• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Klausul Eksonerasi Dan Akibat Hukumnya Dalam Perjanjian Pembiayaan Musyarakah Pada Bank Syariah (Studi Putusan Pengadilan Agama Nomor 967 Pdt.G 2012 Pa.Mdn)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penerapan Klausul Eksonerasi Dan Akibat Hukumnya Dalam Perjanjian Pembiayaan Musyarakah Pada Bank Syariah (Studi Putusan Pengadilan Agama Nomor 967 Pdt.G 2012 Pa.Mdn)"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENERAPAN KLAUSUL EKSONERASI PADA PERJANJIAN DALAM

PANDANGAN HUKUM PERJANJIAN ISLAM

A.Tinjauan Umum Terhadap Hukum Perjanjian Islam

1. Pengertian Hukum Perjanjian Islam

Istilah perjanjian dalam Hukum Islam dikenal dengan akad. Secara etimologis perjanjian dalam Bahasa Arab disebut dengan Mu’ahadah Ittifa’.66 Perjanjian dalam Al Qur’an disebut dengan 2 (dua) istilah, yaitu kata akad (al’aqdu) dan kata ‘ahd (al-‘ahdu), Al Qur’an memakai kata pertama dalam arti perikatan atau perjanjian,67 sedangkan kata yang kedua berarti masa, pesan, penyempurnaan dan janji atau perjanjian.68 Istilah akad dapat disamakan dengan istilah perikatan atau verbintenis, sedangkan al-‘ahdu dapat dikatakan sama dengan istilah perjanjian atau overeenkomst, yang dapat diartikan sebagai suatu pernyataan dari seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu.69 Akad berarti ikatan atau simpulan baik ikatan yang nampak (hissyy) maupun tidak nampak (ma’nawy).70

Pengertian akad di atas dapat diartikan sebagai suatu ikatan, penguatan atau perjanjian atau kesepakatan yang diwujudkan dalam ijab (pernyataan penawaran atau

66

Chairuman Pasaribu dan Suhrawadi K.Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 1.

67

Lihat Al Qur’an Surah Al Maidah ayat (1)

68

Lihat Al Qur’an Surah An Nahl ayat 91 dan Al Isra’ ayat 34.

69

Fathurahman Djamil, Op.Cit, h. 248.

70

Fayruz Abady Majd al-Din Muhammad Ibn Ya’qub al Qamus al-Muhit, jilid 1, (Beirut: D Jayl), h.327. Selanjutnya lihat Rahmani Timorita Yulianti, “Asas-Asas Perjanjian (Akad) dalam Hukum Kontrak Syariah”, Jurnal Ekonomi Islam La_Riba, Volume II, Nomor 1, Juli 2008.

(2)

pemindahan kepemilikan) dan qabul (pernyataan penerimaan kepemilikan) sebagai sebuah komitmen yang dilaksanakan dengan nilai-nilai syariah yang diatur dalam Hukum Islam berdasarkan pada sumber Hukum Islam.

Sumber Hukum Islam yaitu Al Qur’an,71

a. Al Qur’an

Hadits dan Ijtihad, maka sumber Hukum Perjanjian Islam didasarkan kepada ketiga sumber tersebut yaitu:

Al Qur’an merupakan sumber Hukum Islam yang utama sebagai sandaran dan pedoman hidup bagi manusia (manhajjul hayyah). Al Qur’an mengatur mengenai kaidah-kaidah dalam akad yang tercantum dalam firman Allah Swt Al Qur’an surah Al Baqarah ayat (282), artinya:

“wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah orang yang berhutang mendiktekan, dan hendaklah dia bertaqwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikitpun daripadanya.” Ayat Al Qur’an tersebut di atas, Allah Swt memerintahkan kepada orang-orang beriman apabila terjadi utang piutang atau hubungan muamalah antara para pihak

71

Hukum-hukum yang terkandung dalam Al Qur’an adalah:

1. Hukum-hukum I’tiqadiyah, yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban para subjek hukum untuk mempercayai Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, hari pembalasan, qada dan qadar.

2. Hukum-hukum Akhlak, yaitu hukum –hukum Allah yang berhubungan dengan kewajiban untuk menghiasi diri dengan sifat yang utama dan menjauhkan diri dari sifat tercela.

(3)

hendaknya dituangkan dalam bentuk tulisan. Penulisan perjanjian dilakukan dengan benar sesuai dengan apa yang diperjanjikan dan dilakukan atas dasar taqwa kepada Allah Swt.

Pelaksanaan akad juga diatur dalam Al Qur’an surah Al Baqarah ayat (283), artinya:

“dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seoraang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Tetapi jika kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya), dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah, Tuhannya.”

Berdasarkan ayat ini Allah Swt memerintahkan bahwa jika suatu perjanjian tidak dibuat dalam bentuk tulisan, maka ada barang yang dijaminkan sebagai jaminan terhadap utang piutang tersebut. Akan tetapi bila para pihak saling mempercayai satu sama lain, hendaknya yang dipercayai itu menunaikan utangnya. Kesepakatan tersebut dilakukan atas dasar taqwa kepada Allah Swt.

(4)

Berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an tersebut di atas, Allah Swt memerintahkan agar orang-orang yang melakukan perjanjian harus menepati janji yang telah disepakati antara para pihak. Sebab dalam perjanjian tersebut Allah sebagai saksi diantara mereka, Allah mengetahui setiap perbuatan yang dilakukan dan perbuatan tersebut akan dimintai pertanggungjawabannya.

Allah Swt juga berfirman dalam Al Qur’an Surah An Nisa’ ayat (29) yang artinya “wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka diantara kamu.” Pada ayat ini Allah Swt memberikan aturan bahwa dalam bermuamalah antara sesama manusia tidak dilakukan dengan jalan yang batil dan menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. Hubungan tersebut dilakukan atas dasar dan aturan yang sesuai dengan ketentuan syariah.

Peraturan tentang tata cara akad juga Allah mengaturnya dalam Al Qur’an Surah Ar Ra’du ayat (19-20) yang artinya “maka apakah orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan Tuhan kepadamu adalah kebenaran, sama dengan orang yang buta? hanya orang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran, (yaitu) orang yang memenuhi janji Allah dan tidak melanggar perjanjian.” Berdasarkan ayat ini Allah Swt memerintahkan untuk memenuhi janji-janji yang telah disepakati dan tidak melanggar perjanjian tersebut.

(5)

Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al Qur’an. Aturan mengenai akad juga diatur dalam hadits. Akad memiliki satu tempat yang khusus dalam melengkapi suatu hubungan kerjasama ataupun kegiatan lainnya antara para pihak. Hadits-hadits yang mengatur tentang akad antara lain, Hadits Riwayat Imam Bukhari yang menyatakan “segala bentuk persyaratan yang tidak ada dalam Kitab Allah (Hukum Allah) adalah batal, sekalipun sejuta syarat.” Hadits ini menjelaskan bahwa syarat-syarat atau ketentuan yang terdapat dalam akad yang diadakan oleh para pihak, apabila dalam syarat-syarat tersebut bertentangan dengan Hukum Islam dan aturan dalam prinsip-prinsip syariah maka syarat tersebut batal. Perjanjian harus dibuat berdasarkan ketentuan syariat.

Berdasarkan hadits lainnya dalam riwayat At Tirmidzi Rasulullah Saw bersabda “kaum muslimin (dalam kebebasan) sesuai dengan syarat dan kesepakatan mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”72

Hadits yang mengatur tentang perjanjian juga terdapat dalam Hadits Riwayat Abu Dawud Dan Hakim “dari Abu Hurairah, Rasulallah Saw. Hadits tersebut menyatakan bahwa perjanjian didasarkan kepada kesepakatan kedua belah pihak, yaitu masing-masing pihak ridho (rela), kehendak bebas masing-masing pihak pada isi akad tersebut. Akan tetapi dalam akad tersebut tidak dibenarkan terdapat suatu kesepakatan yang bertentangan dengan syariat.

72

(6)

bersabda, “sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya.”73

c. Ijtihad

Hadits ini menyatakan bahwa dalam sebuah perjanjian antara para pihak, maka Allah merupakan pihak ketiga dalam perjanjian tersebut selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak yang lainnya.

Sumber Hukum Islam yang ketiga adalah ijtihad,74 yaitu akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berusaha, berikhtiar dengan seluruh kemampuan yang ada padanya memahami kaidah-kaidah hukum yang fundamental yang terdapat dalam Al Qur’an, Hadits dan merumuskannya menjadi garis-garis hukum yang dapat diterapkan pada suatu kasus tertentu.75

73

Hadits Riwayat Abu Daud Nomor 2936 dalam kitab Al Buyu dan Hakim. Selanjutnya lihat dalam Muhammad Syafi’i Antonio, Op.Cit, h. 91.

