• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Penerapan Manajemen Puskesmas dengan Mutu Pelayanan Pengobatan pada Poli Umum di Puskesmas se-Kabupaten Karangasem

HASIL PENELITIAN

6.4 Hubungan Penerapan Manajemen Puskesmas dengan Mutu Pelayanan Pengobatan pada Poli Umum di Puskesmas se-Kabupaten Karangasem

Penerapan manajemen puskesmas merupakan suatu proses dalam mendukung pelaksanaan suatu kegiatan untuk mencapai tujuan (Alamsyah, 2011). Penelitian ini melakukan analisis hubungan penerapa manajemen puskesmas dengan mutu pelayanan di puskesmas, khususnya program pengobatan pada Poli Umum di puskesmas se-Kabupaten Karangasem.

73,3% memiliki penerapan manajemen yang baik, sedangkan pada mutu pelayanan pengobatan yang kurang hanya 39,1% memiliki penerapan manajemen puskesmas yang baik. Penerapan manajemen puskesmas yang baik dapat berpeluang memberikan mutu pelayanan pengobatan yang baik sebesar 4,3 kali dari penerapan manajemen puskesmas yang kurang. Namun setelah dilakukan analisis multivariat didapatkan nilai OR independen hanya sebesar 1,1 dan secara statistik tidak bermakna. Hal ini berarti setelah memperhitungkan variabel lain dalam hal ini komitmen kerja petugas pengaruh penerapan manajemen puskesmas relatif lemah terhadap mutu pelayanan pengobatan, karena adanya hubungan komitmen kerja petugas dengan mutu pelayanan pengobatan yang sangat kuat. Setelah dilakukan analisis tambahan ternyata secara statistik terlihat bahwa komitmen kerja petugas sangat kuat mempengaruhi penerapan manajemen puskesmas, sehingga peneliti berhasil membuktikan bahwa akar permasalahan mutu pelayanan pengobatan adalah komitmen kerja petugas. Jika ingin memperbaiki mutu pelayanan pengobatan maka yang perlu ditingkatkan adalah komitmen kerja petugas sehingga dengan komitmen kerja yang baik, penerapan manajemen puskesmas akan baik, dan mutu pelayanan pengobatan pun akan baik pula.

Menurut asumsi peneliti penerapan manajemen puskesmas tetap memiliki hubungan dengan mutu pelayanan pengobatan namun tidak secara independent, tetapi bersama-sama dengan faktor lain. Hasil ini diperoleh karena dipengaruhi oleh data yang dikumpulkan terkait dengan penerapan manajemen petugas dilakukan kepada petugas pada poli umum sehingga hanya berdasarkan persepsi petugas terkait dengan penerapan manajemen yang dilaksanakan oleh koordinator poli umum dan pihak manajemen puskesmas lainnya.

S.F tahun 2006 yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara perencanaan penggerakan, pengawasan, penilaian, pencatatan dan pelaporan dengan keberhasilan program PMT di Puskesmas Kabupaten Tegal. Berbeda dengan hasil penelitian oleh Dewi S.C (2011) pada 77 perawat di RSUP Dr. Sardjito, diketahui bahwa penerapan lima fungsi manajemen oleh kepala ruangan berhubungan dengan penerapan keselamatan pasien (p=0,000-0,032).

Hasil penelitian ini juga berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Kustiawan RB tahun 2014 menyatakan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara masing- masing fungsi manajemen dengan cakupan kegiatan pada program Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue di Puskesmas Kabupaten Gerobogan.

Dilihat dari masing-masing subvariabel yang dianalisis secara bivariat terlihat bahwa hanya subvariabel pengawasan dan pertanggungjawaban memiliki hubungan yang signifikan. Hasil analisis bivariat terhadap perencanaan dengan mutu pelayanan pengobatan pada Poli Umum Puskesmas di Kabupaten Karangasem diketahui bahwa mutu pelayanan pengobatan baik 73,3% memiliki perencanaan yang baik, sedangkan pada mutu pelayanan pengobatan yang kurang hanya 36,9% memiliki perencanaan yang baik, namun secara statistik tidak berhubungan secara signifikan dalam memberikan mutu pelayanan pengobatan baik pada perencanaan baik ataupun kurang.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ningrum, S.F tahun 2006 yang dilakukan di Puskesmas Kabupaten Tegal, yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara perencanaan dengan keberhasilan program PMT di Puskesmas Kabupaten Tegal. Sejalan juga dengan hasil penelitian Ratnasih tahun 2001

perencanaan di Puskesmas Kabupaten Tegal.

