• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Pertanggung Jawaban Hukum Administrasi Negara Secara Umum

HUKUM ADMINISTRASI NEGARA (STUDI KASUS KABUPATEN DELI SERDANG

B. Penerapan Pertanggung Jawaban Hukum Administrasi Negara Secara Umum

Dalam praktik hukum administrasi negara di Indonesia terdapat beberapa macam jenis keputusan pemerintah pusat selaku badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi pengaturan bersifat umum. Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan disebutkan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dari jenis- jenis yang tercantum dalam pasal tersebut Peraturan Presiden adalah jenis peraturan yang dapat digunakan oleh pemerintah pusat atau dalam hal ini Presiden, untuk dapat melakukan perbuatan hukum selaku badan atau pejabat tata usaha negara secara bebas. Hal ini dikarenakan dalam ketentuan umum tersebut dinyatakan bahwa Peraturan Presiden dapat digunakan salah satunya guna tujuan menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.

Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan memberikan pengertian Peraturan Presiden sebagai berikut :

Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.

Dari rumusan pasal di atas, maka dapat dilihat jika Peraturan Presiden adalah merupakan tindakan hukum pemerintah dalam hal menjalankan perintah Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi atau guna menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.

Kebijakan Energi Nasional sebagai pedoman dalam pengelolaan energi nasional ditetapkan untuk menjamin keamanan pasokan energi dalam negeri dan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka Presiden pada pada tanggal 25 Januari 2006 menetapkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional. Kebijakan tersebut bertujuan untuk mewujudkan keamanan pasokan energi dalam negeri sekaligus untuk menghadapi pengaruh permasalahan krisis energi dunia. Dalam Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional, hal-hal yang diatur adalah sebagai berikut :

a. Tujuan dan Sasaran

Tujuan dan sasaran Kebijakan Energi Nasional diatur dalam Pasal 1 yang berisi:

(1) Kebijakan Energi Nasional bertujuan untuk mengarahkan upaya-upaya dalam mewujudkan keamanan pasokan energi dalam negeri.

(2) Sasaran Kebijakan Energi Nasional adalah:

a. Tercapainya elastisitas energi lebih kecil dari 1 (satu) pada tahun 2025.

b. Terwujudnya energi (printer) mix yang optimal pada tahun 2025, yaitu peranan masing-masing jenis energi terhadap konsumsi energi nasional:

1) minyak bumi menjadi kurang dari 20% (dua puluh persen).

2) Gas bumi menjadi lebih dari 30% (tiga puluh persen).

3) Batubara menjadi lebih dari 33% (tiga puluh tiga persen).

4) Bahan bakar nabati (biofuel) menjadi lebih dari 5% (lima persen).

5) Panas bumi menjadi lebih dari 5% (lima persen).

6) Energi baru dan energi terbarukan lainnya, khususnya biomassa, nuklir, tenaga air, tenaga surya, dan tenaga angin menjadi lebih dari 5% (lima persen).

7) Batubara yang dicairkan (liquefied coal) menjadi lebih dari 2% (dua persen).

b. Langkah Kebijakan

Guna mencapai tujuannya ditetapkan langkah kebijakan. Langkah kebijakan tersebut diatur dalam Pasal 3 berisi:

(1) Sasaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dicapai melalui kebijakan utama dan kebijakan pendukung.

(2) Kebijakan utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. Penyediaan energi melalui:

1) penjamin ketersediaan pasokan energi dalam negeri;

2) Pengoptimalan produksi energi;

3) Pelaksanaan konservasi energi;

b. Pemanfaatan energi melalui:

1) efisiensi pemanfaatan energi;

2) diversifikasi energi.

c. Penetapan kebijakan harga energi ke arah harga keekonomian, dengan tetap mempertimbangkan kemampuan usaha kecil, dan bantuan bagi masyarakat tidak mampu dalam jangka waktu tertentu.

d. Pelestarian lingkungan dengan menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan.

(3) Kebijakan pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. pengembangan infrastruktur energi termasuk peningkatan akses konsumen terhadap energi;

b. kemitraan pemerintah dan dunia usaha;

c. pemberdayaan masyarakat;

d. pengembangan penelitian dan pengembangan serta pendidikan dan pelatihan.

Tindak lanjut dari kebijakan utama dan pendukung diatur dalam Pasal 4 yang menyatakan:

(1) Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral menetapkan Blueprint Pengelolaan Energi Nasional setelah dibahas dalam Badan Koordinasi Energi Nasional.

(2) Blueprint pengelolaan Energi Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat sekurang-kurangnya:

a. Kebijakan mengenai jaminan keamanan pasokan energi dalam negeri.

b. Kebijakan mengenai kewajiban pelayanan publik (public service obligation).

(3) Blueprint sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar bagi penyusunan pola pengembangan dan pemanfaatan masing-masing jenis energi.

c. Harga Energi

Pengaturan mengenai harga Energi diatur dalam Pasal 5 yang menyatakan:

(1) Harga energi disesuaikan secara bertahap sampai batas waktu tertentu menuju harga keekonomiannya.