74

Dasar hukum untuk menggunakan akal pikiran (ra’yu) untuk berijtihad dalam pengembangan Hukum Islam adalah Al qur’an Surah An Nisa’ ayat 59, hadits Mu’adz bin Jabal yang menjelaskan bahwa Mu’adz sebagai penguasa (ulil amri) di Yaman dibenarkan oleh Nabi mempergunakan ra’yunya untuk berijtihad, Khalifah Umar bin Khattab beberapa Tahun setelah Rasulullah wafat menggunakan ijtihad dalam memecahkan persoalan hukum yang ada dalam masyarakat pada awal perkembangan Islam. Ijtihad beliau bahwa talak tiga yang diucapkan sekaligus di suatu tempat pada suatu ketika, dianggap sebagai talak yang tidak mungkin rujuk (kembali) kecuali salah satu pihak ( istri yang telah ditalak) menikah lebih dahulu dengan laki-laki lain. Garis hukum ini ditentukan Umar untuk melindungi kaum perempuan karena di zamannya banyak suami yang dengan mudahnya mengucapkan talak tiga pada istrinya. Lihat Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia Cetakan ke-18, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), h.175-176. Selanjutnya disebut Muhammad Daud Ali-II).

75

(7)

Jumhur ulama mendefenisikan akad adalah “pertalian antara ijab dan qabul yang dibenarkan oleh syara’ (Hukum Islam) yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya.” 76

Berdasarkan Dictionary of Business Term, akad yaitu “aqd or contract is transaction involving two or more individuals whereby each becomes obligate to the other, with reciprocal rights to demand performances of what is promised.”

77

Pengertian akad juga diatur dalam KHES Pasal 20 yang menyebutkan akad adalah “kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu.” Sedangkan Pasal (terjemahan penulis: “akad atau kontrak adalah sebuah persetujuan yang melibatkan dua pihak atau lebih untuk memenuhi kewajiban satu sama lain, dengan hak yang bertimbal balik untuk melaksanakan apa yang diperjanjikan.”)

Ahmad Azhar Basyir memberikan defenisi akad sebagai “suatu perikatan antara ijab dan qabul dengan cara yang dibenarkan syara’ yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum pada objeknya.”

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Pasal 1 angka 13 menyebutkan bahwa akad adalah “kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah atau pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah.”

76

Wirdyaningsih dkk, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia Cetakan Kedua, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), h. 94.

77

(8)

1 angka 4 Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/16/PBI/2008 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah memberikan defenisi akad yaitu “kesepakatan tertulis antara bank dengan nasabah dan/atau pihak lain yang memuat hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah.”

Uraian pengertian akad tersebut di atas dapat diketahui bahwa akad dalam Hukum Islam yaitu suatu pertalian antara ijab dan qabul yang dilakukan oleh para pihak dalam akad sesuai dengan syariat Islam yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak serta akibat hukum yang timbul dari akad tersebut.

2. Rukun dan Syarat Akad

Rukun adalah “suatu unsur yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya sesuatu itu.”78 Sedangkan syarat adalah “sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan ia berada di luar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak ada.”79

Pendapat para ulama mengenai rukun dan syarat akad beraneka ragam. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa rukun akad hanya sighat al-‘aqd (pernyataan untuk mengikatkan diri) yaitu ijab dan qabul dan syarat akad adalah al-‘aqidain (subjek akad) dan mahallul ’aqd (objek akad), sebab al-‘aqidain dan mahallul ‘aqd bukan merupakan bagian dari perbuatan hukum akad (tasharruf akad). Ia berada

78

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 5, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), h. 1510. Selanjutnya lihat dalam Wirdyaningsih dkk, Op.Cit, h. 94.

79

(9)

diluar perbuatan akad. Pendapat dari kalangan Mazhab Syafi’i dan Mazhab Maliki bahwa al-‘aqidain dan mahallul ‘aqd termasuk rukun akad karena kedua hal tersebut merupakan salah satu tongggak utama dalam terwujudnya akad.80

Ulama fiqih sebagian besar berpendapat bahwa rukun akad terdiri dari empat komponen, yaitu:81

a. Subjek Akad (al-‘aqidain)

Subjek akad adalah para pihak yang melakukan akad sebagai suatu perbuatan hukum yang mengemban hak dan kewajiban.82 Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat menjadi subjek akad adalah:83

1) Aqil, yaitu orang yang berakal sehat;

2) Tamyiz, yaitu orang yang dapat membedakan baik dan buruk (dewasa); 3) Mukhtar, yaitu orang yang bebas dari paksaan. Suatu akad harus dilakukan

secara suka sama suka diantara para pihak, sebagaimana firman Allah Swt dalam Al Qur’an Surah An Nisa’ ayat 29:

“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil (tidak benar), kecuali dalam keadaan berlaku atas dasar suka sama suka diantara kamu.”

b. Objek Akad (Mahallul ‘Aqd)

Objek akad akad merupakan sesuatu yang dijadikan objek dalam akad dan menimbulkan akibat hukum. Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam objek akad adalah sebagai berikut:84

1). Objek perikatan telah ada ketika akad dilangsungkan

Suatu objek perikatan yang belum terwujud tidak boleh dijadikan objek akad. Hukum dan akibat akad tidak mungkin terjadi pada sesuatu yang belum ada. Akan tetapi hal ini terdapat pengecualian pada akad-akad

80

Al Kamal Ibnul Humam, Fath Al Qadir, juz IV/V, h. 74. Selanjutnya lihat dalam Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 45.

81

Teungku Muhammad Hasb Ash-Shiddieqy, Memahami Syariat Islam , Cetakan Kesatu, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), h.23. Lihat juga dalam Ascarya, Op.Cit, h. 35. Lihat juga dalam Abdul Ghafur Anshori, Op.Cit, h. 21. Lihat juga dalam Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, Studi Tentang Teori Akad dalam Fiqih Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h. 96.

82

Wirdyaningsih dkk, Op.Cit, h. 94.

83

Hamzah Ya’cub, Kode Etik Dagang Menurut Islam: Pola Pembinaan Hidup dalam Berekonomi, (Bandung: Diponegoro, 1984), h.79.

84

(10)

seperti salam dan istishna’,85

2). Objek perikatan dibenarkan oleh syariah

yang objeknya diperkirakan akan ada dimasa yang akan datang. Pengecualian ini didasarkan pada istihsan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam kegiatan muamalat.

Sesuatu yang tidak dibenarkan oleh syariat tidak dapat dijadikan objek akad. Objek akad adalah benda-benda atau jasa-jasa yang dihalalkan oleh syariat untuk ditransaksikan.

3). Objek akad harus jelas dan dikenali

Benda yang menjadi objek akad harus diketahui dengan jelas oleh para pihak baik itu fungsi, bentuk dan keadaannya. Apabila terdapat cacat harus diberitahukan. Apabila objek akad berupa jasa harus dijelaskan sejauh mana keahliannya.

4). Objek akad dapat diserahterimakan

Objek akad harus dapat diserahterimakan secara nyata. Akan tetapi tidak berarti harus diserahkan seketika, dapat diserahkan pada saat akad atau pada waktu yang telah disepakati. Objek akad berada dibawah kekuasaan sah pihak yang bersangkutan. Objek akad telah ada, jelas dan dapat diserahkan.

c. Ijab dan Qabul (Sighat al-‘Aqd)

Ijab dan qabul merupakan ungkapan pihak-pihak yang melakukan akad. Ijab yaitu pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan, qabul yaitu pernyataan pihak kedua untuk menerimanya. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar ijab dan qabul mempunyai akibat hukum, yaitu:86

1) Ijab dan qabul harus dinyatakan oleh orang yang sekurang-kurangnya telah mencapai umur tamyiz (dewasa) yang menyadari dan mengetahui isi perkataan yang diucapkan hingga ucapannya itu benar-benar menyatakan keinginan hatinya. Dengan kata lain dilakukan oleh orang yang cakap melakukan tindakan hukum. Ijab dan qabul harus tertuju pada suatu objek yang merupakan objek perjanjian.

85

Salam yaitu pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka. Lihat Muhammad Syafi’i Antonio, Op.Cit, h. 108. Istishna’ yaitu kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Lihat Ibid, h. 113.

86

(11)

2) Ijab dan qabul harus berhubungan langsung dalam suatu majelis apabila dua belah pihak sama-sama hadir.

Para pihak yang melakukan ijab dan qabul juga harus memperhatikan tiga syarat berikut, agar mempunyai akibat hukum:87

a) Jala’ul ma’na, yaitu tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu jelas, sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki.

b) Tawafuq, yaitu adanya kesesuaian antara ijab dan qabul

c) Jazmul iradataini, yaitu antara ijab dan qabul menunjukkan kehendak para pihak secara pasti, tidak ragu, dan tidak terpaksa.

