• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONVENSI MENGENAI PERLAKUAN TAWAN PERANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KONVENSI MENGENAI PERLAKUAN TAWAN PERANG"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

KONVENSI MENGENAI PERLAKUAN TAWAN PERANG DAN

PERLINDUNGAN ORANG SIPIL DI WAKTU PERANG

(KONVENSI JENEWA III & IV)

A. Pendahuluan

Istilah Hukum Humaniter Internasional merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu International Humanitarian Law. Istilah lain yang kadang – kadang dipakai ialah hukum sengketa bersenjata (the law of armed conflict). Sebelum perang dunia istilah yang lazimnya dipakai ialah hukum perang (the law of war), juga di lingkungan angkatan bersenjata (armed forces) dibanyak negara biasanya digunakan istilah hukum perang.1

Perubahan istilah ini dikarenakan istilah hukum perang (the law of war) memiliki konotasi yuridis yakni perang adalah sengketa bersenjata yang memenuhi syarat-syarat tertentu yaitu pihak-pihak yang bertikai adalah negara dan harus adanya pernyataan perang, padahal dalam kenyataannya masih ada pertikaian bersenjata yang tidak melibatkan negara dan tidak didahului dengan pernyataan perang, sehingga mengakibatkan pihak-pihak yang terlibat dalam pertikaian tidak dapat dilindungi dari Hukum Internasional dibidang perang karena para pihak tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Oleh karena istilah hukum perang terikat oleh syarat-syarat tertentu maka dipilih istilah yang dianggap netral yang dapat melindungi semua pihak yaitu Hukum Pertikaian Bersenjata (the law of armed conflict). Kemudian dalam perkembangannya Hukum Pertkaian Bersenjata dimasuki prinsip-prinsip kemanusiaan maka istilah Hukum Pertkaian Bersenjata dirubah namanya menjadi Hukum Humaniter Internasional (International Humanitarian Law).2

Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa Hukum Humaniter adalah : “Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan

1 Ria Wierma Putri, Hukum Humaniter Internasional, Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2012, hlm. 1.

(2)

korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri”.

Tujuan Utama Hukum Humaniter adalah memberikan perlindungan dan pertolongan kepada mereka yang menderita/menjadi korban perang, baik mereka yang secara nyata/aktif turut dalam permusuhan (kombatan), maupun mereka yang tidak turut serta dalam permusuhan (penduduk sipil/Civilian population).3

Selain itu Hukum Humaniter dibuat untuk membatasi akibat kekerasan dan korban dalam peperangan.4 Dengan kata lain Hukum Humaniter Internasional

yang diterapkan dalam sengketa bersenjata bertujuan untuk menjamin sejauh mungkin penghormatan terhadap manusia, sesuai dengan persyaratan militer dan keamanan umum, serta untuk mengurangi penderitaan berlebihan yang disebabkan oleh peperangan.5 Oleh karena itu dibentuklah Konvensi Jenewa 1949

yang membahas tentang perlindungan terhadap korban perang (the Protection of Victims of war) yang kemudian dijadikan salah satu sumber hukum dari Humaniter.

Konvensi-konvensi Jenewa Tahun 1949 tentang Perlindungan Korban Perang (Geneva Convention of 1949 for the Protection of Victims of war) terdiri atas 4 Konvensi, yaitu :

1. Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan yang Luka dan Sakit dalam Angkatan Bersenjata di Medan Pertempuran Darat (Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded and Sick in Armed Forces in the Field, of August 12, 1949).

2. Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata di Laut yang Luka, Sakit, dan Korban Karam (Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded, Sick, and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea, of August 12, 1949).

3. Konvensi Jenewa mengenai Perlakuan Tawanan Perang (Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War, of August 12, 1949).

3 Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005, hlm. 3.

4 Haryomataram. Hukum Humaniter, Jakarta: C.V. Radjawali, 1994. Hlm. 11.

(3)

4. Konvensi Jenewa mengenai Perlindungan Orang Sipil di waktu Perang (Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Persons in time of War, of August 12, 1949).

