mengingat transaksi investasi saham terjadi pada setiap saham dengan variasi permasalahan yang sangat rumit dan berbeda-beda, pergerakan harga saham memerlukan identifikasi dan penyajian informasi yang bersifat spesifik (Reilly dalam Muhammad Madyan 2004 :4).
Return saham dapat dihitung dengan menggunakan formula berikut:
Rit = (Pi,t – Pi, t-1) Pi,t-1 Dimana :
Ri,t = Return saham ke-i pada periode t
Pi,t = Harga saham ke-i pada periode t
Pi,t-1 = Harga saham ke-i pada periode t
Agar keputusan investasi yang diambil para investor tidak keliru, mereka perlu juga memperhatikan tren atau pergerakan tingkat return pasar. Investor selalu mencari investasi pada saham yang returnnya lebih besar daripada
return pasar. Return pasar pada umumnya dipengaruhi oleh hargaharga saham perusahaan gabungan dan tingkat suku bunga nominal. Return pasar adalah jumlah yang disyaratkan dan digunakan sebagai solusi dari beberapa investasi dan masalah-masalah keuangan perusahaan (R. Agus Sartono 2002:84).
Return pasar dihitung dengan formula:
Return Pasar (Rm) = IHSG t – IHSG t-1 IHSG t-1 Dimana :
Rm = Return pasar
IHSG t = Indeks Harga Saham Gabungan pada periode t
IHSG t-1 = Indeks Harga Saham Gabungan pada periode sebelumnya t-1 Selain itu, investor juga perlu memperhatikan return asset yang bebas risiko agar return yang sudah diperoleh sudah melebihi return minimum yang disyaratkan. Secara teoritis, imbalan asset bebas risiko adalah imbalan minimum
yang diharapkan investor untuk investasinya sehingga investor tidak akan menerima risiko tambahan.
D. Risiko
Risiko merupakan besarnya penyimpangan antara return yang diharapkan (expected return) dengan return yang dicapai secara nyata (actual return). Semakin besar penyimpangannya berarti semakin besar tingkat risikonya. Apabila risiko dinyatakan sebagai berapa jauh hasil yang diperoleh bisa menyimpang dari hasil yang diharapkan, maka digunakan ukuran penyebaran. Alat analisis yang digunakan sebagai ukuran penyebaran tersebutadalah variance
atau standar deviasi. Semakin besar nilainya, berarti semakin besar penyimpangannya. Ini artinya, risiko akan semakin tinggi (R.Agus Sartono 2002 : 169).
Menurut Gallati dalam Ferry N. Idroes dan Sugiarto (2006:7), risiko didefinisikan sebagai “a condition in which there exist an exposure to adversity”. Bessis (2002:11) mendefinisikan risiko sebagai “Risks are uncertainties resulting in adverse variations of probability or in losses”. Kemudian Ferry N. Idroes dan Sugiarto (2006: 7) risiko didefinisikan sebagai “chance of a bad outcome”, maksudnya adalah suatu kemungkinan akan terjadinya hasil yang tidak diinginkan, yang dapat menimbulkan kerugian apabila tidak diantisipasi serta tidak dikelola semestinya.
Menurut Bramantyo Djohanputro (2006:15), pengertian dasar risiko terkait dengan keadaan adanya ketidakpastian dan tingkat ketidakpastiannya terukur secara kuantitatif. Anda dapat menghitung tingkat ketidakpastian apabila
anda dapat memperoleh informasi. jadi, yang membedakan risiko dan ketidakpastian adalah informasi. Menurut Agus Sartono dalam Fithroty (2005:8), risiko adalah penyimpangan tingkat keuntungan yang diharapkan. Semakin besar penyimpangan tingkat keuntungan yang diharapkan berarti semakin besar tingkat risikonya.
Menurut Tjiptono Darmadji dan Hendy M. Fakhruddin (2006:205), ada dua jenis risiko yaitu risiko sistematis dan risiko tidak sistematis. Risiko sistematis (Systematic Risk) adalah risiko yang selalu ada dan tidak dapat dihilangkan dengan diversifikasi. Risiko ini dihadapi seluruh perusahaan, misalnya: resesi ekonomi, risiko suku bunga, atau inflasi, merupakan risiko yang dihadapi seluruh perusahaan, pada sektor apapun perusahaan tersebut beroperasi. Risiko jenis ini sering juga disebut sebagai risiko yang tidak dapat didiversifikasi (undiversifiable risk) atau risiko pasar (market risk). Sebaliknya, risiko tidak sistematis (nonsystematic risk) merupakan jenis risiko yang hanya dihadapi sejumlah perusahaan dalam perekonomian atau risiko yang hanya berpengaruh pada sejumlah kelompok aset, contohnya: sebuah kebijakan baru yang diterapkan pada industri bank hanya berpengaruh pada bank dan tidak berdampak risiko pada perusahaan industri lain. Risiko ini sering pula disebut risiko spesifik (specific risk).