Pelaksanaan ijab dan qabul dapat dilakukan melalui empat cara, yaitu:88 a) Lisan

Ijab dan qabul diucapkan secara lisan oleh para pihak dalam akad yang saling berhubungan dan bersesuaian antara kehendak pihak yang satu dengan yang lainnya dalam akad.

b) Tulisan

Para pihak dalam perjanjian membuat suatu tulisan yang menyatakan suatu perikatan diantara mereka. Tulisan ini disebut dengan Surah Perjanjian yang berisikan identitas para pihak, objek perjanjian, hak dan kewajiban, mulai dan berakhirnya suatu perjanjian.

c) Isyarat

Suatu akad dapat dilakukan dengan isyarat. Hal ini dilakukan apabila salah satu pihak dalam akad tersebut ada yang cacat misalnya tuna wicara, asalkan para pihak memahami akad yang dilakukan.

d) Perbuatan

Ijab dan qabul dilakukan oleh para pihak dalam akad dengan suatu perbuatan. Perbuatan ini disebut dengan ta’athi atau mu’thah (saling memberi dan menerima).

d. Tujuan Akad (Maudhu’ul ‘Aqd)

Maudhu’ul ‘Aqd adalah tujuan dari akad yang dilakukan oleh para pihak. Ahmad Azhar Basir mengemukakan bahwa tujuan akad harus jelas dan dibenarkan oleh syara’ serta memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:89

87

Fathurrahman Djamil, Op.Cit, h. 253.

88

Ahmad Azhar Basyir, Op.Cit, h. 68-71.

89

(12)

1) Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak-pihak yang bersangkutan tanpa akad yang diadakan, tujuannya hendaknya baru ada pada saat akad diadakan.

2) Tujuan harus berlangsung adanya hingga berakhirnya akad 3) Tujuan akad harus dibenarkan syara’

Setiap akad dalam Hukum Perjanjian Islam harus memperhatikan tujuan dari akad dan harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan syara’ sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak dalam akad tersebut.

Rukun dalam akad juga diatur dalam KHES Pasal 22 sampai Pasal 25 yang menyatakan bahwa rukun akad terdiri dari:

1) Pihak-pihak yang berakad;

Pihak-pihak yang berakad adalah orang, persekutuan, atau badan usaha yang memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum.

2) Objek akad;

Objek akad adalah amwal atau jasa yang dihalalkan yang dibutuhkan oleh masing-masing pihak.

3) Tujuan pokok akad;

Akad bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan pengembangan usaha masing-masing pihak yang mengadakan akad

4) Kesepakatan;

Yaitu adanya kesepakatan para pihak dalam akad.

Rukun yang membentuk suatu akad juga disertai dengan syarat-syarat akad. Syarat-syarat akad menurut mazhab Hanafi terdiri dari tiga hal, yaitu:90

1) Syarat shahih

Yaitu syarat yang sesuai dengan substansi akad, mendukung dan memperkuat substansi akad dan dibenarkan oleh syara’, sesuai dengan kebiasaan masyarakat (‘urf).

2) Syarat fasid

Yaitu syarat yang tidak sesuai dengan salah satu kriteria yang ada dalam syarat shahih.

3) Syarat batil

90

(13)

Yaitu syarat yang tidak mempunyai kriteria syarat shahih dan tidak memberi nilai manfaat bagi salah satu pihak atau lainnya, akan tetapi menimbulkan dampak negatif.

3. Asas-Asas Hukum Perjanjian Islam

Akad merupakan cerminan telah terjadinya kesepakatan dan hubungan antara para pihak dalam perjanjian harus mencerminkan asas-asas akad yang diatur baik dalam peraturan perundang-undangan maupun hukum muamalah Islam. Akad yang dilakukan dalam bank syariah memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam dan pertanggungjawaban akad hingga pada yaumil qiyamah.91

Sebelum menguraikan lebih lanjut mengenai asas-asas dalam akad, perlu dijelaskan pengertian asas. Perkataan asas berasal dari terjemahan bahasa Arab “asasun”,

Penerapan hubungan dalam akad sudah seharusnya dibuat oleh para pihak dalam akad berdasarkan pada asas-asas dalam akad sehingga terhindar dari penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan akad nantinya.

92

bahasa Latin “principium”, bahasa Inggris “principle”, dan bahasa Belanda “beginsel”, yang artinya landasan berfikir yang sangat mendasar, sesuatu yang menjadi tumpuan berfikir atau berpendapat.93

Pengertian asas dalam bidang hukum dikemukakan oleh para ahli hukum antara lain, asas adalah “kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berfikir

91

Afzalur Rahman, Economic Doctrines of Islam, (Lahore: Islamic Publication, 1990). Selanjutnya lihat dalam Muhammad Syafi’i Antonio, Op,Cit, h. 29.

92

Mohammad Daud Ali-II, Op.Cit, h. 126.

93

(14)

dan alasan pendapat, terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum.” Asas hukum pada umumnya berfungsi sebagai rujukan untuk mengembalikan segala masalah yang berkenaan dengan hukum.94

Pendapat lain menyatakan “A principle is the broad reason which lies at the base of a rule of law.”

95

(terjemahan penulis: Asas adalah pemikiran yang luas atau umum yang mendasari adanya norma hukum). Ada dua hal yang terkandung dalam makna asas tersebut yakni pertama, asas merupakan pemikiran, pertimbangan, sebab yang luas atau umum, abstrak (the broad reason); kedua, asas merupakan hal yang mendasari adanya norma hukum (the base of rule of law). Oleh karena itu, asas hukum tidak sama dengan norma hukum, walaupun adakalanya norma hukum itu sekaligus merupakan asas hukum.96

Hukum Perjanjian Islam mengatur mengenai asas-asas akad yang dijadikan sebagai landasan dalam pembuatan dan pelaksanaan akad, asas-asas tersebut sebagai berikut:

97

a. Al Hurriyah (kebebasan)

Para pihak diberikan kebebasan untuk melakukan suatu akad. Bentuk dan isi akad ditentukan oleh para pihak. Jika telah disepakati maka akad tersebut mengikat para pihak yang telah menyepakatinya baik segala hak dan kewajibannya. Akan tetapi kebebasan dalam akad ini dibatasi oleh ketentuan syariah. Sepanjang tidak bertentangan dengan syariah maka akad tersebut boleh dilaksanakan. Dasar hukum asas ini diatur dalam Al Qur’an Surah Al

94

Mohammad Daud Ali-II, Loc.Cit, h. 126.

95

George Whitecross Paton, A Text Book of Jurisprudence, Second Edition, (Oxford: At The Clarendon Press, 1951). Selanjutnya lihat dalam Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan yang Didambakan Cetakan Kesatu Edisi Kedua, (Bandung: Alumni, 2014), h. 158. Selanjutnya disebut Tan kamello-II.

96

Ibid 97

(15)

Baqarah ayat (256) yang artinya: “tidak ada paksaan untuk memasuki agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada yang sesat…..” Kata-kata tidak ada paksaan mengandung makna Islam menghendaki suatu perbuatan didasari kebebasan untuk bertindak sepanjang benar dan tidak bertentangan dengan aturan Allah.

b. Al Musawah (persamaan atau kesetaraan)

Persamaan atau kesetaraan mengandung makna bahwa para pihak dalam akad mempunyai kedudukan yang sama dalam menentukan isi dan pelaksaan akad. Asas ini menunjukkan bahwa semua orang mempunyai kedudukan yang sama didepan hukum (equality before the law), yang membedakan kedudukan seseorang dengan yang lainnya di sisi Allah adalah derajat ketaqwaannya. Sebagaimana firmna Allah Swt dalam Al Qur’an Surah Al Hujurat ayat (13) yang artinya: “hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

c. Al ‘Adalah (keadilan)

Asas keadilan merupakan asas yang sangat penting dalam Hukum Islam. Pentingnya kedudukan dan fungsinya, kata keadilan disebut di dalam Al Qur’an lebih dari 1000 kali, terbanyak setelah lafadz Allah dan ilmu pengetahuan.98

d. Al Ridha (kerelaan)

Asas keadilan dalam akad sebagai dasar bagi para pihak dalam akad agar melakukan yang benar dalam pengungkapan kehendak dan keadaan serta memenuhi kewajibannya. Akad menghasilkan kesepakatan dan keuntungan yang seimbang, tidak menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. Firman Allah dalam Surah Shaad ayat (26), artinya: “wahai Daud, sesungguhnya engkau kami jadikan khalifah di bumi, maka berilah keputusan di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”

Keridhaan dalam akad mengandung pengertian bahwa akad yang disepakati didasarkan pada kerelaan, kesepakatan bebas dari para pihak dalam akad dan tidak boleh ada unsur paksaan, tekanan, penipuan dan sesuatu yang tidak jelas atau samar. Dasar hukum asas ini diatur dalam Al Qur’an Surah An Nisa’ ayat (29), artinya: “hai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan

98

(16)

harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyanyang kepadamu.” e. Ash Shidq (kebenaran dan kejujuran)

Akad dilakukan dengan kejujuran, tidak terdapat penipuan atau kebohongan yang dapat berpengaruh terhadap keabsahan suatu akad. Akad yang di dalamnya terdapat unsur penipuan maka pihak yang lainnya dapat menghentikan akad tersebut. Sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an surah Al Ahzab ayat (70) artinya “hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.”

f. Al Kitabah (tertulis)

Setiap akad yang telah disepakati sebaiknya dibuat secara tertulis sebagai pembuktian apabila dikemudian hari terjadi sengketa. Khususnya bagi akad-akad yang membutuhkan pengaturan yang banyak seperti akad-akad pembiayaan, wakaf, ekspor impor dan sebagainya. Akad secara tertulis juga diperlukan adanya saksi-saksi.

g. Kemaslahatan atau kemanfaatan

Akad dalam Islam dibuat oleh para pihak bertujuan untuk kemaslahatan bagi orang-orang yang telibat dalam perjanjian tersebut. Perjanjian tidak boleh menimbulkan kerugian bagi pihak lainnya.

h. Itikad Baik

Asas ini mengandung pengertian bahwa para pihak dalam suatu perjanjian harus melaksanakan isi perjanjian atau prestasi berdasarkan itikad baik dari para pihak untuk tercapainya tujuan perjanjian.