Dalam penulisan ini, Penulis akan membahas mengenenai Konvensi Jenewa III dan Konvensi Jenewa IV yang mengatur mengenai bagaimana perlakuan terhadap kombatan yang menjadi tawanan perang dan bagaimana perlindungan terhadap orang sipil di waktu perang.

B. Konvensi Jenewa III mengenai Perlakuan Tawanan Perang (Relative to The Treatment of Prisoners of War)

Konvensi Jenewa III menentukan bahwa Negara Penahan bertanggung jawab atas perlakuan yang diberikan kepada tawanan-tawanannya. Tawanan yang dimaksud adalah tawanan Negara musuh, yaitu orang-perorangan yang merupakan kombatan dari negara musuh.6 Dalam hal ini kombatan negara musuh

yang menjadi tawanan mempunyai suatu perlindungan hukum dan tetap mendapatkan hak-haknya. Perlindungan hukum terhadap kombatan yang telah menjadi tawanan perang dapat berupa perlindungan umum dan perlindungan khusus. Perlindungan umum, meliputi : 7

1. Tawanan perang hanya dapat dipindahkan oleh Negara Penahan ke suatu Negara yang menjadi peserta Konvensi, dan setelah Negara Penahan mendapat kepastian bahwa negara yang disertai tawanan itu berkehendak dan sanggup untuk melaksanakan Konvensi. Apabila tawanan perang dipindahkan dalam keadaan tersebut, maka tanggung jawab tentang pelaksanaan Konvensi terletak pada Negara yang telah menerima mereka, selama mereka berada di bawah pengawasannya.8

2. Tawanan perang harus diperlakukan dengan perikemanusiaan. Setiap perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau kelalaian Negara Penahan yang mengakibatkan kematian atau yang benar-benar membahayakan kesehatan tawanan perang yang berada di bawah

6 Pasal 12 Konvensi Jenewa III

7 Ria Wierma, Op.Cit, hlm. 26-28

(4)

pengawasannya, adalah dilarang dan harus dianggap sebagai pelanggaran berat dari Konvensi ini. Tawanan perang terutama tidak boleh dijadikan obyek pengudungan jasmani, percobaan-percobaan kedokteran atau ilmiah dalam bentuk apapun juga yang tidak dibenarkan oleh pengobatan kedokteran, kedokteran gigi atau kesehatan dari tawanan bersangkutan dan dilakukan demi kepentingannya. Tawanan perang juga harus selalu dilindungi, terutama terhadap tindakan-tindakan kekerasan atau ancaman-ancaman, terhadap penghinaan-penghinaan, dan tontonan umum, serta dilarang melakukan tindakan-tindakan pembalasan terhadap tawanan perang ataupun menyiksa dan memaksa tawanan perang untuk memberikan suatu keterangan/informasi.9

3. Tawanan perang dalam segala keadaan berhak akan penghormatan terhadap pribadi dan martabatnya. Wanita harus diperlakukan dengan segala kehormatan yang patut diberikan mengingat jenis kelamin mereka, dan dalam segala hal harus mendapat perlakuan yang baik dan berbeda dibanding perlakuan yang diberikan kepada pria.10

4. Tawanan perang wajib mendapatkan jaminan kesehatan. Dalam hal ini Negara yang menahan tawanan perang wajib menjamin pemeliharaan mereka dan perawatan kesehatan yang dibutuhkan oleh mereka.11

Selanjutnya perlindungan khusus yang harus diberikan kepada tawanan perang, adalah meliputi :12

1. Pada awal penangkapan harus dicatat identitasnya, dibuat kartu pengenal dan semua benda atau barang untuk keperluan pribadi tetap dimiliki.13

2. Pengasingan tawanan hanya dapat diasingkan oleh negara penahan yang harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Setelah ditangkap, tawanan perang harus segera dievakuasi ke kamp-kamp tawanan yang letaknya dalam suatu daerah yang cukup jauh

