• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Penerapan Klausul Eksonerasi Dalam Pandangan Hukum Perjanjian Islam 1.Pengertian Klausul Eksonerasi

3. Penerapan Klausul Eksonerasi Dalam Pandangan Hukum Perjanjian Islam

Islam mengatur secara menyeluruh kehidupan manusia dalam berbagai aspek, baik agama, ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya. Islam merupakan Rahmatan lil’aalamiin yaitu rahmat bagi seluruh alam. Semua sisi kehidupan telah berada dalam pengaturan hukum Allah Swt. Ruang lingkup kehidupan manusia berada pada dua macam hubungan, yaitu hubungan kepada Allah (hablumminallah) dan hubungan kepada manusia (hablumminannaas).

Islam memberikan petunjuk terhadap segala sesuatu yang dibutuhkan manusia sesuai dengan ketentuan syariat144. Petunjuk tersebut dibagi menjadi tiga bagian:145

a. Aqidah

Aqidah merupakan ajaran Islam yang menjelaskan tentang keesaan Allah. Akidah sifatnya konstan dan tidak mengalami perubahan dan tidak dapat

144

Syariat ditinjau dari ketentuan Ilmu Hukum, merupakan dasar-dasar hukum yang mengatur seorang muslim dalam penghidupannya. Dasar-dasar tersebut didapat dalam Al Qur’an. Lihat Abdullah Sidik, Asas-Asas Hukum Islam, (Jakarta: Widjaya Jakarta, 1982), h. 181.

145

Ismail, Perbankan Syariah Cetakan Kedua, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), h. 4-5.

dipengaruhi oleh perkembangan zaman. Aqidah bersifat mutlak kebenarannya, dan tidak terbantahkan.

b. Syariah

Syariah merupakan ajaran Islam tentang hukum Islam atau peraturan yang harus dilaksanakan dan/atau ditinggalkan oleh manusia. Syariah dibagi menjadi dua yaitu ibadah dan muamalah.

1) Ibadah merupakan tindakan manusia yang dilakukan terkait dengan hubungan antara manusia dan Allah Swt. Adanya kewajiban untuk menjalankan segala perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya. Seperti sholat, puasa, zakat dan haji.

2) Muamalah merupakan tuntutan yang mengatur tentang hubungan antara manusia dengan manusia lainnya. Misalnya dalam perdagangan, negosiasi dan transaksi lainnya.

c. Akhlak

Akhlak terkait dengan tingkah laku manusia dalam kehidupan yang didasarkan pada akhlakul karimah yaitu akhlak yang mulia. Ajaran tentang akhlak tidak mengalami perubahan dengan adanya perubahan waktu.

Sistem ekonomi yang ditetapkan oleh Rasulullah Saw berakar pada prinsip-prinsip Al Qur’an yang merupakan sumber utama ajaran Islam dengan menetapkan berbagai aturan sebagai petunjuk bagi umat manusia dalam melakukan aktivitas di setiap aspek kehidupannya termasuk di bidang ekonomi.146

Hubungan kerjasama antar sesama manusia, salah satunya dalam bentuk kerjasama ekonomi biasanya diwujudkan dalam sebuah perjanjian (akad). Hubungan muamalah dalam perjanjian berlaku bahwa segala sesuatu itu sah dilakukan sepanjang tidak ada larangan tegas atas tindakan itu.147

146

Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), h. 28.

147

Ahmadi Miru-I, Op.Cit, h. 14

Tindakan hukum dalam perjanjian apapun dapat dibuat sejauh tidak ada larangan khusus mengenai perjanjian itu dalam Al Qur’an, hadits dan ijtihad.

Penerapan klausul eksonerasi jika ditinjau dalam Hukum Perjanjian Islam, maka terlebih dahulu melihat bagaimana Islam mengatur mengenai tanggung jawab. Tanggung jawab dalam bahasa Arab semakna dengan kata “mas’uliyah” yaitu pertanggungjawaban, dan “dhomaaniyah” yaitu pertanggungan.148 Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan definisi tanggung jawab yaitu “keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa) boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya.”149

Konsep tanggung jawab dalam Islam dibedakan menjadi dua, yaitu:150 a. Tanggung jawab individu yang tidak dapat dialihkan (fard al’ayn)

b. Tanggung jawab kolektif yang bisa diwakili oleh sebagian kecil orang (fard al kifayah).

