• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. METODE PENELITIAN

5.3. Penerimaan Pemerintah

Penerimaan pemerintah meliputi tiga komposisi penerimaan utama yang penting yakni, penerimaan minyak dan gas, penerimaan domestik tanpa minyak (disebut non oil domestic revenue/NODR [lihat Arnt, 1973; Emmerson, 1988]), dan bantuan luar negeri. Dengan mengkonversi ke dalam sistem I-account (Hutahaean

et. al., 2002; dan Djojosubroto, 2004) maka komposisi penerimaan berasal dari: (1) minyak dan gas, (2) Pajak ((a) pajak dalam negeri meliputi pajak penghasilan/PPh, dan pajak tidak langsung/PPn, (b) pajak perdagangan internasional, dan (c) pajak lain-lain), (3) Penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dan (4) Hibah. Sumbangan minyak pada awal tahun 1970an sekitar 10-20% dari penerimaan pemerintah, dari penerimaan domestik tanpa minyak sebesar 50-60% sedangkan bantuan luar negeri berkisar 25-30%. Walaupun sumbangan dari minyak sempat meningkat dua kali lipat pada pertengahan periode 1970an hingga pertengahan periode 1980an, namun kemudian porsinya menurun seiring dengan peningkatan penerimaan non migas.

1

Diskusi Pakar dengan Dr.Ir.Endah Murniningtyas, M.Sc (Direktur Penanggulangan Kemiskinan yang sebelumnya Direktur Pangan dan Pertanian BAPPENAS), 21 Pebruari 2008.

Sehingga dalam penelitian ini, analisis dikonsentrasikan pada penerimaan non migas, utamanya pajak dan utang pemerintah yang cukup mewarnai penerimaan pemerintah di akhir periode 1990an dan 2000an.

Pada Gambar 10 diketahui, mulai tahun 1974 penerimaan dari minyak melampaui penerimaan pajak (dipicu oleh oil boom yang dimulai tahun 1973). Hal itu terjadi sampai dengan tahun 1985. Mulai tahun 1986 dan tahun-tahun berikutnya, penerimaan dari pajak lebih dominan. Ini menunjukan sisi keberhasilan reformasi pajak yang dimulai tahun 1980, 1997 dan revitalisasi perpajakan mulai tahun 2000 (Usman, 2004; Bawazier, 2004). Pasca tahun 2000 sampai dengan 2005 sumbangan penerimaan dari pajak meningkat drastis pada situasi penerimaan dari minyak turun mulai tahun 2001. Penerimaan dari pajak sempat menurun pada saat krisis moneter tahun 1998 sampai tahun 2000. Penerimaan lain-lain (termasuk hibah) juga menunjukkan kenaikan berarti sejak tahun 1997; secara konsisten naik tajam di tahun 2003 sampai tahun 2005. Dua sumber ini merupakan penopang penting dalam penerimaan setelah krisis moneter tahun 1998. Temuan ini sejalan dengan studi Hutahaean, et. al. (2002) bahwa, kenaikan Tax Ratio (pangsa pajak total terhadap PDB) yang meningkat konsisten rata-rata 8.55 % (1970-80), menjadi 9.54 % (1981-90), dan 12.26 % sampai pertengahan 1991-2000. Tax ratio periode 1995-2005 meningkat dua kali, rata-rata dari studi ini sebesar 39.77 %.

Kesimpulan dari uraian di atas adalah bahwa mulai tahun 1986 sumber penerimaan dari pajak semakin dominan dan penting, dengan laju peningkatan tax ratio yang tajam setelah periode reformasi pajak 1980, 1997 dan revitalisasi perpajakan tahun 2000.

5.3.1. Pajak

Jumlah bantuan luar negeri dan penerimaan migas yang cukup besar mulai periode 1970an sampai pertengahan 1980an rupa-rupanya membawa dampak tidak baik terhadap penerimaan domestik tanpa minyak. Studi Hill (1996) menemukan bahwa keasyikan memperoleh kemudahan bantuan luar negeri dan limpahan boom

minyak selama pertumbuhan tinggi periode 1970an telah mempengaruhi rezim fiskal menjadi lamban. Administrasi yang kurang baik, pengumpulan pajak yang tidak efisien sehingga penerimaan dari pajak dalam PDB masih jauh dari kemampuan yang sebenarnya.