Pasal 21 KHES juga mengatur mengenai asas-asas dalam akad, akad yang dilakukan berdasarkan asas:

a. Ikhtiyari/sukarela;

Setiap dilakukan atas kehendak para pihak, terhindar dari keterpaksaan karena tekanan salah satu pihak atau pihak lain.

b. Amanah/menepati janji;

Setiap akad wajib dilaksanakan oleh para pihak sesuai dengan kesepakatan yang ditetapkan oleh yang bersangkutan dan pada saat yang sama terhindar dari cidera janji.

c. Ikhtiyati/kehati-hatian;

(17)

d. Luzum/tidak berubah;

Setiap akad dilakukan dengan tujuan yang jelas dan perhitungan yang cermat, sehingga terhindar dari praktik spekulasi atau maisir.

e. Saling menguntungkan;

Setiap akad dilakukan untuk memenuhi kepentingan para pihak sehingga tercegah dari praktik manipulasi dan merugikan salah satu pihak.

f. Taswiyah/kesetaraan;

Para pihak dalam setiap akad memiliki kedudukan yang setara, dan mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang.

g. Transparansi;

Setiap akad dilakukan dengan pertanggungjawaban para pihak secara terbuka. h. Kemampuan;

Setiap akad dilakukan sesuai dengan kemampuan para pihak, sehingga tidak menjadi beban yang berlebihan bagi yang bersangkutan.

i. Taisir/kemudahan;

Setiap akad dilakukan dengan cara saling memberi kemudahan kepada masing-masing pihak untuk dapat melaksanakannya sesuai dengan kesepakatan.

j. Itikad baik;

Akad dilakukan dalam rangka menegakkan kemaslahatan, tidak mengandung unsur jebakan dan perbuatan buruk lainnya.

k. Sebab yang halal;

Akad yang dilakukan tidak bertentangan dengan hukum, tidak dilarang oleh hukum dan tidak haram.

Asas-asas dalam akad tersebut diatas dijadikan dasar, pondasi dan tumpuan dalam penegakan dan pelaksanaan akad. Sehingga akad-akad yang dibuat tetap dalam aturan syariah sehingga membawa kemaslahatan bagi para pihak.

4. Hapusnya Perjanjian Dalam Hukum Perjanjian Islam

Akad yang telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian dapat berakhir atau hapus. Hukum Perjanjian Islam mengatur bahwa perjanjian yang dibuat parapihak akan berakhir apabila terjadi tiga hal berikut ini:99

a. Berakhirnya masa berlaku akad

99

(18)

Berakhirnya suatu perjanjian secara garis besar dapat dibagi dua, yakni arti positif dan arti negatif. Dikatakan positif jika perjanjian itu berakhir karena para pihak dalam perjanjian telah melaksanakan perjanjiannya. Sebaliknya dikatakan negatif karena salah satu pihak tidak melaksanakan perjanjian.100 Sedangkan dalam terminasi akad adalah berakhirnya akad karena difasakh (diputus) oleh para pihak, dalam arti akad tidak dilaksanakan karena suatu atau lain sebab.101 Wahbah Azzuhaili menggunakan istilah fasakh dalam arti luas mencakup berbagai pemutusan akad. Secara umum fasakh dalam Hukum Islam meliputi:102

1) Fasakh terhadap akad fasid, yaitu akad yang tidak memenuhi syarat-syarat keabsahan akad menurut ahli-ahli hukum Hanafi, meskipun telah memenuhi rukun dan syarat terbentuknya akad.

2) Fasakh terhadap akad yang tidak mengikat (ghair lazim), baik tidak mengikatnya akad tersebut karena adanya hak khiyar (opsi) bagi salah satu pihak dalam akad tersebut maupun karena sifat akad itu sendiri yang sejak semula memang tidak mengikat.

3) Fasakh terhadap akad karena kesepakatan para pihak untuk memfasakhnya. 4) Fasakh terhadap akad karena salah satu pihak tidak melaksanakannya

maupun karena akad mustahil dilaksanakan. b. Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad

Hapusnya akad terjadi apabila salah satu pihak dalam akad melanggar ketentuan yang telah disepakati, atau salah satu pihak mengetahui jika dalam

100

Ahmadi Miru-I, Op.Cit, h. 130.

101

Muhammad Siraj, Nazhariyah al-Aqd fi al-Fiqh al-Islami: Dirasah Fiqhiyyah Muqaranah

(Ttp: Sa’d Samak, t.t), h. 247. Selanjutnya lihat Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, Studi Tentang Teori Akad dalam Fiqih Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h. 340.

102

(19)

pembuatan akad tersebut terdapat unsur kekhilafan atau penipuan yang menyangkut subjek maupun objek akad.

c. Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia.

Hapusnya akad karena salah satu pihak dalam akad meninggal dunia, hal ini berlaku pada akad untuk berbuat sesuatu yang membutuhkan adanya kemampuan yang khusus. Apabila akad dalam hal memberikan sesuatu misalnya dalam bentuk uang atau barang, maka akad tetap berlaku bagi ahli warisnya.

Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, maka hapusnya akad dapat terjadi karena berakhirnya masa berlaku akad, dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad dan salah satu pihak yang berakad meninggal dunia.

B.Tinjauan Umum Terhadap Perjanjian Baku

1. Pengertian Perjanjian Baku

Hubungan hukum yang terjadi antara para pihak dalam suatu kerjasama dituangkan dalam sebuah perjanjian. Pada masa perkembangan saat ini pembakuan syarat-syarat pada perjanjian dalam bentuk perjanjian baku merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Perjanjian dituangkan dalam format-format baku yang telah ditetapkan secara sepihak oleh pengusaha atau pelaku usaha.

(20)

Inggris disebut standard forms of contract of adhesion, standard contract, standard agreement. 103

Pengertian perjanjian baku dikemukakan oleh beberapa ahli hukum, Mariam Darus Badrulzaman menyatakan perjanjian baku adalah “perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.”104

Ahmadi Miru berpendapat bahwa, perjanjian baku adalah “perjanjian yang klausul-klausulnya telah ditetapkan atau dirancang oleh salah satu pihak.”105

Menurut Dahlan dan Sanusi Bintang menyatakan:106

Hondius memberikan defenisi perjanjian baku yaitu “perjanjian dengan syarat-syarat konsep tertulis yang dimuat dalam perjanjian yang masih akan dibuat, yang jumlahnya tidak tentu, tanpa membicarakan isinya terlebih dahulu.”

“Didalam bisnis tertentu terdapat kecendrungan untuk menggunakan apa yang dinamakan kontrak baku, berupa kontrak yang sebelumnya oleh pihak tertentu (perusahaan) telah menentukan secara sepihak sebagian isinya dengan maksud untuk digunakan secara berulang-ulang dengan berbagai pihak (konsumen perusahaan) tersebut. Dalam kontrak standard tersebut sebagian besar isinya untuk dinegosiasi lagi, dan sebagian lagi sengaja dikosongkan untuk memberikan kesempatan negosiasi dengan pihak konsumen yang baru diisi setelah diperoleh kesepakatan.”

107

103

Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (Standard) Perkembangannya di Indonesia Beberapa Guru Besar Berbicara Tentang Hukum dan Pendidikan Hukum, (Bandung: Alumni, 1991), h. 95. Selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman-IV. Lihat juga dalam Abdul Kadir Muhammad,

Op.Cit, h. 6

104

Ibid, h. 96.

105

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, Cetakan Kelima, (Jakarta: Raja Grafindo, 2013), h. 39. Selanjutnya disebut Ahmadi Miru-II.

106

Dahlan dan Sanusi Bintang, Pokok-Pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), h. 19.

107

(21)

Sutan Remy Sjahdeni mengartikan perjanjian baku sebagai perjanjian yang hamper seluruh klausul-klausulnya dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai eluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Sjahdeni menekankan, yang dibakukan bukan formulir perjanjian tersebut, melainkan klausul-klausulnya.108

Pitlo mengemukakan bahwa perjanjian baku adalah “suatu “dwangkontract” (perjanjian paksa),109

Ketentuan dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan:

karena kebebasan pihak-pihak yang dijamin oleh Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata sudah dilanggar. Pihak yang lemah terpaksa menerima karena mereka tidak mempunyai pilihan lain.

110

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut di atas, maka perjanjian baku merupakan suatu perjanjian yang terjadi antara para pihak yang dibuat dalam bentuk atau format yang sudah dibakukan oleh salah satu pihak dalam perjanjian, umumnya “Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.”

108

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2000), h. 120.

109

Mariam Darus Badrulzaman-III, Op.Cit, h. 37.

110

(22)

pihak yang memiliki kedudukan yang lebih kuat. Pihak lainnya hanya menyetujui perjanjian tersebut.

