• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Hukum Pada Kasus Kejahatan Perang yang Terjad

Dalam dokumen Pengaruh Kejahatan Perang Terhadap Valid (Halaman 42-51)

Peristiwa pada Abu Ghuraib sebagaimana telah penulis jelaskan pada BAB sebelumnya, jelas melanggar ketentuan Hukum Humaniter Internasional. Pasal 13 Konvensi Jenewa III tahun 1949 menyebutkan bahwa tawanan perang (prisoner of war) harus dilperlakukan secara kemanusiaan dalam semua keadaan (must at all times be humanely treated). Setiap perlakuan yang menyimpang dari pihak penahan adalah dilarang keras dan dikategorikan sebagai pelanggaran yang sangat serius terhadap Konvensi Jenewa (serious breach to Geneva Convention). Kemudian, tawanan perang harus dilindungi setiap saat dari kekerasan, intimidasi, penghinaan, dan publisitas, objek mutilasi, dan harus diobati, serta memperoleh pengobatan.57 Demikian dalam Konvensi Jenewa 1949 diatur, bahwa ada sanksi pidana dan sanksi disiplin sesuai hukum negara dimana terjadi pelanggaran, serta adanya jaminan peradilan yang wajar, sebagaimana tercantum dalam pasal 49.Di samping diatur dalam Hukum Humaniter Internasional, perlindungan terhadap tawanan perang juga diatur secara tidak langsung dalam Konvensi Anti- Penyiksaan (Convention Against Torture and Other Cruel Inhuman or Degrading Treatment or Punishment). Pasal 2 Konvensi ini menyebutkan bahwa setiap negara peserta konvensi harus dapat mencegah kekerasan dalam wilayah

57 Heru Susetyo, ‘Penistaan Hukum Perang’,

43

jurisdiksinya, tanpa memandang apakah terjadi dalam masa damai ataupun perang. Pasal 11 konvensi yang sama, menyebutkan bahwa setiap negara peserta konvensi ini haruslah menegakkan aturan yang sistematis dalam hal interogasi, penangkapan, dan penahanan, serta harus menghindarkan kekerasan.58

Penegakan hukum dalam peristiwa Abu Ghuraib ini berdasarkan Pasal 49 Konvensi Jenewa 1949 dapat dijatuhkan berdasarkan hukum negara tempat peristiwa berlangsung, dalam hal ini Irak. Dibawah kepemimpinan Saddam Hussain peristiwa Abu Ghuraib dan pelanggaran HAM dan pemakaian senjata pemusnah massal kerap terjadi. Setelah tiga tahun proses pengadilannya, Saddam Hussain dihukum mati berdasarkan keputusan pengadilan yang mengadilinya yaitu pengadilan nasional di Irak.59

Penegakan hukum untuk Saddam Hussain ini menimbulkan suatu inkonsistensi, para tentara yang melakukan penyiksaan di Abu Ghuraib tidak diadili dengan hukum nasional negara tempat kejadian berlangsung yaitu Irak, namun dilimpahkan kembali oleh pengadilan Irak untuk diadili di negara asal mereka yaitu Amerika Serikat, melalui peradilan militer, dengan hukuman penjara seumur hidup, dan tidak ada yang dihukum mati satupun. Sebenarnya hukuman mati telah dihapuskan sebelum Saddam Hussain diadili, alasan pengjapusan hukuman mati adalah hukuman mati adalah hukuman yang sangat kejam, di luar perikemanusiaan dan melanggar hak asasi manusia (HAM), utamanya hak hidup.

58Ibid.

59 Heru Susetyo, ‘Inkonsistensi Hukuman Mati Saddam’, <http://www.irwan.net/content/view/87/62/>, diakses (02/06/09).

Juga, sebagai salah satu bentuk pidana, hukuman mati dianggap tak menimbulkan efek edukatif terhadap masyarakat, dan apabila di kemudian hari ditemukan kesalahan dalam penjatuhan vonis, hukuman tersebut tak dapat dikoreksi karena terpidana telanjur dieksekusi.60 Amnesty International (2006) menyebutkan bahwa sampai saat ini ada 129 negara yang telah menghapuskan hukuman mati. Dari jumlah tersebut, 88 negara menghapus hukuman mati secara total, 11 negara memberlakukannya secara sangat spesifik, yaitu hanya untuk kejahatan di waktu perang, dan 30 negara masih mempertahankannya dalam hukum nasionalnya namun tak pernah lagi melaksanakannya.61

Meskipun dengan adanya inkonsistensi, para pelaku kejahatan tetap ditindaklanjuti sebagai suatu penegakan Hukum Humaniter Internasional.

