• Tidak ada hasil yang ditemukan

perlindungan tawanan perang di penjara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "perlindungan tawanan perang di penjara"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Makalah Hukum Humaniter Internasional

“Perlindungan Korban Tawanan Perang Menurut Hukum Humniter Internasional”

Nama Anggota Kelompok :

1. Widad Muhammad Khaitam (0910113201

2. Sunan Maulana Sansurya (105010100111026)

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional Universitas Brawijaya Malang

Fakultas Hulum 2013

(2)

Sejarah peradaban manusia hampir tidak pernah bebas dari peperangan. Perang memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, bahwa selama 3400 tahun sejarah tertulis, umat manusia hanya mengenal 250 tahun perdamaian. Perang hanya salah satu bentuk perwujudan dari naluri untuk mempertahankan diri, yang berlaku baik dalam pergaulan antar manusia, maupun dalam pergaulan antar bangsa (MochtarKusumaatmadja, 1980 : 7).

Konflik senjata antara AS (Amerika Serikat) dengan Irak pada tanggal 20 maret 2003 dan berakhir pada 9 April 2003 dengan didudukinya Baghdad, ibukota Irak, oleh pasukan AS dan sekutunya. ada tiga tujuan yaitu AS ingin menghancurkan senjata pemusnah massal, menyingkirkan ancaman teroris internasional dan membebaskan rakyat Irak dari penindasan rezim Saddam Hussein dengan cara memulihkan demokrasi di Irak.

Dari tiga alasan tentang masalah Irak yang harus diselesaikan dengan cara AS (dihancurkan) ternyata dipenuhi kebohongan, yaitu : Agresi AS ke Irak untuk memusnahkan senjata pemusnah massal adalah upaya AS untuk membohongi masyarakat internasional. Dikatakan oleh Presiden George W. Bush bahwa Irak mempunyai senjata pemusnah atau destruksi massal (Weapons of Mass Destruction) yang berupa:

1) senjata kimia seperti mostar yang dapat menyebabkan kulit melepuh, tabun dan sarin yang dapat menyerang syaraf.

2) Senjata biologi seperti botulinum yang dapat meracuni dan mencekik orang, bacillus antraxis yang dapat menyebabkan penyakit antrax, senjata nuklir dan rudal scud yang mempunyai jangkauan 900 kilometer untuk meluncurkan senjata-senjata tersebut.

(3)

untuk perlindungan dan pertahanan militer. Sementara itu statistik perang hingga hari ke-14 adalah :

1) Korban : Pasukan AS, 51 tewas, 7 tertangkap, 16 hilang (versi Departemen Pertahanan AS). Pasukan Inggris, 27 tewas. Di pihak Irak, tak ada laporan resmi tentang korban perang di kalangan militer. Korban di kalangan sipil menurut pemerintah Irak adalah 500 orang tewas dan sekitar 4.000 luka-luka.

2) Bom yang dijatuhkan di Irak : Hinggga 3 April, terhitung lebih dari 700 rudal jelajah Tomahawk telah ditembakkan ke Irak dan lebih dari 9.000 bom tembak tepat telah dijatuhkan.

3) Tawanan perang : 4.500 orang pasukan Irak telah ditawan oleh pasukan AS (http://fersyhana.wordpress.com/2011/12/22/invasi-amerika-serikat-ke-irak-tahun-2003/)

(4)

B. Rumusan masalah

1. Apakah tawanan perang abu gharib sesuai dengan ketentuan konvensi jenewa III 1949 ?

2. Bagaimana perlindungan Tawanan perang menurut hukum humaniter internasional?

C. Pembahasan

1. Bagaimana perlindungan Tawanan perang menurut hukum humaniter internasional?

Pasal 12 konvensi Wina 1949 memuat ketentuan penting yang menyatakan bahwa tawanan perang adalah tawanan Negara musuh dan bukan tawanan daripada orang – orang atau kesatuan – kesatuan militer yang menawan mereka1. Negara yang melakukan penahanan ini berkewajiban menghormati tawanan perang yang tunduk di bawah kekuasaannya dengan memberikan mereka jaminan perlindungan dan perlakuan yang manusiawi. Hal tersebut karena penahanan tawanan perang tidak boleh dianggap sebagai hukuman atau tindakan balas dendam, akan tetapi tujuan penahan itu hanyalah sebatas cara untuk mencegah pihak yang ditawan berada di suatu tempat yang memungkinkannya melakukan gangguan atau ancaman. Tindakan-tindakan yang keluar dari tujuan awal penahanan tawanan perang ini dianggap telah melanggar batas-batas yang harus dihormati dalam suatu konflik bersenjata.

