• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Qawaid Fiqhiyyah dalam Penyusunan Belanja Pegawai dalam APBN Pada pembahasan kali ini penulis akan mencoba mengaitkan beberapa hal terkait

Pegawai Pemerintah Dalam Pelaksanaan APBN Di Indonesia Wahyuningsih

III. METODE PENULISAN

4.1. Penerapan Qawaid Fiqhiyyah dalam Penyusunan Belanja Pegawai dalam APBN Pada pembahasan kali ini penulis akan mencoba mengaitkan beberapa hal terkait

implementasi belanja pegawai dalam APBN RI dan dikaitkan dengan kaidah fikih yang diakui ulama sebagai berikut:

a. Belanja pegawai didefinisikan sebagai bentuk kompensasi berupa uang atau barang yang diberikan kepada pegawai pemerintah pusat, pensiunan, anggota TNI/Polri, dan pejabat negara, baik yang bertugas di dalam dan luar negeri sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan kecuali pekerjaan yang terkait pebentukan modal. Dalam definisi ini, pemerintah memposisikan belanja pegawai sebagai kompensasi atas kinerja para abdi negara dalam bentuk uang atau barang. Dalam perspektif maqashid syariah, kompensasi ini merupakan bentuk penjagaan atas harta (hifzhul maal) yang merupakan pokok kehidupan para abdi negara serta juga merupakan bagian dari kebijakan fiskal untuk mendorong perekonomian melalui belanja negara, salah satunya belanja pegawai

b. Besarnya gaji pokok seorang pegawai negeri sipil tergantung atas golongan ruang penggajian yang ditetapkan pangkat yang dimilikinya. Oleh karena itu, pangkat berfungsi sebagai dasar penggajian. Pada dasarnya konsep ini sesuai dengan kaidah fikih

Al-Kharaju bi Adh-Dhaman yang bermakna hasil yang didapat sesuai beban atau tanggung

jawab. Dalam sistem pekerjaan pegawai negeri sipil, pangkat menunjukkan kapasitas dan kapabilitas untuk memegang amanah. Semakin tinggi pangkat maka jabatan yang didapat semakin tinggi yang berkonsekuensi besarnya tanggung jawab yang harus diemban sehingga sangat tepat bila kompensasi yang diberikan sesuai beban tanggun jawab tersebut

c. Kontribusi sosial dialokasikan untuk pembayaran pensiun aparatur serta kontribusi pemerintah dalam rangka pelaksanaan jaminan sosial termasuk jaminan kesehatan bagi pegawai yang masih aktif maupun pensiunan. Kontribusi sosial ini bersesuaian setidaknya dengan dua kaidah fikih, yakni: (1) “Tindakan pemimpin pada rakyat harus atas dasar kemaslahatan”; dan (2) “Hasil yang didapat sepadan dengan beban atau tanggung jawab”. Pemberian kontribusi sosial ini dapat dipandang sebagai tindakan untuk memberikan kemaslahatan berupa jaminan kesehatan dan pensiun bagi para pegawai sehingga mereka bisa tenang selama bekerja serta sebagai kompensasi atas pengabidannya selama aktif mengabdi kepada negara

Proceedings ICIEF’15, Mataram, 25-27 of August 2015957 d. Adanya penganggaran ganda (dual budgeting)pada penerapan belanja pegawai yakni

adanya pemisahan belanja rutin dan belanja pembangunan yang memiliki kelemahan yakni: (1) ”Duplikasi belanja akibat adanya pos pengeluaran yang beririsan”; dan (2) “Belanja menjadi tidak efisien karena adanya akun yang sama yang muncul baik di belanja rutin maupun belanja pembangunan”. Hal ini menyebabkan di masa kini konsep penganggaran ganda dihapuskan. Konsep penganggaran ganda sendiri bertentangan dengan kaidah fikih “Apabila dua perkara dari satu jenis berkumpul dengan niat yang tidak berbeda, maka salah satunya akan masuk pada yang lain”. Penerapan kaidah ini melalui penghapusan penganggaran ganda akan memberikan ruang fiskal yang lebih luas untuk pengeluaran dan proyek yang lebih produktif sehingga belanja pegawai dapat dikeluarkan dengan lebih efisien

e. Selain gaji, pegawai negeri sipil dan aparatur negara lainnya juga mendapatkan tunjangan seperti tunjangan anak/istri, tunjangan makan, tunjangan lauk pauk, tunjangan beras, honorarium, vakasi, dan lain sebagainya. Pemberian tunjangan di luar gaji pokok bagi PNS dan aparatur negara lainnya dapat ditinjau dari beberapa kaidah fikih, yakni: (1) “Tindakan penguasa atas rakyat harus didasarkan pada kemaslahatan’; (2) “Al Kharaju

bi Adh Dhaman” atau “Al Ghunmu bil Ghurmi” yakni adanya kompensasi sesuai dengan

risiko yang ditanggung; dan (3) “Apabila dua perkara dari satu jenis berkumpul dengan niat yang tidak berbeda, maka salah satunya akan masuk pada yang lain”. Kaidah pertama merupakan dasar bagi dua kaidah selanjutnya. Maksudnya ialah dalam penentuan tunjangan bagi pegawai negeri haruslah memperhatikan kemaslahatan sang pegawai (kaidah kedua) dan kemaslahatan anggaran negara (kaidah ketiga). Hal ini dimaksudkan agar tercipta pemberian tunjangan yang efisien bagi penganggaran namun berkeadilan dan mencukupi bagi pegawai

Rangkuman dari penjelasan poin-poin di atas dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 4.1.

