• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH GLOBALISASI SUBSTANSI PADA HUKUM MIGAS

B. Prosedur Pembentukan Hukum Migas

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi memberikan pengertian minyak bumi sebagai berikut “Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi “.

Minyak bumi yang juga dikenal sebagai emas hitam ini memiliki nilai yang sangat tinggi dalam peradaban manusia sepanjang masa, terlebih pada masyarakat

modern dewasa ini. Bidang-bidang kehidupan umat manusia seperti pertanian, industri, transportasi serta sistem pembangkit energi yang digunakan manusia sangat bergantung pada minyak bumi ini. Kelangkaan bahan ini akan berdampak pada seluruh aspek kehidupan suatu bangsa.

Minyak bumi dalam bentuk minyak mentah yang diambil dari sumur-sumur minyak dapat diubah menjadi ribuan jenis produk modern, baik langsung maupun tidak langsung. Salah satu produk tersebut adalah bahan bakar minyak (BBM) untuk kendaraan transportasi yang lazim disebut bensin. Sekitar 54% dari hasil minyak mentah diubah menjadi BBM. Kendaraan bermotor untuk transportasi menghabiskan 90% dari seluruh produk bensin, sedang sisanya digunakan sebagai bahan bakar untuk pesawat terbang, traktor pertanian dan berbagai jenis mesin untuk kegiatan industri maupun rumah tangga.

Pemanfaatan hasil olahan minyak bumi sebagai bahan bakar mesin industri, kendaraan bermotor dan peralatan lain merupakan wujud dari pemanfaatan minyak bumi sebagai sumber energi. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Energi memberikan pengertian energi sebagai berikut:

Energi adalah kemampuan untuk melakukan kerja yang dapat berupa panas, cahaya, mekanika, kimia, dan elektromagnetika. Penjelasan mengenai sumber energi dijelaskan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Energi, yaitu: Sumber energi adalah sesuatu yang dapat menghasilkan energi, baik secara langsung maupun melalui proses konversi atau transformasi.

Pemanfaatan minyak bumi sebagai sumber energi yang berasal dari fosil memiliki dampak negatif bagi lingkungan. Pembakaran bahan bakar fosil akan melepaskan polutan langsung ke lapisan troposfer dalam bentuk karbon monoksida (CO), karbon dioksida (CO2), oksida sulfur (SOx), oksida nitrogen (NOx), hidrokarbon dan partikulat. Masing-masing polutan akan merusak kesehatan dengan menimbulkan gangguan kesehatan yang berbeda-beda.10

Pertama, semua kontrak kerja sama banyak hal yang bisa terjadi di kemudian hari yang sama sekali tidak terpikirkan sebelumnya pada saat kontrak Pencemaran lingkungan sebagai dampak pemanfaatan minyak bumi dapat ditanggulangi dengan beberapa cara. Wisnu Arya Wardana mengelompokan penanggulangan pencemaran ke dalam 2 macam cara yakni penanggulangan secara non teknis dan penanggulangan sacara teknis. Penanggulangan secara non teknis dilakukan dengan cara menciptakan peraturan perundangan yang dapat merencanakan, mengatur dan mengawasi segala macam bentuk kegiatan industri dan teknologi sedemikian rupa, sehingga tidak terjadi pencemaran lingkungan. Penanggulangan secara teknis antara lain dapat dilakukan dengan cara mengubah proses, mengganti sumber energi, mengelola limbah, dan menambah alat bantu. Keempat macam penanggulangan secara teknis tersebut dapat berdiri sendiri-sendiri, atau apabila dipandang perlu dapat dilakukan secara bersama-sama

Ada beberapa hal yang perlu dicermati terkait dengan kontrak kerja sama kegiatan usaha migas dihubungkan dengan kedaulatan negara atas SDA.

10

Mukhlis Akhadi, EKOLOGI ENERGI: Mengenali Dampak Lingkungan dalam Pemanfaatan Sumber-sumber Energi, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), Hal. 118.

tersebut dibuat. Artinya, tidak menutup kemungkinan kontrak yang dibuat pada 10 tahun atau 20 tahun yang lalu isinya tidak lagi sesuai dengan perasaan keadilan saat ini. Perubahan terhadap kontrak tersebut tidak dapat dilakukan, kecuali atas persetujuan kedua belah pihak.

Kedua, indikasi kedaulatan negara dapat terlihat dalam klausula kontrak yang mengatur mengenai Domestic Market Obligation (DMO). Masalahnya jika kontraktor tidak melaksanakan kewajibannya terkait dengan DMO, pemerintah tidak dapat melakukan upaya paksa terhadap kontraktor, kecuali melalui gugatan ke forum atbitrase yang sudah disepakati dalam kontrak tersebut.

