• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Penetrasi Obat Melalui Kulit

Penetrasi melintasi stratum korneum dapat terjadi karena adanya proses difusi melalui dua mekanisme, yaitu :

a. Absorpsi transepidermal

Jalur absorpsi transepidermal merupakan jalur difusi melalui stratum korneum yang terjadi melalui dua jalur, yaitu jalur transelular yang berarti jalur melalui protein di dalam sel dan melewati daerah yang kaya akan lipid, dan jalur paraselular yang berarti jalur melalui ruang antar sel. Penetrasi transepidermal berlangsung melalui dua tahap. Pertama, pelepasan obat dari pembawa ke sratum korneum, tergantung koefisien partisi obat dalam pembawa dan stratum korneum. Kedua, difusi melalui epidermis dan dermis dibantu oleh aliran pembuluh darah dalam lapisan dermis. (Anggraeni, 2008)

b. Absorpsi transappendageal

Jalur absorpsi transappendageal merupakan jalur masuknya obat melalui folikel rambut dan kelenjar keringat disebabkan karena adanya pori-pori di antaranya, sehingga memungkinkan obat berpenetrasi. Penetrasi obat melalui jalur transepidermal lebih baik daripada jalur transappendageal, karena luas permukaan pada jalur transappendageal lebih kecil (Anggraeni, 2008).

Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi perkutan adalah sifat-sifat fisikokimia dari obat, sifat pembawa yang digunakan, dan kondisi fisiologi kulit. Dari sifat-sifat tersebut, dapat diuraikan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi absorpsi perkutan antara lain:

1) Harga koefisien partisi obat yang tergantung dari kelarutannya dalam minyak dan air.

2) Kondisi pH akan mempengaruhi tingkat disosiasi serta kelarutan obat yang lipofil.

4) Profil pelepasan obat dari pembawanya, bergantung pada afinitas zat aktif terhadap pembawa, kelarutan zat aktif dalam pembawa, dan pH pembawa. 5) Komposisi sistem tempat pemberian obat, yang ditentukan dari permeabilitas

stratum korneum yang disebabkan hidrasi dan perubahan struktur lipid. 6) Peningkatan suhu kulit dapat menyebabkan perubahan difusi yang disebabkan

oleh peningkatan kelarutan obat.

7) Pembawa yang dapat meningkatkan kelembaban kulit akan mendorong terjadi absorpsi obat melalui kulit.

8) Waktu kontak obat dengan kulit.

9) Ketebalan kulit. Absorpsi perkutan lebih besar jika obat digunakan pada kulit dengan lapisan tanduk yang tipis daripada yang tebal.

10) Bahan-bahan peningkat penetrasi (enhancer) dapat meningkatkan permeabilitas kulit dengan cara mengubah sifat fisika kimia stratum korneum sehingga mengurangi daya tahan difusi. Contohnya DMSO, DMF, DMA, urea, dan lain-lain.

11) Adanya sirkulasi darah in situ pada kulit akan meningkatkan absorpsi obat (Anggraeni, 2008).

Gambar 2.4 Rute penetrasi obat melalui kulit. (1) Rute transepidermal; (2)&(3) Rute transappendageal.

2.5 Sediaan Salep

Salep merupakan sediaan yang diaplikasikan secara eksternal, tetapi berbeda dengan krim karena basis salep umumnya berminyak. Basisnya adalah anhidrat yang dapat bercampur dengan sekresi kulit. Salep biasanya mengandung suatu obat atau campuran obat terlarut atau terdispersi dalam basisnya. (Marriot, John Fet al., 2010)

Menurut British Pharmacopoeia: “ Salep diformulasikan untuk sediaan

yang tidak dapat larut, larut atau dapat diemulsikan dengan sekresi kulit. Salep hidrofobik dan salep pengemulsi-air dapat diaplikasikan pada kulit atau selaput lendir untuk memperoleh efek emolien, pelindung, tujuan terapeutik atau profilaksis sesuai tingkat oklusi yang diinginkan. Salep hidrofilik dapat bercampur dengan sekresi kulit namun sifatnya kurang emolien (Marriot, John Fet al., 2010). Terdapat 4 peraturan dalam pembuatan salep menurut F. Van Duin, yaitu: a. Peraturan salep pertama

