• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Kejahatan Perang Terhadap Valid

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pengaruh Kejahatan Perang Terhadap Valid"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Dalam pergaulan internasional, sangat banyak hubungan internasional yang terjalin antar negara, negara dengan individu, maupun negara dengan organisasi internasional. Hubungan internasional tersebut tidak selalu berjalan dengan damai, namun seringkali terjadi sengketa, yang acap kali didasari oleh perbedaan kepentingan politik, perebutan wilayah, dan kepentingan ekonomi. Hukum Internasional mempunyai peranan penting ketika sengketa demikian terjadi, yaitu dengan memberikan cara bagaimana sengketa itu bisa terselesaikan menurut hukum internasional dengan baik. Disamping perdamaian, juga ada alternatif lain dalam penyelesaian sengketa, yaitu dengan berperang, yang mana metode ini lebih dipilih oleh negara-negara besar, negara-negara adikuasa yang mempunyai persenjataan bagus dan kuat, sebagai sarana berperang, untuk menyelesaikan sengketanya.1

Dalam perkembangannya, metode penyelesaian sengketa dengan cara berperang semakin membahayakan umat manusia dan obyek-obyek berharga di bumi ini. Dengan semakin berkembangnya teknologi, berkembang dan semakin canggih pula penciptaan senjata-senjata perang, sebagai contoh yaitu senjata pemusnah masal, yang diakui dan diresahkan oleh Masyarakat internasional

(2)

tentang keberadaannya yang sangat berbahaya. Hukum Internasional mencoba untuk membatasi penggunaan metode perang dalam penyelesaian sengketa internasional.

Metode penyelesaian sengketa dengan jalan damai yang telah penulis sebutkan diatas, terdapat dalam pasal 33 piagam PBB, dan dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu:2

1. Negosiasi

Metode ini merupakan dasar dalam menyelesaikan sengketa seara damai, metode ini mempunyai kelemahan, yaitu negara yang lebih besar atau kuat, cenderung lebih mendominasi proses negosiasi, juga lebih mendominasi akan hasil negosiasi.

2. Pencarian Fakta

Metode penyelesaian ini dilakukan dengan mencari dan mengurai fakta yang akan menentukan dan memperjelas hak dan kewajiban masing-masing pihak bersengketa. Metode pencarian fakta ini biasanya dilakukan sebagai lanjutan dari proses negosiasi yang tidak menemukan jalan keluar atau kesepakatan.

3. Jasa-jasa Baik

Metode penyelesaian sengketa dengan bantuan atau campur tangan pihak ketiga, dimana pihak ketiga berusaha mempertemukan, menengahkan dan mendamaikan pihak-pihak bersengketa. Metode ini dapat dilakukan, dengan syarat mutlak ada persetujuan dari para pihak.

(3)

3

4. Mediasi

Metode penyelesaian sengketa ini hampir sama dengan metode negosiasi, ataupun jasa baik, karena sama-sama menggunakan pihak ketiga, pihak ketiga disini disebut sebagai mediator yang ikut aktif dalam proses penyelesain sengketa. Hal yang berbeda dengan proses negosiasi yaitu mediator disini dapat memberikan usulan-usulan penyelesaian sengketa, bila kedua pihak tidak menemukan jalan keluar. Syarat mutlak bagi mediator yaitu disepakati semua pihak bersengketa.

5. Konsiliasi

Metode penyelesaian sengketa dengan konsiliasi ini bisa dikatakan sebagai proses lanjutan dari mediasi, karena ini semacam bentuk mediasi formal, biasnya dibentuk suatu komisi, yaitu komisi konsiliasi. Komisi ini berfungsi unuk menetapkan persyaratan penyelesaian yang diterima oleh para pihak. Namun, putusannya tidaklah mengikat para pihak.

6. Arbitrase

(4)

7. Pengadilan Internasional

Metode penyelesaian sengketa secara damai yang paling akhir. Metode ini biasanya dilakukan karena cara-cara penyelesaian diatas tidak mencapai kesepakatan. Pengadalan berupa Mahkamah Internasional (The International Court of Justice).

Penyelesaian sengketa internasional seringkali diselesaikan diluar pengadilan. Para pihak yang bersengketa, negara, individu, atau organisasi internasional, tidak mengharapkan bahwa sengketa diantara mereka diselesaikan melalui pengadilan. Pada umumnya para pihak yang bersengketa lebih memilih penyelesaian di luar pengadilan dengan ganti rugi, karena penyelesaian sengketa melalui pengadilan menyita waktu yang panjang dan menghabiskan biaya serta energi.

Hukum Internasional mengatur penyelesaian sengketa, dengan memberikan alternatif-alternatif dari yang paling dasar, yaitu negosiasi, hingga tahap akhir yaitu Mahkamah Internasional. Hukum Internasional dengan ini memberikan kebebasan kepada negara-negara bersengketa untuk memilih mekanisme penyelesaian yang ada, selain berperang. Karena telah banyak diketahui bahwa berperang juga membahayakan penduduk sipil yang tidak bersalah.3

Dalam penelitian ini, penulis membatasi penelitian hanya pada metode penyelesaian sengketa dengan berperang saja. Mengingat bermunculannya kejahatan-kejahatan dan pelanggaran perang yang terjadi. Penyelesaian sengketa dengan cara berperang, diatur sepenuhnya dalam Hukum Humaniter Internasional.

(5)

5

Hukum Humaniter tidak hanya mengatur mengenai metode berperang dan tata cara berperang, tetapi lebih menitik beratkan kepada perlindungan hukum bagi korban perang. Penggunaan metode berperang dalam menyelesaikan sengketa internasional, tidak disarankan oleh Hukum Internasional, karena tidak hanya membahayakan combatant (yang berperang), namun juga membahayakan penduduk sipil, juga bangunan-bangunan bersejarah disekitar medan perang karena acapkali kerusakan yang diakibatkan dari peperangan bukanlah kerusakan yang ringan. Dalam Hukum Humaniter Internasional, pengaturan selanjutnya tentang perang diatur dalam Konvensi Jenewa 1949.

Konvensi Jenewa 1949, mengatur norma-norma dan standard perlindungan korban perang, dan terdiri dari 4 (empat) konvensi, dan 3 (tiga) protokol tambahan, yaitu :

- Konvensi Jenewa I tentang Perlindungan terhadap korban luka dan yang menderita sakit dalam pertikaian bersenjata.

- Konvensi Jenewa II tentang Perlindungan terhadap korban luka, korban yang menderita sakit, dan korban kapal karam akibat pertikaian bersenjata di laut. - Konvensi Jenewa III tentang Perlakuan terhadap tawanan perang.

- Konvensi Jenewa IV tentang Perlindungan terhadap penduduk sipil dalam waktu perang.

- Protokol Tambahan I tahun 1977 tentang perlindungan terhadap korban dalam sengketa bersenjata internasional.

(6)

- Protokol Tambahan III tahun 2005 tentang penetapan sebuah lambang kemanusiaan baru, yaitu Kristal Merah.

Pelanggaran terhadap hukum perang, dan kejahatan perang acapkali terjadi ketika perang sedang berlangsung. Dewasa ini banyak sekali terjadi kejahatan perang yang tentunya berlawanan dengan apa yang diatur dalam Konvensi Jenewa 1949 diatas. Pelanggaran yang paling sering terjadi adalah penyiksaan tawanan perang, namun juga acapkali terjadi dimana para combatant memakai senjata yang dilarang oleh Masyarakat internasional, karena sifatnya yang merusak dan menimbulkan luka yang tidak perlu, atau juga menyerang mereka yang lemah dan tak berdaya.

Kejahatan di Abu Ghuraib, Abu Ghuraib adalah penjara bagi para tawanan perang Iraq, yang berlokasi di Iraq. Dari peperangan Amerika Serikat dan Iraq, Amerika Serikat menawan beberapa Tentara Iraq yang tertangkap oleh mereka. Tentara Amerika Serikat yang menawan Tentara Iraq tersebut tidak memperlakukan tawanan Iraq dengan baik, dimana telah diatur dalam Konvensi Jenewa 1949. Namun para Tentara Amerika Serikat tersebut melakukan penyiksaan dan berbuat semena-mena, juga asusila terhadap tawanan Iraq.4 Terungkapnya kasus Abu Ghuraib ini bermula ketika beberapa foto yang menggambarkan penyiksaan dan pelecehan seksual terhadap para tawanan Iraq yang dilakukan Tentara Amerika Serikat tersebut, ditayangkan stasiun televisi

4 Muna Galbia Maulida, ‘Mimpi Buruk Abu Ghuraib’,

(7)

7

CBS dalam acara "60 Minutes II". Kejahatan ini terungkap ketika seorang Tentara Amerika Serikat membocorkan penyiksaan yang terjadi di tempat penawanan, dengan membawa bukti-bukti berupa sejumlah foto. Tentara itu mengaku tak tahan dengan kekejian tersebut. Gambar-gambar yang ditayangkan CBS dan juga di beberapa situs-situs internet, menggambarkan perlakuan tidak bermoral para Tentara Amerika Serikat. Gambar yang menunjukkan seorang tawanan yang diikat, dan kemudian membeturkan kepalanya ke daun pintu hingga berdarah, juga seorang tawanan yang badannya dikenakan jubah dan tutup kepala ala Klu Kux Kan, sementara tangan, kaki, dan lehernya diikat dengan kawat, kemudian ia diminta untuk berdiri di sebuah boks dimana bila tawanan tersebut terjatuh dari boks, maka ia akan tersengat listrik.5 Kejahatan seksual yang dilakukan oleh para Tentara Amerika Serikat tersebut antara lain dengan mengambil semua pakaian mereka dan tidak memperkenankan tawanan memakai pakaian apa-apa setiap hari. Lebih lagi, para Tentara Amerika Serikat yang melakukan kejahatan tersebut, bukan hanya laki-laki, namun seorang Tentara perempuan juga turut andil dalam penyiksaan tawanan Iraq tersebut.6

Rakyat Iraq menilai, Abu Ghuraib adalah tempat yang sangat menakutkan, karena area ini menjadi tempat penyiksaan bagi tawanan, baik pada masa pemerintahan Saddam Husain, lebih lagi pada saat Tentara Amerika Serikat menggunakan lokasi ini sebagai penjara bagi Tentara Iraq. Teriakan dan jerit kesakitan acapkali terdengar oleh warga di dekatnya, yang kemudian disusul

5Ibid.