Konvensi Jenewa III tahun 1949 yang berkaitan dengan perlakuan terhadap tawanan perang telah menyatakan substansi di atas, di mana konvensi tersebut memberikan jaminan perlindungan terhadap tawanan perang sejak mereka jatuh sebagai tawanan, sampai kemudian dibebaskan dan dipulangkan ke kampung halaman atau tanah air mereka.

a. Perlindungan Tawanan Perang Saat Pertama Kali Ditahan

Tawanan perang yang telah meletakkan senjata dan menyerahkan dirinya kepada pihak musuh, dilarang untuk disakiti atau dibunuh. Negara penahan berkewajiban membekali para tawanan perang dengan dokumen-dokumen identitas diri. Tanda-tanda pangkat dan kewarganegaran para tawanan tidak boleh dilucuti dan diambil. Demikian pula 1 Mochtar kusumaatmadja, konvensi – konvensi djenewa tahun 1949 mengenai

(5)

barang-barang lain yang memiliki nilai pribadi atau mengandung tanda-tanda jasa yang dapat dikenang.

Berikut ini penjelasan dari pasal 13 dan pasal 14 Konvensi Jenewa III 1949, yang mempertegas agar tawanan perang tersebut dapat diberikan perlindungan saat pertama kali mereka ditahan oleh pihak musuh. Berikut bunyi pasal 132:

Tawanan perang harus diperlakukan dengan perikemanusiaan. Setiap perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau kelalaian Negara Penahan yang mengakibatkan kematian atau yang benar-benar membahayakan kesehatan tawanan perang yang berada di bawah pengawasannya, adalah dilarang dan harus dianggap sebagai pelanggaran berat dari Konvensi ini.

Tawanan perang terutama tidak boleh dijadikan obyek pengurungan jasmani, percobaan-percobaan kedokteran atau ilmiah dalam bentuk apapun juga yang tidak dibenarkan oleh pengobatan kedokteran, kedokteran gigi atau kesehatan dari tawanan bersangkutan dan dilakukan demi kepentingannya. Tawanan perang juga harus selalu dilindungi, terutama terhadap tindakan-tindakan kekerasan atau ancaman-ancaman, dan terhadap penghinaan-penghinaan serta tontonan umum. Tindakan-tindakan pembalasan terhadap tawanan perang dilarang”.

Kemudian berikut bunyi dari pasal 143:

“Tawanan perang dalam segala keadaan berhak akan penghormatan terhadap pribadi dan martabatnya. Wanita harus diperlakukan dengan segala kehormatan yang patut diberikan mengingat jenis kelamin mereka, dan dalam segala hal harus mendapat perlakuan sebaik dengan yang diberikan kepada pria. Tawanan perang akan tetap memiliki kemampuan keperdataan penuh yang mereka miliki pada saat penangkapan mereka.

Negara Penahan tidak boleh membatasi penggunaan hak-hak yang timbul dari kemampuan tersebut, baik di dalam maupun diluar wilayahnya sendiri, kecuali sejauh yang diperlukan oleh penawan yang bersangkutan”.

b. Interogasi Tawanan Perang

Pada saat diinterogasi seorang tawanan perang berkewajiban menjawab pertanyaan-pertanyaan tertentu yang ditujukan kepadanya, apa pun pangkat tawanan

(6)

tersebut. Pertanyaan tersebut berkisar tentang: nama lengkap, pangkat militer, tanggal lahir, resimen, data personel atau nomor registrasi pokok, atau jika tidak mungkin, keterangan yang serupa. Jika ia dengan sengaja melanggar ketentuan ini, ia dapat dikenakan pembatasan atas hak-hak istimewa yang diberikan kepadanya berdasarkan pangkat atau kedudukannya.