Reformasi perpajakan dimulai tahun 1980an terutama untuk mengoptimalkan pemungutan pajak-pajak bukan minyak dan pajak tidak langsung (PPn). Studi Gillis (1985) menemukan bahwa sampai periode 1980an kondisi perpajakan masih tidak produktif dalam penerimaan, tidak efektif dalam pendistribusi pendapatan, sangat mudah terkena manipulasi dalam pelaksanaan dan administrasi serta penuh dengan godaan inefisiensi dan pemborosan.

Selanjutnya; secara khusus diuraikan keragaan kinerja pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPn). Sebagaimana disajikan pada Gambar 11 dapat diketahui, bahwa dengan reformasi perpajakan tahun 1980an, pada pertengahan periode 1981-85 mulai terjadi peningkatan kinerja penerimaan PPh, jika diperbandingkan dengan PDB terjadi peningkatan lebih besar (1.03%) dari periode sebelumnya.

Penerimaan Pemerintah Pusat 0 100000 200000 300000 400000 500000 600000 Tahun Pener i maan 360 442 644 1020 1832 2300 2968 3634 4378 7050 10406 13763 12815 15511 18724 20347 21324 24781 24088 29093 39566 42415 50645 56318 69402 80427 90298 113882 157412 198673 205335 300599 298528 340928 403105 493914

Pener i maan Lai n-l ai n 28 42 88 102 145 169 180 242 303 541 179 1550 397 1078 2819 1094 4173 3978 1084 353 20 830 3193 205 2984 7413 2668 1607 8501 6980 29371 34917 27570 30590 68098 131731

Pener i maan Paj ak Total 232 260 326 536 730 883 1152 1443 1766 2250 3207 3585 4248 4913 5475 8108 9803 10756 13477 17488 21834 26546 32122 41289 50875 56471 67493 81716 117651 145390 116346 185541 210954 254142 267784 287346

Pener i maan Mi nyak Gas 99 141 230 382 957 1248 1635 1949 2309 4260 7020 8628 8170 9520 10430 11145 7348 10047 9527 11252 17712 15039 15330 14824 15543 16543 20137 30559 41254 56303 59618 80141 60004 56196 67223

1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004

74837 2005

Krisis Moneter

Gambar 10. Komposisi Penerimaan Pemerintah Pusat Sumber: IMF (Juli, 2007), BPS (1970-2006), diolah

Peningkatan berlanjut sampai periode 1986-90 (1.95%), periode 1991-95 menjadi 4.52%. Periode berikutnya kembali meningkat terutama pada tahun 2000-5 (27.03%) setelah dilakukan revitalisasi perpajakan pada tahun 2000. Kenaikan penerimaan PPh yang konsisten juga terhadap total penerimaan meskipun lajunya sedikit menurun pada periode 1996-2000. Terhadap penerimaan total pajak juga meningkat meskipun terjadi penurunan laju peningkatan pada periode 1986-90. Periode selanjutnya sampai 2000-5 terjadi peningkatan tajam masing-masing 33.60% terhadap total penerimaan dan sebesar 51.10% terhadap total pajak. Ini artinya, reformasi perpajakan pada tahun 1980an dan revitalisasi pajak tahun 2000 telah mampu meningkatkan penerimaan pajak PPh.

Persentase PPh Terhadap PDB, Penerimaan Total, dan Pajak Total

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 Tahun Pe rs e n

% Terhadap Penerimaan Total 11.52 12.21 11.33 16.57 25.40 26.81 33.60

% Terhadap Pajak Total 25.34 33.75 35.98 31.37 37.09 39.19 51.10

% Terhadap PDB 0.18 0.50 1.03 1.95 4.52 10.68 27.03

1970-1975 1976-1980 1981-1985 1986-1990 1991-1995 1996-2000 2001-2005

Sumber: IMF (Juli 2007), PPh dari BPS (1970-2006) (Lampiran 1), diolah Gambar 11. Pangsa PPh terhadap PDB, Total Penerimaan, dan Total Pajak

Pada Gambar 12 dapat dilihat bahwa reformasi perpajakan pada tahun 1980an dan revitalisasi pajak tahun 2000 juga mampu meningkatkan penerimaan pajak PPn. Persentase penerimaan PPn terhadap PDB, total penerimaan dan total pajak pada periode 1986-90 meningkat lebih besar dibandingkan periode

sebelumnya, masing-masing 1.56%, 25.67%, dan 13.39%. Peningkatan itu konsisten sampai periode 2000-5 meskipun sedikit menurun lajunya pada periode 1996-2000 baik terhadap penerimaan maupun pajak total.

