• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Sistem Kromatografi Lapis Tipis-Densitometri sebagai Metode

2. Penentuan fase gerak untuk sistem KLT

Kromatografi yang digunakan pada sistem KLT dalam penelitian ini adalah kromatografi partisi dan absorbsi, dengan fase normal. Hal ini dikarenakan air yang terdapat pada lempeng silika tidak dihilangkan. Pengembangan dilakukan secara ascending sepanjang 15,5 cm dengan bejana yang sebelumnya telah dijenuhkan dengan fase gerak yang diuji.

Penentuan fase gerak yang diuji didasarkan atas modifikasi temuan Rakesh, Patil, Salunkhe, Dhabale, dan Burade (2009) dengan fase gerak toluena - etil asetat - asam format (5:4:0,2). Modifikasi digunakan untuk memperoleh fase gerak yang mempunyai nilai log P hampir sama dengan kuersetin 1,82. Fase gerak toluena - etil asetat - asam format (11:8:1) mempunyai log P gabungan, yaitu 1,81. Pada penentuan fase gerak ini, sesuai dengan rancangan percobaan, larutan yang sampel yang digunakan tidak melalui proses partisi dengan heksana, hanya melalui partisi air-etil asetat saja. Tujuannya adalah partisi air-etil asetat merupakan langkah penting untuk mengganti pelarut ekstrak segar menjadi ekstrak fraksi etil asetat dalam pelarut metanol, sedangkan partisi dengan heksana ditujukan sebagai salah satu proses clean up, yaitu suatu prosedur untuk membersihkan atau mengurangi jumlah senyawa lain di dalam ekstrak agar nantinya dapat meminimalkan gangguan dalam pengukuran kadar kuersetin. Pada tahap ini, tidak digunakan partisi heksana agar dapat didapatkan ekstrak yang

52

mempunyai pengotor masih banyak, sehingga fase gerak yang nantinya ditentukan mempunyai robustness yang cukup baik, dan akhirnya pada pelaksanan penelitian nantinya adanya pengaruh perbedaan jenis metode ekstraksi yang dilakukan , perbedaan faktor-faktor dalam ekstraksi, serta jika dilakukan perubahan prosedur penyiapan sampel, maka fase gerak yang didapatkan ini masih dapat digunakan dengan hasil yang baik.

Berdasarkan data yang didapat, fase gerak modifikasi toluena - etil asetat - asam format (11:8:1) belum menghasilkan resolusi yang baik. Nilai resolusinya berturut-turut adalah 0,614 dan 0,955. Maka modifikasi fase gerak dilanjutkan untuk memperbaiki resolusi.

Tabel V. Tabel nilai perbandingan As dan Rf bercak hasil elusi larutan baku kuersetin dan Rs, dan Rf bercak kuersetin pada larutan sampel dengan berbagai macam fase gerak (A-K)

Kompo-sisi Klorof orm Tolu -ena Etil asetat Ase -ton Asam format As Rs1 Rs2 Rf baku Rf sampel A - 10 8 - 1 2 0,689 0,988 0,39 0,38 B - 11 8 - 1 1,33 0,614 0,955 0,38 0,38 C - 12 7 - 1 1,6 1,014 1,183 0,34 0,33 D - 13 6 - 1 1,166 0,983 1,37 0,34 0,32 E - 14 5 - 1 1 1,44 1,67 0,23 0,22 F - 14 5 - 0,5 2,33 1,1 1,3 0,19 0,19 G 6 8 4 - 1 4,166 0,674 1,587 0,22 0,22 H 6 8 6 - 1 3,5 0,603 1,003 0,34 0,34 I - 14 - 5 1 1 1,433 1,459 0,26 0,26 J - 15 - 5 1 1 1,228 1,72 0,25 0,24 K - 16 - 5 1 1,6 0,809 1,935 0,24 0,24

Berdasarkan tabel IV, maka dapat dapat dipelajari beberapa hal : pada fase gerak dengan komponen A – E, dapat dicermati bahwa peningkatan jumlah toluena, atau penurunan prosentase etil asetat dalam fase gerak, akan menyebabkan penurunan faktor retardasi kuersetin, peningkatan resolusi puncak

densitogram kuersetin terhadap puncak di sekitarnya, serta cenderung untuk mengurangi tailing sehingga menjadikan puncak semakin simetris.