Setiap Pihak dalam sengketa harus melengkapi orang-orang di bawah kekuasaannya yang mungkin menjadi tawanan perang musuh, dengan suatu kartu pengenal yang memuat nama keluarga, nama kecil, pangkat, nomor tentara, resimen, data personel atau nomor registrasi pokok atau keterangan serupa serta tanggal lahir pemegang. Kartu pengenal itu selanjutnya dapat memuat tanda tangan atau cap jari pemegang atau kedua-duanya, dan dapat juga setiap keterangan lainnya, yang mungkin hendak ditambahkan oleh Pihak peserta sengketa tentang orang-orang yang termasuk dalam angkatan bersenjata. Kartu itu sedapat mungkin harus berukuran 6,5 X 10 cm serta harus dikeluarkan dalam rangkap dua. Kartu pengenal itu harus diperlihatkan oleh tawanan perang apabila diminta, akan tetapi sekali-kali tidak dapat diambil dari padanya.

Penganiayaan jasmani atau rohani atau paksaan lain dalam bentuk apapun, tidak boleh dilakukan atas diri tawanan perang untuk memperoleh dari mereka keterangan-keterangan jenis apapun. Tawanan perang yang menolak menjawab, tidak boleh diancam, dihina, atau dikenakan perlakuan yang tidak menyenangkan atau merugikan dalam bentuk apapun.

Tawanan perang yang tidak sanggup menyatakan identitasnya karena keadaan jasmani atau rohani mereka, harus diserahkan kepada dinas kesehatan. Identitas tawanan tersebut akan ditetapkan dengan segala cara yang memungkinkan dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan paragrap diatas. Pemeriksaan tawanan perang harus dilakukan dalam bahasa yang mereka pahami”.

(7)

Berdasarkan pasal di atas, tawanan perang yang dengan sengaja menolak untuk memberikan keterangan – keterangan diatas, dapat dikenakan pembatasan – pembatasan atas hak – hak istimewa yang diberikan kepadanya karena pangkat atau kedudukanya5.

Terhadap tawanan perang tidak boleh dilakukan penganiayaan atau paksaan dalam bentuk apapun untuk memperoleh keterangan semacam apapun juga. Tawanan perang yang menolak menjawab pertanyaan atau memberikan keterangan, tidak boleh diancam, dihina atau dikenakan perlakuan buruk dalam bentuk apapun juga6.

c. Perlindungan Tawanan Perang pada Masa Tahanan 1. Hak Mendapatkan Perlakuan Manusiawi

2. Hak Kehormatan Martabat dan Harga Diri 3. Hak Perawatan Medis

4. Hak Memperoleh Perlakuan yang Adil 5. Hak Melaksanakan Ritual Keagamaan 6. Hak Aktivitas Mental dan Fisik

7. Hak Mendapatkan Kebutuhan Primer 8. Hak Berkomunikasi dengan Dunia Luar

2. Apakah tawanan perang abu gharib sesuai dengan ketentuan konvensi jenewa III 1949 ?

Pada pasal 4 paragraf A konvensi jenewa 1949 mengatur kriteria yang berhak dikatakan sebagai tawanan perang:

1) Anggota angkatan perang dari suatu Pihak dalam pertikaian, begitupun anggota-anggota milisi atau barisan-barisan sukarela yang menjadi bagian dari angkatan perang atau barisan-barisan sukarela dari bagian-bagian angkatan perang demikian itu.

