• Tidak ada hasil yang ditemukan

SURAT PERNYATAAN

DAFTAR LAMPIRAN

A. PENELITIAN TAHAP

2. Penentuan Waktu Terbaik

Lama ekstraksi ditentukan dengan proses ekstraksi minyak dari limbah bahan pemucat menggunakan pelarut isopropanol, pelarut tersebut memiliki tingkat kepolaran yang lebih tinggi dibandingkan pelarut n-heksana sehingga diasumsikan sulit mengikat minyak (Gritter et al., 1991). Penentuan lama ekstraksi ditandai dengan perubahan warna pelarut pada kolom soxhlet mendekati

jernih dengan rendemen yang paling maksimum. Proses ekstraksi SBE disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Proses Ekstraksi

Dari hasil penelitian diketahui bahwa pada jam ke-12 warna pelarut pada kolom soxhlet mendekati jernih namun memiliki rendemen sebesar 18,25 %, nilai tersebut masih dapat ditingkatkan dengan meningkatkan lama ekstraksi. Penentuan rendemen tersebut tidak terlalu dipengaruhi oleh warna pelarut yang pudar, oleh karena itu dilakukan ekstraksi dengan meningkatkan lama ekstraksi yaitu pada 14 dan 16 jam. Rendemen yang dihasilkan untuk setiap lama ekstraksi disajikan pada Gambar 6.

21 Dari hasil yang didapatkan rendemen pada lama ekstraksi 14 jam sebesar 19,68 % sedangkan lama ekstraksi selama 16 jam menghasilkan rendemen 19,65 %. Perbedaan rendemen pada lama ekstraksi selama 14 jam dan 16 jam tidak berbeda nyata dan sudah terlihat konstan. Berdasarkan data yang dihasilkan pada penelitian tahap I, dapat disimpulkan bahwa waktu terbaik yang akan digunakan untuk ekstraksi pada penelitian tahap II adalah ekstraksi selama 14 jam.

B. PENELITIAN TAHAP II 1. Rendemen

Proses ekstraksi minyak dari limbah bahan pemucat (spent bleaching earth) dilakukan dengan 2 jenis pelarut dan lama ekstraksi yang sama yaitu 14 jam menghasilkan rendemen yang berbeda. Rendemen minyak hasil recovery pada penelitian ini berkisar antara 16,1% sampai 21,74 %. Analisis keragaman (α = 0,05) menunjukkan bahwa jenis pelarut organik memberikan pengaruh yang nyata terhadap rendemen minyak, sedangkan pengaruh nisbah bahan dengan volume pelarut organik memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap rendemen, hal ini dikarenakan volume kolom soxhlet yang digunakan dalam ekstraksi diisi dengan jumlah volume pelarut yang sama untuk setiap perlakuan. Hasil analisis keragaman untuk rendemen minyak dapat dilihat pada Lampiran 3a. Histogram setiap jenis perlakuan terhadap rendemen minyak disajikan pada Gambar 7.

Histogram diatas menunjukkan perbedaan rendemen minyak hasil recovery, pada umumnya pelarut isopropanol menghasilkan minyak yang lebih tinggi dibandingkan n-heksana. Isopropanol merupakan pelarut yang memiliki tingkat kepolaran yang tinggi dibandingkan dengan n-heksana sehingga isopropanol dapat melarutkan komponen selain minyak yang ada pada limbah bahan pemucat, seperti xantofil yang dapat larut pada pelarut polar atau semipolar (Gross, 1991). Selain itu, rendemen minyak yang tinggi pada ekstraksi menggunakan pelarut isopropanol disebabkan oleh konsentrasi karoten yang terlarut lebih banyak dibandingkan dengan minyak dari hasil ekstraksi menggunakan pelarut n-heksana. Hal tersebut menunjukkan bahwa isopropanol lebih banyak melepaskan karoten dari adsorben karena isopropanol memiliki sifat kepolaran yang sama dengan adsorben, yaitu semi polar (Yuliarti, 2007).

Proses ekstraksi minyak dari limbah bahan pemucat menyebabkan kehilangan pelarut. Setiap pelarut memiliki nilai kehilangan pelarut yang berbeda. Pada penggunaan n-heksana tingkat kehilangan pelarut cukup tinggi dibandingkan dengan Isopropanol. Kehilangan pelarut selama ekstraksi pada penelitian ini berkisar antara 75 sampai 200 ml. Histogram hubungan antara perlakuan dengan kehilangan pelarut Gambar 8.