9 Pasal 13 Konvensi Jenewa III

10 Pasal 14 Konvensi Jenewa III

11 Pasal 15 Konvensi Jenewa III

12 Ria Wierma, Op.Cit, hlm. 26-28

(5)

dari medan pertempuran yang berada diluar bahaya. Selagi menunggu pengungsian dari medan pertempuran, harus dijaga agar tawanan perang tidak menghadapi bahaya yang tidak perlu.14

b. Tawanan perang hanya dapat diasingkan dalam bangunan-bangunan yang terletak di daratan dan yang memberikan segala jaminan kebersihan dan kesehatan serta perlindungan dari bahaya. Kecuali dalam hal-hal khusus yang dibenarkan oleh kepentingan tawanan itu sendiri, tawanan tidak boleh diasingkan dalam penjara.15

c. Kesehatan dan pengamatan kesehatan pribadi tawanan perang harus terjamin. Setiap kamp tawanan harus mempunyai rumah sakit yang cukup memenuhi syarat di mana tawanan perang dapat memperoleh pengamatan kesehatan yang mereka perlukan, begitupun juga makanan yang tepat.16

d. Tawanan perang harus diberi tempat tinggal yang layak dan baik. Dalam hal ini tempat tinggal yang sama seperti yang diberikan kepada tentara Negara Penahan, mendapatkan makanan pokok yang berkualitas dan kuantitas serta pakaian yang cukup dengan memperhatikan iklim di daerah tempat tawanan ditahan.17

e. Negara penahan memperkerjakan tawanan perang secara manusiawi dengan memperhatikan umur, jenis kelamin.18

f. Setiap pemindahan tawanan perang harus dilakukan dengan manusiawi.19

Tawanan perang tetap mendapatkan hak-hak dan kemampuan perdatanya, hak-hak dan kemampuan perdata tersebut adalah sebagai berikut :

1. Tawanan perang dalam segala keadaan berhak akan penghormatan terhadap pribadi dan martabatnya.20

14 Pasal 19 Konvensi Jenewa III

15 Pasal 22-23 Konvensi Jenewa III

16 Pasal 29-30 Konvensi Jenewa III

17 Pasal 24-77 Konvensi Jenewa III

18 Pasal 49 Konvensi Jenewa III

19 Pasal 46-48 Konvensi Jenewa III

(6)

2. Negara yang menahan tawanan perang wajib menjamin pemeliharaan mereka dan perawatan kesehatan, kebersihan dan pelindungan dari bahaya yang dibutuhkan oleh mereka dengan cuma-cuma.21

3. Semua benda dan barang-barang untuk keperluan pribadi, kecuali senjata, kuda, perlengkapan militer dan dokumen-dokumen militer, harus tetap dimiliki tawanan perang, begitu pula topi baja dan kedok gas serta barang-barang serupa itu telah disediakan untuk perlindungan pribadi. Benda dan barang-barang yang digunakan untuk pakaian atau makanan mereka harus juga tetap mereka miliki, sekalipun benda dan barang-barang tersebut termasuk dalam perlengkapan militer mereka.22

4. Tanda-tanda pangkat dan kebangsaan, tanda-tanda jasa dan barang-barang yang khususnya mempunyai nilai pribadi atau barang kenangan tidak boleh diambil dari tawanan perang.23

5. Uang yang dibawa tawanan perang tidak boleh diambil atau dirampas dari mereka. Negara Penahan hanya dapat mengambil barang-barang berharga dari tawanan perang berdasarkan alasan-alasan keamanan; apabila barang-barang tersebut diambil, maka prosedur yang ditetapkan untuk pengambilan jumlah uang akan berlaku. Yaitu uang tawanan perang dapat diambil apabila atas perintah seorang perwira dan setelah jumlah uang dan keterangan-keterangan tentang pemiliknya dicatat dalam suatu daftar khusus dan setelah diberikan suatu tanda terima yang diperinci, yang dengan jelas memuat nama, pangkat serta kesatuan dari orang yang mengeluarkan tanda terima itu.24

6. Negara Penahan harus menyediakan segala fasilitas bagi penyaluran alat-alat, surat-surat atau dokumen-dokumen yang diperuntukkan tawanan perang atau yang dikirim oleh mereka, terutama surat kuasa serta wasiat.25

7. Negara Penahan dalam segala hal harus mempermudah persiapan dan pelaksanaan dokumen-dokumen tersebut untuk kepentingan tawanan perang; terutama mereka harus memperkenankan tawanan perang

21 Pasal 15 Konvensi Jenewa III

22 Pasal 18 Konvensi Jenewa III

23Ibid.