Gambar 2.1
Kurva Risiko Sistematik dan Non-Sistematik
Sumber : Stephen A. Ross,et al. (dalam Michell Suharli 2005)
E. Model Keseimbangan
Menurut Jacob dan Pettit dalam Ahmad Rodoni dan Othman Yong, (2002:117), keseimbangan pasar adalah keadaan dimana kuantitas setiap sekuritas dalam pasar modal yang lengkap menyamai kuantitas setiap sekuritas yang ditawarkan kepada pasaran, oleh investor yang ingin menjual kepemilikan mereka, oleh perusahaan yang menerbitkannya atau oleh pemerintah yang memerlukan modal untuk membiayai pembelian aset dan harga yang keseimbangan sedemikian dicapai dikenali sebagai harga keseimbangan.
1. Capital Asset Pricing Model (CAPM)
Capital Asset Pricing Model (CAPM) atau Model Penetapan Harga Aset Modal merupakan sebuah alat untuk memprediksikan keseimbangan imbal hasil yang diharapkan dari suatu aset berisiko. Pada tahun 1952, Harry Markowitz meletakkan fondasi manajemen portofolio modern. Kemudian (1964-1966), CAPM yang dipelopori oleh Sharpe, Lintner, dan Mossin
Diversifiable risk atau unsystematic risk Variance of
portofolio’s
r e t u r n
Market risk atau systematic risk
Number of securities
mengasumsikan bahwa individu melakukan investasi berdasarkan teori portofolio, yaitu setiap individu akan memaksimumkan tingkat keuntungan pada sesuatu tahap risiko (Husnan, S dalam effendi 2008).
Menurut Liliana Inggrit Wijaya (2000:60) CAPM merupakan model untuk menjelaskan besaran expected return. Pengertian Capital Asset Pricing Model (CAPM) adalah merupakan model penetapan harga sekuritas (aktiva) berisiko dalam keseimbangan pasar dalam portofolio yang terdiversifikasi dengan baik. Capital Asset Pricing Model (CAPM) mencoba untuk menjelaskan hubungan antara risk dan return. Dalam penilaian mengenai risiko biasanya saham biasa digolongkan sebagai investasi yang berisiko. Risiko sendiri berarti kemungkinan penyimpangan perolehan aktual dari perolehan yang diharapkan (possibility), sedangkan derajat risiko (degree of risk) adalah jumlah dari kemungkinan fluktuasi (amount of potential fluctuation). Menurut Suad Husnan (1998:6), Definisi CAPM bahwa antara
return dan risiko mempunyai korelasi yang positif dan linier, sehingga kenaikan risiko juga menyebabkan naiknya return, dengan demikian asumsi CAPM sangatlah rasional, yaitu risiko yang tinggi diharapkan menikmati
return yang tinggi pula.
Menurut Ahmad Rodoni dan Othman Yong (2002:118), CAPM adalah nama yang diberikan kepada satu kedudukan prinsip yang menerangkan bagaimana para investor berperilaku dalam pasaran. CAPM sangat berguna karena:
a. Secara relatif CAPM adalah mudah dan dapat dibentuk melalui aplikasi secara langsung teori portofolio.
b. Implikasinya adalah seperti Hipotesis Pasaran Efisien, yaitu CAPM telah diuji dengan data sebenarnya dan didapatkan agak sesuai dengan ramalan teori. CAPM juga dapat digunakan sebagai satu asas untuk penyesuaian selanjutnya yaitu sebagaimana yang digunakan oleh para analisis sekuritas.