Gambar 8. Histogram Perlakuan Terhadap Kehilangan Pelarut

Analisis keragaman (α = 0,05) menunjukkan bahwa pengaruh jenis pelarut berpengaruh nyata terhadap kehilangan pelarut, sedangkan faktor nisbah bahan

23 dan pelarut tidak berpengaruh nyata terhadap kehilangan pelarut. Hasil analisis keragaman untuk kehilangan pelarut dapat dilihat pada Lampiran 3b.

Dalam proses ekstraksi, pelarut yang memiliki titik didih yang lebih rendah akan lebih mudah menguap dibandingkan dengan pelarut yang titik didihnya tinggi, pelarut yang memiliki titik didih rendah akan mengalami kehilangan pelarut selama proses lebih tinggi dibandingkan dengan pelarut yang titik didihnya lebih tinggi, namun pelarut dengan titik didih tinggi akan lebih sulit dipisahkan dan kemungkinan dapat menyebabkan kerusakan minyak pada saat pemasakan (Kirk dan Othmer, 1954).

2. Kadar Abu

Kadar abu merupakan residu bahan anorganik yang masih tersisa setelah proses pembakaran suatu bahan (Nielsen, 1998). Kadar abu yang terdapat pada minyak hasil recovery umumnya sangat kecil. Kadar abu untuk keseluruhan perlakuan bernilai kurang dari 1%. Hasil analisis keragaman (α = 0,05) menunjukkan bahwa pengaruh jenis pelarut dan nisbah bahan dengan volume pelarut tidak berpengaruh nyata terhadap kadar abu. Hasil analisis keragaman untuk rendemen minyak dapat dilihat pada Lampiran 3c. Nilai kadar abu yang sangat kecil dari minyak hasil recovery menggunakan isopropanol atau n-heksana menunjukkan bahwa kandungan bahan anorganik seperti Fe, Se, Pb dan Hg pada minyak hasil recovery sangat kecil. Minyak murni umumnya mengandung sedikit atau tidak ada sama sekali kandungan abu, kadar abu yang terkandung antara 0,0 – 4,09 % (Nielsen, 1998).

3. Kadar Asam Lemak Bebas (Free Fatty Acid)

Kualitas suatu minyak dapat ditentukan dari kadar FFA minyak tersebut, minyak yang memiliki kadar FFA yang tinggi menunjukkan bahwa minyak tersebut sudah terhidrolisis dan teroksidasi. Kadar asam lemak bebas pada minyak hasil recovery ini berkisar antara 13,15 – 20,9 %. Kadar FFA minyak hasil recovery yang tinggi tersebut menunjukkan bahwa minyak yang dihasilkan memiliki kualitas yang kurang baik. Untuk keperluan produksi minyak makan,

minyak kelapa sawit kasar disyaratkan memiliki nilai FFA kurang dari 3% (Chanrai et al., 2003).

Analisis keragaman (α = 0,05) menunjukkan bahwa jenis pelarut dan nisbah bahan dengan pelarut memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap bilangan asam lemak bebas. Hasil analisis keragaman untuk kadar FFA minyak dapat dilihat pada Lampiran 3d. Kadar asam lemak bebas dihasilkan dari proses hidrolisis pada minyak terjadi selama pemanenan, penanganan dan pengolahan (O’Brier et al., 2000). Ketaren (1986) menambahkan bahwa asam lemak bebas dihasilkan dari proses hidrolisis dan oksidasi. Reaksi hidrolisis terjadi karena terdapatnya sejumlah air berlebih dalam minyak. Reaksi tersebut akan mengakibatkan ketengikan yang menghasilkan flavor dan bau tengik pada minyak tersebut. Dalam reaksi hidrolisis, minyak akan diubah menjadi asam lemak bebas dan gliserol.

4. Bilangan Peroksida

Bilangan peroksida menunjukkan tingkat kerusakan minyak akibat proses oksidasi terhadap ikatan rangkap pada minyak oleh oksigen. Oksidasi merupakan penyebab utama kerusakan pada minyak. Oksidasi pada minyak menyebabkan bau tengik (ketengikan oksidatif) (O’Brier et al., 2000).