24Ibid.

(7)

memperoleh bantuan seorang pengacara dan harus mengambil segala tindakan yang perlu untuk pengesahan tanda tangan mereka.26

8. Tawanan perang harus memperoleh kebebasan penuh dalam mejalankan kewajiban keagamaan mereka, kegiatan pendidikan, hiburan dan olah raga bagi tawananan perang.27

C. Konvensi Jenewa IV Tentang Perlindungan Orang Sipil di Waktu Perang (Relative to the Protection of Civilian Persons in time of War)

Konvensi Jenewa IV mengenai Perlindungan Penduduk Sipil dalam waktu Perang merupakan konvensi yang yang mengatur kedudukan penduduk sipil pada pihak-pihak yang bersengketa, baik dalam daerah pertempuran maupun daerah pendudukan serta di negara-negara netral. Setiap pihak konflik baik secara langsung melalui negaranya ataupun melalui negara netral wajib melindungi pihak-pihak yang tidak ikut aktif berperang, diantaranya orang-orang yang terluka atau sakit baik itu kombatan ataupun non kombatan dan orang sipil yang tidak terlibat konflik. Kombatan adalah golongan penduduk yang merupakan angkatan bersenjata yang secara aktif turut serta dalam pertempuran atau permusuhan (hositilities), sedangkan non kombatan adalah golongan penduduk yang merupakan angkatan bersenjata yang tidak turut serta dalam pertempuran atau permusuhan. Penduduk sipil (Civilian) ialah mereka yang tidak turut serta secara aktif dalam permusuhan atau pertempuran, mereka harus dilindungi dan tidak boleh dijadikan sasaran serangan.28 Penduduk sipil (Civilian) adalah golongan

penduduk yang tidak turut serta dalam permusuhan.29

Berdasarkan Konvensi Jenewa IV, penduduk sipil yang dapat dilindungi adalah :

1. Orang asing di wilayah pendudukan.

Pada waktu pecah perang antara negara yang warga negaranya berdiam di wilayah negara musuh, maka orang-orang asing ini merupakan warga

26Ibid.

27 Pasal 33-38 Konvensi Jenewa III

28 Haryomataram, Sekelumit Tentang Hukum Humaniter, Surakarta: Sebelas Maret University Press, 1994, Hlm. 102

(8)

negara musuh. Walaupun demikian, mereka tetap mendapatkan penghormatan dan perlindungan di negara dimana mereka berdiam.

2. Orang yang tinggal di wilayah pendudukan

Dalam wilayah pendudukan, penduduk sipil sepenuhnya harus dilindungi. Penguasa Pendudukan (occupying power) tidak boleh mengubah hukum yang berlaku di wilayah tersebut. Dengan perkataan lain, hukum yang berlaku di wilayah tersebut adalah hukum dari negara yang diduduki. Oleh karena itu, perundang-undangan nasional dari negara yang diduduki masih berlaku (secara de jure), walaupun yang berkuasa atas wilayah pendudukan adalah Penguasa Pendudukan (secara de facto). Sejalan dengan hal ini, maka Pemerintah Daerah di wilayah yang diduduki, termasuk pengadilannya, harus diperbolehkan untuk melanjutkan aktivitas-aktivitas mereka seperti sedia kala. Orang-orang sipil di wilayah ini harus dihormati hak-hak asasinya; misalnya mereka tidak boleh dipaksa bekerja untuk Penguasa Pendudukan, tidak boleh dipaksa untuk melakukan kegiatan-kegiatan militer. Penguasa Pendudukan bertanggung jawab untuk memelihara dinas-dinas kesehatan, rumah sakit dan bangunan-bangunan lainnya. Perhimpunan Palang Merah atau Bulan Sabit Merah Nasional harus tetap diperbolehkan untuk melanjutkan tugas-tugasnya.