(8)

dengan truk yang bergegas keluar meninggalkan Abu Ghuraib, lengkap dengan mayat terbungkus di atasnya. Pada zaman itu, ribuan pembangkang ditangkap dan dipenjarakan di Abu Ghuraib, dan disiksa.7

Kejahatan di Guantanamo Bay, yang berlokasi di Cuba, dan di berbagai daerah di Afghanistan, juga mendapat sorotan Massyarakat Internasional. Pada tanggal 21 November 2001, sebanyak 8.000 Tentara Taliban menyerah kepada Tentara Amerika Serikat di Konduz, Afganistan. Kebanyakan dari mereka yang tertawan tidak kembali, dan hilang tak tentu. Seorang saksi mengatakan, "Saya adalah saksi mata ketika seorang Tentara Amerika Serikat mematahkan leher salah seorang tawanan. Orang Amerika dapat melakukan apa saja yang mereka inginkan. Kami tidak mempunyai kekuatan untuk menghentikan mereka”.8

Kejahatan perang yang terjadi, tidak hanya dilakukan oleh Tentara Amerika Serikat, Tentara Inggris juga berbuat kejahatan yang serupa, dapat dikatakan lebih kejam, terhadap tawanan Iraq, di Markas Basra, Iraq. Tindakan Tentara Inggris dan Tentara Amerika Serikat menyiksa tawanan perang Iraq, menggambarkan dominasi mereka, karena dilakukan tanpa memperhatikan hukum dan kecaman Masyarakat internasional.9

Tentara Amerika Serikat mengecam perilaku Tentara dan milisi Irak, dengan mengabaikan Hukum Humaniter Internasional, dalam bentuk menyiksa dan mempertontonkan tawanan perang, membunuh warga sipil (yang terakhir

7 Countercurrents.org, ‘Abu Ghuraib Prisoners Speaks of “Torture” ’, <http://www.countercurrents.org/iraq-jazeera050504.htm>, diakses (02/06/09).

(9)

9

adalah memenggal kepala Nick Berg, warga Amerika Serikat), Menggunakan sarana medis (mobil ambulans) untuk bom bunuh diri, dimana dalam Konvensi Jenewa 1949, mobil yang bertugas untuk kemanusiaan harus dilindungi dari segala bentuk kekerasan apapun.10

Kejahatan genosida juga pernah terjadi, kali ini terjadi pembunuhan terhadap 25 pengikut Imam Muqtada Al-Sadr melalui penghancuran Masjid Mukhaiyam di Karbala, oleh Tentara Amerika Serikat.11

Perang yang baru terjadi yaitu pertikaian bersenjata Isrel dengan Palestina, di jalur Gaza, serangan bersenjata dilakukan terus-menerus dalam upaya memberantas gerakan HAMMAS, yaitu salah satu fraksi bersenjata penentang Israel di palestina. Israel mengatakan bahwa sejak sekitar 29 Desember 2008, para pejuang HAMMAS di jalur Gaza telah meluncarkan lebih dari 180 roket ke wilayah selatan Israel.12 Pihak pemerintah Israel akhirnya mengaku bahwa dalam aksi serangan Israel ke Palestina yang dikenal dengan Operation Cast Lead di jalur Gaza tersebut, Israel menggunakan bom fosfor putih, (senjata kimia berbahaya, berupa materi yang bisa terbakar yang bisa menyebabkan luka bakar yang mengerikan, dan bahkan kematian jika terkena kulit manusia).13 Hukum Humaniter Internasional, melarang penggunaan senjata tersebut.

10 Heru Susetyo, ‘Penistaan Hukum Perang’,

<http://swaramuslim.net/more.php?id=A629_0_1_0_M>, diakses (02/06/09).

11Ibid.

12 Muna Galbia Maulidia, ‘Israel Membayar Ongkosnya’,

<http://gebi.blogspot.com/2005/06/israel-membayar-ongkosnya.html>, diakses (02/06/09).

13 Muna Galbia Maulidia, ‘Dan Palestinapun Menangis’,

(10)

Peristiwa kejahatan perang, pelanggaran Hukum Humaniter dan HAM seperti ini, membawa dampak akan luka dan penderitaan yang tidak perlu pada orang yang tidak bersalah (innocent people), juga menimbulkan adanya larangan kebebasan beragama dan penghancuran simbol-simbol keagamaan yang diakui. Hal ini tentu akan meresahkan masyarakat internasional, dimana telah diatur dalam Konvensi Jenewa 1949, namun seakan-akan implementasinya gagal.14 2. Rumusan Masalah

Pada hakekatnya masalah yang timbul dalam suatu penelitian, merupakan segala bentuk pernyataan yang perlu dicari jawabannya, atau segala bentuk kesulitan yang datang tentunya harus ada kegiatan yang memecahkannya. Sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai.15 Sesuai dengan uraian pada latar belakang tersebut, maka pembahasan dalam skripsi berjudul “Pengaruh

Kejahatan Perang Terhadap Validitas Hukum Humaniter Internasional”,ini

akan dibatasi pada permasalahan-permasalahan sebagai berikut :

- Bagaimanakah validitas Hukum Humaniter Internasional dengan acapkali terjadinya pelanggaran dan kejahatan perang?

- Bagaimanakah tindak lanjut bagi pelaku kejahatan tersebut ?

14 Heru Susetyo, ‘Penistaan Hukum Perang’,

<http://swaramuslim.net/more.php?id=A629_0_1_0_M>, diakses (02/06/09).

(11)

11

3. Tujuan penelitian

Setiap penelitian dalam penulisan ilmiah pasti mempunyai tujuan yang ingin dicapai, demikian halnya dalam penulisan skripsi ini juga mempunyai tujuan penulisan yaitu sebagai berikut :

- Untuk mengetahui sejauh mana Hukum Humaniter Internasional mengatur tentang norma-norma dan tata cara berperang, juga memberikan perlindungan, serta jaminan keamanan kepada yang berperang maupun penduduk sipil. - Untuk mengetahui proses penyelesaian sengketa pada pelaku kejahatan perang. 4. Manfaat Penelitian

Manfaat secara khusus penelitian ini yaitu merupakan suatu studi dibidang Hukum Humaniter Internasional, di mana penulis berharap dalam penulisan skripsi ini dapat menambah wawasan pola berpikir secara analisis dan ilmiah dari penulis sendiri dan memberikan gambaran secara jelas mengenai bagaimana menyelesaikan suatu gugatan kejahatan perang menggunakan jalur litigasi seperti pengadilan. Penelitian ini diharapkan pula dapat berguna bagi peneliti selanjutnya, bagi mahasiswa dan aktivis Universitas Airlangga Surabaya, serta bagi masyarakat yang khususnya bergerak di bidang Hukum Humaniter Internasional.

(12)

5. Metode Penelitian

5.1. Pendekatan Masalah

Metode penelitian skripsi ini adalah dengan studi kasus yang menggunakan pendekatan yuridis normatif. Penelitian dengan pendekatan yuridis normatif yaitu meneliti permasalahan yang ada berdasarkan peraturan perundang-undangan dan literatur-literatur yang ada kaitannya dengan permasalahan.16

5.2. Pengumpulan Bahan Hukum

Bahan penelitian yang dipakai penulis dalam skripsi ini yaitu data dari penelitian kepustakaan, dimana terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum, yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier, yang akan penulis jelaskan satu persatu, sebagai berikut :

- Bahan Hukum Primer

Bahan hukum yang sifatnya mengikat berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bersangkutan dengan permasalahan dalam penelitian yang sedang dibahas, yaitu :

1. Konvensi Den Haag Tahun 1899 dan 1907 tentang cara dan metode dalam berperang (means and method of war).

2. Konvensi Jenewa Tahun 1949, meliputi :

a. Konvensi Jenewa I tentang Perlindungan terhadap korban luka dan yang menderita sakit dalam pertikaian bersenjata.

(13)

13

b. Konvensi Jenewa II tentang Perlindungan terhadap korban luka, korban yang menderita sakit, dan korban kapal karam akibat pertikaian bersenjata

di laut.

c. Konvensi Jenewa III tentang Perlakuan terhadap tawanan perang.

d. Konvensi Jenewa IV tentang Perlindungan terhadap penduduk sipil dalam waktu perang.

e. Protokol Tambahan I tahun 1977 tentang perlindungan terhadap korban dalam sengketa bersenjata internasional.

f. Protokol Tambahan II tahun 1977 tentang perlindungan terhadap korban dalam sengketa bersenjata non-internasional.

g. Protokol Tambahan III tahun 2005 tentang penetapan sebuah lambang kemanusiaan baru, yaitu Kristal Merah.