Minyak yang dihasilkan dari proses recovery tidak memiliki bilangan peroksida, hal ini bukan berarti minyak tersebut masih baik namun nilai tersebut menunjukkan semua senyawa peroksida sudah menjadi senyawa aldehida dan keton serta asam lemak bebas. Ketengikan bukan dibentuk oleh peroksida, namun kenaikan bilangan peroksida sebagai indikator bahwa minyak akan mulai tengik (Ketaren, 1986). Grafik penguraian peroksida disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9. Grafik Penguraian Peroksida (Ketaren, 1986). waktu

aldehida

PV (turun) karena terurai P

25 5. Kejernihan

Minyak hasil ekstraksi dengan dua jenis pelarut organik diukur kejernihannya. Pengukuran kejernihan minyak hasil recovery menggunakan spectronic- 20 dengan panjang gelombang 365 nm. Minyak yang diukur tingkat kejernihannya terlebih dahulu dilakukan pengenceran dengan faktor pengenceran sebesar 100 kali. Nilai yang menjadi parameter tingkat kejernihan minyak adalah % T. Nilai % T minyak hasil recovery berkisar antara 0,38% sampai 72,10 %. Minyak yang memiliki nilai % T yang paling tinggi adalah minyak hasil ekstraksi dengan pelarut n-heksana dengan nisbah 1 banding 7 sebesar 72,10 %. Histogram hubungan antara kejernihan minyak (% T) dengan setiap perlakuan disajikan pada Gambar 10.

Gambar 10. Histogram %T setiap minyak hasil recovery

Analisis keragaman (α = 0,05) menunjukkan bahwa jenis pelarut organik berpengaruh nyata terhadap kejernihan minyak, sementara nisbah bahan dengan volume pelarut organik tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kejernihan. Hasil analisis keragaman untuk kejernihan minyak dapat dilihat pada Lampiran 3e. Dari histogram diatas, dapat disimpulkan bahwa minyak yang dihasilkan dari ekstraksi dengan pelarut isopropanol memiliki warna yang lebih gelap dibandingkan dengan n-heksana, hal ini disebabkan konsentrasi karotenoid pada minyak hasil ekstraksi menggunakan isopropanol lebih tinggi dibanding menggunakan n-heksana. Pelarut n-heksana lebih banyak mengelusi bahan-bahan

lain terlebih dahulu dalam adsorben seperti asam lemak, trigliserida, kotoran, zat warna lain yang terbentuk saat proses adsorpsi maupun bahan-bahan lainnya, sehingga sebelum mengelusi β-karoten, n-heksana sudah jenuh terlebih dahulu (Yuliarti, 2007). Hal ini didukung oleh n-heksana yang bersifat non polar dan trigliserida bersifat lebih non polar daripada komponen karoten (Hasanah, 2006). Minyak hasil recovery disajikan pada Gambar 11 dan 12.

Gambar 11. Minyak Hasil Recovery Menggunakan Pelarut Isopropanol

27 Pigmen yang ada pada minyak hasil ekstraksi menggunakan pelarut isopropanol sangat berpengaruh terhadap kejernihan minyak (% T), pigmen yang terlarutkan tidak hanya β-karoten tapi juga pigmen lain seperti lutein, klorofil, likopen, tokoferol dan xantofil.

Minyak yang dihasilkan dari proses ekstraksi menggunakan pelarut n- heksana berwarna lebih jernih dibandingkan dengan minyak yang dihasilkan dari ekstraksi dengan pelarut isopropanol, karena konsentrasi karoten lebih sedikit. Minyak dari ekstraksi menggunakan n-heksana memiliki warna kekuningan yang disebabkan oleh komponen karoten yang dapat larut dalam minyak atau komponen non polar, karotenoid tersebut merupakan persenyawaan hidrokarbon tidak jenuh (Ketaren, 1986).

6. Warna Limbah Bahan Pemucat Setelah Recovery

Limbah bahan pemucat (spent bleaching earth) memiliki warna yang sangat gelap, hal ini disebabkan karena bahan pemucat telah menjerap beberapa pigmen warna yang ada pada minyak sawit. Pengukuran warna baik limbah bahan pemucat sebelum atau setelah recovery dilakukan dengan menggunakan colorimeter, parameter yang diukur adalah nilai Lightness, oHue, dan Chroma.