Tanggung jawab dalam Islam bersifat pada tingkat individu dan masyarakat atau oraganisasi. Tanggung jawab dalam Islam bahkan bersama-sama dalam tingkat individu dan masyarakat, seperti yang dikemukakan Sayed Qutb:151

Menurut Hamzah Ya’qub, ada beberapa macam tanggung jawab antara lain:

“Islam mendasarkan prinsip tanggung jawab timbal balik dalam semua bentuk dan variasi. Di dalamnya kita bisa menemukan tanggung jawab yang ada antara manusia dan hatinya, antara manusia dan keluarganya, antara individu dan masyarakat, antara satu komunitas dengan komunitas lainnya.”

152

148

Muhammad HJ Abdul Latif, Kamus Jauhari Melayu-Arab/Arab Melayu, (Kuala Lumpur: Al Hidayah Publishers, 2005), h. 119.

149

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, h. 1139.

150

Rafik Issa Bekun Penerjemah Muhammad, Etika Bisnis Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 41.

151 Ibid.

a. Tanggung jawab manusia kepada Allah Swt atas perilaku dan perbuatannya, karena setiap orang akan dimintai pertanggung jawabannya. Firman Allah dalam Al Qur’an, yaitu Al Qur’an surah Al Isra’ ayat (36): “dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” Al Qur’an surah An Nahl ayat (93): “dan jika Allah menghendaki niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Dia menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Tetapi kamu pasti ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.”

b. Tanggung jawab kelembagaan, yaitu tanggung jawab yang dilakukan berdasarkan kepada pihak yang memberikan wewenang, yaitu pihak atasan sesuai dengan jenjang organisasi.

c. Tanggung jawab hukum, yaitu tanggung jawab yang dilakukan berdasarkan saluran-saluran dan ketentuan hukum yang berlaku, seorang petugas, karyawan, atau pejabat selaku pemegang fungsi harus mampu mempertanggungjawabkan tindakannya.

d. Tanggung jawab sosial, yaitu kaitan moral terhadap masyarakat.

Berdasarkan definisi tanggung jawab tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa setiap manusia bertanggung jawab terhadap perbuatan yang dilakukannya. Sesuatu yang menjadi tanggung jawab seseorang dalam hubungannya dengan sesama manusia, maka tanggung jawab tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan kewajiban. Demikian juga tanggung jawab para pihak dalam perjanjian sesuai dengan hak dan kewajiban masing-masing.

Pembatasan penggunaan klausul eksonerasi dalam Hukum Positif diatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mengatur bahwa “pelaku usaha dalam menjalankan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen

152

Hamzah Ya’qub, Etos Kerja Islam (Petunjuk Pekerjaan yang Halal dan Haram Syari’at Islam, (Yogyakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992), h. 93-94.

dan/atau perjanjian apabila: (a) menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.”

Klausul eksonerasi juga tidak diperbolehkan sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (3) huruf a Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Sektor Jasa yang menyatakan “perjanjian baku sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) yang digunakan oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang menyatakan pengalihan tanggung jawab atau kewajiban Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) kepada konsumen.” Hal yang sama juga diatur dalam Bagian II angka 4 huruf a Surat Edaran OJK Nomor 13/SEOJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku, yang menyatakan perjanjian baku dilarang apabila menyatakan pengalihan tanggung jawab atau kewajiban PUJK kepada konsumen.

Berdasarkan ketentuan hukum positif di atas, penerapan klausul eksonerasi tidak dibenarkan. Sedangkan pengaturan di dalam Al Qur’an maupun Hadits mengenai pelarangan pencantuman klausul eksonerasi secara tekstual tidak ditemukan, akan tetapi jika ditelusuri dalam ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits dari segi kontekstual, maka secara tersirat terdapat di dalamnya pengaturan mengenai pelarangan klausul eksonerasi.