3. Convention Against Torture and Other Cruel Inhuman or Degrading Treatment or Punishment.

4. Piagam PBB.

- Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum yang sifatnya menjelaskan bahan hukum primer, dimana bahan hukum sekunder berupa buku literature yang ada, yang berkaitan dengan penelitian, yaitu :

1. Buku-buku tentang Penelitian Hukum Normatif. 2. Buku-buku tentang Hukum Internasional.

3. Buku-buku tentang Hukum Humaniter Internasional.

(14)

5.3. Teknik Pengumpulan Data

Penulisan ini dilakukan dengan studi beberapa literatur dan kajian kepustakaan, yaitu dengan cara membaca dan mempelajari buku-buku dan bahan-bahan yang berhubungan dengan permasalahan yang menjadi pokok bahasan, yang kemudian berdasarkan studi pustaka tersebut diperoleh informasi teoritis, dan selanjutnya diolah dan dirumuskan secara sistematis sesuai dengan masing-masing pokok dan materi bahasannya.17

5.4. Metode Analisa Data

Metode merupakan cara atau alat untuk mencapai suatu tujuan. Pada penelitian ini penulis cenderung untuk menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu data yang diperoleh berdasarkan fakta kemudian dikaitkan dengan penerapan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dibahas, dianalisa, kemudian ditarik kesimpulan yang akhirnya digunakan untuk menjawab permasalahan yang ada.18

6. Alasan Pemilihan Judul

Penulisan ini memakai judul “Pengaruh Kejahatan Perang Terhadap

Validitas Hukum Humaniter Internasional”, yang bilamana diuraikan:

Pengaruh : Menunjukkan akibat dari suatu perbuatan.

Kejahatan Perang : Suatu tindakan kriminal yang dilakukan pada saat berperang.

Validitas : Merupakan salah satu unsur dari keberlakuan hukum.

17Ibid, hal. 13

(15)

15

Hukum Humaniter Internasional : Hukum yang mengacu dan menjadi dasar

dari pembahasan penelitian ini.

Jadi tujuan dipilihnya judul tersebut adalah untuk melihat seberapa jauh validitas dari Hukum Humaniter Internasional sebagai akibat adanya kejahatan perang. 7. Pertanggung Jawaban Sistematika Penulisan

Pertanggung jawaban sistematika bertujuan agar penulisan skripsi ini dapat terarah dan tersusun sistematis.19 Sehingga dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi menjadi 4 (empat) bab, yaitu :

BAB I, Pendahuluan, yang merupakan pengantar secara keseluruhan dari isi skripsi ini, yang di dalamnya berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian yang mencakup, 1) pendekatan penelitian; 2) bahan penelitian ; 3) teknik pengumpulan data ; 4) analisa data, alasan pemilihan judul, serta pertanggung jawaban sistematika.

BAB II, Pembahasan, yang merupakan tindak lanjut dari pengumpulan data dan pembelajaran teori guna pembahasan awal rumusan permasalahan pertama, mengenai bagaimana pengturan dalam Hukum Humaniter dengan berbagai bentuk kejahatan perang diatas.

BAB III, Pembahasan, yang merupakan tindak lanjut dari pengumpulan data dan pembelajaran teori guna pembahasan lanjut rumusan masalah pertama, dan pembahasan rumusan permasalahan kedua, mengenai studi kasus dan bagaimana penegakan Hukum Humaniter Internasional bagi pelaku kejahatan perang tersebut.

(16)

BAB IV, Penutup, yang merupakan tahap akhir dari penelitian, berisikan tentang kesimpulan dan saran-saran penulis. Kesimpulan berisi tentang jawaban dari rumusan masalah baik permasalahan yang pertama maupun permasalahan yang kedua, dengan tujuan memperjelas pembahasan. Saran berisi tentang rekomendasi penulis kepada ilmu pengetahuan di bidang Hukum khususnya Hukum Humaniter Internasional.

(17)

17 BAB II

KEJAHATAN PERANG DALAM HUKUM HUMANITER

INTERNASIONAL

1. Hukum Humaniter Internasional dan Pengaturannya

Hukum Humaniter Internasional merupakan satu bagian dari Hukum Internasional Publik. Pengaturannya dimuat dalam Konvensi Jenewa 1949 meliputi ketentuan-ketentuan hukum internasional yang mengatur cara berperang, metode dan sarana berperang, dan ketentuan internasional tentang perlindungan korban perang. Tujuan utamanya adalah mengurangi dan mencegah penderitaan manusia ketika berlangsung pertikaian bersenjata. Hukum Humaniter Internasional harus dipatuhi oleh pemerintah-pemerintah beserta angkatan bersenjatanya, maupun oleh setiap kelompok lawan bersenjata, dan kepada setiap pihak yang terlibat suatu pertikaian.20 Instrumen Hukum Humaniter Internasional yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949 meliputi :

- Konvensi Jenewa I tentang Perlindungan terhadap korban luka dan yang menderita sakit dalam pertikaian bersenjata.

- Konvensi Jenewa II tentang Perlindungan terhadap korban luka, korban yang menderita sakit, dan korban kapal karam akibat pertikaian bersenjata di laut. - Konvensi Jenewa III tentang Perlakuan terhadap tawanan perang.

- Konvensi Jenewa IV tentang Perlindungan terhadap penduduk sipil dalam waktu perang.

(18)

Karena menurut penilaian negara-negara peserta agung, bahwa Konvensi Jenewa 1949 tidak dapat memberikan perlindungan yang maksimal pada pertikaian bersenjata setelah 1949, maka disepakati untuk melakukan penambahn pengaturan perlindungan korban sipil akibat pertikaian bersenjata berskala internasional atau internal di masing-masing negara peserta agung. Penyempurnaan Konvensi Jenewa 1949 tersebut dituangkan dalam 3 (tiga) Protokol :

- Protokol Tambahan I tahun 1977 tentang perlindungan terhadap korban dalam sengketa bersenjata internasional.

- Protokol Tambahan II tahun 1977 tentang perlindungan terhadap korban dalam sengketa bersenjata non-internasional.

- Protokol Tambahan III tahun 2005 tentang penetapan sebuah lambang kemanusiaan baru, yaitu Kristal Merah.

Keempat Konvensi Jenewa berlaku pada pertikaian bersenjata internasional. Konvensi-konvensi ini menetapkan bahwa penduduk sipil dan orang yang tidak lagi ikut serta dalam permusuhan harus diselamatkan dan diperlakukan secara manusiawi. Ketiga Protokol Tambahan Tambahan taun 1977 dan 2005 adalah pelengkap Konvensi Jenewa, Protokol Tambahan I dan Protokol Tambahan II tahun 1977, bertujuan untuk membatasi penggunaan kekerasan dan melindungi penduduk sipil, yaitu dengan memperkuat aturan-aturan yang mengatur perilaku pertempuran. Hingga tahun 2005, sebanyak 162 negara telah menjadi peserta Protokol Tambahan I dan 157 negara telah menjadi peserta Protokol Tambahan II.21 Untuk Protokol Tambahan III tahun 2005, mengatur penambahan lambang

(19)

19

kemanusiaan baru, lambang perlindungan, yaitu berupa kristal merah, dimana lambang ini akan dipakai oleh organisasi kemanusiaan internasional seperti ICRC (International Committee of the Red Cross) dalam menjalankan tugasnya.22

Dalam pertikaian bersenjata selalu melibatkan tiga unsur, yaitu combatant, penduduk sipil, dan tawanan perang. Ke tiga unsur dalam pertikaian bersenjata tersebut, akan penulis uraikan lebih lanjut.

1.1 Combatant

Combatant adalah orang yang berperan aktif dalam pertempuran bersenjata, seorang combatant mematuhi syarat-syarat combatant dalam Hukum Humaniter Internasional, disebut Lawful Combatant dan dapat tergolong sebagai tawanan perang seperti yang telah dijelaskan pada Pasal 4 dan Pasal 5 Konvensi Jenewa III. Bilamana seseorang combatant tidak mematuhi syarat-syarat dalam Hukum Humaniter Internasional, maka disebut Unlawful Combatant. Untuk mendapatkan status combatant dan dapat menjadi tawanan perang yang dilindungi oleh Hukum Humaniter Internasional, seorang combatant harus memiliki karakteristik sebagai berikut:23

- Merupakan anggota salah satu pihak dari pihak-pihak yang bertikai

- Bagian dari militer, namun tidak dibawah komando, serupa dengan gerakan perlawanan yang terorganisir, dengan syarat :

22Ibid.

23 Arlina Permanasari, ‘Prinsip Pembedaan dalam Hukum Humaniter’,

(20)

1. Dipimpin oleh seorang yang bertanggung jawab

2. Memiliki tanda pembedaan yang tetap dan dapat terlihat dari kejauhan 3. Membawa senjata terang-terangan

4. Dalam melaksanakan operasi militer, patuh terhadap hukum dan kebiasaan perang

- Orang-orang sipil yang menyertai pasukan bersenjata yang dilengkapi dengan surat perintah dan tanda pengenal

- Penduduk yang tidak menempati wilayah, yang pada waktu musuh melakukan invasi, secara spontan mengangkat senjata untuk perlawanan, dimana mereka tidak mempunyai waktu untuk membentuk diri menjadi suatu unit kesatuan bersenjata.