Gambar 13. Struktur kuersetin

Kuersetin, yang mempunyai banyak gugus hidroksi, menjadikan senyawa tersebut cenderung bersifat polar. Dengan sistem kromatografi normal, etil asetat yang mempunyai gugus ester, cenderung dapat berinteraksi dengan kuersetin dan dalam kromatografi partisi, menjadikan kelarutan kuersetin lebih tinggi seiring dengan penambahan jumlah etil asetat dalam fase gerak yang diujikan, sehingga faktor retardasi naik seiring dengan penambahan etil asetat. Hal sebaliknya ditunjukkan oleh toluena, yang cenderung bersifat nonpolar. Semakin banyak jumlah toluena yang ada dalam fase gerak, maka kelarutan kuersetin dalam fase gerak akan semakin kecil yang akan berakibat faktor retardasinya akan semakin kecil.

Berdasarkan tabel IV di atas, seiring dengan penambahan toluena dan penurunan etil asetat dalam campuran fase gerak, maka resolusi puncak densitogram kuersetin terhadap puncak di sekitarnya akan semakin besar. Untuk mengamati pengaruh etil asetat dan toluena pada pemisahan kuersetin, maka perlu diperhatikan lebar puncak densitogram dan selisih faktor retardasi puncak sekitar kuersetin dengan kuersetin.

54

Tabel VI. Tabel nilai perbandingan As dan Rf bercak hasil elusi larutan baku kuersetin dan Rs, dan Rf bercak kuersetin pada larutan sampel dengan berbagai macam fase gerak (A-E)

Kom- po-sisi Tolu-en Etil asetat Asam format

Lebar puncak densitogram (dalam satuan rf) Selisih Rf puncak dengan Rf kuersetin Kiri puncak kuersetin Kuersetin Kanan puncak kuersetin Rf Kiri puncak kuersetin Rf Kanan puncak kuersetin A 10 8 1 0,07 0,05 0,05 0,04 0,05 B 11 8 1 0,11 0,06 0,05 0,05 0,05 C 12 7 1 0,06 0,04 0,04 0,05 0,05 D 13 6 1 0,06 0,04 0,05 0,05 0,06 E 14 5 1 0,05 0,03 0,04 0,06 0,06

Berdasarkan tabel VI, maka dapat dilihat bahwa : Pertama, seiring dengan penambahan toluena dan penurunan etil asetat, maka puncak densitogram akan cenderung semakin menyempit. Hal itu disebabkan karena kelarutan kuersetin akan menurun dalam fase gerak jika toluena ditambah atau etil asetat diturunkan. Hal ini berkaitan dengan difusi longitudinal dan aksial yang terjadi pada saat pengembangan. Dengan difusi longitudianal dan aksial, maka semakin besar kelarutan kuersetin maka dalam fase gerak maka akan semakin mudah bagi kuersetin untuk menyebar. Begitu pula sebaliknya, semakin kecil kelarutan kuersetin dalam fase gerak, maka difusi kuersetin ke segala arah akan semakin kecil, dan puncak densitogram akan semakin kecil.

Kedua, jarak puncak kuersetin ke puncak lainnya mengalami kenaikan dengan bertambahnya toluena atau berkurangnya etil asetat. Dengan adanya toluena, maka akan ada perbedaan kelarutan kuersetin dengan senyawa yang menghasilkan bercak di sekitar puncak kuersetin sehingga jika dilakukan kromatografi, akan menghasilkan pemisahan. Semakin besar toluena, semakin

besar pula perbedaan kelarutan tersebut, yang berarti nilai pemisahan semakin besar.

Berdasarkan tabel IV di atas, penambahan jumlah toluena dan penurunan etil asetat dalam fase gerak jika asam format yang ditambahkan sama, juga akan mengurangi tailing dan menjadikan puncak densitogram pada larutan baku menjadi semakin simetris. Kemungkinan adanya tailing dapat dikarenakan terlalu kuatnya interaksi antara kuersetin dan silika.

Hal yang dapat disimpulkan dari percobaan pengujian fase gerak dengan komposisi A – E adalah pemisahan semakin bagus dengan penambahan prosentase jumlah toluena pada jumlah asam format 1 ml, diiringi dengan menurunnya faktor retardasi bercak. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, dicoba untuk memaksimalkan jumlah toluena dalam fase gerak tanpa melanggar ketentuan bahwa nilai faktor retardasi harus lebih dari 0,2. Dan pada penelitian ini, pada komposisi yang dicoba, fase gerak yang terbaik dari A-E adalah fase gerak E yang berupa campuran toluena - etil asetat - asam format (14:5:1) menghasilkan puncak densitogram yang simetris (As=1), serta resolusi paling besar (Rs1=1,44 dan Rs2=1,67), dengan faktor retardasi pada baku dan sampel berturut-turut 0,23 dan 0,22. Tidak dilakukan penambahan jumlah toluena atau penurunan jumlah etil asetat lagi karena faktor retardasi yang sudah hampir mendekati batas ketentuan.