2) Anggota-anggota milisi serta anggota-anggota barisan-barisan sukarela lainnya, termasuk anggota-anggota gerakan-gerakan perlawanan yang diorganisir, yang tergolong pada suatu Pihak dalam pertikaian dan beroprasi

5 Mochtar kusumaatmadja, konvensi – konvensi djenewa tahun 1949 mengenai perlindungan korban perang, (bandung : binatjipta, 1968) , hlm. 55

(8)

di dalam atau di luar wilayahnya sendiri, sekalipun wilayah itu diduduki, asal saja milisi atau barisan-barisan sukarela demikian, termasuk gerakan perlawanan yang diorganisir itu, memenuhi syarat-syarat berikut:

a. dipimpin oleh seorang yang bertanggung jawab atas bawahannya; b. memakai tanda pengenal tetap yang dapat dikenal dari jauh; c. membawa senjata secara terang-terangan;

d. melakukan oprasi mereka sesuai dengan hukum-hukum dan kebiasaan kebiasaan perang.7

3) Anggota-anggota angkatan perang tetap yang menyatakan kesetiaan pada suatu pemerintah atau kekeuasaan yang tidak diakui oleh Negara Penahan. 4) Orang-orang yang menyertai angkatan perang tanpa dengan sebenarnya

menjadi anggota dari angkatan perang itu, seperti anggota-anggota sipil awak pesawat terbang militer, wartawan-wartawan perang, leveransir perbekalan, anggota-anggota kesatuan-kesatuan kerja atau dinas-dinas yang bertanggung jawab atas kesejahteraan angkatan perang, asal saja mereka telah mendapat pengesahan dari angkatan perang yang disertainya, yang harus melengkapi mereka dengan sebuah kartu pengenal yang serupa dengan contoh terlampir.8

5) anggota-anggota awak kapal niaga, termasuk nahkoda, pandu laut dan taruna, dan awak pesawat terbang sipil dari Pihak-pihak dalam pertikaian, yang tidak mendapat perlakuan yang lebih menguntungkan menurut ketentuan-ketentuan lain apapun dalam hukum internasional.

6) Penduduk wilayah yang belum diduduki, yang tatkala musuh mendekat, atas kemauan sendirinya dan dengan serentak mengangkat senjata untuk melawan pasukan-pasukan yang menyerbu, tanpa mempunyai waktu untuk membentuk kesatuan-kesatuan bersenjata yang teratur, asal saja mereka membawa senjata secara terang-terangan dan menghormati hukum-hukum dan kebiasaaan-kebiasaan perang.9

selain itu, ada beberapa orang yang diperlakuakan sebagai tawanan perang ketika jatuh ketangan musuh yang disebutkan dalam pasal 4 paragraf B yaitu:

1) Orang yang tergolong, atau pernah tergolong, dalam angkatan perang dari wilayah yang diduduki, apabila negara yang menduduki wilayah itu memandang perlu untuk menginternir mereka karena kesetiaan itu, walaupun Negara itu semua telah membebaskan mereka selagi permusuhan berlangsung diluar wilayah yang diduduki negara itu, terutama jika orang-orang demikian telah mencoba dengan tak berhasil untuk bergabung kembali dengan angkatan perang mereka yang terlibat dalam pertempuran, atau jika

7 mashur efendi, humaniter internasional, (surabaya: usaha nasional, 1994), hlm. 177. 8 ibid., hlm. 178.

(9)

mereka tidak memenuhi panggilan yang ditujukan kepada mereka berkenaan dengan penginterniran.

2) orang-orang yang termasuk dalam salah satu golongan tersebut dalam Pasal ini, yang telah diterima oleh Negara-negara netral atau Negara-negara yang tidak turut berperang dalam wilayahnya, dan yang harus diinternir oleh Negara-negara itu menurut hukum internasional, tanpa mempengaruhi tiap perlakuan yang lebih baik yang mungkin diberikan kepada mereka oleh Negara-negara itu dan dengan perkecualian Pasal 8, 10, 15, 30, paragrap kelima, Pasal-pasal 58-67, 92, 126 dan, apabila terdapat hubungan diplomatik antara Pihak-pihak dalam pertikaian dengan Negara netral atau Negara yang tidak turut berperang bersangkutan, pasal-pasal mengenai Negara Perlindungan. jika terdapat hubungan diplomatik demikia, pihak-pihak dalam pertikaian yang ditaati oleh Negara-negara itu harus diperkenankan menyelenggarakan fungsi Negara Perlindungan terhadap mereka, sebagaimana ditentukan oleh Konvensi ini, tanpa mempengaruhi fungsi-fungsi yang biasa dijalankan oleh Pihak-pihak itu sesuai dengan kebiasaan dan perjanjian-perjanjian diplomatik dan konsuler.10