Nilai Lightness limbah bahan pemucat setelah recovery menunjukkan tingkat kecerahan warna limbah bahan pemucat. Nilai Lightness limbah bahan pemucat setelah recovery berkisar antara 35,23 sampai 38,53. Kombinasi perlakuan yang menghasilkan tingkat kecerahan paling tinggi adalah limbah bahan pemucat hasil recovery menggunakan pelarut isopropanol dengan nisbah 1 banding 6 yaitu sebesar 38,53. Pada umumnya nilai Lightness limbah bahan pemucat setelah recovery cenderung meningkat dari nilai Lightness limbah bahan pemucat sebelum recovery. Histogram hubungan antara nilai Lightness dengan perlakuan disajikan pada Gambar 13.

Gambar 13. Histogram Perlakuan Terhadap Nilai Lightness Limbah Bahan Pemucat Setelah Recovery

Analisis keragaman (α = 0,05) menunjukkan bahwa jenis pelarut dan nisbah bahan dengan volume pelarut memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai Lightness limbah bahan pemucat setelah recovery. Nilai Lightness yang semakin tinggi menunjukkan tingkat kecerahan yang tinggi. Limbah bahan pemucat hasil recovery dengan pelarut isopropanol memiliki nilai Lightness yang lebih tinggi dibanding menggunakan n-heksana. Pelarut isopropanol lebih banyak mengelusi komponen pigmen yang ada pada limbah bahan pemucat sehingga residu pigmen pada bahan pemucat tersebut lebih sedikit dibandingkan dengan residu pigmen pada bahan pemucat hasil recovery menggunakan n-heksana. Residu pigmen yang ada pada bahan pemucat tersebut memberikan pengaruh terhadap nilai Lightness. Hasil analisis keragaman untuk nilai Lightness dapat dilihat pada Lampiran 3f.

Nilai oHue menunjukkan warna sampel, apakah berwarna merah, kuning, hijau, biru dan lain-lain. menunjukkan hubungan antara perlakuan dengan nilai o

Hue Gambar 14. Analisis keragaman (α = 0,05) menunjukkan bahwa jenis pelarut dan nisbah bahan dengan volume pelarut memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilaioHue limbah bahan pemucat setelah recovery. Hasil analisis keragaman untuk nilai oHue dapat dilihat pada Lampiran 3f.

29 Gambar 14. Histogram Perlakuan Terhadap Nilai oHue limbah bahan

pemucat Setelah Recovery

Gambar 15. Histogram Perlakuan Terhadap Nilai Chroma limbah bahan pemucat Setelah Recovery

Nilai Chroma juga menunjukkan seberapa besar tingkat intensitas warna pada limbah bahan pemucat setelah recovery. Gambar 15 menunjukkan hubungan perlakuan dengan nilai Chroma. Analisis keragaman (α = 0,05) menunjukkan bahwa jenis pelarut dan nisbah bahan dengan volume pelarut memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai Chroma limbah bahan pemucat setelah recovery. Hasil analisis keragaman untuk nilai Chroma dapat dilihat pada Lampiran 3f. Pada umumnya nilai oHue dan nilai Chroma limbah bahan pemucat setelah recovery cenderung meningkat dari nilai oHue dan nilai Chroma limbah

bahan pemucat sebelum recovery. Limbah bahan pemucat setelah recovery disajikan pada Gambar 16 dan 17.

Gambar 16. Limbah Bahan Pemucat Hasil Recovery Menggunakan Pelarut Isopropanol

A1B2

A1B1

31

Gambar 17. Limbah Bahan Pemucat Hasil Recovery Menggunakan Pelarut N-heksana

Dari hasil pengukuran warna setiap bahan pemucat setelah recovery, kemudian nilai Lightness, oHue, dan Chroma dikombinasikan di dalam diagram warna. Diagram warna limbah bahan pemucat hasil recovery menggunakan isopropanol dan n-heksana disajikan pada Gambar 18.