3. Interniran Penduduk Sipil

Penginterniran penduduk sipil musuh merupakan tindakan perampasan kebebasan yang hanya dapat diambil apabila memang ada alasan-alasan keamanan yang riil yang mendesak. Penginterniran itu sebenarnya suatu tindakan diskriminatif administrativf prefentif bukan suatu tindakan hukuman. Orang-orang sipil yang dapat diinternir adalah :

a. Penduduk sipil musuh dalam wilayah pihak yang bersengketa yang perlu diawasi dengan ketat demi kepentingan keamanan30;

(9)

b. Penduduk sipil musuh dalam wilayah pihak yang bersengketa yang dengan suka rela menghendaki untuk diinternir; atau karena keadaannya menyebabkan ia diinternir31;

c. Penduduk sipil musuh dalam wilayah yang diduduki, apabila Penguasa Pendudukan menghendaki mereka perlu diinternir karena alas an mendesak32;

d. Penduduk sipil yang telah melakukan pelanggaran hukum yang secara khusus bertujuan untuk merugikan Kekuasaan Pendudukan, asal saja bukan merupakan percobaan pembunuhan atau apabila tidak menimbulkan bahaya yang baesar bagi Kekuasaan Pendudukan.33

Selanjutnya, para interniran sipil ini tidak boleh ditempatkan di dalam daerah-daerah yang sangat terancam bahaya perang. Bila kepentingan militer memerlukan, tempat interniran ini harus ditandai dengan huruf “IC” (TI = Tempat Interniran; IC = Internment Camps), atau system penandaan lainnya yang disepakati. Pengurusan para interniran, harus dilakukan oleh Negara Penahan, termasuk meliputi layaknya tempat interniran, makanan dan pakaian, kebersihan dan pengamatan kesehatan, serta kegiatan-kegiatan keagamaan. Setiap tempat interniran, harus ditempatkan di bawah kekuasaan seorang perwira yang bertanggung jawab, yang dipilih dari anggota angkatan bersenjata tetap atau pemerintahan sipil biasa dari Negara Penahan. Para interniran sipil, walaupun dilindungi sepenuhnya oleh Konvensi Jenewa, tetap dapat dijatuhi sanksi pidana dan sanksi disipliner. Asal penjatuhan sanksi-sanksi tersebut harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di daerah yang diinternir tersebut. Segera setelah permusuhan berakhir, interniran sipil harus dipulangkan kembali ke negara asal mereka. Namun hal ini tidak menutup kemungkinan untuk melakukan tindakan-tindakan serupa selama berlangsungnya permusuhan antara para pihak yang bersengketa.34

31 Pasal 42 Konvensi Jenewa IV

32 Pasal 78 Konvensi Jenewa IV

33 Pasal 68 Konvensi Jenewa IV

(10)

Berdasarkan Konvensi Jenewa IV, perlindungan umum yang diberikan kepada penduduk sipil tidak boleh dilakukan secara diskriminatif. Dalam segala keadaan, penduduk sipil berhak atas penghormatan pribadi, hak kekeluargaan, kekayaan dan praktek ajaran agamanya. Terhadap mereka, tidak boleh dilakukan tindakan-tindakan sebagaimana yang disebutkan dalam Konvensi Jenewa IV yang menyatakan bahwa: 35

1. Orang-orang yang dilindungi, dalam segala keadaan berhak akan penghormatan atas diri pribadi, kehormatan hak-hak kekeluargaan, keyakinan dan praktek keagamaan, serta adat istiadat dan kebiasaan mereka. Mereka selalu harus diperlakukan dengan perikemanusiaan, dan harus dilindungi khusus terhadap segala tindakan kekerasan atau ancamanancaman kekerasan dan terhadap penghinaan serta tidak boleh menjadi objek tontonan umum;