Status sebagai tawanan perang diberlakukan apabila memenuhi syarat dalam pasal 4 A dan B sejak mereka jatuh ketangan musuh hingga saat pembebasan dan pemulangan mereka yang terahir. Apabila timbul keragu-raguan apakah orang yang jatuh ketangan musuh termasuk dalam golongan pasal 4, maka orang-orang tersebut memperoleh perlindungan dari konvensi jenewa III 1949 (pasal 5).

Amerika Serikat dan sekutunya mempunyai beberapa kamp tawanan perang di Irak, salah satunya di Abu Ghraib, Baghdad. Penjara Abu Ghraib terletak di kota Abu Ghraib, sebuah kota di terletak 32 km di sebelah barat Baghdad. Kompleks penjara ini dibangun oleh kontraktor Britania pada 1960- an, mencakup areal seluas 1,15 km² dengan total 24 menara pengawal. Luas areal penjara sama dengan luas sebuah kota kecil, dibagi ke dalam lima kompleks berdinding untuk berbagai jenis tahanan. Masing-masing blok mempunyai sebuah ruang makan, ruang sembahyang, ruang olah raga serta fasilitas kebersihan yang mendasar. Sel-selnya dapat memuat hingga 40 orang di ruangan berukuran 4x4 meter11.

Penjara ini menjadi terkenal di dunia internasional sebagai tempat pemerintahan Saddam Hussein menyiksa dan menghukum mati para tahanan politik yang dianggap beroposisi dengan rezim pemerinyahan saat itu. Saat itu Saddam menahan 60 ribu tahanan politik di Penjara Abu Ghraib12.

10ibid, hlm. 179.

11 http://mediaislam.blogdetik.com , diakses 5 oktober 2013 jam 14.25

(10)

Indikasi adanya penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi terhadap tawanan perang yang dilakukan oleh tentara koalisi di penjara Abu Ghraib terkuak dengan beberapa laporan yang kemudian dipublikasikan di berbagai media massa.

1) Laporan Mayor Jenderal Antonio M. Taguba

Laporan Mayor Jenderal Antonio M. Taguba yang merupakan hasil investigasi dan wawancara Taguba terhadap para tahanan dan sipir serta serdadu Amerika yang terlibat penyiksaan di penjara Abu Ghraib antara Oktober-Desember 2003 . Laporan Taguba mengungkap aksi-aksi sadis, kriminal dan asusila yang dilakukan tentara Kompi ke-372 Polisi Militer Batalion 320 Polisi Militer dan Brigade 800 Polisi Militer pimpinan Janis Karpinski yang bermarkas di Maryland, Amerika Serikat, bertugas di Abu Ghuraib sejak November 2003 hingga Maret 2004.

Menurut laporan tersebut, tawanan di penjara Abu Ghraib terdiri atas tiga kategori yaitu: pelaku kriminal, tahanan yang diduga terlibat melawan tentara koalisi, dan segelintir pemimpin perlawanan atau bekas pembesar zaman rejim Saddam. Namun jumlah yang paling banyak adalah tawanan yang dituduh terlibat perlawanan, atau perempuan dan anak-anak yang suami atau orangtuanya dituduh melancarkan perlawanan yang mencapai 60% dari total tawanan perang di Abu Ghraib13.