Ketiga, sebagian besar para pihak dalam kontrak-kontrak hulu migas tunduk pada stelsel hukum yang berbeda karena perbedaan kewarganegaraan. Kontrak seperti ini masuk dalam kategori perjanjian perdata internasional yang dalam banyak hal tunduk pada kaedah-kaedah hukum perdata internasional.

Keempat, kontrak-kontrak migas bersifat unik. Berbeda dengan jenis kontrak kerja sama pada umumnya, kontrak migas lebih banyak memuat kewajiban yang harus dilakukan oleh kontraktor dari pada kewajiban yang harus dilakukan oleh pemerintah itu sebabnya mengapa para kontraktor yang notabennya adalah para investor di bidang usaha migas selalu meminta jaminan kepastian hukum terhadap pelaksanaan kontrak yang sudah disepakati bersama.

Dengan demikian, terlihat jelas bahwa ada sisi negatif atau kelemahan kontrak kerja sama sebagai bentuk hukum pengusahaan migas dalam perspektif kedaulatan negara atas SDA. Jika pemerintah atau negara berpendapat bahwa kontrak tersebut perlu direnegosiasi karena tidak lagi sesuai dengan kondisi objektif dan perasaan

keadilan saat ini, kontraktor tidak begitu saja dapat menerimanya dengan sukarela. Keberatan kontraktor dilindungi oleh undang-undang karena kontrak tidak dapat dibuah secara sepihak.

Adanya permohonan uji materii (judicial review) Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (PP Cost Recovery) terhadap peraturan perundang-undangan di atasnya yang diajukan oleh Indonesia Petroleum Association (IPA) ke Mahkamah Agung membuktikan adanya sisi negatif tersebut di atas. Intinya IPA berpendapat bahwa kontrak kerja sama yang sudah ada sebelum lahirnya PP Cost Recovery harus dihormati dan dipatuhi oleh para pihak. Demikian pula dengan renegosiasi atas Kontrak Karya dan PKP2B di bidang mineral dan batu bara yang sedang berjalan antara pemerintah dan kontraktor merupakan bukti kongkret adanya sisi negatif atau kelemahan dari bentuk hukum kontrak kerja sama dalam perspektif kedaulatan negara atas SDA.

Berbeda halnya jika pemerintah memilih izin sebagai bentuk hukum pengusahaan migas. Kedaulatan negara atas SDA lebih terlihat pada bentuk hukum ini karena pemerintah setiap saat dapat mencabut izin tersebut bila kontraktor tidak melaksanakan kewajibannya. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara memilih izin sebagai bentuk hukum pengusahaan di bidang mineral dan batu bara dan panas bumi.

Minyak dan gas dihasilkan dari pembusukan organisma, kebanyakannya tumbuhan laut (terutama ganggang dan tumbuhan sejenis) dan juga binatang kecil

seperti ikan, yang terkubur dalam lumpur yang berubah menjadi bebatuan. Proses pemanasan dan tekanan di lapisan-lapisan bumi membantu proses terjadinya minyak dan gas bumi. Cairan dan gas yang membusuk berpindah dari lokasi awal dan terperangkap pada struktur tertentu. Lokasi awalnya sendiri telah mengeras, setelah lumpur itu berubah menjadi bebatuan.

Minyak dan gas berpindah dari lokasi yang lebih dalam menuju bebatuan yang cocok. Tempat ini biasanya berupa bebatuan-pasir yang berporos (berlubang- lubang kecil) atau juga batu kapur dan patahan yang terbentuk dari aktifitas gunung berapi bisa berpeluang menyimpan minyak. Yang paling penting adalah bebatuan tempat tersimpannya minyak ini, paling tidak bagian atasnya, tertutup lapisan bebatuan kedap. Minyak dan gas ini biasanya berada dalam tekanan dan akan keluar ke permukaan bumi, apakah dikarenakan pergerakan alami sebagian lapisan permukaan bumi atau dengan penetrasi pengeboran. Bila tekanan cukup tinggi, maka minyak dan gas akan keluar ke permukaan dengan sendirinya, tetapi jika tekanan tak cukup maka diperlukan pompa untuk mengeluarkannya.