Penegakan hukum lain terjadi pada peristiwa kejahatan perang yang berkaitan dengan mantan wakil presiden Kongo, yaitu Jean-Pierre Bemba. Jean- Pierre Bemba adalah pemimpin dari MLC (Movement Liberalization of Congo) yang sebelumnya adalah sebuah gerakan separatis yang kemudian menjadi sebuah partai politik di Kongo.62 Pada tahun 2002, president Ange Felix Patasse dari Republik Afrika Tengah mengundang MLC untuk membantunya untuk datang ke Republik Afrika Tengah dan meredam banyaknya pro dan kontra kudeta yang sedang terjadi.63

60Ibid.

61Ibid.

62 Matanew, ‘Mantan Wapres Kongo Didakwa’, <http://matanews.com/2009/06/17/mantan-

wapres-kongo-didakwa/>, diakses (02/06/09). 63Ibid.

45

Beberapa saat pertikaian pro dan kontra ini berlangsung, didapati bahwa para tentara MLC banyak melakukan pelanggaran terhadap penduduk sipil dan tawanan dalam pertikaian pro kontra ini. Fakta kejahatan perang ini diperoleh dari kesaksian para pihak netral yang terlibat dalam pertikaian pro kontra yang sedang berlangsung.64

Pada 23 Mei 2008, Majelis PraPeradilan ICC menemukan fakta bahwa ada alasan valid untuk menyatakan bahwa Jean-Pierre Bemba memiliki tanggung jawab individual atas Kejahatan Perang dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan yang terjadi di Republik Afrika Tengah yang terjadi antara 25 Oktober 2002 sampai 15 Maret 2003 dan ICC mengeluarkan perintah penahanan terhadapnya.65 Bemba dituduh dengan 5 pasal Kejahatan Perang (pembunuhan, perkosaan, penganiayaan dan pelanggaran kehormatan lainya) dan 2 tuntutan Kejahatan terhadap Kemanusiaan (pembunuhan dan penganiayaan).66 Pada 24 Mei 2008, Bemba akhirnya ditangkap di dekat luar kota Brussels, belgia. Dia menyerah kepada ICC pada 3 July 2008 dan dipindahkan ke Rumah Tahanan ICC di Den Haag, Belanda.67

Bemba adalah orang pertama yang ditahan terkait peristiwa yang terjdi di Repulik Afrika Tengah. Mahkamah Agung Republik Afrika Tengah dinyatakan

64 Wikipedia, ‘Jean-Pierre Bemba’, <http://en.wikipedia.org/wiki/Jean-Pierre_Bemba>, diakses (02/06/09).

65 Dokumen ICC no : ICC

‐01/05‐01/08 tentang Perintah Penahanan Bemba (Pre-Trial Chamber III : Bemba warrant arrest)

66Ibid. 67Ibid.

tidak mampu unutk melakukan penuntutan terhdap Bemba dan Mantan Presiden Afrika Tengah Ange-Felix Patasse. Pembelaan Bemba berdasarkan bahwa prosedur yang dikenakan terhadap Bemba adalah diluar kebiasaan, tetapi pada 1 July 2008 pengadilan Belgia menolak argumen Bemba dan berakibat dengan dilimpahkannya Bemba ke ICC. Kuasa Hukum Bemba, Aime Kilolo Musamba mengatakan bahwa Bemba tidak gentar kepada ICC dan sepenuhnya yakin tidak bersalah, dia juga mengatakan akan memohon intervensi dari Dewan Keamanan PBB agar meminta penangguhan kasus dengan mengingat Bemba telah melakukan banyak hal untuk perdamaian.68 Dengan adanya putusan Pengadilan Belgia atas penolakan keberatan Bemba untuk ditahan di ICC, Bemba dipindahkan ke ICC di Den Haag pada tanggal 3 Juli. Proses Hearing dan konfirmasi hukuman yang akan dijatuhkan diselenggarakan di ICC pada tanggal 4 Juli, dengan kehadiran Bemba dalam majelis ICC.69

Sesuai perintah penahanan, Jean-Pierre Bemba dinyatakan secara kriminal bertangggung jawab bersama dengan orang-orang lainya sebagaimana dimaksud pasal 25 ayat 3 huruf a Statuta Roma mengenai ICC dengan tuduhan sebagai berikut:70

1. Dua ( 2 ) tuduhan Kejahatan terhadap Kemanusiaan yaitu: a. Pemerkosaan: Pasal 7 ayat 1 huruf G

b. Penyiksaan: Pasal 7 ayat 1 huruf F

68Ibid.