“Zat-zat yang dapat larut dalam campuran lemak dilarutkan ke dalamnya, jika

perlu dengan pemanasan.”

b. Peraturan salep kedua

“Jika tidak ada peraturan lain, bahan-bahan yang larut dalam air dilarutkan terlebih dahulu dalam air asalkan jumlah air yang digunakan dapat diserap seluruhnya oleh dasar salep dan jumlah air yang dipakai, dikurangi dari dasar salepnya.

c. Peraturan salep ketiga

“Bahan-bahan yang sukar larut atau hanya sebagian larut dalam minyak dan air harus diserbukkan terlebih dahulu, kemudian diayak dengan pengayak No.

60.”

d. Peraturan salep keempat

“Campuran salep yang dibuat dengan cara dicairkan harus digerus sampai

dingin.” (Bahan-bahan yang ikut dilebur, penimbangannya harus dilebihkan 10-20% untuk mencegah kekurangan bobot) (Syamsuni, H. 2002)

Metode pembuatan salep, diantaranya : a. Metode fusi

1) Pembuatannya harus dilebihkan karena akan terjadi ketertinggalan produk saat dipindahkan dalam wadah yang sesuai.

2) Tentukan titik leleh dari basis lemak kemudian dilelehkan atau dicairkan secara bersamaan. Proses pencairan diawali dengan basis yang memilki titik leleh tinggi, masing-masing basis harus mencair pada suhu serendah mungkin atau saat dimana campuran sudah mulai dingin.

3) Tambahkan bahan-bahan pada wadah diatas waterbath untuk menghindari pemanasan berlebih. Gunakan termometer untuk pemeriksaan suhu secara teratur.

4) Bahan-bahan yang ditambahkan ke dalam basis harus sesuai dengan suhu titik leleh masing-masing bahan. Aduk terus menerus sampai sediaan homogen. Pengadukan harus dilakukan secara perlahan untuk menghindari adanya udara berlebih yang dapat mempercepat pendinginan dan membuat sediaan menjadi kental (Marriot, John Fet al., 2010).

b. Penambahan zat aktif dalam bentuk padatan ke dalam dasar salep 1) Zat aktif yang larut dalam dasar salep

Zat aktif ditambahkan ke dalam dasar salep lemak pada temperatur yang sangat rendah dan pencampuran dilakukan sampai campuran tersebut dingin (Marriot, John Fet al., 2010).

2) Zat aktif yang tidak larut dalam dasar salep a) Serbuk kasar

Dasar salep yang sudah meleleh atau mengental dimasukkan ke dalam lumpang. Kemudian masukkan serbuk kasar dan gerus dengan cara levigasi sampai homogen. Kecepatan pengadukan harus dperhatikan untuk menghindari produk yang berpasir. Pengadukan

dilakukan sampai sediaan menjadi dingin (Marriot, John F et al., 2010).

b) Serbuk halus

Serbuk halus dicampurkan dengan cara triturasi. Masukkan dasar salep ke dalam lumpang dan ratakan untuk mencegah dasar salep masuk ke pori-pori lumpang. Kemudian tambahkan serbuk halus dan tambahkan dasar salep dengan cara “doubling-up” atau secara geometri. Penambahan secara geometri maksudnya adalah penambahan dasar salep yang jumlahnya sesuai dengan bobot yang terdapat dalam lumpang dilakukan secara perlahan-lahan dan bertahap. Kemudian campuran dicampurkan denga cara triturasi sampai homogeny (Marriot, John Fet al., 2010).

c. Penambahan zat aktif dalam bentuk cairan ke dalam dasar salep 1) Cairan yang tidak menguap atau cairan yang larut

Cairan yang dapat larut dapat dicampur dengan dasar salep minyak. Jika menggunakan dasar salep yang pre-prepared pencampuran dapat dikatakan sebagai cairan yang mudah menguap atau bercampur (Marriot, John Fet al., 2010).