A2B1

A2B2

Gambar 18. Diagram Warna Limbah Bahan Pemucat Setelah Recovery

Warna limbah bahan pemucat hasil recovery menggunakan isopropanol dan n-heksana pada gambar diatas berada pada kuadran I, nilai oHue bahan pemucat untuk isopropanol ialah antara 74,28 – 75,29o sedangkan untuk n-heksana antara 72,18 – 72,65o. Nilai oHue limbah bahan pemucat hasil recovery menggunakan isopropanol cenderung lebih kuning cerah dibandingkan dengan limbah bahan pemucat hasil recovery menggunakan n-heksana, hal ini disebabkan karena residu pigmen yang ada cukup sedikit pada limbah bahan pemucat hasil recovery menggunakan isopropanol sehingga warna kuning dari pigmen tersebut tidak terlalu pekat. Nilai Chroma limbah bahan pemucat hasil recovery menggunakan isopropanol antara 95,59 – 97,20 sedangkan nilai Chroma limbah bahan pemucat hasil recovery menggunakan n-heksana antara 92,58 – 92,66, semakin tinggi nilai o

Hue dan Chroma limbah bahan pemucat, menunjukkan warna lebih kuning dan intensitas warnanya lebih pekat.

7. pH Limbah Bahan Pemucat Setelah Recovery

Pengukuran nilai pH pada limbah bahan pemucat dilakukan untuk mengukur berapa tingkat keasaman limbah bahan pemucat setelah proses recovery. Nilai pH limbah bahan pemucat setelah recovery berkisar antara 3,21 sampai 3,43. Analisis keragaman (α = 0,05) menunjukkan bahwa jenis pelarut memberikan pengaruh

33 disebabkan karena jenis pelarut tidak merubah nilai pH limbah bahan pemucat ketika proses ekstraksi berlangsung. Hasil analisis keragaman untuk nilai pH limbah bahan pemucat dapat dilihat pada Lampiran 3g. Nilai pH limbah bahan pemucat tidak berubah secara signifikan meskipun telah dilakukan recovery. Nilai keasaman limbah bahan pemucat sangat penting karena berpengaruh terhadap kemampuan mengadsorpsi pigmen warna. Daya penyerapan terhadap warna akan lebih efektif jika adsorben mempunyai pH mendekati netral (Ketaren, 1986).

8. Bleach Power

Bentonit hasil recovery diukur bleach power, penentuan bleach power bertujuan untuk melihat kemampuan atau daya adsorb bahan pemucat setelah recovery, parameter yang ditentukan dalam bleach power adalah nilai transmiten minyak yang dipucatkan oleh bahan pemucat hasil recovery. Nilai % T minyak sebelum dipucatkan (degummed oil) kurang dari 6%. Pengukuran nilai % T minyak hasil pemucatan dengan bahan pemucat hasil recovery dilakukan dengan mengencerkan minyak dengan pelarut dengan faktor pengenceran sebesar 100 kali. Nilai % T pada minyak yang dipucatkan oleh bahan pemucat hasil recovery berkisar antara 30,0 – 39,9 %. Histogram perlakuan terhadap bleach power disajikan pada Gambar 20.

Analisis keragaman (α = 0,05) menunjukkan bahwa jenis pelarut organik memberikan pengaruh yang nyata terhadap bleach power, pelarut isopropanol dan n-heksana memberikan pengaruh yang saling berbeda nyata terhadap nilai %T minyak yang telah dipucatkan oleh limbah bahan pemucat hasil recovery. Hasil analisis keragaman untuk bleach power dapat dilihat pada Lampiran 3h. Kombinasi perlakuan yang menghasilkan nilai bleach power paling tinggi adalah limbah bahan pemucat hasil recovery menggunakan pelarut isopropanol dengan nisbah 1 banding 7 yaitu sebesar 39,9 %. Nilai bleach power limbah bahan pemucat hasil recovery menggunakan isopropanol cenderung lebih tinggi dibandingkan menggunakan n-heksana, hal ini dikarenakan pori-pori pada limbah bahan pemucat hasil recovery menggunakan isopropanol cenderung terbuka karena pigmen yang ada sebelumnya telah terlarutkan ketika proses ekstraksi, sehingga pori-pori bahan pemucat tersebut lebih banyak mengadsorp pigmen warna. Pada limbah bahan pemucat hasil recovery menggunakan n-heksana, pori- porinya cenderung lebih tertutup karena masih banyak pigmen yang ada sehingga penyerapan pigmen warna pada minyak ketika proses pemucatan berlangsung menjadi terhambat.