2. Ciri-Ciri Dan Syarat Perjanjian Baku

a. Ciri-Ciri Perjanjian Baku

Perjanjian baku merupakan perjanjian yang menjadi dasar atau patokan bagi hubungan hukum yang terjadi antara para pihak dalam perjanjian yang isinya telah dibakukan. Perjanjian baku dalam perkembangannya mengikuti dan menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat. Penggunaan perjanjian baku memiliki ciri-ciri sebagai berikut:111

1) Bentuk Perjanjian Tertulis

Kata-kata atau kalimat dalam perjanjian baku dibuat secara tertulis berupa akta otentik atau akta dibawah tangan.

2) Format Perjanjian Dibakukan

Format perjanjian sudah dibakukan, ditentukan model, rumusan dan ukurannya, sehingga tidak dapat diganti diubah atau dibuat dengan cara lain karena sudah dicetak.

3) Syarat-Syarat Perjanjian Ditentukan Oleh Pengusaha

Syarat-syarat perjanjian ditentukan secara sepihak oleh pengusaha dan cenderung menguntungkan pengusaha daripada konsumen, hal ini dapat dilihat adanya pencantuman klausul eksonerasi.

4) Konsmen Hanya Menerima atau Menolak

Konsumen tidak dapat menawar isi perjanjian, hanya ada pilihan menerima atau menolak perjanjian kerjasama.

5) Penyelesaian Sengketa Melalui Musyawarah/Peradilan

Perjanjian baku mencantumkan syarat mengenai penyelesaian sengketa. 6) Perjanjian Baku Menguntungkan Pengusaha

Perjanjian baku lebih cenderung menguntungkan pengusaha, berupa: a) Efisiensi biaya, waktu dan tenaga;

b) Praktis, berupa blanko yang siap diisi dan ditandatangani;

c) Penyelesaian cepat karena konsumen hanya menyetujui atau menolaknya. d) homogenitas perjanjian yang dibuat dalam jumlah yang banyak.

111

(23)

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian baku memiliki ciri-ciri sebagai berikut:112

1) Perjanjian dibuat dalam bentuk tertentu berupa formulir yang sudah tercetak 2) Formulir itu dipersiapkan terlebih dahulu dan diperuntukkan kepada setiap

orang tanpa perbedaan

3) Isi perjanjian ditentukan secara sepihak oleh pihak yang memiliki kekuatan posisi ekonomi

4) Pihak yang mengikatkan diri terhadap formulir itu tidak mempunyai kebebasan mengubah kehendak pihak yang lain

5) Adanya suatu kepentingan yang sangat dibutuhkan oleh pihak yang posisi ekonominya lemah

6) Pengaturan hak dan kewajiban yang tidak seimbang.

Berdasarkan ciri-ciri perjanjian baku tersebut di atas, perjanjian baku yang terjadi antara para pihak, pelaku usaha cenderung mempunyai kedudukan dalam menentukan isi perjanjian. Konsumen tidak memiliki kesempatan untuk ikut serta dalam pembuatan isi perjanjian, sehingga kedudukan pelaku usaha lebih kuat dalam pelaksanaan perjanjian, konsumen dalam posisi menerima atau menolak perjanjian tersebut.

b. Syarat Perjanjian Baku

Syarat-syarat perjanjian bertujuan untuk mengatur hak dan kewajiban serta tanggung jawab para pihak dalam perjanjian tersebut. Syarat perjanjian merupakan ketentuan yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak dalam pelaksanaan perjanjian. Syarat-syarat perjanjian baku meliputi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:113

1) Cara mengakhiri perjanjian

2) Cara memperpanjang berlakunya perjanjian

112

Mariam Darus Badrulzaman-IV, Op.Cit, h. 65.

113

(24)

3) Penyelesaian sengketa melalui arbitrase

4) Penyelesaian sengketa melalui keputusan pihak ketiga 5) Syarat-Syarat tentang Eksonerasi

Menurut Abdulkadir Muhammad, syarat-syarat perjanjian baku, meliputi:114 1) Kewajiban dan hak pihak-pihak

2) Wanprestasi

3) Akibat Wanprestasi

4) Tanggung jawab dan eksonerasi 5) Penyelesaian sengketa

Sesuai dengan asas kebebasan berkontrak, setiap orang bebas membuat perjanjian dengan mencantumkan syarat-syarat baku pada perjanjian. Pihak yang menentukan syarat-syarat baku biasanya adalah pelaku usaha yang mempunyai kedudukan ekonomi yang lebih kuat dibandingkan dengan konsumen. Disebabkan karena kebutuhan ekonomi konsumen menerima syarat-syarat baku yang ditawarkan pada saat mengadakan perjanjian. Ketentuan syarat-syarat baku dalam perjanjian dapat dilakukan sebatas syarat-syarat baku tersebut tidak bertentangan dengan kepatutan, kesusilaan dan undang-undang yang mengatur mengenai pembatasan perjanjian baku.

3. Bentuk-Bentuk Perjanjian Baku

Perjanjian yang disepakati oleh para pihak dapat dibuat secara lisan dan tulisan. Perjanjian baku terdapat dalam bentuk perjanjian tertulis. Isi perjanjian telah dibuat terlebih dahulu oleh pelaku usaha untuk ditawarkan kepada pihak lainnya. Perjanjian yang terjadi antara para pihak pada prinsipnya dapat dibuat secara bebas oleh pihak-pihak dalam perjanjian tersebut. Akan tetapi kebebasan ini memiliki

114

(25)

batasan yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata “suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Pasal 1339 juga mengatur bahwa perjanjian tidak hanya mengikat hal-hal yang dinyatakan di dalam perjanjian, tetapi juga yang diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.

Perjanjian baku dalam prakteknya tumbuh karena keadaan menghendakinya dan harus diterima sebagai kenyataan.115 Perjanjian baku berlaku dalam aktifitas masyarakat dalam berbagai bentuk. Menurut Mariam Darus Badrulzaman berdasarkan segi terjadinya maupun berlakunya perjanjian-perjanjian standard dapat digolongkan sebagai berikut:116

a. Perjanjian baku (standard) umum

Perjanjian standard umum ialah perjanjian yang bentuk dan isinya telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh kreditur (seperti perjanjian kredit bank) kemudian diberikan pada debitur. Dari segi formal debitur menyetujuinya, akan tetapi dari segi materil debitur “terpaksa” menerimanya. Adanya persesuaian kehendak adalah fiktif.

b. Perjanjian baku (standard) khusus

Perjanjian standard khusus dinamakan terhadap perjanjian standard yang ditetapkan Pemerintah, baik adanya dan berlakunya perjanjian tersebut untuk para pihak ditetapkan secara sepihak oleh Pemerintah dilihat dari bentuknya sebagai perjanjian, maka seakan-akan terdapat unsur konsesualisme, akan tetapi sebenarnya tidak ada.

Perjanjian baku yang digunakan di masyarakat dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu:117

a. Perjanjian baku sepihak

115

Mariam Darus Badrulzaman-III, h. 38.

116

Ibid, h. 39-40.

117

(26)

Yaitu perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat disini adalah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi ekonomi kuat dibandingkan pihak debitur.

b. Perjanjian baku timbal balik

Yaitu perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh kedua belah pihak, misalnya perjanjian baku yang pihak-pihaknya terdiri dari pihak majikan (kreditur) dan pihak lainnya yaitu buruh (debitur). Kedua belah pihak lazimnya terikat dalam organisasi misalnya pada perjanjian buruh kolektif.

c. Perjanjian baku yang ditetapkan pemerintah

Yaitu perjanjian baku yang isinya ditentukan pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya perjanjian-perjanjian yang mempunyai objek hak-hak atas tanah.

d. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan Notaris dan Advokat

Yaitu perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang meminta bantuan Notaris atau Advokat terebut.

Pendapat para pakar hukum mengenai perjanjian baku, ada yang menyetujui perjanjian baku dan ada yang tidak menyetujui perjanjian baku. Sluyter berpendapat bahwa dalam perjanjian baku kreditur menentukan isi perjanjian secara sepihak melahirkan “legio particuliere wetgevers” (pembentuk undang-undang swasta.118

Stein menyatakan bahwa dasar berlakunya perjanjian baku adalah “de fictie van will of vertrouwen”. Tidak ada kebebasan kehendak yang sungguh-sungguh pada pihak-pihak, khususnya debitur.119

Para pakar tidak menyetujui perjanjian baku, sebab:120

a. Kedudukan pengusaha didalam perjanjian baku sama seperti pembentuk undang-undang swasta (legio particuliere wetgevers), karenanya perjanjian baku bukan merupakan perjanjian;

118

Mariam Darus Badrulzaman-III, Loc.Cit, h. 37

119

Ibid. 120

(27)

b. Perjanjian baku merupakan perjanjian paksa (dwangkontract);

c. Negara-negara Common Law System menerapkan doktrin unconscionability. Doktrin unconscionability memberikan wewenang kepada perjanjian demi menghindari hal-hal yang dirasakan sebagai bertentangan dengan hati nurani. Perjanjian baku dianggap meniadakan keadilan.