Rangkuman Perbandingan Konsep Belanja Pegawai dan Kaidah Fikihnya

Konsep Belanja Pegawai Kaidah Fikih

Belanja pegawai adalah bentuk kompensasi berupa uang atau barang yang diberikan kepada pegawai pemerintah pusat, pensiunan, anggota TNI/Polri, dan pejabat negara, baik yang bertugas di dalam dan luar negeri sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan kecuali pekerjaan yang terkait pebentukan modal

Hifzhul Maal(Penjagaan Harta) merupakan salah satu komponen dalam maqashid syariah (tujuan-tujuan syariah)

958 Proceedings ICIEF’15, Mataram, 25-27 of August 2015

Konsep Belanja Pegawai Kaidah Fikih

Besarnya gaji pokok seorang pegawai negeri sipil tergantung atas golongan ruang penggajian yang ditetapkan pangkat yang dimilikinya. Oleh karena itu, pangkat berfungsi sebagai dasar penggajian

“Al Kharaju bi Adh Dhaman”

(hasil yang didapat sesuai dengan beban tanggung jawab)

Kontribusi sosial dialokasikan untuk pembayaran pensiun aparatur serta kontribusi pemerintah dalam rangka pelaksanaan jaminan sosial termasuk jaminan kesehatan bagi pegawai yang masih aktif maupun pensiunan.

Beberapa kaidah yang tercakup dalam konsep ini: 1. Tindakan pemimpin pada rakyat harus atas

dasar kemaslahatan

2. Hasil yang didapat sesuai dengan beban atau tanggung jawab

Beberapa kelemahan dalam penerapan belanja pegawai adalah adanya “dual budgeting” yakni adanya pemisahan belanja rutin dan belanja pembangunan yang berakibat pada:

a. Duplikasi belanja akibat adanya pos pengeluaran yang beririsan

b. Belanja menjadi tidak efisien karena adanya akun yang sama yang muncul baik di belanja rutin maupun belanja pembangunan

“Apabila dua perkara dari satu jenis berkumpul dengan niat yang tidak berbeda, maka salah satunya akan masuk pada yang lain.”

Selain gaji, pegawai negeri sipil dan aparatur negara lainnya juga mendapatkan tunjangan seperti tunjangan anak/istri, tunjangan makan, tunjangan lauk pauk, tunjangan beras, honorarium, vakasi, dan lain sebagainya

Dalam pemberian tunjangan kepada aparatur negara harus diperhatikan beberapa kaidah:

1. Tindakan penguasa atas rakyat harus didasarkan pada kemaslahatan

2. “Al Kharaju bi Adh Dhaman” atau “Al Ghunmu bil Ghurmi” yakni adanya kompensasi sesuai dengan risiko yang ditanggung

3. “Apabila dua perkara dari satu jenis berkumpul dengan niat yang tidak berbeda, maka salah satunya akan masuk pada yang lain.”

Kaidah pertama adalah dasar bagi dua kaidah berikutnya, bahwa pada kasus ini terdapat dua kemaslahatan yang harus diperhatikan pemerintah:

1. Kemaslahatan aparatur negara yang ditunjukkan kaidah kedua.

2. Kemaslahatan anggaran khususnya efisiensi anggaran yang ditunjukkan kaidah ketiga.

Berdasarkan pemaparan di atas, terlihat bahwa pada dasarnya penyusunan anggaran negara untuk belanja pegawai secara konseptual telah memenuhi kaidah-kaidah fikih yang berkaitan. Dan pada dasarnya urusan penyusunan anggaran ini bermuara pada kaidah “Tindakan penguasa kepada rakyat didasarkan kepada asas kemaslahatan”. Mengingat kemaslahatan ruang lingkupnya sangat luas maka pengaturannya dalam teknis anggaran menjadi lahan yang sangat luas untuk diatur oleh pemerintah, termasuk dalam penentuan belanja pegawai.

Proceedings ICIEF’15, Mataram, 25-27 of August 2015959 V. PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Secara umum, belanja pegawai yang diatur dalam APBN RI telah memenuhi kaidah fikih khususnya dalam hal penerapan maslahat bagi aparatur negara. Namun, masih terdapat sejumlah kelemahan berupa “dual budgeting” yang mengakibatkan inefisiensi anggaran yang sejak beberapa tahun terakhir mulai ditinggalkan. Penyusunan anggaran negara merupakan bagian dari kebijakan pemerintah sehingga asas penyusunan anggaran menurut Islam adalah kemaslahatan. Oleh karena kemaslahatan sangat luas cakupannya, maka penyusunan anggaran negara termasuk belanja pegawai harus memperhatikan aspek kemaslahatan dan berpegang pada kaidah fikih yang sesuai

5.2. Saran