1.2 Penduduk Sipil

Orang-orang yang tidak ikut sama sekali dalam pertikaian, orang-orang yang tidak bersalah, orang-orang yang tidak memakai seragam, orang-orang yang tidak membawa senjata, orang-orang yang sudah tidak lagi menjadi bagian dari pertikaian, adalah penduduk sipil. Penduduk sipil sebagai komponen dalam setiap pertikaian harus mendapatkan perlakuan:24

- Dihormati

- Diperlakukan secara manusiawi

- Dilindungi dari segala penyakit dan luka yang tidak perlu - Dihormati harta bendanya, tidak boleh dirusak atau dicuri - Tidak boleh dijadikan tawanan

(21)

21

1.3 Tawanan Perang

Orang-orang yang dapat dikategorikan sebagai tawanan perang adalah:25

- Anggota angkatan bersenjata pihak-pihak yang bersengketa, termasuk milisi dan korps sukarela yang menjadi bagian dari angkatan bersenjata

- Anggota gerakan perlawanan yang terorganisir, dengan syarat : 1. Dipimpin oleh seorang yang bertanggung jawab

2. Memiliki tanda pembedaan yang tetap dan dapat terlihat dari kejauhan 3. Membawa senjata terang-terangan

4. Dalam melaksanakan operasi militer, patuh terhadap hukum dan kebiasaan perang

- Anggota angkatan bersenjata regular yang mengabdi kepada pemerintah atau penguasa yang diakui oleh negara penawan

- Orang-orang sipil yang menyertai pasukan bersenjata yang dilengkapi dengan surat perintah dan tanda pengenal

- Anak pesawat dan kapal dagang para pihak yang kurang diuntungkan oleh ketentuan hukum internasional lainnya

- Penduduk wilayah yang bukan wilayah pendudukan yang melakuakn perlawanan secara spontan terhadap musuh yang mendekat pada saat melakukan invasi

Dibedakan juga atas orang-orang yang tidak berhak mendapatkan status sebagai tawanan perang, yaitu :

(22)

- Mata-mata atau spionase

- Tentara bayaran atau mercenaries 2. Perlindungan Dalam Perang

Seorang prajurit perang berhak mendapatkan perlindungan, Pasal 44 Protokol Tambahan 1977 Konvensi Jenewa 1949, dengan tegas menyebutkan bahwa:26

- Luka-luka dan penderitaan yang ditimpakan pada musuh tidak boleh melebihi tingkat yang diperlukan untuk mencapai tujuan militer yang sah

- Combatant yang tidak lagi dapat ikut serta dalam operasi militer tidak boleh diserang

- Dalam pertikaian bersenjata internasional, combatant yang tertangkap harus dianggap sebagai tawanan perang dan harus dilindungi sebagaimana ditetapkan oleh Konvensi Jenewa

- Tawanan perang yang tidak dapat dirawat, harus dibebaskan

Berhubungan dengan tawanan perang, Pasal 13 Konvensi Jenewa III tahun 1949 menyebutkan bahwa “tawanan perang (prisoner of war) harus dilperlakukan secara kemanusiaan dalam semua keadaan (must at all times be humanely treated). Setiap perlakuan yang menyimpang dari pihak penahan adalah dilarang keras dan dikategorikan sebagai pelanggaran yang sangat serius terhadap Konvensi Jenewa (serious breach to Geneva Convention)”. Tawanan perang harus

(23)

23

dilindungi setiap saat dari kekerasan, intimidasi, penghinaan, dan publisitas, objek mutilasi, dan harus diobati, serta memperoleh pengobatan.27

Di samping diatur dalam hukum humaniter, perlindungan terhadap tawanan perang juga diatur secara tidak langsung dalam Konvensi Anti-Penyiksaan (Convention Against Torture and Other Cruel Inhuman or Degrading Treatment or Punishment). Pasal 2 Konvensi ini menyebutkan bahwa “setiap negara peserta konvensi harus dapat mencegah kekerasan dalam wilayah jurisdiksinya, tanpa memandang apakah terjadi dalam masa damai ataupun perang”. Pasal 11 konvensi yang sama, menyebutkan bahwa “setiap negara peserta konvensi ini haruslah menegakkan aturan yang sistematis dalam hal interogasi, penangkapan, dan penahanan, serta harus menghindarkan kekerasan”.28

Dalam Pasal 49 Konvensi ke I, Pasal 50 Konvensi ke II, Pasal 129 Konvensi ke III, Pasal 146 Konvensi ke IV, Konvensi Jenewa 1949, mengatur, bahwa ada sanksi pidana dan sanksi disiplin sesuai hukum negara penahan, serta adanya jaminan peradilan yang wajar. Dari sini dapat dilihat, bahwa Hukum Humaniter telah memberikan perlindungan yang pasti untuk para tawanan perang, hingga sanksi pidana dapat diterapkan, meskipun tidak ada sanksi hukum yang mengancam, tetapi sanksi pidana dijatuhkan sesuai dengan hukum yang berlaku dalam negara setempat. Ini berarti, Hukum Humaniter itu bukanlah hukum yang melarang adanya perang, dan Hukum Humnaiter tidak pernah mempersoalkan kenapa terjadi perang, namun Hukum Humaniter, bertujuan untuk

27 Heru Susetyo, ‘Penistaan Hukum Perang’,

<http://swaramuslim.net/more.php?id=A629_0_1_0_M>, diakses (02/06/09).

(24)

memanusiawikan perang. Perlindungan umum pada Pasal 4 Konvensi Jenewa III 1949 bagi tawanan perang antara lain :

- Tanggung jawab ada pada negara penawan

- Perlakuan yang mengakibatkan kematian atau sangat membahayakan kesehatan adalah kejahatan berat

- Tidak boleh menjadi obyek mutilasi

- Dilindungi dari kekerasan, intimidasi, penghinaan dan dari tontonan publik - Pribadi tawanan perang harus dihormati

- Memperoleh pengobatan

- Segala hak dan status tidak dapat dicabut - Mendapat perlakuan layak yang sama

Dalam masa peperangan, acapkali penduduk sipil juga turut merasakan penderitaan yang tidak manusiawi, menjadi korban perang secara langsung, menjadi sasaran langsung, menjadi korban pembantaian massal, penyandraan, pelecehan seksual, pengusiran, penjarahan, dan penutupan akses akan air, bahan dasar makanan, dan alat-alat kesehatan.29

Hukum Humaniter Internasional memberikan perlindungan maksimal kepada penduduk sipil. Penduduk sipil yang tidak ikut dalam medan perang, atau orang yang tidak ikut serta dalam permusuhan, meskipun sebelumnya orang tersebut pernah ikut serta dalam permusuhan tetapi kini bukan lagi bagian dari permusuhan, mereka tidak boleh diserang sama sekali, mereka harus diselamatkan dan dilindungi. Dalam perang, Konvensi Jenewa IV 1949 dan Protokol Tambahan

(25)

25

I 1977, telah diatur dengan jelas akan ketentuan-ketentuan yang berisi perlindungan penduduk sipil dan harta benda penduduk sipil. Baik dalam pertikaian bersenjata non-internasional, penduduk sipil juga mendapatkan perlindungan dari Hukum Humaniter Internasional, yang diatur dalam Konvensi Jenewa 1949 pada Pasal 3 ketentuan yang sama pada keempat Konvensi Jenewa 1949. Keempat Konvensi Jenewa tersebut dan Protokol Tambahannya, juga sangat mementingkan upaya perlindungan anak, baik itu ketentuan yang ada dalam perlindungan penduduk sipil secara keseluruhan, maupun ketentuan yang difokuskan pada anak-anak, yaitu pada pasal 14 dan 16 Konvensi Jenewa IV 1949. Bentuk perlindungan umum secara tegas disebutkan dalam Pasal 76 dan 77 Protokol Tambahan I tahun 1977 yaitu:30

- Korban luka dan korban sakit, baik sipil maupun militer harus dikumpulkan dan dirawat, tanpa diskriminasi.

- Perempuan dan anak-anak harus dihormati dan dilindungi dari setiap bentuk penyerangan yang tidak senonoh.

- Anak-anak dan remaja harus diberi perlindungan khusus. Anak dibawah 15 tahun tidak boleh direkrut atau ditugaskan untuk ikut serta dalam pertikaian. - Anggota keluarga yang terpisah akibat pertikaian seharusnya dipertemukan

kembali. Mereka juga berhak untuk mengetahui nasib anggota keluarganya yang hilang.

(26)

3. Penggunaan Istilah Perang

Istilah perang, mempunyai definisi sendiri, dapat dikatakan perang bilamana dalam suatu pertikaian bersenjata, disertai dengan hal-hal berikut : a. Adanya pernyataan dari salah satu pihak, untuk mengakhiri hubungan damai

dengan pihak lainnya.

b. Para prajurit perang (belligerent), haruslah memakai seragam, dan tidak boleh memakai seragam yang sama dengan pihak lawan, dimana hal ini dapat diperjanjikan terlebih dahulu oleh kedua belah pihak.

c. Mempunyai atau mensepakati area dimana perang akan dilangsungkan.

d. Menaati ketentuan perang yang telah diatur dalam Hukum Humaniter Internasional.

Sampai saat ini pertikaian bersenjata yang dapat diklasifikasikan sebagai perang, hanyalah Perang Dunia 1 (tahun 1914 – 1918), dan Perang Dunia 2 (tahun 1939 – 1945). Sedangkan pertikaian bersenjata lainnya yang kerap terjadi tidak dapat diklasifikasikan sebagai perang, karena tidak memenuhi unsur perang diatas, tetapi lebih tepat disebut sebagai agresi yaitu penyerangan, dengan tujuan mengambil alih wilayah, membuat bahaya, menyakiti, merusak, menghancurkan dan perilaku destruktif lainnya.