Untuk membentuk suatu Undang-Undang (UU) dibutuhkan suatu proses yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). Demikian juga halnya dalam membentuk Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Bumi (RUU

Proses pertama yang harus dilakukan dalam membentuk UU yaitu perencanaan. Berdasarkan Pasal 16 UU P3, perencanaan penyusunan UU dilakukan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Penyusunan Prolegnas dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR) dan Pemerintah. Prolegnas tersebut ditetapkan untuk jangka menengah dan tahunan berdasarkan skala prioritas pembentukan Rancangan Undang-Undang (RUU).

Dalam Prolegnas Tahun 2010-2014 yang ditetapkan dengan Keputusan DPR RI Nomor 02G/DPR RI/II/2010-2011 pada tanggal 14 Desember 2010, RUU Migas masuk dalam daftar RUU Prolegnas jangka menengah (untuk jangka waktu 5 tahun).

Suatu RUU untuk dapat dimasukkan dalam daftar RUU Prolegnas harus mempunyai dasar pertimbangan mengapa RUU tersebut perlu dibentuk. Masuknya RUU Migas dalam Prolegnas Tahun 2010-2014 dengan dasar pertimbangan antara lain:

1. Adanya Putusan

21 Desember 2004, yang telah membatalkan Pasal 12 ayat (3) sepanjang mengenai kata-kata “diberi wewenang”, Pasal 22 ayat (1) sepanjang mengenai kata-kata “paling banyak”, serta Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3) Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Selain Putusan MK Nomor 002/PUU-I/2003, juga terdapat Putusan MK Nomor 20/PUU-V/2007 tanggal 17 Desember 2007 tetapi dalam Putusan MK ini dinyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima karena

para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing). Berdasarkan Putusan MK Nomor 002/PUU-I/2003 tersebut terhadap UU Migas diperlukan suatu perubahan, khususnya terhadap pasal-pasal yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat serta pasal-pasal terkait yang memiliki implikasi dengan perubahan pasal-pasal tersebut.

2. Dasar pertimbangan lain yaitu dengan adanya rekomendasi Panitia Angket DPR RI Periode 2004-2009 tentang Kebijakan Pemerintah Menaikan Harga Bahan Bakar Panitia Angket BBM DPR RI yang disampaikan dalam Rapat Paripurna tanggal 28 September 2009 memberikan rekomendasi antara lain mendesak Pemerintah dan/atau DPR RI untuk segera mengajukan RUU Migas yang baru menggantikan UU Migas dan peraturan pelaksanaannya. Dengan telah dibatalkannya sejumlah pasal dalam UU Migas oleh MK, UU Migas tidak lagi memadai dijadikan landasan yuridis kebijakan migas nasional. RUU Migas yang baru didasarkan atas pola pikir (mindset) terpenuhinya ketahanan energi nasional.

Dengan adanya Prolegnas Tahun 2010-2014 disusunlah Prolegnas RUU prioritas tahunan sebagai pelaksanaan Prolegnas jangka menengah. Secara berturut- turut mulai dari tahun 2010, 2011, 2012, dan 2013, RUU Migas masuk dalam Prolegnas RUU prioritas setiap tahunnya dengan keterangan bahwa Naskah Akademik (NA) dan draft RUU disiapkan oleh DPR dalam hal ini oleh

RUU Prioritas Tahun 2014, yang disetujui dalam rapat paripurna DPR tanggal 17 Desember 2013. Meskipun telah masuk dalam Prolegnas prioritas setiap tahunnya, dalam perjalanannya target untuk menyelesaikan RUU Migas sesuai dengan Prolegnas tahunan belum juga dapat diselesaikan, masih banyak proses yang harus dilalui dalam pembentukan RUU tersebut.

Berawal dari tahun 2010 sesuai dengan amanat Prolegnas prioritas Tahun 2010, DPR dalam hal ini Komisi VII DPR telah memulai proses selanjutnya setelah proses perencanaan yaitu penyusunan. Proses penyusunan ini dilakukan dengan didukung oleh Tim Sekretariat Jenderal DPR yang menyiapkan konsep awal NA dan draf awal RUU Migas. Tetapi sampai akhir tahun 2010, RUU ini masih belum selesai. Tahun 2011, konsep awal RUU tersebut mulai dibahas di internal Komisi VII DPR dengan memperhatikan masukan dari Fraksi-fraksi di DPR dan masukan dari berbagai stakeholders yang terkait.

Di tengah proses penyusunan dan pembahasan internal RUU Migas di Komisi VII DPR, tanggal 13 November 2012 lahir Putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012, yang menyatakan bahwa beberapa pasal dan penjelasan yang berkaitan dengan badan pelaksana bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pasca Putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012, seharusnya dapat mendesak DPR dalam hal ini Komisi VII DPR untuk segera menyelesaikan proses penyusunan RUU Migas.