Hasil penelitian ini berbeda dengan yang dilakukan oleh Dewi, S.C tahun 2011 di Irna I RSUP DR. Sardjito Yogyakarta, yang menunjukkan bahwa ada hubungan fungsi perencanaan dengan penerapan keselamatan pasien (p=0,032, α = 0,05). Hasil penelitian ini berbeda juga dengan hasil penelitian oleh Fenny tahun 2007 yang menunjukkan adanya hubungan perencanaan dengan kinerja perawat pelaksana di ruang rawat inap RSUP Fatmawati.

Hasil analisis bivariat terhadap pelaksanaan dan pengendalian juga menunjukkan tidak adanya hubungan antara pelaksanaan dan pengendalian dengan mutu pelayanan pengobatan pada Poli Umum di Puskesmas se-Kabupaten Karangasem. Walaupun terlihat dari mutu pelayanan pengobatan baik 60,0% memiliki pelaksanaan dan pengendalian yang baik, sedangkan pada mutu pelayanan pengobatan yang kurang hanya 41,3% memiliki pelaksanaan dan pengendalian yang baik, perbedaan yang menghasilkan OR sebesar 2,1 yang artinya peluang memberikan mutu pelayanan pengobatan baik pada pelaksanaan dan pengendalian baik 2,1 kali dibandingkan pelaksanaan dan pengendalian yang kurang, namun secara statistik hubungan tersebut tidak bermakna.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ningrum, S.F tahun 2006 yang dilakukan di Puskesmas Kabupaten Tegal, yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara pergerakan termasuk dalam fungsi pelaksanaan dan pengendalian dengan keberhasilan program PMT (p =0,540). Berbeda dengan penelitian Dewi, S.C (2011) bahwa fungsi pengaturan staf yang termasuk dalam pelaksanaan dan pengendalian menunjukan adanya hubungan bermakna dengan penerapan keselamatan

persepsi baik terhadap pengaturan staf akan menerapkan keselamatan lebih tinggi dari perawat yang memiliki persepsi tidak baik dengan OR= 3,84. Hasil ini juga berbeda dengan penelitian oleh Irmawati (2008) yang meneliti tentang Hubungan Fungsi Manajemen Pelaksana Kegiatan Stimulasi Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang (SDIDTK) dengan Cakupan SDIDTK Balita dan Anak Prasekolah di Puskesmas Kota Semarang. Penelitian tersebut menunjukkan adanya hubungan antara variabel penggerakan dengan variabel cakupan SDIDTK balita dan anak prasekolah dengan nilai p=0,036 (p<0,05).

Hasil analisis bivariat terhadap pengawasan dan pertanggungjawaban menunjukkan adanya hubungan antara pengawasan dan pertanggungjawaban dengan mutu pelayanan pengobatan pada Poli Umum Puskesmas di Kabupaten Karangasem. Hubungan tersebut terlihat yaitu mutu pelayanan pengobatan baik 73,3% memiliki pengawasan dan pertanggungjawaban yang baik, sedangkan pada mutu pelayanan pengobatan yang kurang hanya 36,9% memiliki pengawasan dan pertanggungjawaban yang baik, yang menghasilkan odds ratio (OR) sebesar 4,7 dengan 95%CI : 1,13-22,86 dan nilai p = 0,01. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian oleh Irmawati (2008) yang menunjukkan hubungan yang sangat signifikan antara pengawasan dengan cakupan SDIDTK balita dan anak prasekolah puskesmas di Kota Semarang. Kekuatan hubungan antara kedua variabel tersebut bersifat kuat (C=0,707).

Hasil penelitian ini juga didukung oleh teori yang dikemukakan oleh Koontz dan Donnell dalam Dewi S.C, 2011 menyatakan bahwa perencanaan tanpa pengawasan, pekerjaan tersebut akan sia-sia. Hasil ini juga sesuai dengan teori tentang pengawasan oleh Terry dalam Ningrum, S. F (2008) yang menyatakan pengawasan itu menentukan

mengadakan tindakan-tindakan pembetulan sedemikian rupa, sehingga hasil pekerjaan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya.

Supervisi dikatakan sama dengan pengawasan dalam tujuan-tujuan memperbaiki dan meningkatkan kinerja, berfungsi sebagai monitoring, kegiatannya memiliki fungsi manajemen serta berorientasi pada tujuan penyelenggaraan (Daryanto, 2005 dalam Adiputri, A. 2014).