Secara ringkas, asumsi-asumsi penting CAPM adalah seperti berikut:
a. Tidak ada biaya perdagangan, tidak ada pajak dan sekuritas dapat dipecah-pecahkan kepada unit terkecil.
b. Semua peserta adalah pesaing yang sempurna.
c. Semua investor mempunyai ujung investasi yang sama.
d. Investor membuat keputusan investasi berdasarkan keuntungan diharapkan portofolio dan standar deviasi keuntungan.
e. Semua investor mempunyai pengharapan secara umum yang sama.
f. Asset bebas risiko wujud dan sedia ada bagi semua investor untuk tujuan meminjam dan memberi pinjaman.
Bodie.et.al. (2006:358) menjelaskan bahwa Capital Asset Pricing Model (CAPM) merupakan hasil utama dari ekonomi keuangan modern.
Capital Asset Pricing Model (CAPM) memberikan prediksi yang tepat antara hubungan risiko sebuah aset dan tingkat harapan pengembalian (expected return). Walaupun Capital Asset Pricing Model belum dapat dibuktikan secara empiris, Capital Asset Pricing Model sudah luas digunakan karena Capital Asset Pricing Model akurasi yang cukup pada aplikasi penting. Capital Asset
Pricing Model mengasumsikan bahwa para investor adalah perencana pada suatu periode tunggal yang memiliki persepsi yang sama mengenai keadaan pasar dan mencari mean-variance dari portofolio yang optimal.
Capital Asset Pricing Model juga mengasumsikan bahwa pasar saham yang ideal adalah pasar saham yang besar, dan para investor adalah para price-takers, tidak ada pajak maupun biaya transaksi, semua aset dapat diperdagangkan secara umum, dan para investor dapat meminjam maupun meminjamkan pada jumlah yang tidak terbatas pada tingkat suku bunga tetap yang tidak berisiko (fixed risk free rate). Dengan asumsi ini, semua investor memiliki portofolio yang risikonya identik. Capital Asset Pricing Model
menyatakan bahwa dalam keadaan ekuilibrium, portofolio pasar adalah tangensial dari rata-rata varians portofolio. Sehingga strategi yang efisien adalah passive strategy. Capital Asset Pricing Model berimplikasi bahwa premium risiko dari sembarang aset individu atau portofolio adalah hasil kali dari risk premium pada portofolio pasar dan koefisien beta (Bodie.et.al.2006:359). Dalam keadaan ekulibrium hasil return yang disyaratkan (required return) oleh investor untuk suatu saham akan dipengaruhi oleh saham tersebut. Dalam hal ini risiko yang diperhitungkan hanyalah risiko sistematis (systematic risk) atau risiko pasar yang diukur dengan beta. Sedangkan risiko yang tidak sistematis (unsystematic risk) tidak relevan, karena risiko ini dapat dihilangkan dengan cara diversifikasi. Pendapatan sesungguhnya (actual return) adalah pendapatan yang telah diterima para investor dari selisih harga saham pada periode t dengan harga saham pada periode t-1 (Tjiptono 2006:205).
Pendapatan yang diharapkan (expected return) adalah pendapatan masing-masing saham yang diharapkan oleh para investor pada masa yang akan datang, yang diukur dengan menggunakan model CAPM. Pendapatan pasar (market return) adalah pendapatan yang diperoleh dari selisih Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada periode t dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada periode t-1 di Bursa Efek Indonesia (Agus Sartono,2002:115).
Menurut teori CAPM tingkat pendapatan yang diharapkan dari suatu sekuritas dapat dihitung dengan menggunakan rumus (Bodie.et.al.2005):
E (Ri) = RF + βi [ E(RM)-RF] Dimana :
E(Ri) = Tingkat pendapatan yang diharapkan dari sekuritas I yang mengandung risiko.
RF = Tingkat pendapatan bebas risiko.
E(RM) = Tingkat pendapatan yang diharapkan dari portofolio pasar.
βi = Tolak ukur risiko yang tidak bisa terdiversifikasi dari berharga yang ke-i.