35 V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Rendemen minyak yang dihasilkan dari proses recovery menggunakan pelarut isopropanol memberikan nilai rendemen yang lebih tinggi dibandingkan dengan n-heksana yaitu mencapai 21,74 %. Kepolaran pelarut organik selain berpengaruh terhadap rendemen juga berpengaruh terhadap kejernihan minyak. Kejernihan minyak hasil recovery menggunakan n-heksana lebih jernih dibanding dengan minyak hasil recovery menggunakan isopropanol. Minyak hasil recovery pada umumnya sudah rusak baik oleh oksidasi maupun hidrolisis. Kadar abu yang terdapat pada minyak hasil recovery bernilai kurang dari 1%.

Warna limbah bahan pemucat hasil recovery minyak dengan isopropanol memberikan nilai Lightness, oHue dan Chroma yang lebih tinggi dibanding limbah bahan pemucat hasil recovery menggunakan n-heksana. Nilai pH limbah bahan pemucat tidak berubah setelah dilakukan proses recovery menggunakan pelarut. Nilai pH limbah bahan pemucat sebelum atau sesudah recovery pada umumnya bersifat asam, yang nilainya berkisar antara 3,21 - 3,43. Nilai Bleach power limbah bahan pemucat hasil recovery menggunakan pelarut isopropanol memberikan nilai %T yang lebih tinggi dibanding dengan menggunakan n- heksana. Pemilihan pelarut untuk proses recovery dapat dipilih berdasarkan tujuan penggunaannya baik minyak ataupun bahan pemucat. Pelarut n-heksana lebih baik digunakan untuk mengekstraksi minyak yang ada pada limbah bahan pemucat, sedangkan untuk pelarut isopropanol lebih baik digunakan untuk pemanfaatan limbah bahan pemucat sebagai bahan pemucat kembali.

B. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai penggunaan limbah bahan pemucat hasil recovery untuk proses bleaching.

2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai penggunaan minyak hasil recovery.

DAFTAR PUSTAKA

Adnan, M. 1997. Teknik Kromatografi untuk Analisis Bahan Makanan. Penerbit ANDI. Yogyakarta.

Andarwulan, N. dan S. Koswara. 1992. Kimia Vitamin. Di dalam Ervina Yuliarti. 2007. Kinetika Desorpsi Isotermal β-Karoten Olein Sawit Kasar Dari Atapulgit dengan Menggunakan Isopropanol. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor.

Anonim. 1987. Bahan Galian Industri: Bentonit. Departemen Pengembangan dan Energi. Pusat Pengembangan Teknologi Mineral. Jakarta.

Anonim. 2004. Rocky Bentonit Bleaching Earth. http://www.nusagri.com [18 April 2009].

Anonim. 2009. Structure of Beta Carotene. http://www.serc.carleton.edu [1 Agustus 2009].

Anonim. 2009. Structure of Montmorillonit. http://www.wikipedia.org. [25 Januari 2009].

Anwar, K, P., Y. Nugraha dan Y. Sadikin. 1983. Prospek Pemanfaatan Bentonit Nanggulan untuk Penjernih Minyak Kelapa Sawit. Departemen Pertambangan dan Energi, Direktorat Jenderal Pertambangan Umum, Pusat Pengembangan Teknologi Mineral, Bandung.

Bernasconi, G. H. Gerster, H. Hauser, H. Stauble dan E. Schneiter. 1995. Teknologi Kimia Bagian 2. Terjemahan Lienda Handojo. Pradya Paramita. Jakarta.

Bungah. 2000. Adsorption. http://www.rpi.edu/dept/chem-eng/Biotech-environ /Adsorb / adsorb.htm [ 04 Agustus 2009].

Brown. 1950. Unit Operation. Di dalam C.W. Wibisono,2009. Kajian Penentuan Kondisi Optimum Ekstraksi Minyak Dedak. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor.

Chanrai, N. G. dan Santosh G.B. 2003. Recovery of Oil From Spent Bleached Earth. United States Patent Application Publication. United States of America. Cheremisionoff, P. N. and A. C. Moressi. 1978. Carbon Adsorption Aplications.