(27)

27

Hukum Humaniter Internasional tidak akan berlaku efektif, karena acapkali pertikaian bersenjata tidak dapat diklasifikasikan sebagai perang dengan tidak dipenuhinya unsur perang yang telah penulis jelaskan diatas, dan kenyataannya pertikaian bersenjata terus terjadi.31 Oleh karena itu istilah perang diperluas dengan istilah menjadi armed conflict. Istilah ini mencakup luas, untuk semua pertikaian bersenjata, baik yang dapat digolongkan sebagai perang atau agresi, yang terjadi antar negara (International Armed Conflict) atau yang non-internasional (Non-International Armed Conflict).32 Dengan adanya pergantian ini, Hukum Humaniter Internasional berlaku lebih efektif, seperti yang tercantum pada Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949, yang menjelaskan bahwa Konvensi Jenewa harus diterapkan dalam semua perang atau pertikaian bersenjata, yang berarti ruang lingkup berlakunya Hukum Humaniter Internasional menjadi diperluas tidak hanya pada perang dalam arti klasik saja.33

Pengaturan dalam Hukum Humaniter Internasional berperan penting, hal ini tertuang dalam resolusi Majelis Umum No.2444 tahun 1968 yang menyebutkan bahwa Majelis mengakui perlunya menerapkan asas-asas humaniter dalam semua pertikaian bersenjata. Dengan ini diakui bahwa asas kemanusiaan itu harus dihormati, baik dalam waktu damai maupun apabila timbul pertikaian bersenjata,

31 Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2007, hal. 14.

(28)

mengingat tujuan utama Hukum Humaniter Internasional adalah mengurangi dan mencegah penderitaan manusia ketika berlangsung pertikaian bersenjata.34

Tujuan utama dari Hukum Humaniter Internasional adalah memberikan perlindungan dan pertolongan kepada mereka yang menderita atau menjadi korban perang, baik mereka yang secara aktif turut serta dalam pertempuran, atau mereka yang tidak turut serta dalam medan pertempuran, yaitu penduduk sipil.35 Hukum Humaniter Internasional berlaku pada saat timbulnya pertikaian bersenjata atau perang. Hukum Humaniter Internasional mengatur pertikaian bersenjata, baik yang bersifat internasional (International Armed Conflict), juga yang bersifat non internasional (Non-International Armed Conflict). Dalam penerapan Hukum Humaniter Internasional memang tidaklah mudah, bukan hanya karena faktor ketidakpatuhan pihak berperang saja, namun faktor utama Hukum Humaniter Internasional sulit diterapkan adalah karena Hukum Humaniter Internasional itu sendiri, harus diterapkan pada masa perang.36 Hukum Humaniter Internasional memberikan jaminan melalui Konvensi Jenewa 1949 agar peraturan yang terkandung didalamnya dipatuhi dengan baik dengan memberikan sanksi hukum bagi pelanggarnya.

4. Upaya Hukum Bilamana Terjadi Sengketa

Asal mula sengketa antar negara atau internal negara biasanya bermula pada situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Biasanya ini

34Ibid, hal. 16.

35Ibid, hal. 3.

(29)

29

diawali oleh perasaan tidak puas, bersifat subyektif dan tertutup. Kejadian ini dapat dialami negara maupun antar negara. Biasanya diselesaikan dengan jalan negara yang merasa dirugikan menyampaikan keluhan kepada negara yang dianggap merugikan melalui nota diplomatik, apabila pihak yang dianggap merugikan dapat menanggapi keluhan pihak yang merasa dirugikan, maka selesailah pertikaian tersebut. Tetapi sebaliknya jika beda pendapat kedua belah pihak terus berlanjut, yang mana acapkali terjadi di kehidupan internasional, upaya hukum lain dalam penyelesaian sengketa tersebut perlu ditempuh demi keamanan dan keharmonisan kehidupan internasional.

Dalam situasi sengketa, perbedaan pendapat dan perdebatan yang berkepanjangan biasanya berakhir dengan putusnya jalur komunikasi dan keharmonisan kehidupan bersama, sehingga acapkali masing-masing pihak mencari jalan keluar tanpa memikirkan nasib ataupun kepentingan pihak lainnya.

Proses penyelesaian sengketa yang efektif, prasyarat bahwa hak didengar kedua belah pihak sama-sama diperhatikan harus terpenuhi. Dengan itu baru dapat dimulai proses dialog dan pencarian titik temu yang akan menjadi panggung dimana proses penyelesaian sengketa dapat berjalan. Tanpa kesadaran pentingnya langkah ini, proses penyelesaian sengketa tidak akan ada dalam arti yang sebenarnya, yang mana ada tiga faktor utama yang mempengaruhi proses penyelesaian sengketa, yaitu:37

a. Kepentingan

(30)

b. Hak-hak

c. Status kekuasaan

Para pihak yang bersengketa pasti berkeinginan agar kepentingannya tercapai, hak-haknya dipenuhi, dan ingin status kekuasaannya diperlihatkan, dimanfaatkan dan dipertahankan. Dalam proses penyelesaian sengketa, pihak-pihak yang bersengketa lazimnya akan bersikeras mempertahankan ketiga faktor yang telah penulis sebutkan diatas.

Upaya yang dapat ditempuh oleh para pihak yang bersengketa, dalam hal ini negara, dapat diklasifikasikan menjadi dua prosedur, yaitu :

a. Prosedur litigasi b. Prosedur non-litigasi

Dalam penindak lanjutan para pelaku kejahatan perang, prosedur non-litigasi sudah tidak mungkin lagi diterapkan, untuk itu penulis akan membahas sebatas prosedur atau jalur litigasi saja. Jalur litigasi dalam penyelesaian suatu sengketa internasional, dapat ditempuh melalui ICC (International Criminal Court) atau ICJ (International Court of Justice). ICJ adalah suatu pengadilan yang mengadili sengketa internasional. Metode penyelesaian sengketa melalui ICJ ini yang paling memungkinkan tercapainya penyelesaian dalam suatu sengketa. ICJ adalah suatu bentuk pengadilan internasional permanen, yang dikenal dengan Mahkamah Internasional.38

(31)

31

5. Kejahatan Perang

Kejahatan perang, merupakan salah satu bentuk kejahatan internasional menurut ICC (International Criminal Court), dalam statuta roma 1998, kejahatan internasional memiliki 4 (empat) jenis kejahatan, yaitu:39

1. Kejahatan Perang (war crimes)

Kejahatan perang adalah suatu tindakan pelanggaran, dalam cakupan hukum internasional, terhadap hukum perang oleh satu atau beberapa orang, baik militer maupun sipil. Pelaku kejahatan perang ini disebut penjahat perang. Setiap pelanggaran pada konflik antar bangsa merupakan kejahatan perang. Pelanggaran yang terjadi pada konflik internal suatu negara, belum tentu bisa dianggap kejahatan perang.40 Kejahatan perang meliputi semua pelanggaran terhadap perlindungan yang telah ditentukan oleh hukum perang, dan juga mencakup kegagalan untuk tunduk pada norma prosedur dan aturan pertempuran, seperti menyerang pihak yang telah mengibarkan bendera putih, atau sebaliknya, menggunakan bendera perdamaian itu sebagai taktik perang untuk mengecoh pihak lawan sebelum menyerang. Perlakuan semena-mena terhadap tawanan perang atau penduduk sipil juga bisa dianggap sebagai kejahatan perang. Pembunuhan massal dan genosida kadang dianggap juga sebagai suatu kejahatan

39 Alif, Perang, Hukum Humaniter dan Perkembangan Internasional, hal. 7.

(32)

perang, walaupun dalam sebenarnya kejahatan ini secara luas dideskripsikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.41

Kejahatan perang merupakan bagian penting dalam Hukum Humaniter Internasional, dan biasanya pada kasus kejahatan ini dibutuhkan suatu pengadilan internasional, seperti pengadilan Nuremberg, pengadilan ini pada awal abad ke-21 adalah pengadilan kejahatan internasional untuk bekas Yugoslavia dan pengadilan kejahatan internasional untuk Rwanda, yang dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB berdasarkan pasal VII Piagam PBB. Dan kini pengadilan internasional tersebut dipersatukan menjadi sebuah lembaga yang bernama ICC (International Criminal Court).

Kejahatan perang ini mencakup tindakan-tindakan yang sangat luas, contohnya :

a. Perbuatan yang merupakan pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa 1949. b. Pelanggaran berat terhadap hukum dalam kerangka hukum interasional.

c. Pelanggaran berat dalam Pasal 3 ketentuan bersama (common articles), dari keempat Konvensi Jenewa 1949 dalam pertikaian bersenjata non-internasional. d. Pelanggaran berat lainnya, terhadap hukum kebiasaan yang berlaku dalam

pertikaian bersenjata non-internasional dalam kerangka hukum internasional. Pada umumnya kejahatan perang yaitu kejahatan dan pelanggaran akan hukum yang mengatur, yang dilakukan pada masa pertikaian bersenjata. Namun tidak semua pelanggaran yang dilakukan dapat digolongkan menjadi kejahatan perang.

(33)

33

Salah satu bentuk war crimes adalah grave breaches yaitu pelanggaran serius terhadap kemanusiaan, dimana sebenarnya Konvensi Jenewa 1949 tidak mengatur hukuman para pelaku grave breaches tersebut. Dalam Konvensi Jenewa IV tahun 1949, grave breaches dipakai untuk membedakan antara kejahatan perang yang terjadi dalam pertikaian bersenjata internasional, dalam hubungannya dengan istilah ”orang-orang yang dilindungi” (the protected persons) dengan kejahatan yang dilakukan dalam pertikaian internal atau domestik (Psl 4 Jo. Psl 147 Konvensi Jenewa IV). Sementara yang dimaksud sebagai ”the protected persons” adalah ”… mereka yang dalam waktu tertentu dan dengan cara apa pun, mendapatkan dirinya, dalam sebuah pertikaian atau pendudukan, berada pada kekuasaan salah satu pihak dalam pertikaian, di mana nasionalitas mereka tidak sama dengan pihak yang menguasainya”. Penggunaan terminologi ”the protected person” di atas, memang mengarah pada proposisi bahwa tawanan perang ataupun orang-orang sipil dalam pertikaian internal, tidak mendapat perlindungan oleh Konvensi Jenewa 1949.42

Selain kejahatan perang, kejahatan internasional lain dalam Statuta Roma, antara lain, genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan agresi.