Untuk mengestimasi besarnya koefisien beta, bisa digunakan
market model. Rumus dari persamaan market model adalah sebagai berikut:
Ri = αi + βi RM + ei
Dimana :
Ri = Tingkat pendapatan sekuritas i
RM = Tingkat pendapatan indeks pasar
Βi = Slope (beta)
αi = Intersep
ei = random residual error
Hubungan formal antara risiko dan tingkat keuntungan dalam investasi aset keuangan dinyatakan dengan garis pasar, yang terdiri atas dua jenis, yaitu :
a. Garis Pasar Sekuritas (Security Market Line – SML)
Hubungan antara risiko yang diukur dengan beta dengan return
yang disyaratkan ditujukan oleh garis pasar sekuritas (SML). Dalam hal ini jika beta suatu saham dapat diukur dengan tepat, maka dalam keadaan
equilibrium required return juga dapat diperkirakan. Penaksirannya didasarkan pada hasil investasi bebas risiko ditambah dengan premi risiko pasar dikalikan dengan beta (Bodie.et.al.2006:247). Dengan demikian SML dapat dirumuskan sebagai berikut :
SML = Rf + (Rm –Rf) β
Dimana :
SML = Garis pasar sekuritas
Rf = Return saham atas investasi bebas risiko
β = Kepekaan atas return saham i terhadap expected return
market
Rm-Rf = Premi risiko pasar
Beta (β) merupakan risiko yang berasal dari hubungan antara
return suatu saham dengan return pasar. Faktor-faktor yang mempengaruhi beta:
1) Cyclicality, yaitu seberapa jauh suatu perusahaan dipengaruhi perubahan kondisi makroekonomi. Semakin peka terhadap kondisi, maka beta akan semakin tinggi.
2) Operating leverage, yaitu proporsi dari biaya perusahaan yang merupakan biaya tetap.
3) Financial leverage, yaitu proporsi penggunaan utang dalam struktur pembiayaan perusahaan. Koefisien beta dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut:
β = N (Σxy) – (Σx) (Σy) N (Σx2) – (Σx)2
Semakin besar koefisien beta, maka akan semakin peka excess return suatu saham terhadap perubahan excess return portofolio pasar, sehingga saham itu akan semakin berisiko. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, tingkat return portofolio ditentukan oleh risiko sistematis atau risiko pasar yang diukur dengan beta dan tingkat return
pasar. Atau dapat dinyatakan dengan rumus Bodie.et.al. (2006:385):
Βi = Cov (Ri.Rm) Var (Rm)
keterangan:
βI = Beta saham
Cov = Covarian
Var = Varians
Ri = Return saham
Rm = Return Pasar
b. Garis Pasar Modal (Capital Market Line-CML)
Dalam penjelasan sebelumnya diketahui bahwa SML\ merupakan garis yang menghubungkan beta atau risiko pasar dengan
required return untuk semua saham, baik yang efisien maupun yang tidak efisien. Sedangkan garis pasar modal (CML) merupakan garis yang menghubungkan antara risiko total yang diukur dengan standar deviasi (σ) dengan return yang disyaratkan (required return) portofolio yang efisien saja ( Bodie, et al:2006) Hubungan risiko total dengan imbalan yang disyaratkan (required return) pada investasi yang efisien dinyatakan sebagai CML dan dirumuskan sebagai berikut :
CML = Rf + (Rm – Rf) SDp SDm
Dimana :
CML = Garis pasar modal
Rf = imbalan atas investasi bebas risiko
SDm = Standar deviasi (total risk) pasar
SDp = Standar deviasi (total risk) portofolio
Rm-Rf = Premi risiko pasar
2. Arbitrage Pricing Theory (APT)
Capital Asset Pricing Model bukanlah satu-satunya teori yang mencoba menjelaskan bagaimana suatu aktiva ditentukan harganya oleh pasar. Ross (1976) merumuskan suatu teori yang disebut sebagai Arbitrage Pricing Theory (APT). Menurut Robert Ang (1997:214), APT (Arbitrage Pricing Theory) menggunakan return dari suatu aset (sekuritas) yang dikaitkan dengan beberapa faktor yang dikaitkan dengan beberapa faktor yang mempengaruhi pasar. APT ini digunakan untuk memprediksi harga suatu saham di masa yang akan datang. Ross dalam Bodie et al. (2006:446), APT didasarkan pada tiga proporsi, yaitu:
- Imbal hasil sekuritas dapat dijelaskan dengan sebuah model faktor.
- Terdapat cukup banyak sekuritas untuk menghilangkan risiko istimewa dengan diversifikasi.
- Pasar sekuritas yang berfungsi tidak baik tidak memugkinkan terjadinyapeluang arbitrase secara terus menerus.