Beberapa bentuk penyiksaan yang dilakukan oleh personel polisi militer yang tercantum dalam laporan Taguba, antara lain14:

a) Pemukulan, penamparan dan penendangan tawanan;

b) Memaksa tawanan laki-laki dan perempuan melepaskan bajunya (telanjang) kemudian memfoto dan merekamnya dalam video;

c) Memaksa para tawanan untuk melakukan adegan seksual kemudian difoto; d) Memaksa para tawanan bertelanjang selama beberapa hari;

e) Memaksa tawanan laki-laki yang telanjang untuk memakai pakaian dalam wanita. Hal ini berdasarkan kesaksian Neil A. Wallin petugas medis, “selama saya berada di penjara, saya melihat tawanan pria yang sedang dipindahkan dari kamp 1 ke kamp lain beberapa diantaranya menggunakan pakaian dalam wanita.

f) Memaksa tawanan laki-laki untuk masturbasi;

g) Menumpuk tawanan laki-laki yang bertelanjang kemudian menendang mereka; h) Menyetrum tubuh para tawanan;

i) Memasang rantai anjing pada leher tawanan dan mengikatnya;

j) Para personel polisi militer beramai-ramai memperkosa tawanan perempuan;

13 http:www/hpr.org/iraq/2004/prison_abusereport. pdf)

(11)

k) Menggunakan anjing untuk memaksa dan mengintimidasi tawanan; l) Memfoto jasad tawanan perang;

m) Menyiram tubuh tawanan dengan cairan fosfor lampu neon; n) Mengancam tawanan dengan pistol 9 mm;

o) Menyiramkan air dingin ke tubuh tawanan yang telanjang; p) Memukul tawanan dengan gagang sapu dan kursi;

q) Membiarkan polisi militer menjahit luka tawanan setelah tubuh tawanan dibanting ke tembok;

r) Sodomi tawanan dengan menggunakan lampu neon

2) Laporan Amnesty International

Laporan Amnesty International yang dipublikasikan pada tanggal 22 Februari 2005 melaporkan adanya kekerasan yang dialami oleh para tawanan perempuan. Dalam laporannya, Amnesty International menulis tentang kesaksian beberapa tawanan perempuan, dalam keadaan yang sangat ketakutan menceritakan kepada para pekerja hak asasi manusia, bahwa mereka telah mengalami pemukulan, penyiksaan, dan isolasi. Sebagaimana tawanan pria, mereka juga mengalami pelecehan seksual di penjara militer Amerika itu. Semua tawanan perempuan yang bersaksi mengaku diancam akan diperkosa jika tidak mau bekerja sama. Beberapa dari mereka bahkan diinterogasi dalam keadaan telanjang serta menerima pernyataan-pernyataan yang sangat melecehkan martabat dan melecehkan kehormatan15.

3). Artikel Seymour Hersh

Pada media The New Yorker tanggal 17 Mei 2004 yang mengutip salah satu kasus yang diungkap the Denver Post, menuliskan keterlibatan tiga prajurit Amerika dalam penyerangan fisik terhadap seorang tawanan perempuan di Abu Ghraib. Dalam artikel tersebut dituliskan bahwa menurut pengakuan sejumlah pejabat AS, terdapat foto-foto yang memperlihatkan tentara AS memukuli seorang tawanan Irak hingga meninggal dan foto-foto pemerkosaan dan pelecehan seksual terhadap tawanan perempuan oleh tentara AS16.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa ada dua kategori orang yang ditawan di penjara Abu Ghraib yang tidak masuk dalam kategori dalam Pasal 4 Konvensi Jenewa III 1949 yaitu pelaku kriminal dan pejabat di zaman pemerintahan Saddam Husein, kecuali jika mereka melakukan kegiatan perlawanan yang terorganisir yang memenuhi persyaratan sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 4 Paragraf A ayat 2 yaitu dipimpin oleh seseorang 15 http://muhsinlabib.wordpress.com/2007/09/18/kontoversipemerkosaan-tahanan-perempuan-irak/). Diakses anggal 5 okober 2013 jam 15.20

(12)

yang bertanggung jawab atas bawahannya, mempunyai tanda pengenal tetap, membawa senjata secara terang-terangan dan menghormati hukumhukum serta kebiasaan-kebiasaan perang

.