2. Genosida (genoside)

Kejahatan genosida dimaksudkan untuk menghancurkan atau memusnahkan satu kelompok etnis tertentu, berikut adalah 5 (lima) jenis

42 Ihsan Basir, ‘Kejahatan Serius’, <

(34)

perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk mengancurkan kelompok, bangsa, enis, ras juga agama tersebut :

a. Membunuh anggota kelompok.

b. Menyebabkan penderitaan fisik dan mental yang berat terhadap anggota kelompok.

c. Sengaja menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik, baik seluruhnya atau sebagian.

d. Memaksa tindakan yang bertujuan untuk mencegah kelahiran dalam suatu kelompok.

e. Memindahkan secara paksa anak-anak dari suatu kelompok ke kelompok yang lainnya.

Genosida telah diatur dalam suatu konvensi tersendiri yang dinamakan Konvensi Genosida 1948.

3. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (crimes against humanity)

Kejahatan ini biasanya dilakukan dengan sengaja melakukan penyerangan yang sistematis dan meluas, yang langsung ditujukan terhadap penduduk sipil. Berikut adalah 11 (sebelas) jenis perbuatan kejahatan kemanusiaan :

a. Pembunuhan. b. Pembasmian. c. Perbudakan.

d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa.

(35)

35

f. Penyiksaan. g. Pemerkosaan.

h. Penindasan terhadap suatu kelompok atau gender atau kelompok lain yang tidak diperbolehkan oleh hukum internasional.

i. Kejahatan rasial.

j. Perbuatan tidak manusiawi yang sengaja mengakibatkan luka serius terhadap badan, mental atau kesehatan fisik seseorang.

4. Agresi (aggression)

Agresi adalah perbuatan menghancurkan, dan semua perilaku yang destruktif.43

Penulis dalam penulisan ini memfokuskan bahasan pada kejahatan perang, karena dewasa ini semakin banyak terjadi kejahatan yang dilakukan pada masa pertikaian bersenjata sedang berlangsung, dimana kejahatan itu tidak hanya berdampak pada pihak-pihak yang bertikai saja, namun para penduduk sipil, juga bangunan-bangunan bersejarah dan berharga menjadi korban kejahatan perang. Kejahatan perang kerapkali terjadi pada tawanan perang. Perihal kejahatan serupa, telah diatur dalam Protokol Tambahan I dan II, yang dengan jelas melarang:44 - Combatant menyamar sebagai prang sipil

- Penyerangan yang membabi buta, tidak pandang bulu

- Tindakan kekerasan, atau ancaman tindakan kekerasan, yang bertujuan untuk menyebarkan terror

(36)

- Perusakan obyek-obyek yang mutlak diperlukan untuk kelangsungan hidup penduduk

- Penyerangan terhadap tempat ibadah dan monument

Akibat dari kejahatan perang adalah luka yang tidak perlu, untuk mencegah terjadi pada orang-orang sipil, dibentuk Protokol Tambahan 1977 pada Konvensi Jenewa 1949 yang berupaya memastikan penghormatan terhadap prinsip proporsionalitas dalam semua operasi militer, dengan mengharuskan semua pihak yang terlibat pertikaian bersenjata untuk mengambil segala langkah pencegahan yang mungkin diambil, menyangkut sarana dan cara berperang yang dipakai untuk menghindari atau memperkecil timbulnya kerugian tambahan berupa korban tewas dan korban luka di pihak orang sipil dan kerusakan obyek sipil yang melebihi keuntungan militer yang diperoleh.45 Korban dalam suatu pertikaian bersenjata akan mendapatkan pertolongan dan perawatan yang layak oleh organisasi yang bergerak dibidang kemanusiaan, dalam hal ini adalah ICRC (The International Committee of The Red Coss).

6. ICRC

ICRC (The International Committee of The Red Coss) atau yang lebih dikenal dengan Komite Palang Merah Internasional, didirikan hampir satu setengah abad yang lalu, karena menyadari kenyataan menyedikan bahwa penggunaan senjata tetap menjadi cara untuk menyelesaikan masalah peredaan antar bangsa, antar masyarakat, antar kelompok etnis, dengan kepastian

(37)

37

mengakibatkan banyaknya kematian dan penderitaan.46 Peran istimewa yang dimiliki oleh ICRC merupakan peran yang ditugaskan kepadanya oleh negara-negara melalui berbagai instrument Hukum Humaniter Internasional. Meskipun ICRC selalu menjalin dialog tetap dengan negara-negaranya, ICRC selalu menekankan statusnya sebagai suatu organisasi yang mandiri (independent), hal ini dikarenakan hanya jika ICRC bebas bertindak secara mandiri terhadap pemerintah atau penguasa manapun, ICRC akan dapat melayani kepentingan sesungguhnya yang ada pada korban pertikaian bersenjata. Karena kepentingan para korban lah yang menjadi inti misi kemanusiaan ICRC.47

ICRC berasal dari visi dan tekad satu orang, yaitu Henry Dunant, dimana pada saat itu di solferino, italia, pasukan Austria dan prancis sedang bertempur sengit, dan akibat pertempuran itu, pada sore hari terdapat sangat banyak prajurit yang bergeletakan. Mengetahui hal menyedihkan tersebut, ia kemudian mengajak para warga untuk membantunya dalam merawat mereka, dan ia menekankan bahwa prajurit dari kedua belah pihak harus diberi perawatan yang sama. Saat Henry Dunant kembali ke Swiss, ia menerbitkan buku yang berjudul A Memory of Solferino, yang berisi dua seruan yang serius, yaitu agar pada masa damai didirikan perhimpunan-perhimpunan bantuan kemanusiaan yang memiliki juru rawat yang siap menangani korban luka pada waktu terjadi perang, dan agar para relawan ini, yang akan bertugas membantu dinas medis angkatan bersenjata, diberikan pengakuan dan perlindungan melalui sebuah perjanjian internasional.

(38)

Pada tahun 1863, sebuah perkumpulan amal bernama Perhimpunan Jenewa Untuk Kesejahteraan Masyarakat membentuk sebuah komisi yang beranggotakan lima orang untuk mewujudkan gagasan Henry Dunant itu, dimana Henry Dunant juga termasuk dalam kelima orang tersebut.48 Komisi yang telah dibentuk ini kemudian mendirikan Komite Internasional Pertolongan Terhadap Korban Luka, yang kemudian menjadi Komite Internasional Palang Merah, yang dewasa ini dikenal dengan nama ICRC.49

ICRC berperan juga dalam memberikan perlindungan dalam masa peperangan, ICRC juga kerap berupaya untuk memperkecil bahaya yang mengancam orang-orang dalam situasi peperangan itu, mencegah dan menghentikan perlakuan semena-mena terhadap mereka, mengupayakan agar hak-hak mereka diperhatikan dan didengar, juga berupaya untuk memberikan mereka bantuan. ICRC melakukan hal ini dengan cara berada terus didekat para korban pertikaian bersenjata dan kekerasan, dan juga dengan menjalin dialog secara tertutup dengan pihak-pihak yang bertikai, baik negara ataupun bukan negara.50 Dalam peperangan kerap kali terjadi hilangnya orang, penyandraan orang, penyiksaan, penahanan, perekrutan paksa kedalam angkatan bersenjata, pengungsian, yang tidak hanya terjadi pada kaum laki-laki saja, namun juga kerapkali terjadi pada kaum perempuan. Dimana tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan tersebut, lebih sesifik, yaitu kekerasan seksual.

48Ibid, hal. 6.

49Ibid.

(39)

39

Sejak perang dunia pertama, bentuk kekerasan seksual seperti perkosaan, digunakan sebagai sarana berperang, dengan tujuan merendahkan martabat dan menaklukan musuh. Pelanggaran seperti perkosaan, pelacuran paksa, penghamilan paksa, merupakan kekerasan yang juga berpengaruh pada psikologis seseorang, dan bentuk pelanggaran yang demikian telah diatur dalam larangan Hukum Humaniter Internasional.51 Dalam situasi seperti ini, ICRC juga mengambil peran, ICRC membantu perempuan korban perang, sesuai dengan mandatnya yaitu untuk melindungi dan membantu semua korban pertikaian bersenjata. Dalam hal ini, ICRC menggunakan cara dengan menghimbau, menyadarkan para prajurit perang, para pembawa senjata, bahwasanya kekerasan seksual dilarang oleh Hukum Humaniter Internasional, maka perlu dicegah secara sungguh-sungguh. Hal yang sama juga berlaku pada peran ICRC dalam melindungi para tawanan perang, ketika terjadi pertikaian bersenjata internasional, Konvensi Jenewa mengakui hak dari ICRC untuk mengunjungi tawanan, memastikan bahwa tawanan diperlakukan secara manusiawi, dan mengetahui kehidupan yang para tawanan jalani disana.52 Oleh karena itu, melarang atau mencegah ICRC melakukan hal ini, adalah pelanggaran Hukum Humaniter Internasional. ICRC melakukan semua kegiatannya dengan 7 (tujuh) prinsip dasar ICRC, yaitu:53