Menurut Suad Husnan (2001:197), APT pada dasarnya menggunakan pemikiran yang menyatakan bahwa dua kesempatan investasi yang memepunyai karakteristik yang identik sama tidaklah bisa dijual dengan harga yang berbeda. Apabila aktiva yang karakteristik sama tersebut terjual dengan harga yang berbeda, maka akan dapat kesempatan untuk melakukan
arbitrage dengan membeli aktiva yang berharga murah pada saat yang sama menjual dengan harga yang lebih tinggi sehingga memperoleh laba tanpa risiko. Arbritrage Pricing Theory (APT) tidak menggunakan asumsi apapun
tentang portofolio pasar. APT hanya mengatakan bahwa tingkat keuntungan suatu saham dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu, yang jumlahnya bisa lebih dari satu.
Seperti halnya CAPM, teori pembentukan harga arbitrase (Arbitrage Pricing Theory-APT) menekankan bahwa tingkat keuntungan yang diharapakan tergantung pada pengaruh faktor-faktor makro ekonomi dan tidak oleh risiko unik. Kita bisa menganggap faktor-faktor yang ada pada APT adalah portofolio-pertofolio khusus yang cenderung dipengaruhi oleh pengaruh bersama. Daya tarik APT adalah bahwa kita tidak perlu mengidentifikasikan market portfolio (yang diperlukan untuk menghitung beta dalam CAPM) disamping itu APT memungkinkan penggunaan lebih dari satu faktor untuk menjelaskan tingkat keuntungan yang diharapkan.
Menurut Reilley dalam Muhammad Madyan (2004:6), APT menggambarkan hubungan antara risiko dan pendapatan, tetapi dengan menggunakan asumsi dan prosedur yang berbeda. Tiga asumsi yang mendasari model Arbitrage Pricing Theory (APT) adalah:
- Pasar Modal dalam kondisi persaingan sempurna,
- Para Investor selalu lebih menyukai kekayaan yang lebih daripada kurang dengan kepastian,
- Hasil dari proses stochastic artinya bahwa pendapatan asset dapat dianggap sebagai K model faktor.
Dari asumsi yang menyatakan investor percaya bahwa pendapatan sekuritas akan ditentukan oleh sebuah model faktorial dengan k faktor risiko.
Dengan demikian, dapat ditentukan pendapatan aktual untuk sekuritas i dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Ri,t = ai + bi1F1t + bi2 F2t + … …+ bik Fkt + eit
Dimana :
Ri,t = Tingkat pendapatan sekuritas i pada periode t
ai = Konstanta
bik = Sensitivitas pendapatan sekuritas i terhadap faktor k
Fkt = Faktor k yang mempengaruhi pendapatan
eit = random error.
Untuk menghitung pendapatan sekuritas yang diharapkan pada model APT dapat digunakan rumus sebagai berikut:
E(Ri,t) = ai + bi1F1t + bi2 F2t + … …+ bik Fkt Keterangan :
E(Ri,t)= Tingkat pendapatan yang diharapkan sekuritas i pada
periode t
ai = Konstanta
bik = Sensitivitas pendapatan sekuritas i terhadap faktor k pada
periode t
Fkt = Faktor k yang mempengaruhi pendapatan pada periode t
eit = random error
Menurut Bodie.et.al. (2006:456), APT adalah model yang sangat menarik. Ini tergantung pada asumsi bahwa keseimbangan rasional di pasar modal akan menghilangkan peluang arbitrage. Pelanggaran terhadap hubungan pembentukan harga dalam APT akan menyebabkan tekanan yang sangat kuat untuk mengembalikan harga meskipun hanya sedikit sekali investor yang menyadari adanya ketidakseimbangan tersebut. Selanjutnya, APT menghasilkan hubungan antara imbal hasil yang diharapkan dengan beta yang menggunakan portofolio yang terdiversifikasi dengan baik yang prakteknya dapat dibentuk dari sejumlah besar sekuritas.
Menurut Ahmad Rodoni dan Othman Yong (2002:171), APT sebenarnya adalah berasaskan CAPM, tetapi ia telah mempertimbangkan faktor-faktor lain yang mempengaruhi keuntungan sekuritas memandang dunia jadi semakin kompleks. Faktor-faktor ini akan memberi kesan yang berlainan kepada sekuritas yang berlainan. Jadi, bagi sekuritas i dalam jangka waktu t, keuntungannya dapat diwakili oleh kombinasi antara pengharapan keuntungan seimbang dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Pengharapan keuntungan seimbang ini adalah ditentukan oleh permintaan dan penawaran sekuritas perusahaan. Faktor-faktor yang akan mempengaruhi keuntungan sekuritas adalah terdiri dari faktor makro dan mikro. Contoh faktor-faktor makro ialah seperti inflasi, politik, tingkat bunga, dan lain-lain.