Sebaliknya beberapa pakar hukum menerima kehadiran perjanjian baku sebagai suatu perjanjian, karena:121

a. Perjanjian baku diterima sebagai perjanjian berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan (fictie van vertouwen) yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu;

b. Setiap orang yang menandatangani perjanjian bertanggung jawab pada isi dan apa yang ditandatanganinya. Jika ada orang yang membubuhkan tanda tangan pada formulir perjanjian baku, tanda tangan itu membangkitkan kepercayaan bahwa yang bertanda tangan mengetahui dan menghendaki isi formulir yang ditandatanganinya.

c. Perjanjian baku mempunyai kekuatan mengikat, berdasarkan kebiaasaan (gebruik) yang berlaku di masyarakat dan lalu lintas perdagangan.

Perjanjian baku apabila ditinjau berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata, perjanjian baku bertentangan dengan asas-asas hukum yang diatur dalam pasal tersebut. Subekti mengemukakan bahwa asas konsesualisme terdapat dalam Pasal 1320 jo 1338, pelanggaran terhadap pasal-pasal tersebut membuat perjanjian tidak sah dan tidak mengikat sebagai undang-undang.122

121

Ibid, h. 256.

122

(28)

C.Penerapan Klausul Eksonerasi Dalam Pandangan Hukum Perjanjian Islam

1. Pengertian Klausul Eksonerasi

Istilah klausul eksonerasi123 merupakan terjemahan dari bahasa Latin “exonerare clausule”, bahasa Inggris “exemption clausule/exclusion clause”, bahasa Belanda “exoneratie klausule”124 Menurut Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae, bahwa exoneratieclausule yaitu “suatu syarat dalam suatu persetujuan dimana satu pihak membebaskan diri dari pertanggungjawaban yang dibebankan kepadanya oleh hukum yang mengatur.”125

(terjemahan penulis: Rijken mendefinisikan klausul eksonerasi sebagai bentuk, yang dia sebut, klausa tanggung jawab, yang dapat mengecualikan tanggung jawab hukum atau kontrak.)

Menurut Rijken klausul eksonerasi adalah “Rijken definieert het als een species van, wat hij noemt, de aansprakelijkheidsclausule, die iedere wettelijke of contractuele aansprakelijkheid kan uitsluiten of beperken.”

126

123

Sutan Remy Sjahdeini mengemukakan dan menggunakan istilah klausul eksemsi sebagai terjemahan dari exemption clausule yang dipakai di dalam pustaka-pustaka hukum Inggris atau klausul

ekskulpatori sebagai terjemahan dari exculpatory clause yang dipakai dalam pustaka-pustaka hukum Amerika Serikat, daripada mengambil alih dari istilah bahasa Belanda dengan menterjemahkan

exoneratie klausule menjadi klausul eksonerasi. Lihat Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Institute Bankir Indonesia, 1993), h. 73. Mariam Darus Badrulzaman menggunakan istilah klausul eksonerasi, sebagaimana terjemahan dari istilah exoneratie klausule yang dipakai dalam bahasa Belanda.

124

Mariam Darus Badrulzaman-III, h. 2.

125

Fockema Andreae, Kamus Istilah Hukum, Belanda-Indonesia, (Bandung: Bina Cipta, 1983), h. 129

Janssen dan Klein menyatakan bahwa klausul eksonerasi adalah:

“een exoneratie clausule aansprakelijkheid in het algemeen uitsluit of beperkt.”

Jong Bakker,

(29)

(terjemahan penulis: klausul eksonerasi adalah pembebasan, mengecualikan atau membatasi dari tanggung jawab umum).127

(terjemahan penulis: mengecualikan atau membatasi tanggung jawab sebuah kontrak yang biasanya dikenakan oleh naturalia kontrak. Yaitu persyaratan kontrak yang bertujuan untuk membatasi, mengubah atau mengecualikan tanggung jawab, kewajiban atau pemulihan dari pihak yang berkontrak).

Van Der Merwe menyatakan klausul eksonerasi adalah “exclude or limit liability of a contractant which is usually imposed by a naturalia of a contract. They are contractual terms that aim to limit, alter or exclude the liability, obligations or remedies of a contracting party.”

128

Abdul Kadir Muhammad menyebutkan klausul eksonerasi adalah “syarat yang secara khusus membebaskan pengusaha dari tanggung jawab terhadap akibat yang merugikan, yang timbul dari pelaksanaan perjanjian.”129

Beberapa pengertian mengenai klausul eksonerasi tersebut di atas dapat diketahui bahwa klausul eksonerasi merupakan suatu pembatasan dan/atau pembebasan tanggung jawab dari salah satu pihak (pelaku usaha) terhadap pihak

Bagian II angka 3 huruf a Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku, menyatakan bahwa klausul eksonerasi/eksemsi yaitu yang isinya menambah hak dan/atau mengurangi kewajiban Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK), atau mengurangi hak dan/atau menambah kewajiban konsumen.

127

Ibid, h. 35

Jean Chrysostome Kanamugire and Terence Vincent Chimuka, “The Current Status of Exemption Clauses in the South African Law of Contract”, Mediterranean Journal of Social Sciences MCSER Publishing, Rome-Italy Vol. 5 Nomor 9, May 2014, h. 165. Akses Terakhir, Minggu, 7 Desember 2014 pkl. 16.33.

129

(30)

lainnya (konsumen) dalam hal seharusnya konsumen tidak melaksanakan tanggung jawab yang ditentukan dalam perjanjian tersebut.

2. Ciri-ciri Klausul Eksonerasi

Keberadaan klausul eksonerasi dalam perjanjian merupakan bagian dari sistem hukum perjanjian yang terdapat dalam Buku III KUHPerdata tentang Perikatan yang sifatnya terbuka. Artinya, terbuka tehadap perjanjian bernama (nominaat) yaitu semua jenis perjanjian yang diatur dalam Buku III KUHPerdata tentang Perikatan maupun terhadap perjanjian yang tidak bernama (innominaat) yang tidak diatur dalam Buku III KUHPerdata.130

“standard form contract probably account for more than ninety nine percent all the contract now made. Most persons have difficult remembering the last time they contracted other by standard form.”

KUHPerdata memberikan kebebasan kepada para pihak dalam melakukan perjanjian, sebagaimana yang diatur dalam asas kebebasan berkontrak. Para pihak bebas untuk menentukan isi, dan bentuk perjanjian. Bentuk perjanjian yang ada di masyarakat dalam perkembangannya menggunakan perjanjian baku. Hal ini sejalan dengan pendapat W.O. Slawson yang menyatakan:

131

W. Friedman juga menyatakan “most contract which govern our daily lives of standard contract.”

(terjemahan penulis: standard kontrak dapat dihitung sedikitnya sembilan puluh sembilan persen dari semua kontrak yang telah dibuat sekarang. Kebanyakan orang kesulitan mengingat waktu terakhir mereka mengikatkan perjanjiannya dengan menggunakan standar kontrak).

132

130

Marcel Seran dan Anna Maria Wahyu Setyowati, Op.Cit, h. 165.

131

Mariam Darus Badrulzaman-IV, Op.Cit, h. 97.

(31)

(terjemahan penulis: kebanyakan kontrak yang digunakan sehari-hari sudah diatur dengan standard kontrak).

Penggunaan perjanjian baku dalam bentuk-bentuk perjanjian yang terjalin antara para pihak, didalamnya mencantumkan syarat-syarat yang muncul dalam perjanjian baku tersebut yaitu cara mengakhiri perjanjian, cara memperpanjang berlakunya perjanjian, penyelesaian sengketa melalui arbitrase, syarat-syarat tentang eksonerasi.133

Syarat-syarat tentang eksonerasi umumnya banyak terjadi dalam perjanjian baku sepihak dan hal ini telah menjadi ciri khusus dalam hubungan persetujuan tersebut. 134 Klausul eksonerasi pada umumnya ditemukan dalam perjanjian baku, sebagai klausul tambahan atas unsur esensial dari suatu perjanjian.135

Eksonerasi banyak terjadi pada kontrak adhesi

136

dan telah menjadi ciri khusus dalam hubungan kontrak, bahwa pihak lainnya atau konsumen berada dalam kedudukan yang tidak berdaya.137

132 Ibid.

133

Ibid, h. 100.

134

Mariam Darus Badrulzaman-II, Op.Cit, h. 45.

135

Ahmadi Miru-II, h. 40.

136

Perjanjian Standard oleh Pitlo dinamakan juga dengan Perjanjian Adhesi. Lihat Mariam Darus Badrulzaman-III, Op.Cit, h. 36.

137

W.M. Kleyn, Compedium Hukum Belanda, Yayasan Kerjasama Ilmu Hukum Indonesia-Negeri Belanda, (s’Gravenhage, 1978), h. 163. Selanjutnya lihat dalam Abdul Hakim,

Pertanggungjawaban Pelaku Usaha Melalui Kontrak Baku dan Asas Kepatutan dalam Perlindungan Konsumen: Studi Hubungan Hukum Antara Pelaku Usaha dengan Konsumen Perumahan, Disertasi, (Medan: Universitas Sumatera Utara, 2013), h. 127.