- Kemanusiaan - Ketidakberpihakan

51 Boris Heger, ICRC Booklet (Kenali ICRC), September 2006, hal. 24. 52Ibid, hal. 26.

(40)

- Kenetralan - Kemandirian - Kesukarelaan - Kesatuan - kesemestaan

Misi ICRC adalah melindungi dan membantu korban perang dan situasi gangguan dalam negeri, sipil maupun militer, dengan netral, dan tidak berpihak pada siapapun. Dengan demikian, tugas dari ICRC adalah:54

- Mencari orang hilang

- Menyatukan anggota keluarga yang terpisah karena pertikaian bersenjata - Menyampaikan berita antara anggota keluarga yang terpisah karena pertikaian - Memberikan makanan, air, dan bantuan medis kepada penduduk sipil yang

tidak punya akses dalam kebutuhan dasar tersebut

- Menyebarluaskan dan memberikan himbauan kepada penduduk sipil dan angkatan bersenjata, akan Hukum Humaniter Internasional

- Memantau kepatuhan akan Hukum Humaniter Internasional

- Mengarahkan perhatian pada kasus-kasus pelanggaran Hukum Humaniter Internasional dan membantu pengembangan Hukum Humaniter Internasional ICRC memperkerjakan dokter, insinyur, akuntan, supir, ahli gizi, juru rawat, sekretaris, tukang kayu, ahli hukum dan juga ahli mesin. Acapkali ICRC membutuhkan orang dari semua profesi untuk bekerja bagi tujuan kemanusiaan.

(41)

41

Dengan banyaknya para pekerja di ICRC, ICRC pun memerlukan dana, sumber dana yang diperoleh ICRC berasal dari sumbangan, antara lain sumbangan dari:55 - Negara-negara peserta Konvensi Jenewa

- Perhimpunan-perhimpunan Nasional

- Organisasi-organisasi supranasional (contoh: Uni Eropa) - Sumber-sumber masyarakat dan swasta

Dana sumbangan yang diperoleh ICRC tersebut, dapat berupa:56 - Uang tunai

- In Natura, yaitu bahan makanan, mupun bahan non makanan, seperti selimut, alat dapur, kendaraan)

- Jasa atau pelayanan

55Ibid, hal. 50.

(42)

42

1. Penerapan Hukum Pada Kasus Kejahatan Perang yang Terjadi

Peristiwa pada Abu Ghuraib sebagaimana telah penulis jelaskan pada BAB sebelumnya, jelas melanggar ketentuan Hukum Humaniter Internasional. Pasal 13 Konvensi Jenewa III tahun 1949 menyebutkan bahwa tawanan perang (prisoner of war) harus dilperlakukan secara kemanusiaan dalam semua keadaan (must at all times be humanely treated). Setiap perlakuan yang menyimpang dari pihak penahan adalah dilarang keras dan dikategorikan sebagai pelanggaran yang sangat serius terhadap Konvensi Jenewa (serious breach to Geneva Convention). Kemudian, tawanan perang harus dilindungi setiap saat dari kekerasan, intimidasi, penghinaan, dan publisitas, objek mutilasi, dan harus diobati, serta memperoleh pengobatan.57 Demikian dalam Konvensi Jenewa 1949 diatur, bahwa ada sanksi pidana dan sanksi disiplin sesuai hukum negara dimana terjadi pelanggaran, serta adanya jaminan peradilan yang wajar, sebagaimana tercantum dalam pasal 49.Di samping diatur dalam Hukum Humaniter Internasional, perlindungan terhadap tawanan perang juga diatur secara tidak langsung dalam Konvensi Anti-Penyiksaan (Convention Against Torture and Other Cruel Inhuman or Degrading Treatment or Punishment). Pasal 2 Konvensi ini menyebutkan bahwa setiap negara peserta konvensi harus dapat mencegah kekerasan dalam wilayah

57 Heru Susetyo, ‘Penistaan Hukum Perang’,

(43)

43

jurisdiksinya, tanpa memandang apakah terjadi dalam masa damai ataupun perang. Pasal 11 konvensi yang sama, menyebutkan bahwa setiap negara peserta konvensi ini haruslah menegakkan aturan yang sistematis dalam hal interogasi, penangkapan, dan penahanan, serta harus menghindarkan kekerasan.58

Penegakan hukum dalam peristiwa Abu Ghuraib ini berdasarkan Pasal 49 Konvensi Jenewa 1949 dapat dijatuhkan berdasarkan hukum negara tempat peristiwa berlangsung, dalam hal ini Irak. Dibawah kepemimpinan Saddam Hussain peristiwa Abu Ghuraib dan pelanggaran HAM dan pemakaian senjata pemusnah massal kerap terjadi. Setelah tiga tahun proses pengadilannya, Saddam Hussain dihukum mati berdasarkan keputusan pengadilan yang mengadilinya yaitu pengadilan nasional di Irak.59

Penegakan hukum untuk Saddam Hussain ini menimbulkan suatu inkonsistensi, para tentara yang melakukan penyiksaan di Abu Ghuraib tidak diadili dengan hukum nasional negara tempat kejadian berlangsung yaitu Irak, namun dilimpahkan kembali oleh pengadilan Irak untuk diadili di negara asal mereka yaitu Amerika Serikat, melalui peradilan militer, dengan hukuman penjara seumur hidup, dan tidak ada yang dihukum mati satupun. Sebenarnya hukuman mati telah dihapuskan sebelum Saddam Hussain diadili, alasan pengjapusan hukuman mati adalah hukuman mati adalah hukuman yang sangat kejam, di luar perikemanusiaan dan melanggar hak asasi manusia (HAM), utamanya hak hidup.

58Ibid.

(44)

Juga, sebagai salah satu bentuk pidana, hukuman mati dianggap tak menimbulkan efek edukatif terhadap masyarakat, dan apabila di kemudian hari ditemukan kesalahan dalam penjatuhan vonis, hukuman tersebut tak dapat dikoreksi karena terpidana telanjur dieksekusi.60 Amnesty International (2006) menyebutkan bahwa sampai saat ini ada 129 negara yang telah menghapuskan hukuman mati. Dari jumlah tersebut, 88 negara menghapus hukuman mati secara total, 11 negara memberlakukannya secara sangat spesifik, yaitu hanya untuk kejahatan di waktu perang, dan 30 negara masih mempertahankannya dalam hukum nasionalnya namun tak pernah lagi melaksanakannya.61

Meskipun dengan adanya inkonsistensi, para pelaku kejahatan tetap ditindaklanjuti sebagai suatu penegakan Hukum Humaniter Internasional.

Penegakan hukum lain terjadi pada peristiwa kejahatan perang yang berkaitan dengan mantan wakil presiden Kongo, yaitu Pierre Bemba. Jean-Pierre Bemba adalah pemimpin dari MLC (Movement Liberalization of Congo) yang sebelumnya adalah sebuah gerakan separatis yang kemudian menjadi sebuah partai politik di Kongo.62 Pada tahun 2002, president Ange Felix Patasse dari Republik Afrika Tengah mengundang MLC untuk membantunya untuk datang ke Republik Afrika Tengah dan meredam banyaknya pro dan kontra kudeta yang sedang terjadi.63

60Ibid.

61Ibid.

62 Matanew, ‘Mantan Wapres Kongo Didakwa’, <

http://matanews.com/2009/06/17/mantan-wapres-kongo-didakwa/>, diakses (02/06/09).

(45)

45

Beberapa saat pertikaian pro dan kontra ini berlangsung, didapati bahwa para tentara MLC banyak melakukan pelanggaran terhadap penduduk sipil dan tawanan dalam pertikaian pro kontra ini. Fakta kejahatan perang ini diperoleh dari kesaksian para pihak netral yang terlibat dalam pertikaian pro kontra yang sedang berlangsung.64

Pada 23 Mei 2008, Majelis PraPeradilan ICC menemukan fakta bahwa ada alasan valid untuk menyatakan bahwa Jean-Pierre Bemba memiliki tanggung jawab individual atas Kejahatan Perang dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan yang terjadi di Republik Afrika Tengah yang terjadi antara 25 Oktober 2002 sampai 15 Maret 2003 dan ICC mengeluarkan perintah penahanan terhadapnya.65 Bemba dituduh dengan 5 pasal Kejahatan Perang (pembunuhan, perkosaan, penganiayaan dan pelanggaran kehormatan lainya) dan 2 tuntutan Kejahatan terhadap Kemanusiaan (pembunuhan dan penganiayaan).66 Pada 24 Mei 2008, Bemba akhirnya ditangkap di dekat luar kota Brussels, belgia. Dia menyerah kepada ICC pada 3 July 2008 dan dipindahkan ke Rumah Tahanan ICC di Den Haag, Belanda.67

Bemba adalah orang pertama yang ditahan terkait peristiwa yang terjdi di Repulik Afrika Tengah. Mahkamah Agung Republik Afrika Tengah dinyatakan

64 Wikipedia, ‘Jean-Pierre Bemba’, <http://en.wikipedia.org/wiki/Jean-Pierre_Bemba>, diakses (02/06/09).

65 Dokumen ICC no : ICC

‐01/05‐01/08 tentang Perintah Penahanan Bemba (Pre-Trial Chamber III : Bemba warrant arrest)