Persentase PPn Terhadap PDB, Penerimaan Total, dan Pajak Total

0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00 Tahun Pers en

% Terhadap Penerimaan Total 5.19 4.45 4.65 13.39 18.37 17.36 21.06 % Terhadap Pajak Total 11.03 12.07 14.21 25.67 26.84 25.20 31.86

% Terhadap PDB 0.07 0.17 0.44 1.56 3.25 6.64 16.87

1970-1975 1976-1980 1981-1985 1986-1990 1991-1995 1996-2000 2001-2005

Sumber: IMF (Juli, 2007), PPn dari BPS (1970-2006) (Lampiran 1), diolah Gambar 12. Pangsa PPn terhadap PDB, Total Penerimaan, dan Total Pajak

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa reformasi perpajakan tahun 1980an dan revitalisasi perpajakan tahun 2000 telah meningkatkan penerimaan PPh dan PPn secara berarti. Peningkatan yang tinggi terjadi selama 5 tahun setelah reformasi dan revitalisasi perpajakan dilakukan, utamanya terjadi pada PPn.

5.3.2. Utang Pemerintah

Utang pemerintah terdiri dari utang luar negeri dan dalam negeri. Menurut studi Hill (1996), utang Indonesia pada awal tahun 1970an bahkan saat terjadi oil boom sudah cukup banyak. Studi Bafadal (2005) melaporkan, mencapai 2.38

milyar US$. Akumulasi utang luar negeri semakin besar setelah terjadi penurunan harga minyak pada awal periode 1980an baik jumlah utang maupun proporsinya terhadap PDB, bahkan berlipat 2 antara tahun 1980 sampai tahun 1986 dan masa krisis moneter tahun 2000 dengan rata-rata utang per tahun mencapai 5 milyar US$. Hasil studi tersebut terlihat juga pada Gambar 13, dimana periode 1981-85 adalah masa kenaikan porsi utang luar negeri yang pesat terhadap PDB (36.94%) dan terhadap total penerimaan (394.68%). Jumlah utang luar negeri sempat mengalami penurunan terhadap total penerimaan pada periode 1986-91 disebabkan oleh kenaikan ekspor yang signifikan pada periode tersebut (Hill, 1996).

Persentase Utang Terhadap PDB dan Penerimaan Total

0.00 200.00 400.00 600.00 800.00 1000.00 1200.00 1400.00 Tahun Pe rs e n

% Terhadap Penerimaan Total 9.39 60.34 394.68 889.75 721.24 1208.29 1285.99

% Terhadap PDB 0.09 4.10 36.94 102.10 126.51 553.94 982.57

1970-1975 1976-1980 1981-1985 1986-1990 1991-1995 1996-2000 2001-2005

Sumber: IMF (Juli, 2007), utang dari BPS (1970-2006) (Lampiran 1), diolah Gambar 13. Pangsa Utang terhadap PDB, dan Total Penerimaan

Kenaikan porsi utang yang cukup tajam terjadi lagi mulai periode 1996- 2000 (553.94% terhadap PDB dan 1 223.89% terhadap total penerimaan) dan konsisten sampai periode 2001-2005 (982.57% terhadap PDB dan 1 285.99% terhadap total penerimaan). Dua periode ini merupakan gambaran keterpurukan

perekonomian makro yang berakhir dengan krisis moneter dan multi dimensi yang dimulai tahun 1997. Porsi utang luar negeri sedikit menurun lajunya terhadap total penerimaan setelah pemerintah melakukan percepatan pelunasan sebagian besar utangnya yang dilakukan pada tahun 2004. Menurut Boediono (2005), pada rasio utang terhadap PDB di atas 60% stimulus fiskal secara langsung bagi perekonomian sangat berat dilakukan.

Pendalaman komposisi utang disajikan pada Tabel 16. Dari tabel tersebut diketahui bahwa pertumbuhan utang domestik selama tahun 1970-2005 rata-rata 305.94%, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan utang luar negeri sebesar 22.57%. Kenaikan tertinggi utang domestik terjadi pada saat krisis (1996-2000) sebesar 1 903.62%. Pada saat itu pemerintah menerbitkan surat utang negara (SUN) yang petama kali tahun 1999 sebagai awal pertama pemerintah menempuh utang domestik untuk pembangunan. Begitu pula pertumbuhan tertinggi utang luar negeri terjadi pada periode yang sama sebesar 46.96%. Artinya, krisis moneter telah mengakibatkan peningkatan utang pemerintah yang luar biasa baik domestik maupun luar negeri.