a. Analisis Faktor
Menurut Mankiw (dalam Widayanti, 2007) Analisis faktor adalah suatu analisis data untuk mengetahui faktor-faktor yang dominan dalam menjelaskan suatu masalah. Pada penelitian ini akan di ketahui
faktor-faktor dominan yang menentukan return LQ 45 dengan APT. Misalkan ada sekitar 4 peubah bebas yang dianggap berpengaruh besar sehingga digunakan untuk menentukan hal tersebut. Analisis faktor akan menentukan faktor-faktor apa saja dari ke 4 peubah tersebut yang merupakan faktor-faktor dominan dalam menentukan return LQ 45. Analisis Faktor dapat dipandang sebagai perluasan analisis komponen utama yang pada dasarnya bertujuan untuk mendapatkan sejumlah kecil faktor yang memiliki sifat-sifat:
- Mampu menerangkan semaksimal mungkin keragaman data,
- Faktor-faktor tersebut saling bebas, dan Tiap-tiap faktor dapat diinterpretasikan.
F. Variabel-variabel Makroekonomi
Menurut Mankiw (dalam Widayanti, 2007:14), makro ekonomi adalah studi mengenai perekonomian secara keseluruhan. Sedangkan menurut Case dan Fair dalam Widayanti (2007:15), makroekonomi membahas agregat seperti konsumsi agregat dan investasi agregat, melihat tingkat harga keseluruhan dan bukan harga individual. Perhatian utamanya inflasi, pertumbuhan keluaran, pendapatan nasional, dan pengangguran.
1. Inflasi
Menurut Sasana (dalam Widayanti, 2007:19), Inflasi adalah Keadaan dimana terjadi kelebihan permintaan barang dalam perekonomian suatu negara secara keseluruhan. Inflasi merupakan fenomena ekonomi yang berkaitan dengan dampaknya terhadap makro ekonomi agregat, pertumbuhan
ekonomi, keseimbangan eksternal, daya saing, tingkat bunga dan bahkan distribusi pendapatan. Inflasi juga sangat barperan dalam mempengaruhi mobilisasi dana lewat lembaga keuangan formal. Tingkat harga merupakan
opportunity cost bagi masyarakat dalam memegang aset finansial. Semakin tinggi perubahan tingkat harga maka makin tinggi pula opportunity cost untuk memegang aset finansial. Artinya masyarakat akan merasa lebih beruntung jika memegang aset dalam bentuk rill dibandingkan aset finansial jika tingkat harga tetap tinggi. Jika asset finansial luar negeri dimasukkan sebagai salah satu pilihan aset, maka perbedaan tingkat inflasi dalam negeri dan internasional dapat menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing menjadi overvalued dan pada gilirannya akan menghilangkan daya saing komoditas Indonesia.
Menurut Sukirno dalam Widayanti (2007:20), dalam ilmu ekonomi, inflasi memang selalu terjadi. Kenaikan harga barang lebih baik daripada penurunan harga barang, karena akan memicu produsen untuk menghasilkan lebih banyak barang. Yang harus dikendalikan adalah berapa besar nilai inflasinya, agar jangan sampai mengganggu daya beli masyarakat. Untuk mengukur tingkat inflasi, indeks harga yang digunakan adalah indeks harga konsumen. Indeks harga konsumen adalah indeks harga dan barang-barang yang selalu digunakan para konsumen. Akibatnya suatu perekonomian dalam masa inflasi terdapat kecendrungan di antara pemilik modal untuk menggunakan uangnya dalam investasi bersifat spekulatif dan tingkat harga meningkat sehingga dapat mengurangi investasi. Hal ini menimbulkan ketidakpastian mengenai keadaan ekonomi masa depan. Dalam ilmu ekonomi,
inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus (kontinu). Dengan kata lain, inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu. Inflasi adalah proses dari suatu peristiwa, bukan tinggi-rendahnya tingkat harga. Artinya, tingkat harga yang dianggap tinggi belum tentu menunjukan inflasi. Inflasi dianggap terjadi jika proses kenaikan harga berlangsung secara terus-menerus dan saling pengaruh-mempengaruhi. Istilah inflasi juga digunakan untuk mengartikan peningkatan persediaan uang yang kadangkala dilihat sebagai penyebab meningkatnya harga. Inflasi merupakan permasalahan perekonomian dalam bidang moneter yang ditakuti oleh semua negara. Inflasi tidak akan memilih sasarannya apakah itu negara maju atau pun negara berkembang. Perbedaannya hanya pada tingkat inflasi yang dialami. Pengertian inflasi sering didefinisikan dengan kalimat yang berbeda-beda tetapi semuanya mempunyai makan sama yaitu membicarakan mengenai barang kebutuhan masyarakat yang harganya naik secara terus menerus. Dengan kata lain inflasi diartikan sebagai suatu kecenderungan terjadinya kenaikan harga-harga umum secara terus menerus.