2. Wanita harus terutama dilindungi terhadap setiap serangan atas kehormatannya, khususnya terhadap perkosaan, pelacuran yang dipaksakan, atau setiap bentuk serangan yang melanggar kesusilaan. Tanpa mengurangi ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan keadaan kesehatan, umur dan jenis kelamin mereka, maka semua orang yang dilindungi harus diperlakukan dengan cara yang sama oleh Pihak dalam sengketa dalam kekuasaan mana mereka berada, tanpa perbedaan merugikan yang didasarkan terutama pada suku, agama atau pendapat politik. Akan tetapi Pihak-pihak dalam sengketa dapat mengambil tindakan-tindakan pengawasan dan keamanan berkenaan dengan orang-orang yang dilindungi, yang mungkin diperlukan sebagai akibat perang;

3. Orang-orang yang dilindungi harus memperoleh setiap fasilitas untuk berhubungan secara tertulis dengan Negara Pelindung, dengan Komite Palang Merah Internasional, Perhimpunan-perhimpunan Palang Merah Nasional (Bulan Sabit Merah, Singa dan Matahari Merah) dari negara-negara tempat mereka berada, demikian pula dengan setiap organisasi yang dapat memberi bantuan kepada mereka.

(11)

4. Terhadap orang yang dilindungi tidak boleh dilakukan paksaan phisik atau moral, terutama untuk memperoleh keterangan-keterangan dari mereka atau dari pihak ketiga

5. Dilarang mengambil tindakan apapun yang sifatnya menimbulkan penderitaan-penderitaan jasmani atau pemusnahan orang-orang yang dilindungi yang ada dalam tangan mereka. Larangan ini tidak hanya berlaku Universitas Sumatera Utara terhadap pembunuhan, penganiayaan, hukuman badan, pengudungan serta percobaan-percobaan kedokteran atau percobaan-percobaan ilmiah yang tidak diperlukan oleh perawatan kedokteran daripada seorang yang dilindungi, akan tetapi juga berlaku terhadap setiap tindakan kekuasaan lainnya, baik yang dilakukan oleh alat-alat negara sipil maupun militer.

6. Perampokan dilarang. Tindakan pembalasan terhadap orang-orang yang dilindungi dan harta miliknya adalah dilarang

7. Penangkapan orang untuk dijadikan sandera (tanggungan) dilarang

Dapat disimpulkan isi dari pasal 27-34 tersebut tentang perlindungan umum terhadap penduduk sipil yaitu adalah:36

1. Melakukan pemaksaan jasmani maupun rohani untuk memperoleh keterangan;

2. Melakukan tindakan yang menimbulkan penderitaan jasmani;

3. Menjatuhkan hukuman kolektif;

4. Melakukan intimidasi, terorisme dan perampokan;

5. Melakukan pembalasan (reprisal);

6. Menjadikan mereka sebagai sandera;

Perlindungan yang diberikan kepada penduduk sipil menurut konvensi jenewa IV adalah Perlindungan umum kepada penduduk sipil terhadap akibat-akibat perang, yaitu dilakukan dengan pengadaan daerah-daerah keselamatan dan daerah yang dinetralisir oleh pihak-pihak peserta konvensi untuk memberikan perlindungan kepada penduduk sipil yang karena usia dan keadaannya lemah

(12)

akibat perang, seperti orang yang luka dan sakit, orang tua, anak-anak dibawah lima belas tahun, wanita hamil, dan ibu-ibu dari anak-anak dibawah tujuh tahun. Daerah-daerah keselamatan yang dimaksud adalah daerah-daerah perkampungan-perkampungan rumah sakit atau keselamatan dalam wilayah mereka sendiri atau wilayah yang mereka duduki yang bersifat permanen.37 Sebaliknya daerah yang

dinetralisir adalah daerah yang diadakan didaerah pertempuran yang tidak bersifat permanen dengan maksud untuk memberikan perlindungan dari akibat perang kepada orang-orang sipil yang tidak ikut turut serta dalam pertempuran dan penduduk yang luka atau sakit baik kombatan ataupun non kombatan.38