(46)

tidak mampu unutk melakukan penuntutan terhdap Bemba dan Mantan Presiden Afrika Tengah Ange-Felix Patasse. Pembelaan Bemba berdasarkan bahwa prosedur yang dikenakan terhadap Bemba adalah diluar kebiasaan, tetapi pada 1 July 2008 pengadilan Belgia menolak argumen Bemba dan berakibat dengan dilimpahkannya Bemba ke ICC. Kuasa Hukum Bemba, Aime Kilolo Musamba mengatakan bahwa Bemba tidak gentar kepada ICC dan sepenuhnya yakin tidak bersalah, dia juga mengatakan akan memohon intervensi dari Dewan Keamanan PBB agar meminta penangguhan kasus dengan mengingat Bemba telah melakukan banyak hal untuk perdamaian.68 Dengan adanya putusan Pengadilan Belgia atas penolakan keberatan Bemba untuk ditahan di ICC, Bemba dipindahkan ke ICC di Den Haag pada tanggal 3 Juli. Proses Hearing dan konfirmasi hukuman yang akan dijatuhkan diselenggarakan di ICC pada tanggal 4 Juli, dengan kehadiran Bemba dalam majelis ICC.69

Sesuai perintah penahanan, Jean-Pierre Bemba dinyatakan secara kriminal bertangggung jawab bersama dengan orang-orang lainya sebagaimana dimaksud pasal 25 ayat 3 huruf a Statuta Roma mengenai ICC dengan tuduhan sebagai berikut:70

1. Dua ( 2 ) tuduhan Kejahatan terhadap Kemanusiaan yaitu: a. Pemerkosaan: Pasal 7 ayat 1 huruf G

b. Penyiksaan: Pasal 7 ayat 1 huruf F

68Ibid.

(47)

47

2. Empat ( 4 ) tuduhan Kejahatan Perang, yaitu: a. Pemerkosaan: Pasal 8 ayat 2 huruf E bagian VI

b. Penyiksaan dan Penganiayaan: Pasal 8 ayat 2 huruf C bagian I

c. Pelanggaran terhadap kehormatan seseorang dalam kaitan dengan perlakuan tawanan: Pasal 8 ayat 2 hurf C bagian II

d. Penjarahan terhadap kota atau lokasi: Pasal 8 ayat 2 huruf E bagian V Pembahasan kasus diatas memberikan wawasan akan penindaklanjutan para pelaku kejahatan, dengan sistem hukum nasional, atau dengan sistem hukum internasional dimana dapat diselesaikan dengan pertanggungjawaban komando yang kemudian dilimpahkan kepada ICC. Penegakan hukum yang diterapkan pada Jean-Pierre Bemba adalah salah satu metode pertanggungjawaban dengan menggunakan cara pertanggungjawaban komando. Untuk lebih memperjelas wawasan tentang ICC sebagai pranala pengadilan kejahatan internasional, pertanggungjawaban komando, dan senjata-senjata yang diatur dalam Hukum Humaniter Internasional, penulis akan membahasnya dalam sub-bab tersendiri. 2. ICC (International Criminal Court)

(48)

terlibat dalam kejahatan internasional. ICC dibentuk pada1 juli 2002, bertumpu pada Statuta Roma yang merupakan produk hukum dari Hukum Humaniter Internasional.71 Dalam penerapannya ICC dapat melaksanakan tugasnya bila pengadilan negara tidak mau atau tidak mampu untuk menyelesaikan suatu kejahatan internasional yang terjadi.72 Statuta Roma sebagai dasar ICC tidak berlaku surut, kejahatan yang dapat diselesaikan melalui ICC adalah kejahatan yang terjadi setelah tanggal 1 juli 2002, hal ini menjadi salah satu kelemahan dari ICC, dimana ICC tidak dapat mengadili perkara sebelum 1 juli 2002.73

ICC dapat menjangkau seluruh dunia akan kejahatan internasional. Keberadaan ICC tidak bertentangan dengan keberadaan ICJ, ICJ adalah pengadilan yang mengadili sengketa antar negara, para pihak bersengketa adalah negara, ICC adalah pengadilan mengadili individu, jadi keberadaan dua lembaga tersebut tidak bertentangan. ICC dapat menjadi lembaga yang dapat menghindari terjadinya impunity yang selama ini dinikmati oleh individu-individu yang seharusnya bertanggungjawab terhadap kejahatan terhadap hak-hak asasi manusia secara internasional.74 Keberadaan ICC juga tidak bertentangan dengan pengadilan domestik, ICC bukanlah pengadilan the first resort, tetapi the last of the last resort karena itu tidak akan merusak kedaulatan domestik negara peserta.

71 Aula, ‘ICC Sebagai Pranata Baru Peradilan Internasional’,

< http://aula.blog.friendster.com/2007/02/international-criminal-court-icc-sebagai-pranata-baru-peradilan-internasional/>, diakses (02/06/09).

72Ibid. 73Ibid.

74 A Irmanputra Sidin, ‘Berjalan Menuju Roma’, <

(49)

49

ICC juga dapat membantu menyediakan insentif dan petunjuk pelaksanaan kepada setiap negara yang ingin melakukan penuntutan terhadap individu-individu yang bertanggungjawab terhadap kejahatan internasional, di pengadilan negara mereka masing-masing.75

ICC berkedudukan di Den Haag, Belanda (the host state), ICC merupakan institusi yang bersifat permanen dan dimaksudkan untuk berdiri dalam jangka waktu yang panjang, sebagai suatu institusi internasional, ICC harus memiliki

international legal personality yang tercantum dalam Pasal 4 (1) Statuta Roma.

International legal personality merupakan status yang memungkinkan suatu entitas dianggap sebagai subjek hukum internasional (publik) tersendiri (terpisah dari negara-negara anggotanya) yang dapat memiliki hak dan sekaligus dibebani kewajiban berdasarkan norma-norma hukum internasional. Sebagai institusi internasional ICC juga mempunyai legal capacity, dengan memiliki legal capacity, suatu organisasi internasional akan mampu melakukan tindakan-tindakan hukum, yang antara lain mencakup kapasitas untuk membuat perjanjian, kapasitas untuk mendapat dan memindahtangankan barang, serta kapasitas untuk melakukan proses hukum.76

2.1. Hubungan ICC dengan Pengadilan Domestik

Mahkamah kejahatan internasional generasi pertama (Mahkamah Nuremberg dan Tokyo) sekedar merupakan pelengkap dari pengadilan-pengadilan domestik. Mahkamah kejahatan internasional generasi kedua (ICTY dan ICTR)

75Ibid

(50)

memiliki yurisdiksi bersama (concurrent jurisdiction) dengan pengadilan domestik, namun di dalam hubungan seperti itu ditegaskan adanya primacy

mahkamah kejahatan internasional. Mahkamah kejahatan internasional generasi ketiga (ICC) pada dasarnya merupakan pelengkap dari pengadilan domestik, namun dalam keadaan tertentu diakui adanya primacy mahkamah kejahatan internasional. Hal ini dapat diartikan ICC akan menjadi lembaga terakhir yang akan melakukan tuntutan terhadap individu yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan yang tidak dituntut di negaranya diakibatkan oleh tidak adanya kemampuan ataupun kemauan dari negara tersebut untuk melakukan penuntutan. ICC menggunakan prinsip remedi domestik, bahwa negara peserta tetap mengadili terlebih dahulu pelaku pelanggaran.77 Jelas terlihat bahwa ICC adalah pelengkap bagi pengadilan domestik, keberlakuannya hanya akan dapat terjadi jika pengadilan domestik tidak dapat mengadakan pengadilan terhadap pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan.

2.2. Hubungan ICC dengan PBB

Dewan Keamanan PBB merupakan salah satu pihak yang dapat merujuk suatu situasi dugaan pelanggaran untuk ditindaklanjuti oleh penuntut umum ICC, dengan kata lain yurisdiksi dan kewenangan ICC ditentukan oleh Dewan Keamanan PBB. Dewan Keamanan PBB dapat menyerahkan kepada ICC untuk melakukan investigasi dan penuntutan. Dewan Keamanan PBB juga dapat meminta ICC untuk menghentikan investigasi dan penuntutan selama 12 bulan dalam suatu waktu jika Dewan Keamanan PBB merasakan bahwa

Referensi

Dokumen terkait

Jadi, dapat disimpulkan bahwa keempat Konvensi Jenewa 1949 maupun Protokol Tambahan I dan II Tahun 1977 yang merupakan sumber utama hukum humaniter internasional tidak

Definisi Kejahatan Perang, secara detail dijelaskan dalam Pasal 8 Statuta Roma, sebagai sebuah perbuatan yang melanggar Konvensi Jenewa, tanggal 12 Agustus 1949,

Selanjutnya dalam sebagian aturan San Remo Manual merupakan penegasan kembali dari aturan yang ada dalam Konvensi Den Haag 1907, Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol tambahan I

Secara yuridis normatif konflik yang terjadi di Suriah memiliki keterkaitan dengan konvensi-konvensi internasional salah satunya ialah konvensi jenewa 1949,

Berikut ini penjelasan dari pasal 13 dan pasal 14 Konvensi Jenewa III 1949, yang mempertegas agar tawanan perang tersebut dapat diberikan perlindungan saat pertama kali mereka

Yang akan jadi pokok permasalahan adalah konflik bersenjata non – internasioanal yang diatur di dalam Common Article 3 dari Konvensi Jenewa Tahun 1949 dan Protokol Tambahan II

Berbeda dari ketiga Konvensi Jenewa Tahun 1949, Konvensi mengenai Perlindungan Penduduk Sipil di waktu perang bukan merupakan penyempurnaan daripada Konvensi-Konvensi yang

Dalam konflik bersenjata internasional sekalipun, anak-anak yang bukan bagian dari permusuhan dilindungi oleh hukum humaniter internasional Konvensi Jenewa 1949 maupun