Al Qur’an mengatur mengenai kewajiban setiap manusia untuk melaksanakan tanggung jawabnya, tidak mengalihkan tanggung jawab tersebut kepada pihak lain, diantaranya sebagaimana firman Allah Swt sebagai berikut:





























“…bagi kami tanggung jawab atas perbuatan kami dan bagi kamu tanggung jawab atas perbuatan kamu. Tidak perlu ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah kita kembali.” (QS.As Syuro: 15)























“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan janganlah kamu mengkhianati amanah yang dipercayakan kepadamu sedang kamu mengetahui.” (QS. Al Anfal: 27).













“Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya.” (QS. Al Muddatstsir: 38).









“Tahanlah mereka, sesungguhnya mereka akan ditanya (dimintai pertanggung jawabannya).” (QS. Ash Shoffat: 24).













“Dan (sungguh beruntung) orang yang memelihara amanat dan janjinya.” (QS. Al Mu’minuun: 8).

Berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an tersebut di atas, Allah swt memerintahkan agar setiap orang bertanggung jawab terhadap setiap perbuatan yang telah menjadi tanggung jawab baginya, tidak melepaskan atau mengalihkan tanggung jawab tersebut kepada pihak lain. Setiap orang akan diminta pertanggungjawaban dari setiap perbuatannya. Orang-orang yang melaksanakan tanggung jawabnya tersebut akan memperoleh keuntungan dan balasan dari Allah Swt. Penerapan klausul eksonerasi dalam suatu perjanjian maka hal tersebut dilarang dan bertentangan dengan aturan-aturan dalam Al Qur’an.

Penerapan klausul eksonerasi dalam perjanjian yang dibuat antara para pihak, dengan mencantumkan syarat-syarat pengalihan tanggung jawab pelaku usaha kepada konsumen tidak dibenarkan. Hukum Perjanjian Islam mengatur setiap akad yang dibuat antara para pihak sesuai dengan aturan yang ditetapkan syariat. Salah satu hadits Rasulullah Saw dalam Riwayat Tirmidzi menegaskan:152F

153

ﺍﻣ ﺮﺣ ﻞﺣﺃ ﻭﺃ ﻻﻼﺣ ﻡﺮﺣﻻﺍ ﻢﻬﻁﻭﺮﺷ ﻰﻠﻋ ﻥﻮﻤﻠﺴﻤﻟﺍ

153

Kitab Al Ahkam Nomor 1272. Selanjutnya lihat dalam Muhammad Syafi’i Antonio,

“Kaum muslimin (dalam kebebasan) sesuai dengan syarat dan kesepakatan mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.”

Perjanjian juga harus dilaksanakan sesuai dengan kaidah umum yang merupakan sumber dalam pelaksanaan hubungan kepederdataan, sebagai dasar pokok-pokok syariat Islam dalam kaidah fiqih yang menyatakan:

ﻢﻳﺮﺤﺘﻟﺍ ﻰﻠﻋ ﻞﻴﻟﺪﻟﺃ ﻝﺪﻳ ﻰﺘﺣ ﺔﺣﺍﺑ ﻹﺍ ﺀﺍﻴﺷﻷﺍ ﻰﻓ ﻞﺻﻷٱ

“Hukum asal sesuatu adalah kebolehan, sehingga terdapat dalil yang mengharamkannya.”153F

154

ﺮﺮﻀﻻﻮﺮﺮﻀﻻ

“Tidak memudharatkan dan tidak dimudharatkan.”

ﻝﺍﺰﻳ ﺮﺮﺿﻟﺍ

“Kemudharatan harus ditiadakan”

ﻥﺎﻜﻤﻷﺍﺭ ﺪﻘﺑ ﻉﻮﻓﺮﻣ ﺮﺮﺿﻟﺍ

“Kemudharatan harus ditolak semaksimal mungkin.”154F

155

Penerapan klausul eksonerasi dalam perjanjian dalam pandangan Hukum Perjanjian Islam bertentangan dengan asas-asas perjanjian yaitu:

1. Keadilan (Al ‘Adalah)

154

Muchlis Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah: Pedoman Dasar Dalam Istinbath Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 1999), h. 119.