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa perlindungan terhadap tawanan perang di Penjara Abu Ghraib tidak sesuai dengan Konvensi Jenewa III 1949 tentang Perlakuan terhadap Tawanan Perang. Ketidaksesuaian ini terlihat dengan adanya perlakuan yang kejam, sadis dan tidak manusiawi berupa penyiksaan fisik dan non fisik yang dilakukan oleh tentara Kompi 372 Batalionn 320 Polisi Militer dan Brigade 800 Polisi Militer. Tindakan kekerasan tersebut terjadi tanpa adanya upaya pencegahan, peminimalisiran maupun penghentian. Amerika Serikat sebagai negara penahan juga tidak melaksanakan kewajibannya untuk memulihkan martabat, kondisi hidup, penciptaan lingkungan yang kondusif terhadap tawanan perang di Penjara Abu Ghraib.

D. Kesimpulan

Dari rumusan masalah yang telah dibahas dalam pembahasan diatas kelompok kami menyimpulkan bahwa :

(13)

2. Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa perlindungan terhadap tawanan perang di Penjara Abu Ghraib tidak sesuai dengan Konvensi Jenewa III 1949 tentang Perlakuan terhadap Tawanan Perang. Ketidaksesuaian ini terlihat dengan adanya perlakuan yang kejam, sadis dan tidak manusiawi berupa penyiksaan fisik dan non fisik yang dilakukan oleh tentara Kompi 372 Batalionn 320 Polisi Militer dan Brigade 800 Polisi Militer. Tindakan kekerasan tersebut terjadi tanpa adanya upaya pencegahan, peminimalisiran maupun penghentian. Amerika Serikat sebagai negara penahan juga tidak melaksanakan kewajibannya untuk memulihkan martabat, kondisi hidup, penciptaan lingkungan yang kondusif terhadap tawanan perang di Penjara Abu Ghraib.

E. Daftar Pustaka

Kusumaatmadja, Mochtar, konvensi – konvensi djenewa tahun 1949 mengenai perlindungan korban perang, (bandung : binatjipta, 1968

---, Pengantar Hukum Internasional, Bina Cipta, Bandung, 1978 mashur efendi, humaniter internasional, (surabaya: usaha nasional, 1994),

Boer Mauna. 2005. Hukum Internasional, Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global.Edisi ke-2. bandung : PT. Alumni

Anonim.Code Penal Iraq. <http://icrc.org/ihl-nat.nsf/WebLAW!OpenView&Start> (5 oktober 2013, pukul 14.20 WIB)

_______.Kontroversi Pemerkosaan Tahanan Perempuan Irak.

<http://muhsinlabib.wordpress.com/2007/09/18/kontoversipemerkosaantahanan perempuan-irak> ( 5 oktober 2013, pukul 15.20 WIB)

(14)

Brigade.<http:www/hpr.org/iraq/2004/prison_abuse-report.pdf>(5 Oktober 2009, pukul 15.00 WIB)

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa terdapat interaksi antar penggunaan kosentrasi biourine sapi dan dosis pupuk SP-36 terhadap berat biji kering per tanaman

menciptakan suatu pemikiran yang baru karena kita memiliki pengetahuan- pengetahuan yang didapat dari bahasa(Kosasih, 2013). Bahasa sebagai alat kontrol sosial di

Pada level mikro yaitu terjadi komunikasi interpersonal yang merupakan komunikasi personal antara satu akun Twitter ke akun lain dengan menggunakan tanda ³@´

Disamping banyak hal-hal positip tentang apa yang berkembang saat ini keduanya merasa &#34;kaget atas bayang- bayang kekeliruan yang menyelimuti daerah-daerah yang telah

bukanlah alat yang siap pakai, melainkan harus diuji dan dikaji terlebih dahulu, baik kebenaran maupun relevansinya, sehingga benar-benar berfungsi untuk mengarahkan

Jurnal Riset Manajemen Sains Indonesia (JRMSI) |Vol. Ini menyebabkan keputusan konsumen dalam pembelian sabun Lux pun menjadi berkurang, hal ini dapat dilihat dari penjualan sabun

Tujuan aspek kognitif berorientasi pada kemampuan berfikir yang mencakup kemampuan intelektual yang lebih sederhana, yaitu mengingat, sampai pada kemampuan

Evaluasi pembelajaran dapat diartikan sekumpulan komponen yang saling berkaitan satu sama lain yang saling berkolaborasi didalam membuat program perencanaan,