Di dalam P. N. Cheremisionoff dan F. Ellerbusch (eds). Carbon Adsorption Handbook, p. L. Ann Arbor Science Publisher, Inc., Ann Arbor, Michigan.

37 Choo Y.M., S.C.Yap, A.S.H.Ong, C.K.Ooi and S.H.Gog. 1989. Palm Oil

Carotenoid : Chemistry and Technology. Proc.Of Int. Palm Oil Conf, PORIM, Kuala Lumpur.

Chu, B.S., B.S. baharin, Y.B. Che Man, dan S.Y. Quek. 2004. Separation of Vitamin E from palm Fatty Acid Distillate Using Silica. III. Batch Desorption Study. Journal of Food Engineering. 64 (2004). 1-7.

Cookson, J. T. Jr. 1978. Adsorption Mechanism. The Chemistry of Organic Adsorption on Activated Carbon. Di dalam P. N. Cheremisionoff dan F. Ellerbusch (eds). 1978. Carbon Adsorption Handbook, p.241. Ann Arbor Science Publisher Inc., Michigan.

Djatmiko, B., S. Ketaren., dan S. Setyahartini. 1981. Pengolahan Arang dan Kegunaannya. Jurusan Teknologi Industri Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor.

Geankoplis, C. J. 1983. Transport Process and Unit Operations. 2nd. Allyn Bacon, Inc., Boston.

Grim, R. E. 1968. Clay Mineralogy. Di dalam R.I.R. Hayuningtyas. 2007. Kinetika Adsorpsi Isotermal β-Karoten dari Olein Sawit Kasar dengan Menggunakan Bentonit. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor. Gritter, R.J., J.M.Bobbit, dan A.B.Schwarting. 1991. Pengantar Kromatografi.

Terjemahan. Kosasih Padmawinata. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Gross, J. 1991. Pigments in Vegetables, Chlorophyls and Carotenoids. Van

Nostrand Reinhold, New York.

Hasanah, U. 2006. Proses Produksi Konsentrat Karotenoid dari Minyak Sawit Kasar dengan Metode Kromatografi Kolom Adsorpsi. Tesis. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor.

Hazardous Substances Data Bank. 1995. National Library of Medicine, Bethesda, Maryland. http://www.sis.nlm.nih.gov/sis1 [ 18 April 2009].

Hazardous Substances Data Bank. 1999. National Library of Medicine, Bethesda, Maryland. http://www.sis.nlm.nih.gov/sis1 [ 18 April 2009].

Henning, K.D. and J. Degel. 1990. Purification of Air, Water, and Off Gas Solvent Recovery Activated Carbon For Solvent Recovery. Paper Presented at The Meeting of The European Rotogravure association Engineers GroupMulHouse. France.

Kheang, S. L, Cheng S. F, Choo Y. M, dan Ma Ah Ngan. 2006. A Study of Residual Oils Recovery from Spent Bleaching Earth : Their Characteristics and Applications. American Journal of Applied Sciences 3 (10): 2063-2067. Kirk, R.E. dan D.F. Othmer. 1954. Encyclopedia of Chemical Technology. Vol.

12. Interscience Publishers, A Division of John Wiley & Sons, Inc. New York. London.

Kirk, R.E. dan D.F. Othmer. 1963. Encyclopedia of Chemical Technology Second Edition Vol. 1. Interscience Publishers, A Division of John Wiley & Sons, Inc. New York. London.

Lee, C.G., C.E. Seng, dan K.Y. Liew. 2000. Solvent Efficiency for Oil Extraction from Spent Bleaching Clay.JAOCS, Vol. 77, no. 11.

Mappiratu. 1990. Produksi β-karoten pada Limbah Cair Tapioka dengan Kapang Oncom Merah. Tesis. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.

McCabe, W.L. Dan J.C.Smith. 1974. Unit Operation of Chemical Engineering Third Edition. McGraw-Hill int. Book Comp., New York.

Meyer, L.H. 1966. Food Chemistry, 4th Edition. Reinhold Publishing Corp., New York.

Nainggolan, Rolas. 2002. Pemisahan Komponen Minyak Nilam (Pogotemon Cablin BENTH) dengan Teknik Distilasi Fraksionasi Vakum. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor.

Dokumen terkait