69Ibid. 70Ibid.

47

2. Empat ( 4 ) tuduhan Kejahatan Perang, yaitu: a. Pemerkosaan: Pasal 8 ayat 2 huruf E bagian VI

b. Penyiksaan dan Penganiayaan: Pasal 8 ayat 2 huruf C bagian I

c. Pelanggaran terhadap kehormatan seseorang dalam kaitan dengan perlakuan tawanan: Pasal 8 ayat 2 hurf C bagian II

d. Penjarahan terhadap kota atau lokasi: Pasal 8 ayat 2 huruf E bagian V Pembahasan kasus diatas memberikan wawasan akan penindaklanjutan para pelaku kejahatan, dengan sistem hukum nasional, atau dengan sistem hukum internasional dimana dapat diselesaikan dengan pertanggungjawaban komando yang kemudian dilimpahkan kepada ICC. Penegakan hukum yang diterapkan pada Jean-Pierre Bemba adalah salah satu metode pertanggungjawaban dengan menggunakan cara pertanggungjawaban komando. Untuk lebih memperjelas wawasan tentang ICC sebagai pranala pengadilan kejahatan internasional, pertanggungjawaban komando, dan senjata-senjata yang diatur dalam Hukum Humaniter Internasional, penulis akan membahasnya dalam sub-bab tersendiri. 2. ICC (International Criminal Court)

Konvensi Jenewa 1949, mengatur tentang sanksi bagi para pelanggar, namun dalam penerapannya, metode penerapan sanksi tersebut juga tidak berlaku maksimal, untuk memberikan kepastian hukum bagi para korban pelanggaran, dibentuklah ICC sebagai pilihan lain dalam penyelesaian sengketanya. ICC (International Criminal Court) merupakan suatu komponen penting dalam penegakan Hukum Humaniter Internasional, ICC adalah suatu bentuk pengadilan kejahatan internasional, yang bertugas menyelesaikan sengketa para pihak yang

terlibat dalam kejahatan internasional. ICC dibentuk pada1 juli 2002, bertumpu pada Statuta Roma yang merupakan produk hukum dari Hukum Humaniter Internasional.71 Dalam penerapannya ICC dapat melaksanakan tugasnya bila pengadilan negara tidak mau atau tidak mampu untuk menyelesaikan suatu kejahatan internasional yang terjadi.72 Statuta Roma sebagai dasar ICC tidak berlaku surut, kejahatan yang dapat diselesaikan melalui ICC adalah kejahatan yang terjadi setelah tanggal 1 juli 2002, hal ini menjadi salah satu kelemahan dari ICC, dimana ICC tidak dapat mengadili perkara sebelum 1 juli 2002.73

ICC dapat menjangkau seluruh dunia akan kejahatan internasional. Keberadaan ICC tidak bertentangan dengan keberadaan ICJ, ICJ adalah pengadilan yang mengadili sengketa antar negara, para pihak bersengketa adalah negara, ICC adalah pengadilan mengadili individu, jadi keberadaan dua lembaga tersebut tidak bertentangan. ICC dapat menjadi lembaga yang dapat menghindari terjadinya impunity yang selama ini dinikmati oleh individu-individu yang seharusnya bertanggungjawab terhadap kejahatan terhadap hak-hak asasi manusia secara internasional.74 Keberadaan ICC juga tidak bertentangan dengan pengadilan domestik, ICC bukanlah pengadilan the first resort, tetapi the last of the last resort karena itu tidak akan merusak kedaulatan domestik negara peserta.

71 Aula, ‘ICC Sebagai Pranata Baru Peradilan Internasional’,

<http://aula.blog.friendster.com/2007/02/international-criminal-court-icc-sebagai-pranata-baru- peradilan-internasional/>, diakses (02/06/09).