Dilihat dari asalnya, tekanan inflasi dapat dibedakan atas domestic pressures (berasal dari dalam negeri) dan external pressures (berasal dari luar negeri). Tekanan yang berasal dari dalam negeri dapat diakibatkan oleh adanya gangguan dari sisi penawaran dan permintaan serta kebijakan yang diambil oleh instansi lain di luar BI, misalnya kebijakan penghapusan subsidi pemerintah, kenaikan pajak, dan lain-lain. Gangguan dari sisi penawaran dapat timbul apabila terjadi musim kering yang mengakibatkan gagal panen, terjadinya bencana alam, gangguan distribusi tidak lancar dan adanya
kerusuhan-kerusuhan sosial yang berakibat terputusnya pasokan dari luar daerah. Gangguan dari sisi permintaan dapat terjadi apabila otoritas moneter menerapkan kebijakan uang longgar.
Inflasi dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu inflasi ringan, sedang, berat, dan hiperinflasi. Inflasi ringan terjadi apabila kenaikan harga berada di bawah angka 10% setahun; inflasi sedang antara 10%-30% setahun; berat antara 30%-100% setahun; dan hiperinflasi atau inflasi tak terkendali terjadi apabila kenaikan harga berada di atas 100% setahun.
Untuk mengukur pertumbuhan inflasi dapat digunakan formula sebagai berikut:
pinflasi = (inflasi t – inflasi t-1) inflasi t-1 Keterangan:
P inflasi = perubahan tingkat inflasi
inflasi t = tingkat inflasi pada periode ke-t
inflasi t-1 = tingkat inflasi pada periode sebelum ke-t
Dari segi penyebab awal inflasi, inflasi dibagi menjadi tiga, yaitu:
a. Inflasi yang timbul karena permintaan masyarakat akan berbagai barang terlalu kuat. Inflasi semacam ini disebut demand pull inflation.
b. Inflasi yang timbul karena kenaikan ongkos produksi secara terus menerus. Inflasi ini disebut dorongan ongkos atau cost push inflation.
c. Inflasi permintaan dan penawaran, inflasi ini disebabkan kenaikan permintaan di satu sisi dan penurunan penawaran di sisi lain. Kejadian ini akan menjadi penyebab timbulnya karena orang yang menginginkan barang bertambah sedangkan orang yang menjual barang berkurang.
2. Suku Bunga SBI
Suku bunga adalah biaya yang harus dibayar oleh peminjam atas pinjaman yang diterima dan merupakan imbalan bagi pemberi pinjaman atas investasinya. Tingkat suku bunga digunakan pemerintah untuk mengendalikan tingkat harga ketika tingkat harga tinggi dimana jumlah uang yang beredar di masyarakat banyak, konsumsi masyarakat yang tinggi diantisipasi oleh pemerintah dengan menetapkan tingkat bunga yang tinggi. Dengan tingkat suku bunga yang tinggi diharapkan uang yang beredar berkurang karena masyarakat akan menginvestasikan uangnya di tabungan pada bank yang menggunakan tingkat suku bunga tersebut sebagai alat untuk mengendalikan jumlah uang beredar (Widayanti, 2007:17).
Adapun cara untuk menghitung suku bunga SBI adalah sebagai berikut :
pSBI = SBI rate t
12 Keterangan:
pSBI rate = perubahan suku bunga BI rate
SBI rate t = suku bunga BI rate periode ke-t
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) merupakan instrumen investasi jangka pendek (kurang dari satu tahun) yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, yang fungsi utamanya adalah untuk menjaga stabilitas moneter Indonesia. Dengan menerbitkan SBI (yang dilakukan melalui mekanisme lelang), maka BI dapat menyerap likuiditas (uang yang beredar di masyarakat), sehingga nilai tukar rupiah dapat dikendalikan. Biasanya pembeli SBI itu mayoritas adalah kalangan investor asing dan korporasi, seperti dana pensiun, asset management, asuransi, dan lain-lain. Dampak dari tingkat bunga yang tinggi adalah menurunnya harga saham karena dengan meningkatnya suku bunga, maka masyarakat akan lebih memilih investasi dalam bentuk tabungan atau deposito daripada menginvestasikan pada saham.