(32)

hukum yang akan diperbuatnya serta akibatnya hukumnya.138 Ketidakseimbangan dari para pihak dalam membuat perjanjian dapat memunculkan adanya klausul eksonerasi atau klausul pembebasan (dari tanggungjawab) yang tertera di dalam perjanjian baku tersebut.139

Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam perjanjian baku adalah pencantuman klausul eksonerasi yang harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:140

a. Menonjol dan jelas

Pengecualian terhadap tanggung gugat tidak dapat dibenarkan jika penulisannya tidak menonjol dan tidak jelas. Dengan demikian, maka penulisan pengecualian tanggung gugat yang di tulis di belakang suatu surat perjanjian atau yang di tulis dengan cetakan kecil, kemungkinan tidak efektif karena penulisan klausula tersebut tidak menonjol.

b. Disampaikan tepat waktu

Pengecualian tanggung gugat hanya efektif jika disampaikan tepat waktu. Dengan demikian, setiap pengecualian tanggung gugat harus disampaikan pada saat penutupan perjanjian, sehingga merupakan bagian dari kontrak. Jadi bukan disampaikan setelah perjanjian jual beli itu terjadi.

c. Pemenuhan tujuan-tujuan penting

Pembatasan tanggung gugat tidak dapat dilakukan jika pembatasan tersebut tidak akan memenuhi tujuan penting dari suatu jaminan, misalnya tanggung gugat terhadap cacat yang tesembunyi tidak dapat dibatasi dalam batas waktu tertentu, jika cacat tersembunyi tersebut tidak ditemukan dalam periode tersebut.

d. Adil

Jika pengadilan menemukan kontrak atau klausul kontrak yang tidak adil, maka pengadilan dapat menolak untuk melaksanakannya, atau melaksanakannya tanpa klausul yang tidak adil.

138

Mariam Darus Badrulzaman-II, Op.Cit, h. 46.

139

Sri Gambir Melati Hatta, Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama: Pandangan Masyarakat dan Sikap Mahkamah Agung Indonesia, (Bandung: Alumni, 2000), h. 149.

140

(33)

Mariam Darus Badrulzaman dalam pandangannya menyatakan perjanjian baku dengan klausul eksonerasi yang meniadakan atau membatasi kewajiban salah satu pihak (kreditur) untuk membayar ganti kerugian kepada debitur, memiliki ciri-ciri sebagai berikut:141

a. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditur yang posisinya relatif kuat dari debitur;

b. Debitur sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian itu;

c. Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu; d. Bentuknya tertulis;

e. Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal atau individual.

Ahmadi Miru mengemukakan ciri-ciri perjanjian baku yang memuat klausul eksonerasi yaitu sebagai berikut:142

a. Pada umumnya isinya ditetapkan oleh pihak yang posisinya lebih kuat;

b. Pihak yang lemah pada umunya tidak ikut menentukan isi perjanjian yang merupakan unsur aksidentalia dari perjanjian;

c. Terdorong oleh kebutuhan, pihak lemah terpaksa menerima perjanjian tersebut;

d. Bentuknya tertulis;

e. Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal atau individual.

R.H.J Engels menyatakan terdapat tiga bentuk yuridis dari perjanjian dengan syarat-syarat eksonerasi, yaitu terdiri dari:143

a. Tanggung jawab untuk akibat-akibat hukum, karena kurang baik dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban perjanjian.

b. Kewajiban-kewajiban sendiri yang biasanya dibebankan kepada pihak untuk mana syarat dibuat, dibatasi atau dihapuskan (misalnya perjanjian keadaan darurat).

141

Mariam Darus Badrulzaman-II, Op.Cit, h. 50.

142

Ahmadi Miru-II, Op.Cit, h. 42.

143

(34)

c. Kewajiban-kewajiban diciptakan (syarat-syarat pembebasan) oleh salah satu pihak dibebankan dengan memikulkan tanggung jawab pihak lain yang mungkin ada untuk kerugian yang diderita pihak ketiga.

Berdasarkan ciri-ciri tersebut di atas dapat diketahui bahwa klausul eksonerasi umumnya terdapat dalam perjanjian baku dalam bentuk tertulis, telah dipersiapkan terlebih dahulu baik secara massal atau individual, pihak yang memiliki dominasi atau kedudukan lebih kuat yang menentukan isi perjanjian, pihak yang lemah karena keadaan dan kebutuhan terpaksa menerima perjanjian.

3. Penerapan Klausul Eksonerasi Dalam Pandangan Hukum Perjanjian Islam

Islam mengatur secara menyeluruh kehidupan manusia dalam berbagai aspek, baik agama, ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya. Islam merupakan Rahmatan lil’aalamiin yaitu rahmat bagi seluruh alam. Semua sisi kehidupan telah berada dalam pengaturan hukum Allah Swt. Ruang lingkup kehidupan manusia berada pada dua macam hubungan, yaitu hubungan kepada Allah (hablumminallah) dan hubungan kepada manusia (hablumminannaas).

Islam memberikan petunjuk terhadap segala sesuatu yang dibutuhkan manusia sesuai dengan ketentuan syariat144. Petunjuk tersebut dibagi menjadi tiga bagian:145

a. Aqidah

Aqidah merupakan ajaran Islam yang menjelaskan tentang keesaan Allah. Akidah sifatnya konstan dan tidak mengalami perubahan dan tidak dapat

144

Syariat ditinjau dari ketentuan Ilmu Hukum, merupakan dasar-dasar hukum yang mengatur seorang muslim dalam penghidupannya. Dasar-dasar tersebut didapat dalam Al Qur’an. Lihat Abdullah Sidik, Asas-Asas Hukum Islam, (Jakarta: Widjaya Jakarta, 1982), h. 181.

145

(35)

dipengaruhi oleh perkembangan zaman. Aqidah bersifat mutlak kebenarannya, dan tidak terbantahkan.

b. Syariah

Syariah merupakan ajaran Islam tentang hukum Islam atau peraturan yang harus dilaksanakan dan/atau ditinggalkan oleh manusia. Syariah dibagi menjadi dua yaitu ibadah dan muamalah.

1) Ibadah merupakan tindakan manusia yang dilakukan terkait dengan hubungan antara manusia dan Allah Swt. Adanya kewajiban untuk menjalankan segala perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya. Seperti sholat, puasa, zakat dan haji.

2) Muamalah merupakan tuntutan yang mengatur tentang hubungan antara manusia dengan manusia lainnya. Misalnya dalam perdagangan, negosiasi dan transaksi lainnya.

c. Akhlak

Akhlak terkait dengan tingkah laku manusia dalam kehidupan yang didasarkan pada akhlakul karimah yaitu akhlak yang mulia. Ajaran tentang akhlak tidak mengalami perubahan dengan adanya perubahan waktu.

Sistem ekonomi yang ditetapkan oleh Rasulullah Saw berakar pada prinsip-prinsip Al Qur’an yang merupakan sumber utama ajaran Islam dengan menetapkan berbagai aturan sebagai petunjuk bagi umat manusia dalam melakukan aktivitas di setiap aspek kehidupannya termasuk di bidang ekonomi.146

Hubungan kerjasama antar sesama manusia, salah satunya dalam bentuk kerjasama ekonomi biasanya diwujudkan dalam sebuah perjanjian (akad). Hubungan muamalah dalam perjanjian berlaku bahwa segala sesuatu itu sah dilakukan sepanjang tidak ada larangan tegas atas tindakan itu.147

146

Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), h. 28.

147

Ahmadi Miru-I, Op.Cit, h. 14

(36)

Penerapan klausul eksonerasi jika ditinjau dalam Hukum Perjanjian Islam, maka terlebih dahulu melihat bagaimana Islam mengatur mengenai tanggung jawab. Tanggung jawab dalam bahasa Arab semakna dengan kata “mas’uliyah” yaitu pertanggungjawaban, dan “dhomaaniyah” yaitu pertanggungan.148 Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan definisi tanggung jawab yaitu “keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa) boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya.”149

Konsep tanggung jawab dalam Islam dibedakan menjadi dua, yaitu:150 a. Tanggung jawab individu yang tidak dapat dialihkan (fard al’ayn)

b. Tanggung jawab kolektif yang bisa diwakili oleh sebagian kecil orang (fard al kifayah).

Tanggung jawab dalam Islam bersifat pada tingkat individu dan masyarakat atau oraganisasi. Tanggung jawab dalam Islam bahkan bersama-sama dalam tingkat individu dan masyarakat, seperti yang dikemukakan Sayed Qutb:151

Menurut Hamzah Ya’qub, ada beberapa macam tanggung jawab antara lain:

“Islam mendasarkan prinsip tanggung jawab timbal balik dalam semua bentuk dan variasi. Di dalamnya kita bisa menemukan tanggung jawab yang ada antara manusia dan hatinya, antara manusia dan keluarganya, antara individu dan masyarakat, antara satu komunitas dengan komunitas lainnya.”

152

148

Muhammad HJ Abdul Latif, Kamus Jauhari Melayu-Arab/Arab Melayu, (Kuala Lumpur: Al Hidayah Publishers, 2005), h. 119.

149

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, h. 1139.