(2) Pentahapan dan penyesuaian harga energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memberikan dampak optimum terhadap diversifikasi energi.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai harga energi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dan bantuan bagi masyarakat tidak mampu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

d. Pemberian Kemudahan dan Insentif

Adanya kemudahan dan insentif bagi penyediaan energi diatur Pasal 6 yang menyebutkan:

(1) Menteri Energi Sumber Daya Mineral menetapkan sumber energi alternatif tertentu.

(2) Pemerintah dapat memberikan kemudahan dan insentif kepada pelaksana konservasi energi dan pengembangan sumber energi alternatif tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kemudahan dan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri terkait sesuai dengan kewenangan masing-masing.

Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional mengatur tentang langkah kebijakan yang akan dilakukan guna mencapai tujuan. Kebijakan utama sebagaimana diatur dalam ayat (3) meliputi bidang penyediaan energi, pemanfaatan energi, penetapan harga energi dan pelestarian lingkungan. Dalam bidang pelestarian lingkungan, peraturan ini mengamanatkan dilakukannya pelestarian lingkungan dengan menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan.

Pengaturan penyediaan, pendistribusian, dan penetapan harga LPG Tabung 3 Kg dalam Peraturan Presiden ini meliputi perencanaan volume penjualan tahunan dari badan usaha, harga patokan dan harga jual eceran serta ketentuan ekspor dan impor LPG Tabung 3 Kg dalam rangka mengurangi subsidi bahan bakar minyak khususnya untuk mengalihkan penggunaan minyak tanah bersubsidi sesuai kebijakan pemerintah.

Pasal 1 angka 1 menyatakan Liquefied Petroleum Gas yang selanjutnya

memudahkan penyimpanan, pengangkutan, dan penanganannya yang pada dasarnya terdiri atas propana, butana, atau campuran keduanya.

Pasal 1 angka 2 menyatakan LPG Tabung 3 Kilogram yang selanjutnya disebut LPG Tabung 3 Kg adalah LPG yang diisikan ke dalam tabung dengan berat isi 3 Kilogram.

Pasal 1 angka 4 menyatakan Rumah tangga adalah konsumen yang mempunyai legalitas penduduk, menggunakan minyak tanah untuk memasak dalam lingkup rumah tangga dan tidak mempunyai kompor gas untuk dialihkan menggunakan LPG Tabung 3 Kg termasuk tabung, kompor gas beserta peralatan lainnya.

Pasal 1 angka 5 menyatakan Usaha mikro adalah konsumen dengan usaha produktif milik perorangan yang mempunyai legalitas penduduk, menggunakan minyak tanah untuk memasak dalam lingkup usaha mikro dan tidak mempunyai kompor gas untuk dialihkan menggunakan LPG Tabung 3 Kg termasuk tabung, kompor gas beserta peralatan lainnya .

Pasal 1 angka 6 menyatakan Minyak tanah untuk rumah tangga dan usaha mikro adalah jenis bahan bakar minyak yang ditetapkan sebagai salah satu jenis bahan bakar minyak tertentu yang penyediaan dan pendistribusiannya dilakukan oleh badan usaha yang mendapat penugasan dari pemerintah .

Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pengendalian Penggunaan Bahan Bakar Minyak berisi kebijakan larangan penggunaan jenis bahan bakar bensin RON 88 dan solar bersubsidi bagi golongan tetentu. Kedua jenis bahan bakar tersebut merupakan jenis bahan bakar minyak yang

disubsidi. Subsidi adalah pembayaran yang dilakukan pemerintah kepada perusahaan atau rumah tangga untuk mencapai tujuan tertentu yang membuat mereka dapat memproduksi atau mengkonsumsi suatu produk dalam kuantitas yang lebih besar atau pada harga yang lebih murah. Secara ekonomi, tujuan subsidi adalah untuk mengurangi harga atau menambah keluaran (output).16

Adanya penurunan penggunaan minyak bumi dapat dikatakan sebagai upaya

penghematan. Penghematan (efisiensi) atau membatasi laju pembangunan sumber

daya alam merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk melestarikan ketersediaan sumber daya alam. Hal ini sesuai dengan pendapat Surna T. Djajadiningrat yang menyatakan “Beberapa cara dapat dilakukan untuk menanggulangi semakin langkanya sumber daya alam, antara lain dengan cara meningkatkan persediaan sumber daya alam dan membatasi laju pembangunan Pengalihan penggunaan bahan bakar minyak bumi berupa minyak tanah ke LPG sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2007 Tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga Liquefied Petroleum Gas Tabung 3 Kilogram membawa pengaruh terhadap nilai kemampuan dua jenis bahan bakar tersebut memenuhi kebutuhan. Pengalihan mengakibatkan konsumsi masyarakat akan sumber energi minyak bumi khususnya minyak tanah menjadi cenderung menurun. Berkurangnya penggunaan minyak tanah maka secara otomatis menambah panjang jangka waktu kemampuan minyak bumi memenuhi kebutuhan.

16

Rudi Handoko dan Pandu Patriadi, “Evaluasi Kebijakan Subsidi nonBBM”, Jurnal Kajian

sumber daya alam, serta dengan menerapkan teknologi tepat guna bagi pengambilan sumber daya alam sehingga pengambilan dapat dilakukan dengan cara seefisien mungkin”.17

Dokumen terkait