Mengawali tahun 2014 ini, RUU Migas telah memasuki proses pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU (proses harmonisasi) yang dikoordinasikan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR. Masih

panjang proses yang harus dilalui dalam pembentukan RUU ini, apabila proses harmonisasi telah selesai dan RUU Migas telah ditetapkan dalam rapat paripurna sebagai RUU dari DPR maka proses selanjutnya yang akan dilakukan yaitu pembahasan.

Pembahasan RUU dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi. Pembahasan RUU dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan. Dua tingkat pembicaraan yaitu:

1. Pembicaraan tingkat I dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Baleg, rapat Badan Anggaran, atau rapat Panitia Khusus; dan

2. Pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna.

Pembicaraan tingkat I dilakukan dengan kegiatan yaitu pengantar musyawarah, pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM), dan penyampaian pendapat mini. DIM diajukan oleh:

1. Presiden, apabila RUU berasal dari DPR; atau 2. DPR, apabila RUU berasal dari Presiden.

Dalam Peraturan DPR tentang Tata Tertib DPR (Tatib DPR), Pembicaraan Tingkat I dilakukan dalam rapat kerja, rapat panitia kerja, rapat tim perumus/tim kecil, dan/atau rapat tim sinkronisasi.

Pembicaraan tingkat II merupakan pengambilan keputusan dalam rapat paripurna dengan kegiatan penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil pembicaraan tingkat I, pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota secara lisan yang diminta oleh

pimpinan rapat paripurna, dan penyampaian pendapat akhir Presiden yang dilakukan oleh menteri yang ditugasi.

Proses pembahasan RUU berdasarkan Tatib DPR, dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) kali masa sidang dan dijadwalkan oleh Badan Musyawarah serta dapat diperpanjang oleh Badan Musyawarah sesuai dengan permintaan tertulis pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi, pimpinan Baleg, atau pimpinan panitia khusus, untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) kali masa sidang. Perpanjangan tersebut diberikan berdasarkan pertimbangan materi muatan RUU yang bersifat kompleks dengan jumlah pasal yang banyak serta beban tugas dari komisi, gabungan komisi, Baleg, atau panitia khusus. Pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi, pimpinan Baleg, dan pimpinan panitia khusus memberikan laporan perkembangan pembahasan RUU kepada Badan Musyawarah paling sedikit 2 (dua) kali dalam 1 (satu) masa sidang dan tembusan kepada Baleg.

Terkait masa sidang: “Tahun Sidang dibagi dalam 4 (empat) Masa Persidangan meliputi Masa Sidang dan Masa Reses. Masa Sidang adalah masa dimana DPR melakukan kegiatan terutama di dalam gedung DPR. Masa Reses adalah masa dimana DPR melakukan kegiatan di luar Masa Sidang, terutama diluar gedung DPR untuk melaksanakan kunjungan kerja, baik yang dilakukan oleh Anggota secara perseorangan maupun secara berkelompok. Masa sidang kurang lebih berkisar antara 1 bulan-2 bulan.”

Setelah dilakukan pembahasan dan mendapatkan persetujuan bersama dari DPR dan Presiden, selanjutnya dilakukan pengesahan. RUU yang telah disetujui bersama tersebut disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan

menjadi Undang-Undang. Penyampaian RUU tersebut dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. RUU disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak RUU tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden. Dalam hal RUU tersebut tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak RUU tersebut disetujui bersama, RUU tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan.

Proses selanjutnya setelah pengesahan yaitu pengundangan. Dalam Pasal 81 UU P3 diatur bahwa agar setiap orang mengetahuinya maka Undang-Undang diundangkan dan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan untuk penjelasannya dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia. Pengundangan Undang-Undang dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dilaksanakan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Berdasarkan proses pembentukan RUU di atas, pembentukan RUU Migas masih harus melewati beberapa tahap yaitu menyelesaikan harmonisasi di Baleg dan penetapan di rapat paripurna DPR sebagai RUU dari DPR, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan. Dengan adanya Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2014 yang merupakan rencana legislasi terakhir DPR periode 2009-2014 seharusnya dapat memacu dan mendorong pembentuk UU untuk segera menyelesaikannya. Mengingat, masa bakti DPR periode 2009-2014 tersisa kurang dari satu tahun sehingga di tahun pemilu atau politik ini perlu ada langkah yang antisipatif bagi DPR dan pemerintah dalam menyelesaikan RUU tersebut.

Dokumen terkait