150

Rafik Issa Bekun Penerjemah Muhammad, Etika Bisnis Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 41.

(37)

a. Tanggung jawab manusia kepada Allah Swt atas perilaku dan perbuatannya, karena setiap orang akan dimintai pertanggung jawabannya. Firman Allah dalam Al Qur’an, yaitu Al Qur’an surah Al Isra’ ayat (36): “dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” Al Qur’an surah An Nahl ayat (93): “dan jika Allah menghendaki niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Dia menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Tetapi kamu pasti ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.”

b. Tanggung jawab kelembagaan, yaitu tanggung jawab yang dilakukan berdasarkan kepada pihak yang memberikan wewenang, yaitu pihak atasan sesuai dengan jenjang organisasi.

c. Tanggung jawab hukum, yaitu tanggung jawab yang dilakukan berdasarkan saluran-saluran dan ketentuan hukum yang berlaku, seorang petugas, karyawan, atau pejabat selaku pemegang fungsi harus mampu mempertanggungjawabkan tindakannya.

d. Tanggung jawab sosial, yaitu kaitan moral terhadap masyarakat.

Berdasarkan definisi tanggung jawab tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa setiap manusia bertanggung jawab terhadap perbuatan yang dilakukannya. Sesuatu yang menjadi tanggung jawab seseorang dalam hubungannya dengan sesama manusia, maka tanggung jawab tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan kewajiban. Demikian juga tanggung jawab para pihak dalam perjanjian sesuai dengan hak dan kewajiban masing-masing.

Pembatasan penggunaan klausul eksonerasi dalam Hukum Positif diatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mengatur bahwa “pelaku usaha dalam menjalankan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen

152

(38)

dan/atau perjanjian apabila: (a) menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.”

Klausul eksonerasi juga tidak diperbolehkan sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (3) huruf a Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Sektor Jasa yang menyatakan “perjanjian baku sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) yang digunakan oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang menyatakan pengalihan tanggung jawab atau kewajiban Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) kepada konsumen.” Hal yang sama juga diatur dalam Bagian II angka 4 huruf a Surat Edaran OJK Nomor 13/SEOJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku, yang menyatakan perjanjian baku dilarang apabila menyatakan pengalihan tanggung jawab atau kewajiban PUJK kepada konsumen.

Berdasarkan ketentuan hukum positif di atas, penerapan klausul eksonerasi tidak dibenarkan. Sedangkan pengaturan di dalam Al Qur’an maupun Hadits mengenai pelarangan pencantuman klausul eksonerasi secara tekstual tidak ditemukan, akan tetapi jika ditelusuri dalam ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits dari segi kontekstual, maka secara tersirat terdapat di dalamnya pengaturan mengenai pelarangan klausul eksonerasi.

(39)



“…bagi kami tanggung jawab atas perbuatan kami dan bagi kamu tanggung jawab atas perbuatan kamu. Tidak perlu ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah kita kembali.” (QS.As Syuro: 15)

“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan janganlah kamu mengkhianati amanah yang dipercayakan kepadamu sedang kamu mengetahui.” (QS. Al Anfal: 27).



“Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya.” (QS. Al Muddatstsir: 38).

(40)













“Dan (sungguh beruntung) orang yang memelihara amanat dan janjinya.” (QS. Al Mu’minuun: 8).

Berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an tersebut di atas, Allah swt memerintahkan agar setiap orang bertanggung jawab terhadap setiap perbuatan yang telah menjadi tanggung jawab baginya, tidak melepaskan atau mengalihkan tanggung jawab tersebut kepada pihak lain. Setiap orang akan diminta pertanggungjawaban dari setiap perbuatannya. Orang-orang yang melaksanakan tanggung jawabnya tersebut akan memperoleh keuntungan dan balasan dari Allah Swt. Penerapan klausul eksonerasi dalam suatu perjanjian maka hal tersebut dilarang dan bertentangan dengan aturan-aturan dalam Al Qur’an.

Penerapan klausul eksonerasi dalam perjanjian yang dibuat antara para pihak, dengan mencantumkan syarat-syarat pengalihan tanggung jawab pelaku usaha kepada konsumen tidak dibenarkan. Hukum Perjanjian Islam mengatur setiap akad yang dibuat antara para pihak sesuai dengan aturan yang ditetapkan syariat. Salah satu hadits Rasulullah Saw dalam Riwayat Tirmidzi menegaskan:152F

153

ﺍﻣ ﺮﺣ ﻞﺣﺃ ﻭﺃ ﻻﻼﺣ ﻡﺮﺣﻻﺍ ﻢﻬﻁﻭﺮﺷ ﻰﻠﻋ ﻥﻮﻤﻠﺴﻤﻟﺍ

153

Kitab Al Ahkam Nomor 1272. Selanjutnya lihat dalam Muhammad Syafi’i Antonio,

(41)

“Kaum muslimin (dalam kebebasan) sesuai dengan syarat dan kesepakatan mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.”

Perjanjian juga harus dilaksanakan sesuai dengan kaidah umum yang merupakan sumber dalam pelaksanaan hubungan kepederdataan, sebagai dasar pokok-pokok syariat Islam dalam kaidah fiqih yang menyatakan:

ﻢﻳﺮﺤﺘﻟﺍ ﻰﻠﻋ ﻞﻴﻟﺪﻟﺃ ﻝﺪﻳ ﻰﺘﺣ ﺔﺣﺍﺑ ﻹﺍ ﺀﺍﻴﺷﻷﺍ ﻰﻓ ﻞﺻﻷٱ

“Hukum asal sesuatu adalah kebolehan, sehingga terdapat dalil yang mengharamkannya.”153F

154

ﺮﺮﻀﻻﻮﺮﺮﻀﻻ

“Tidak memudharatkan dan tidak dimudharatkan.”

ﻝﺍﺰﻳ ﺮﺮﺿﻟﺍ

“Kemudharatan harus ditiadakan”

ﻥﺎﻜﻤﻷﺍﺭ ﺪﻘﺑ ﻉﻮﻓﺮﻣ ﺮﺮﺿﻟﺍ

“Kemudharatan harus ditolak semaksimal mungkin.”154F

155

Penerapan klausul eksonerasi dalam perjanjian dalam pandangan Hukum Perjanjian Islam bertentangan dengan asas-asas perjanjian yaitu:

1. Keadilan (Al ‘Adalah)

154

Muchlis Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah: Pedoman Dasar Dalam Istinbath Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 1999), h. 119.

155

(42)

Keadilan merupakan inti semua ajaran yang ada dalam Al Qur’an.155F

156 Al Qur’an menyatakan secara tegas bahwa diwahyukannya Al Qur’an adalah untuk membangun keadilan dan persamaan.156F

157

Keadilan langsung merupakan perintah Al Qur’an yang menegaskan:



“Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa, bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha teliti apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Maidah: 8).

Keadilan merupakan tonggak setiap perjanjian yang disepakati oleh para pihak. Keadilan dalam perjanjian menuntut para pihak dalam perjanjian tersebut memiliki kedudukan yang sama, tidak ada pihak yang lebih tinggi maupun yang lemah. Isi perjanjian mencerminkan keadilan bagi kedua belah pihak. Melakukan dengan benar pengungkapan kehendak dan keadaan, serta memenuhi semua hak dan kewajiban dari para pihak. Perjanjian senantiasa mendatangkan keuntungan yang adil dan seimbang serta tidak menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak.

Penerapan klausul eksonerasi yang merupakan bagian dari perjanjian baku (‘aqd al-is’an) tidak sesuai dengan asas keadilan. Tidak adanya keadilan

156

Mustaq Ahmad, Etika Bisnis dalam Islam, Cetakan Keempat, ( Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2006), h. 99.

157

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahwa sistem pengendalian intern, teknologi informasi, kualitas sumber daya manusia dan komitmen organisasi berpengaruh secara

Untuk orangtua dengan pola asuh demokratis seringkali tidak setuju dengan anggapan bahwa anak dewasa lebih pantas untuk perminan game online, dikarenakan bisa memberikan

ada peradangan atau iritasi pada mukosa lambung Tn.S dalam waktu 2 x 24 jam dengan kriteria: 1.Skala Nyeri Tn.S berkurang 2.Tn.S tidak merasa nyeri pada epigastrium

Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian yang menyatakan bahwa secara konseptual corporate social responsibility ( CSR ) yang dilakukan oleh suatu

1. Ekspektasi Kinerja berpengaruh signifikan terhadap minat pemanfaatan SIPKD. Penulis menyimpulkan pegawai kota kupang yakin dan percaya bahwa dengan menggunakan

Volume yang harus dibayar oleh PT PJB UP Muara Karang yaitu volume 15 0 C yang terdapat pada Bill of Lading yaitu 1.183.358,4 liter dan untuk mengetahui selisih. jumlah volume 15

Apa yang harus dilakukan: pahami bahwa implementasi teknologi umumnya merupakan permasalahan perubahan manajemen. Tempatkan general manajer dan pemimpin yang

Analisa data: pasien mengatakan tidak tahu tentang penyakitnya, dan juga tidak bisa mengakses informasi karena tidak bisa melihat. Data obyektif: saat observasi pasien tampak