155

Lihat dalam Muhammad Syafi’i Antonio, Op.Cit, h. 15. Lihat juga dalam Mahmud Sjaltout, Al Islam Aqidah wa Syari’ah, diterjemahkan oleh Bustami A Gani, Djohar Bahru LIS, Islam Sebagai Aqidah dan Syari’ah, Jilid IV (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), h. 95.

Keadilan merupakan inti semua ajaran yang ada dalam Al Qur’an.155F

156 Al Qur’an menyatakan secara tegas bahwa diwahyukannya Al Qur’an adalah untuk membangun keadilan dan persamaan.156F

157

Keadilan langsung merupakan perintah Al Qur’an yang menegaskan:

























“Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa, bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha teliti apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Maidah: 8).

Keadilan merupakan tonggak setiap perjanjian yang disepakati oleh para pihak. Keadilan dalam perjanjian menuntut para pihak dalam perjanjian tersebut memiliki kedudukan yang sama, tidak ada pihak yang lebih tinggi maupun yang lemah. Isi perjanjian mencerminkan keadilan bagi kedua belah pihak. Melakukan dengan benar pengungkapan kehendak dan keadaan, serta memenuhi semua hak dan kewajiban dari para pihak. Perjanjian senantiasa mendatangkan keuntungan yang adil dan seimbang serta tidak menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak.

Penerapan klausul eksonerasi yang merupakan bagian dari perjanjian baku (‘aqd al-is’an) tidak sesuai dengan asas keadilan. Tidak adanya keadilan

156

Mustaq Ahmad, Etika Bisnis dalam Islam, Cetakan Keempat, ( Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2006), h. 99.

157

Lihat Al Qur’an surah Al Hadid ayat (25), yang artinya “Sungguh Kami telah mengutus Rasul-Rasul Kami dengan bukti-bukti nyata dan Kami turunkan bersama mereka kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat berlaku adil.”

antara para pihak dalam perjanjian, pihak yang kuat cenderung menentukan isi perjanjian. Pihak yang lemah tidak mempunyai pilihan kecuali menerimanya. 2. Kesetaraan (Al Musawwah/Taswiyah)

Para pihak dalam perjanjian mempunyai kedudukan yang sama dalam menentukan isi perjanjian. Adanya kesetaraan antara hak dan kewajiban. Perjanjian baku tidak memberikan kesempatan kepada pihak lainnya untuk melakukan negosiasi terhadap isi perjanjian yang mencantumkan klausul eksonerasi, pengalihan tanggung jawab pelaku usaha kepada konsumen. Manusia pada hakikatnya memiliki kedudukan yang sama yang membedakannya hanyalah ketaqwaannya. Sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an surah Al Hujurat ayat (15):

“Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan serta menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” 3. Kemaslahatan

Hukum perjanjian Islam mengatur bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak bertujuan untuk kemaslahatan bagi pihak-pihak dalam perjanjian tersebut. Perjanjian tidak boleh menimbulkan kerugian (mudharat) dan memberatkan (musyaqqah) pihak yang lainnya.158

Penerapan klausul eksonerasi tidak memberikan kemaslahatan bagi pihak lainnya dengan memikul tanggung jawab yang seharusnya bukan menjadi

158

kewajibannya. Para pihak dalam perjanjian mendapatkan apa yang menjadi hak nya dan melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya. Allah Swt berfirman dalam Al Qur’an surah As Syu’araa ayat (183):





















“Dan janganlah kalian merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kalian merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan.”