3. Kurs (Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar)
Menurut Sadono Sukirno dalam Fauzan (2007), kurs (nilai tukar) atau valas adalah suatu nilai yang menunjukkan mata uang dalam negeri yang diperlukan untuk mendapatkan suatu unit mata uang asing. Sedangkan menurut Husnan dalam Fauzan (2007), menyatakan bahwa kurs valas di Indonesia biasanya dinyatakan sebagai berapa rupiah yang diperlukan oleh bank untuk membeli satu untuk mata uang (kurs beli) dan berapa rupiah yang akan diterima kalau menjual satu unit mata uang asing (kurs jual).
Untuk menghitung kurs adalah dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
pKurs = (Kurs tengah t – Kurs tengah t-1) Kurs tengah t-1
Keterangan:
pKurs = perubahan kurs
Kurs tengah t = kurs tengah periode ke-t
Kurs tengah t-1 = kurs tengah sebelum periode ke-t
Nilai sebuah mata uang, yakni nilai tukarnya terhadap mata uang lain, tergantung pada daya tarik mata uang tersebut di pasar. Jika permintaan akan sebuah mata uang tinggi, maka harganya akan naik relatif terhadap mata uang lainnya. Akan tetapi, perubahan dalam kondisi politik suatu negara atau menurunnya perekonomian akibat laju inflasi yang tinggi dan defisit perdagangan, dapat juga mengakibatkan nilai sebuah mata uang yang stabil jatuh, karena para investor lebih memilih menukarkan uangnnya ke mata uang lain yang dianggap lebih stabil. Yang dimaksud dengan kurs valuta asing adalah perbandingan nilai tukar mata uang suatu negara dengan negara lain. Kurs valuta asing adalah perbandingan nilai tukar mata uang suatu negara dengan negara lain. Nilai kurs terbagi menjadi dua, yaitu kurs jual dan kurs beli. Kurs jual adalah harga jual valuta asing atau bank atau money changer. Kurs beli adalah kurs yang diberlakukan bank apabila bank membeli valuta asing.
4. Jumlah Uang Yang Beredar
Sejak pertama peradaban manusia mengenal uang sebagai alat bantu pembayaran, hingga saat ini telah terjadi evolusi dalam system pembayaran (Samuelson, 2006:36). Perkembangan cara masyarakat untuk melakukan pembayaran dalam transaksi ekonomi akan mempengaruhi makna uang di masa-masa yang akan datang. Menurut Iskandar Putong (2003:157) Uang beredar terdiri atas tiga jenis yaitu:
a. Uang kartal, (logam dan kertas) yang ada di tangan masyarakat (di luar bank umum) dan siap dibelanjakan, setiap saat dikeluarkan oleh bank sentral.
b. Uang giral, yaitu uang di rekening giro (demand deposits) yang diciptakan oleh bank-bank umum atau dikenal BPUG (Bank umum Pencipta Uang Giral).
c. Uang kuasi, yaitu uang dalam bentuk tabungan (saving deposits) dan deposito berjangka (time deposit) yang dikeluarkan oleh bank-bank umum.
Adapun jenis-jenis uang beredar di Indonesia terdiri dari dua macam:
a. Uang beredar dalam arti sempit (M1) yaitu kewajiban sistem moneter (bank sentral dan bank umum) terhadap sektor swasta domestic (penduduk) meliputi uang kartal (C) dan uang giral (D).
b. Uang beredar dalam arti luas (M2) disebut juga Likuiditas Perekonomian yaitu kewajiban sistem moneter terhadap sektor swasta domestik meliputi M1 ditambah uang kuasi (T). Untuk menghitung jumlah uang yang beredar dapat menggunakan rumus sebagai berikut :
pJUB = (JUB t – JUB t-1) JUB t-1 Keterangan:
pJUB = perubahan jumlah uang yang beredar
JUB t = jumlah uang yang beredar periode ke-t
JUB t-1 = jumlah uang yang beredar sebelum periode ke-t