Faktor retardasi yang mendekati batas tersebut dikhawatirkan berubah oleh karena suatu faktor tertentu nantinya pada waktu percobaan. Hal yang ingin dicegah adalah turunnya faktor retardasi sehingga akan melanggar batas ketentuan

56

faktor retardasi yang baik, yaitu minimal 0,2. Jika faktor retardasi di bawah 0,2 dikhawatirka pemisahan senyawa tersebut belum baik. Oleh karena itu dicoba dilakukan usaha untuk menaikkan faktor retardasi antara lain dengan mengganti toluena dengan campuran toluena:kloroform, serta mengganti etil asetat dengan aseton.

Tabel VII. Tabel nilai perbandingan As dan Rf bercak hasil elusi larutan baku kuersetin dan Rs, dan Rf bercak kuersetin pada larutan sampel dengan berbagai macam fase gerak

(E,G, dan H) Kompo-sisi Kloroform Tolu-en Etil asetat Asam format As Rs1 Rs2 Rf baku Rf sampel E - 14 5 1 1 1,44 1,67 0,23 0,22 G 6 8 4 1 4,166 0,674 1,587 0,22 0,22 H 6 8 6 1 3,5 0,603 1,003 0,34 0,34

Berdasarkan tabel VII di atas, terlihat bahwa penggantian toluena dengan campuran toluena dan kloroform tidak terlalu menaikkan faktor retardasi bercak, serta justru menyebabkan puncak densitogram tailing dan menyebabkan resolusi pemisahan menjadi kurang baik. Perbedaan komposisi fase gerak G dan H terletak pada jumlah etil asetat, di mana pada komposisi G, jumlah etil asetat yang ditambahkan adalah 4 ml, sedangkan pada H 6 ml. Kenaikan etil asetat akan menaikkan kelarutan kuersetin pada fase gerak. Hal itu menyebabkan interaksi air pada silika pada kuersetin semakin lemah dibanding dengan fase gerak sehingga mengurangi tailing, yang ditunjukkan dengan As yang menurun (As komposisi G=4,155;As komposisi H=3,5).

Tabel VIII. Tabel nilai perbandingan As dan Rf bercak hasil elusi larutan baku kuersetin dan Rs, dan Rf bercak kuersetin pada larutan sampel dengan berbagai macam fase gerak

(E, I, J, dan K) Kompo-sisi Tolu-en Etil asetat Ase-ton Asam format As Rs1 Rs2 Rf baku Rf sampel E 14 5 - 1 1 1,44 1,67 0,23 0,22 I 14 - 5 1 1 1,433 1,459 0,26 0,26 J 15 - 5 1 1 1,228 1,72 0,25 0,24 K 16 - 5 1 1,6 0,809 1,935 0,24 0,24

Berdasarkan tabel VIII, dapat dilihat bahwa faktor retardasi bercak kuersetin lebih tinggi dengan penggantian etil asetat dengan aseton. Namun, resolusi puncak densitoram di sebelah kanan kuersetin menjadi lebih buruk. Ini mengindikasikan bahwa kuersetin lebih larut dalam aseton dibandingkan dengan etil asetat, sehingga pada waktu elusi, kuersetin akan terbawa lebih jauh. Hal itu juga dikarenakan eluent strength dari aseton pada silika (0,47-0,53) lebih besar daripada etil asetat (0,38-0,48).

Pada larutan baku kuersetin, terlihat bahwa semakin banyak toluena yang ditambahkan, namun aseton dan asam format yang ditambahkan tetap, hal yang terjadi adalah puncak densitogram semakin tailing. Hal ini seperti telah dijelaskan di atas, juga diakibatkan oleh kelarutan kuersetin dalam fase gerak yang berkurang karena penambahan toluena, dan kelarutan kuersetin dalam air pada permukaan silika lebih besar.

Resolusi pemisahan puncak-puncak kuersetin dari puncak di sekitarnya menjadi berkurang ketika etil asetat diganti menjadi aseton. Dan karena faktor retardasi masih dimungkinkan untuk diturunkan maka dilakukan peningkatan toluena pada komposisi fase gerak, dan hasilnya adalah resolusi puncak densitogram kuersetin dengan puncak di sebelah kiri (Rs1) mengalami penurunan

58

seiring peningkatan toluena, sedangkat resolusi puncak densitogram kuersetin dengan puncak di sebelah kanannya (Rs2) mengalami kenaikan yang relatif besar. Hal ini berkaitan dengan kelarutan serta interaksi senyawa dengan fase gerak.

Berdasarkan semua hal di atas, maka dipilih fase gerak E, yaitu fase gerak yang berupa campuran toluena - etil asetat - asam format (14:5:1) karena mempunyai puncak simetris dan nilai resolusi terbaik.

Dokumen terkait