4. Itikad baik

Perjanjian yang dibuat antara para pihak dijalankan dengan adanya itikad baik. Ajaran itikad baik meliputi itikad baik subjektif dan itikad baik objektif. Itikad baik subjektif dalam hubungannya dengan hukum benda yang bermakna kejujuran,158F

159

sedangkan ajaran itikad baik objektif adalah yang berhubungan dengan perikatan, yaitu pelaksanaan perjanjian harus berjalan dengan mengindahkan kepatutan dan kesusilaan.159F

160

Hukum Perjanjian Islam melarang suatu perjanjian yang didalamnya mengandung unsur ketidakjujuran/penipuan.160F

161

Islam memerintahkan semua

159

Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 533 KUHPerdata yaitu “itikad baik selamanya harus dianggap ada pada tiap-tiap pemegang kedudukan; barang siapa menuduh akan itikad buruk padanya harus membuktikan tuduhan itu.”

160

Itikad baik dimaksudkan agar berjalannya perjanjian dapat dinilai dengan ukuran yang benar. Asas itikad baik sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata berkaitan dengan asas kepatutan yang diatur dalam Pasal 1339 KUHPerdata.

161

Unsur-unsur penipuan dalam perjanjian Islam adalah: 1. Penyesatan sebagai tindakan menggelabui dengan kesengajaan yang tidak diketahui oleh pihak mitra akad/janji (unknown to one party) dengan perkataan atau perbuatan, 2. Adanya tipu muslihat, 3. Adanya kebohongan, 4. Menyembunyikan keterangan. Lihat dalam Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, (Raja Grafindo, 2007), h. 169.

transaksi bisnis dilakukan dengan cara jujur dan terus terang. Untuk itu Allah menjanjikan kebahagiaan bagi orang-orang yang melakukan bisnis dengan cara jujur dan terus terang. Keharusan untuk melakukan bisnis secara jujur, tidak akan memberikan koridor dari ruang penipuan, kebohongan, dan eksploitasi dalam segala bentuknya.161F

162

Penerapan klausul eksonerasi dalam perjanjian memberikan makna tidak adanya itikad baik dari pelaku usaha untuk melaksanakan tanggung jawabnya. Menghindar dari tanggung jawab, dan mengalihkannya pada konsumen. Dasar hukum agar melakukan perbuatan dengan itikad baik, sebagaimana Allah Swt berfirman dalam Al Qur’an surah Al Ahzab ayat (70):



















“hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kamu kepada Allah, dan katakanlah perkataan yang benar.”

5. Ridha, suka sama suka, kerelaan

Salah satu dasar dalam perjanjian adalah saling ridha/keadaan suka sama suka atau saling rela. Perjanjian yang mencantumkan klausul eksonerasi dalam bentuk perjanjian yang telah baku, tidak memberikan kesempatan bagi pihak lainnya untuk turut dalam membuat isi perjanjian. Adanya pencantuman klausul eksonerasi terpaksa diterima oleh konsumen karena dihadapkan dalam keadaan

162

yang tidak ada pilihan lain. Pentingnya saling ridha ini sebagaimana perintah Allah dalam Al Qur’an surah An Nisaa’ ayat (29):































...



“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan hartamu diantaramu dengan cara yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang terjadi atas dasar saling ridha (suka sama suka)...”

Etika bisnis dalam Islam sangat menjaga dan mencegah terhadap kemungkinan adanya kerugian salah satu pihak dalam melakukan hubungan muamalah, kerjasama, atau perjanjian dalam bisnis. Al Qur’an menegaskan agar dalam bisnis dilakukan dengan cara-cara kesukarelaan tidak mengandung kezaliman, kebatilan dan kerusakan.

Berdasarkan uraian di atas, maka penerapan klausul eksonerasi dalam pandangan Hukum Islam tidak sesuai dengan Al Qur’an, Hadits dan asas-asas perjanjian dalam Hukum Perjanjian Islam. Salah satu ajaran Al Qur’an mengenai perjanjian adalah mengenai pemenuhan perjanjian dan kewajiban yang timbul dalam perjanjian tersebut. Para pihak dalam perjanjian akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt dalam hal yang berkaitan dengan perjanjian yang telah dilakukan. Sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an surah Al Isra’ ayat (34):

Dokumen terkait