Tabel 16. Rata-rata Pertumbuhan Utang Domestik dan Luar Negeri

(%)

Tahun Pertumbuhan Utang

Domestik

Pertumbuhan Utang Luar Negeri 1970-1975 0.52 21.90 1976-1980 31.37 21.94 1981-1985 159.03 41.57 1986-1990 29.23 12.27 1991-1995 17.12 7.89 1996-2000 1903.62 46.96 2001-2005 0.72 5.46

Penggunaan utang pemerintah untuk pembiayaan pembangunan (utang produktif) dan untuk pembiayaan rutin (utang tidak produktif) (Wardana, 2004). Dari Tabel 17 diketahui bahwa pada awal orde baru sampai tahun 1980 porsi pengeluaran pemerintah baik total, pembangunan, rutin dan untuk sektor pertanian relatif besar dibandingkan dengan total utang. Ini artinya posisi utang masih sangat kecil dibandingkan dengan jenis pembiayaan tersebut. Periode berikutnya mulai tahun 1981 sampai 2005 porsi semua pengeluaran tersebut semakin kecil, artinya jika dibandingkan dengan jumlah utang yang semakin besar pangsa untuk pengeluaran total, pembangunan, rutin dan sektor pertanian malah menurun. Pangsa pengeluaran pembangunan dari total utang selama periode analisis rata-rata lebih kecil (1 396.74%) dibandingkan dengan pengeluaran rutin (1 439.52%). Maknanya adalah utang pemerintah selama ini indikasinya masuk kepada utang tidak produktif.

Tabel 17. Porsi Pengeluaran Total, Pengeluaran Pembangunan, Pengeluaran Rutin, dan Pengeluaran Sektor Pertanian terhadap Utang

(%) Tahun Pengeluaran Total Pengeluaran Pembangunan Pengeluaran Rutin Pengeluaran Sektor Pertanian 1970-1975 4 108.89 2 122.84 2 589.32 348.98 1976-1980 13 118.47 7 618.11 7 450.69 1 305.90 1981-1985 27.80 15.05 9.46 2.63 1986-1990 12.63 5.13 5.19 0.83 1991-1995 13.04 6.53 8.05 0.61 1996-2000 11.51 4.25 11.22 0.52 2001-2005 10.06 5.27 2.73 0.17

Sumber: BPS (1970-2006), Departemen Keuangan (2001), diolah

Jika dilihat pangsa pengeluaran untuk sektor pertanian yang semakin menurun konsisten, berarti semakin besar utang pemerintah indikasinya justru alokasi untuk belanja pertanian menurun atau dikatakan utang cenderung bukan

untuk sektor pertanian. Hal itu diperkuat dengan data alokasi pinjaman Bank Dunia per sektor sebagaimana disajikan pada Tabel 18, untuk pertanian selalu menurun sejak periode 1969-98 dari 34.8% manjadi 9.5% jika dibandingkan dengan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, kependudukan, gizi, dan terutama perkotaan.

Tabel 18. Alokasi Pinjaman Bank Dunia per Sektor

Sektor US$ juta 1969-98 % 1969-98 % 1969-79 % 1980-90 % 1990-98

Infrastruktur (listrik, migas, telkom, transportasi) 10,196 40.2 36.9 34.3 46.9

Pertanian 4,880 19.2 34.8 24.7 9.5

Pendidikan, kesehatan, kependudukan, gizi 3,301 13.0 7.3 11.6 16.0 Perkotaan, sanitasi dan air bersih 2,624 10.4 6.1 6.6 15.1

Keuangan 1,818 7.2 6.6 10.4 4.2 Penyesuaian 1,200 4.7 - 8.7 2.2 Lain-lain 1,351 5.3 8.3 3.7 6.1 Total 25,370 100.0 100.0 100.0 100.0 Sumber: Hutagalung (2004) 5.3.3. Defisit Anggaran

Sebagaimana dijelaskan pada bagian awal, bahwa selama periode tahun 1970 sampai krisis moneter 1998, pemerintah (orde baru) telah menerapkan prinsip anggaran berimbang (metode T-account). Hal itu sangat nampak pada keseimbangan neraca anggaran yang selalu terwujud. Namun hasil studi Subagjo (2005) upaya penyeimbangan (memperkecil defisit) sama halnya dengan tindakan pemerintah melakukan kontraksi atau restriksi fiskal yang mengakibatkan penurunan pertumbuhan ekonomi, dari potensi pertumbuhan yang bisa dicapai.