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Nugroho (2004) yang menjelaskan bahwa hubungan antara supervisi dengan kinerja perawat pegawai daerah di Puskesmas Kabupaten Kudus. Hasil penelitian dari Adiputri, A. (2014) menyatakan supervisi mempunyai hubungan yang bermakna yaitu bidan desa yang supervisinya kurang baik berisiko menimbulkan kinerja yang kurang baik.

6.5. Hubungan Komitmen Kerja dengan Mutu Pelayanan Pengobatan pada Poli Umum di Puskesmas se- Kabupaten Karangasem

Komitmen petugas ditunjukkan dengan keinginan untuk berprestasi yang lebih baik dengan terlibat aktif melakukan asuhan pelayanan kesehatan termasuk di puskesmas (Luthans, 2006). Penelitian ini salah satu tujuannya adalah ingin mengetahui hubungan komitmen kerja dengan mutu pelayanan pengobatan pada poli umum di puskesmas Kabupaten Karangasem. Berdasarkan hasil analisis bivariat diketahui bahawa komitmen kerja berhubungan dengan mutu pelayanan pengobatan, yaitu mutu pelayanan pengobatan baik 86,7% memiliki komitmen kerja yang baik, sedangkan pada mutu pelayanan pengobatan yang kurang hanya 36,9% memiliki komitmen kerja yang baik. Berdasarkan hasil analisis multivariat diketahui bahwa komitmen kerja dengan mutu pelayanan pengobatan dengan adjusted odd ratio sebesar

kerja baik sebesar 11,3 kali daripada komitmen kurang baik dengan nilai 95% CI dari OR 1,75-73,06 dan nilai p=0,01.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian lain oleh Malhotra dan Mukherjee (2004) yang menyatakan bahwa karyawan yang memiliki komitmen akan memberikan layanan yang optimal. Karyawan yang mempunyai komitmen tinggi selalu akan berpihak dan memberikan yang terbaik kepada organisasi (Robbins dan Judge (2008), Sopiah (2008)). Penelitian lain oleh Muchtar Hidayat (2010) menyatakan bahwa komitmen afektif mempunyai hubungan positif yang signifikan dengan kualitas pelayanan. Sejalan dengan penelitian Raymond (2008) mengatakan bahwa seseorang yang memiliki komitmen yang tinggi akan memiliki kemauan secara sadar untuk mencurahkan usaha demi kepentingan organisasi, karyawan bekerja bukan karena adanya instruksi melainkan termotivasi dari dalam diri sendiri sehingga pasien merasa puas.

Hasil penelitian dari Puspitawati tahun 2013 menunjukkan bahwa komitmen organisasional berpengaruh signifikan terhadap kualitas layanan yaitu jika karyawan memiliki komitmen yang kuat terhadap organisasi maka kualitas layanan yang diberikan akan semakin meningkat. Menurut asumsi peneliti suatu organisasi dalam hal ini puskesmas harus memperhatikan faktor yang mendorong karyawan untuk selalu memberikan layanan optimal memiliki komitmen yang tinggi untuk selalu memberikan layanan terbaik. Dinas Kesehatan selaku pembina puskesmas mempunyai peranan penting dalam menumbuhkan komitmen kerja petugas puskesmas.

Hasil analisis bivariat terhadap subvariabel inisiatif menunjukkan adanya hubungan antara inisiatif dengan mutu pelayanan pengobatan pada Poli Umum Puskesmas di

signifikan yaitu mutu pelayanan pengobatan baik memiliki inisiatif yang baik sebesar 73,3%, sedangkan pada mutu pelayanan pengobatan yang kurang hanya 36,9% memiliki inisiatif yang baik. Data tersebut memperlihatkan perbedaan yang jelas dan menghasilkan odds ratio (OR) sebesar 4,7 dengan 95% CI : 1,13-22,86 dengan nilai p =0,01. Perbedaan ini menunjukkan hubungan secara bermakna bahwa peluang memberikan mutu pelayanan pengobatan baik pada inisiatif yang baik sebesar 4,7 kali dibandingkan dengan inisiatif yang kurang.

Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Ubaydillah, 2009 yang menyatakan bahwa inisiatif berkaitan dengan hasil pekerjaan, dan menghindari peluang terjadinya masalah. Hasil ini juga sesuai dengan hasil penelitian oleh Wijaya, G. 2012 bahwa terjadi peningkatan nilai inisiatif pada perawat dan bidan yang telah diberi intervensi penerapan Manajemen Kinerja Klinik berbasis Tri Hita Karana sehingga dapat meningkatkan kinerja perawat dan bidan di RS. Menurut asumsi peneliti bahwa petugas yang memiliki inisiatif akan dapat memberikan mutu pelayanan yang baik kepada pelanggan. Dilihat dari tiga subvariabel komitmen kerja petugas hanya inisiatif saja yang berhubungan dengan mutu pelayanan pengobatan, sehingga yang terpenting dalam membangun komitmen kerja petugas di puskesmas adalah dengan menumbuhkan inisiatif sehingga akan diikuti oleh ketaatan terhadap peraturan puskesmas dan penghayatan visi misi puskesmas akan meningkat pula.

Petugas yang memiliki komitmen kerja kurang yang ditandai dengan tingginya keinginan untuk pindah tugas dalam penelitian ini sejalan dengan pendapat Karsh dkk. (2005) yang menyatakan bahwa komitmen dan kepuasan kerja dipengaruhi oleh

kerja sehingga berimplikasi dengan adanya keinginan untuk pindah.

Analisis bivariat terhadap sub variabel penghayatan visi misi dengan mutu pelayanan pengobatan pada Poli Umum di puskesmas se-Kabupaten Karangasem memperlihatkan mutu pelayanan pengobatan baik 53,3% memiliki penghayatan visi misi yang baik, sedangkan pada mutu pelayanan pengobatan yang kurang hanya 26,1% memiliki penghayatan visi misi yang baik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peluang memberikan mutu pelayanan pengobatan baik pada penghayatan visi misi yang baik sebesar 3,2 kali dibandingkan dengan penghayatan visi misi yang kurang namun secara statistik hubungan tersebut tidak bermakna.

Hasil penelitian ini berbeda dengan yang disampaikan oleh Wijaya, G. tahun 2012 bahwa penerapan Manajemen Kinerja Klinik berbasis Tri Hita Karana telah dapat menunjukkan kemampuan perawat bidan dalam menjabarkan visi misi RS dalam tugas pokok dan fungsinya sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan pengobatan.

Penelitian ini juga berbeda dengan hasil penelitian oleh Kumalasari, C. (2013) yang menyatakan bahwa dengan memahami misi dan visi, pelaksana poli gigi akan memiliki motivasi yang kuat untuk mengembangkan pelayanan menjadi lebih baik. Setiap anggota organisasi harus mampu mengungkapkan misi secara verbal, dan setiap karyawan harus menunjukkan pernyataan misi dalam tindakan. Misi juga akan memberikan arah sekaligus batasan proses pencapaian tujuan. (Healthfield dan Aditya (2010) dalam Kumalasari, C. (2013)). Berdasarkan hal tersebut asumsi peneliti, bahwa visi misi puskesmas di puskesmas se Kabupaten Karangasem belum digunakan sebagai acuan dalam melaksanakan pelayanan.

mencapai hasil kerja yang maksimal. Untuk mendorong para pegawai untuk mematuhi peraturan-peraturan memerlukan strategi yang tepat yakni dengan meningkatkan motivasi terhadap para pegawainya. Mematuhi peraturan merupakan salah satu alat ukur dan pencerminan dari disiplin kerja (Delisa, 2013). Mematuhi peraturan meliputi ketepatan waktu, taat jam kerja, taat pimpinan, taat prosedur kerja, melakukan pekerjaan sesuai rencana.

Hasil analisis bivariat terhadap sub variabel ketaatan terhadap peraturan puskesmas pada penelitian diketahui adanya mutu pelayanan pengobatan baik memiliki ketaatan terhadap peraturan puskesmas yang baik sebesar 86,7%, sedangkan pada mutu pelayanan pengobatan yang kurang hanya 56,5% memiliki ketaatan terhadap peraturan puskesmas yang baik, namun tidak mempunyai hubungan secara bermakna dengan mutu pelayanan pengobatan pada Poli Umum di Puskesmas se-Kabupaten Karangasem. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian oleh Rosita (2007) bahwa disiplin kerja mempunyai hubungan yang cukup kuat terhadap kinerja karyawan pada Restoran Ichi Bento Bandung. Berbeda pula dengan hasil penelitian lain yang berkaitan dengan kinerja yang dapat mempengaruhi mutu pelayanan yaitu oleh Enjel (2006) menghasilkan bahwa penerapan aturan etika memiliki hubungan yang positif dengan peningkatan profesionalisma auditor internal.

Dokumen terkait