Demikian besarnya perhatian yang diberikan Konvensi Jenewa untuk melindungi penduduk sipil dalam sengketa bersenjata, sehingga konvensi ini juga mengatur mengenai pembentukan kawasan-kawasan rumah sakit dan daerah-daerah keselamatan (safety zones), dengan persetujuan bersama antara pihak-pihak yang bersangkutan.39

Selain perlindungan umum yang diberikan terhadap penduduk sipil dalam sengketa bersenjata sebagaimana diuraikan di atas, maka terdapat pula sekelompok penduduk sipil tertentu yang dapat menikmati perlindungan khusus. Mereka umumnya adalah penduduk sipil yang tergabung dalam suatu organisasi social yang melaksanakan tugas-tugas yang bersifat sosial untuk membantu penduduk sipil lainnya pada waktu sengketa bersenjata. Mereka adalah penduduk sipil yang menjadi anggota Perhimpunan Palang Merah Nasional dan anggota Perhimpunan Penolong Sukarela lainnya, termasuk anggota Pertahanan Sipil. Pada saat melaksanakan tugas-tugas yang bersifat social (sipil), biasanya mereka dilengkapi dengan sejumlah fasilitas (transportasi, bangunan-bangunan khusus), maupun lambing-lambang khusus. Apabila sedang melaksanakan tugasnya, mereka harus dihormati (respected) dan dilindung (protected). ‘Dihormati’ berarti mereka harus dibiarkan untuk melaksanakan tugas-tugas sosial mereka pada waktu sengketa bersenjata; sedangkan pengertian ‘dilindungi’ adalah bahwa mereka tidak boleh dijadikan sasaran serangan militer.40

37 Pasal 14 Konvensi Jenewa IV

38 Pasal 15 Konvensi Jenewa IV

39 Pasal 14 Konvensi Jenewa IV

(13)

Selain perlindungan terhadap kombatan yang terluka atau sakit, dan perlindungan terhadap orang sipil, Konvensi Jenenewa IV juga mengatur perlindungan terhadap rumah, gedung, dang instansi yang dimiliki orang sipil. Rumah sakit sipil harus selalu dihormati dan dilindungi pada saat terjadinya konflik dan diberi lambang atau tanda sebagai penunjuk keberadaannya yang merupakan daerah yang tidak boleh diserang. Konvensi Jenewa Ke IV juga memuat mengenai perlindungan terhadap harta benda yakni pasal 53 yang melarang setiap pengrusakan oleh kekuasaan pendudukan dari pada harta benda yang bergerak, maupun tidak bergerak milik orang sipil perseorangan atau kolektif maupun milik organisasai sosial badan umum kecuali diperlukan untuk kepentingan militer.

Konvensi Jenewa IV menyebutkan bahwa apabila dalam perang yang diserang dan dibunuh adalah penduduk sipil termasuk didalamnya wanita dan anak-anak dan penyerangan dilakukan secara membabi buta tanpa membedakan sasaran militer dan bukan serta dilakukan dalam skala besar, pembunuhan dilakukan dengan sengaja, melakukan tindakan penganiayaan, perlakuan tidak berperikemanusiaan dan penahanan sewenang-wenang, yang seharusnya merupakan kelompok orang yang wajib dilindungi menurut konvensi ini merupakan suatu kejahatan perang dan pelanggaran hukum humaniter yang digolongkan sebagai pelanggaran berat.41 Kemudian Pasal 50 menengaskan

kembali Pelanggaran hukum humaniter yang digolongkan sebagai pelanggaran berat, apabila pelanggaran tersebut dilakukan terhadap orang-orang atau objek yang dilindungi oleh Konvensi, meliputi perbuatan :

1. Pembunuhan disengaja.

2. Penganiayaan dan atau perlakuan yang tidak berperikemanusiaan.

3. Percobaan-percobaan biologi yang menyebabkan penderiataan besar atau luka atas badan atau kesehatan yang berat.

4. Penghancuran yang luas.

5. Tindakan perampasan harta benda yang tidak dibenarkan oleh kepentingan militer dan dilaksanakan dengan melawan hukum serta semena-mena.