Penerapan metode I-account yang efektif mulai tahun 1998, telah memunculkan defisit dan surplus yang dinamis, dan cenderung semakin membesar selama periode analisis (lihat Lampiran 1). Pada situasi ketidakberimbangan

ekonomi, pemerintahan harus didukung oleh keberanian menempuh defisit anggaran (Boediono, 1990).

Akumulasi dinamika defisit dan surplus per periode disajikan pada Gambar 14. Pangsa defisit anggaran terhadap penerimaan total, PDB dan pengeluaran total terbesar pada periode 1976-80 masing-masing sebesar 16.63%, 0.53% dan 15.38%. Periode selanjutnya menurun sampai periode 1991-95. Sejak krisis ekonomi (mulai periode 1996-2000) pangsa defisit meningkat konsisten terutama terhadap PDB. Sedangkan terhadap penerimaan pemerintah dan pengeluaran total menurun mulai tahun 2000 sampai dengan 2005 (lihat Lampiran 1).

Persentase Defisit Terhadap Penerimaan Total, PDB, dan Pengeluaran Total

-20.00 -15.00 -10.00 -5.00 0.00 5.00 10.00 Tahun Pe rs e n

% Terhadap Penerimaan Total 1.89 -16.63 7.63 6.01 0.30 5.25 4.49

% Terhadap PBD 0.02 -0.53 0.67 0.59 -0.07 2.96 2.95

% Terhadap Pengeluaran Total 1.64 -15.38 7.40 4.98 -0.13 4.41 3.94

1970-1975 1976-1980 1981-1985 1986-1990 1991-1995 1996-2000 2001-2005

Sumber: IMF (Juli, 2007), defisit dari BPS (1970-2006) (Lampiran 1), diolah Gambar 14. Pangsa Defisit terhadap Penerimaan Total , PDB, dan

Pengeluaran Total

Pada Tabel 19 diketahui pada saat implementasi metode I-account dimana defisit dipandang sebagai gap fiskal yang harus dikelola, sejak tahun 2001 defisit terhadap PDB terus menurun (3% menjadi 1.8%) menunjukkan kemampuan APBN yang aman (Djojosubroto, 2004) dan keberlanjutan fiskal (Subagjo, 2005).

Tabel 19. Pembiayaan Defisit Anggaran 2001 2002 2003 Uraian APBN (T Rp) PDB (%) APBN (T Rp) PDB (%) APBN (T Rp) PDB (%)

Belanja Pemerintah Pusat 260.5 18.0 228.6 14.2 253.7 13.1 Pembiayan Dalam Negeri 30.2 2.1 19.6 1.2 22.5 1.2

a. Perbankan -1.2 -0.1 -5.7 -0.4 8.5 0.4

b. Non-Perbankan 31.4 2.2 25.3 1.6 14.0 0.7

Pembiayaan Luar Negeri 10.3 0.7 7.4 0.5 11.9 0.6 a. Penarikan pinjaman luar negeri (bruto) 26.2 1.8 19.7 1.2 29.2 1.5 b. Pembayaran cicilan pokok utang LN -15.9 -1.1 -12.3 -0.8 -17.3 -0.9

Jumlah 40.5 2.8 27.0 1.7 34.4 1.8

Keterangan: Angka positif = membiayai, angka negatif = membelanjakan defisit Sumber: Djojosubroto (2004)

Tabel tersebut juga menunjukkan bahwa pembiayaan defisit dari sumber dalam negeri lebih besar (30.2% turun menjadi 1.2%) dibandingkan dari luar negeri (10.3% turun menjadi 0.6%). Sumber pembiayaan defisit dari dalam negeri

netto berasal dari perbankan (baru positif pada tahun 2003) dan non-perbankan. Pembiayaan defisit dengan pinjaman luar negeri akan berpengaruh pada neraca pembayaran khususnya pada lalu lintas modal pemerintah. Semakin besar jumlah realisasi pinjaman luar negeri, lalu lintas modal pemerintah cenderung positif.

Dokumen terkait