72Ibid. 73Ibid.

74 A Irmanputra Sidin, ‘Berjalan Menuju Roma’, <http://www.kompas.com/kompas-

49

ICC juga dapat membantu menyediakan insentif dan petunjuk pelaksanaan kepada setiap negara yang ingin melakukan penuntutan terhadap individu-individu yang bertanggungjawab terhadap kejahatan internasional, di pengadilan negara mereka masing-masing.75

ICC berkedudukan di Den Haag, Belanda (the host state), ICC merupakan institusi yang bersifat permanen dan dimaksudkan untuk berdiri dalam jangka waktu yang panjang, sebagai suatu institusi internasional, ICC harus memiliki

international legal personality yang tercantum dalam Pasal 4 (1) Statuta Roma.

International legal personality merupakan status yang memungkinkan suatu entitas dianggap sebagai subjek hukum internasional (publik) tersendiri (terpisah dari negara-negara anggotanya) yang dapat memiliki hak dan sekaligus dibebani kewajiban berdasarkan norma-norma hukum internasional. Sebagai institusi internasional ICC juga mempunyai legal capacity, dengan memiliki legal capacity, suatu organisasi internasional akan mampu melakukan tindakan- tindakan hukum, yang antara lain mencakup kapasitas untuk membuat perjanjian, kapasitas untuk mendapat dan memindahtangankan barang, serta kapasitas untuk melakukan proses hukum.76

2.1. Hubungan ICC dengan Pengadilan Domestik

Mahkamah kejahatan internasional generasi pertama (Mahkamah Nuremberg dan Tokyo) sekedar merupakan pelengkap dari pengadilan-pengadilan domestik. Mahkamah kejahatan internasional generasi kedua (ICTY dan ICTR)

75Ibid 76Ibid.

memiliki yurisdiksi bersama (concurrent jurisdiction) dengan pengadilan domestik, namun di dalam hubungan seperti itu ditegaskan adanya primacy

mahkamah kejahatan internasional. Mahkamah kejahatan internasional generasi ketiga (ICC) pada dasarnya merupakan pelengkap dari pengadilan domestik, namun dalam keadaan tertentu diakui adanya primacy mahkamah kejahatan internasional. Hal ini dapat diartikan ICC akan menjadi lembaga terakhir yang akan melakukan tuntutan terhadap individu yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan yang tidak dituntut di negaranya diakibatkan oleh tidak adanya kemampuan ataupun kemauan dari negara tersebut untuk melakukan penuntutan. ICC menggunakan prinsip remedi domestik, bahwa negara peserta tetap mengadili terlebih dahulu pelaku pelanggaran.77 Jelas terlihat bahwa ICC adalah pelengkap bagi pengadilan domestik, keberlakuannya hanya akan dapat terjadi jika pengadilan domestik tidak dapat mengadakan pengadilan terhadap pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan.

2.2. Hubungan ICC dengan PBB

Dewan Keamanan PBB merupakan salah satu pihak yang dapat merujuk suatu situasi dugaan pelanggaran untuk ditindaklanjuti oleh penuntut umum ICC, dengan kata lain yurisdiksi dan kewenangan ICC ditentukan oleh Dewan Keamanan PBB. Dewan Keamanan PBB dapat menyerahkan kepada ICC untuk melakukan investigasi dan penuntutan. Dewan Keamanan PBB juga dapat meminta ICC untuk menghentikan investigasi dan penuntutan selama 12 bulan dalam suatu waktu jika Dewan Keamanan PBB merasakan bahwa langkah-

51

langkah yang dilakukan oleh ICC saling tumpang tindih dengan tanggung jawab Dewan Keamanan PBB untuk memelihara perdamaian dan keamanan.78 PBB bisa menjadi sumber informasi tambahan bagi penuntut umum ICC untuk mengevaluasi informasi awal yang diterimanya. Sekretaris Jenderal PBB bisa menjadi saluran komunikasi berkenaan dengan pernyataan negara-negara mengenai permintaan kerja sama dengan ICC, dan Pendanaan ICC juga didapat dari PBB khususnya ketika ICC menginvestigasi dan menuntut kasus yang diserahkan kepada ICC oleh Dewan Keamanan PBB.79

Dalam dokumen Pengaruh Kejahatan Perang Terhadap Valid (Halaman 42-51)

Dokumen terkait