(14)

D. Kesimpulan dan Saran

1. Kesimpulan

a. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa Konvensi Jenewa III adalah konvensi yang mengatur mengenai bagaimana perlakuan terhadap tawanan perang, yaitu orang-perorangan yang merupakan kombatan atau angkatan bersenjata dari negara musuh yang aktif dalam peperangan. Konvensi ini mengatur adanya perlindungan hukum terhadap tawanan perang tersebut dan mengatur bagaimana negara penahan memperlakukan tawanan perangnya. Sehingga negara penahan tidak seenaknya memperlakukan tawanan perang tersebut. Dalam hal ini tidak menyiksa, membunuh, maupun melakukan balas dendam terhadap tawanan perang yang sudah tidak berdaya. Sehingga apa yang menjadi tujuan hukum humaniter bisa tercapai, yaitu meminimalisir korban dan mengurangi penderitaan berlebihan yang disebabkan oleh peperangan.

b. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa Konvensi Jenewa IV adalah konvensi yang mengatur mengenai perlindungan orang-orang sipil di waktu perang. Konvensi ini merupakan pelengkap dari konvensi-konvensi sebelumnya. Berdasarkan konvensi-konvensi ini, negara-negara yang berperang, selain dilarang melakukan penyerangan terhadap orang-orang yang terluka atau sakit baik itu kombatan ataupun non kombatan juga dilarang melakukan penyerangan pada orang-orang sipil, dalam hal ini adalah golongan penduduk yang tidak turut serta dalam peperangan seperti seperti wanita, pria yang bukan kombatan, anak-anak yang masih kecil, maupun anggota palang merah (anggota medis). Selain itu negara-negara dalam berperang dilarang menyerang rumah orang-orang sipil, harta benda orang-orang sipil, dan gedung/instalansi umum seperti rumah sakit, sekolah, tempat beribadah. Sehingga korban dan akibat dari peperangan dapat diminimalisir.

2. Saran

(15)

antar satu negara dengan negara lainnya agar penduduk sipil tidak menjadi korbannya seperti wanita, pria, maupun anak-anak yang masih kecil yang seharusnya bisa menjadi penerus cita-cita dari suatu negara tetapi harus menjadi korban pada usia yang masih sangat muda.

b. Perang seharusnya tidak menjadi jalan penyelesaian dari konflik internal yang terjadi di dalam suatu negara ataupun konflik di antar negara. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan seperti perundingan maupun negosiasi yang dimana cara tersebut tidak menggunakan cara kekerasan yang dapat menyebabkan banyak penduduk sipil menjadi korban jiwa.

Referensi

Dokumen terkait

Partai Politik sebagai organisasi yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan politik

Pandangan ulama kota Palangka Raya terhadap hukum keikutsertaan warga dayak ngaju muslim dalam pelaksanaan upacara Tiwah menyatakan tidak memperbolehkan umat Islam

menciptakan suatu pemikiran yang baru karena kita memiliki pengetahuan- pengetahuan yang didapat dari bahasa(Kosasih, 2013). Bahasa sebagai alat kontrol sosial di

Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan Purwaningsih (2012 ), dengan judul “Hubungan Pengetahuan dan Peran Keluarga dengan Perilaku Seksual Pra

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beban kerja yang di shift kerja yang berbeda serta untuk mengetahui apakah ada pengaruh perbedaan shift terhadap beban kerja mental

Jurnal Riset Manajemen Sains Indonesia (JRMSI) |Vol. Ini menyebabkan keputusan konsumen dalam pembelian sabun Lux pun menjadi berkurang, hal ini dapat dilihat dari penjualan sabun

Dalam hal ini praktikan masih banyak kekurangan, praktikan banyak mendapatkan pengetahuan dan pengalaman yang baik untuk praktikan untuk kedepanya yaitu tentang mengajar para

Para peneliti bidang psikologi khususnya psikologi pendidikan kini telah semakin sadar betapa dalam dan rumitnya proses berfikir siswa ketika ia belajar, sehingga