2) Cairan yang mudah menguap atau cairan yang tidak larut

Cairan yang mudah menguap harus ditriturasi dengan bahan dasar salep dalam lumpang. Dasar salep dimasukkan ke dalam lumpang, kemudian tambahkan dasar salep lain secara geometri. Kemudian aduk hingga homogeny (Marriot, John Fet al., 2010).

2.6 Sediaan Krim

Krim adalah sediaan setengah padat yang berupa emulsi yang mengandung satu atau lebih bahan obat yang terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai dan mengandung air tidak kurang dari 60 %. (Syamsuni,H. 2002).

terdispersi dalam dasar yang sesuai. Istilah ini secara tradisional telah digunakan untuk sediaan setengah padat yang mempunyai konsentrasi relatif cair yang diformulasi sebagai emulsi air dalam minyak atau minyak dalam air. Sekarang ini batasan tersebut lebih diarahkan untuk produk yang terdiri dari emulsi minyak dalam air atau dispersi mikrokristal asam-asam lemak atau alkohol berantai panjang dalam air, yang dapat dicuci dengan air atau lebih ditujukan untuk penggunaan kosmetika dan estetika.

Fungsi krim adalah sebagai bahan pembawa substansi obat untuk pengobatan kulit, sebagai bahan pelumas untuk kulit, dan sebagai pelindung untuk kulit yaitu mencegah kontak permukaan kulit dengan larutan berair dan rangsangan kulit (Anief, 2000).

Menurut British Pharmacopoeia, “ Krim diformulasikan untuk sediaan yang dapat bercampur dengan sekresi kulit. Sediaan krim dapat diaplikasikan pada kulit atau membran mukosa untuk pelindung, efek terapeutik, atau profilaksis yang tidak membutuhkan efek oklusif”(Marriot, John Fet al., 2010).

Prinsip umum dalam preparasi sediaan krim, seperti sediaan emulsi dan yang lainnya, kebersihan merupakan hal yang penting. Spatula dan peralatan lainnya harus dibersihkan dengan IMS (Industrial Methylaed Spirits). IMS lebih baik daripada air suling karena cepat menguap dan tidak meninggalkan residu. Pembuatan krim harus dilebihkan karena pada proses pemindahan sediaan krim ke wadah akhir, ada kemungkinan tertinggalnya sediaan di tempat yang sebelumnya. Menentukan bahan yang larut dalam fase air atau yang larut dalam fase minyak. Larutkan bahan yang larut air dalam fase air. Lelehkan basis lemak dalam cawan evaporasi di atas waterbath dalam suhu serendah mungkin. Proses ini diawali dengan melelehkan basis yang memiliki titik leleh tinggi. Setelah itu didinginkan pada suhu 60°C (pemanasan yang berlebihan dapat mendenaturasi agen pengemulsi dan menghilangkan stabilitas produk). Zat-zat yang dapat larut dengan fase minyak harus diaduk sampai mencair. Suhu fase cair harus disesuaikan 60°C. Fase terdispersi kemudian ditambahkan ke dalam fase pendispersi pada suhu yang sama. Oleh karena itu, untuk produk minyak dalam air, maka minyak yang ditambahkan ke dalam air. Sedangkan untuk produk air dalam minyak, yang ditambahkan adalah air ke dalam minyak. Pengadukan harus

terus dilakukan tanpa adanya udara. Jangan mempercepat proses pendinginan karena akan menghasilkan produk yang buruk. (Marriot, John Fet al., 2010)

Syarat-syarat krim yang baik adalah :

a. Stabil selama dalam pemakaian pada suhu kamar dan kelembaban yang ada dalam kamar

b. Lunak yaitu semua zat dalam keadaan halus c. Seluruh produk homogen

d. Mudah dipakai

Pertimbangan yang terpenting bagi sediaan emulsi seperti krim di bidang farmasi dan kosmetika adalah stabilitas dari produk jadi. Menurut Anief (2000) ketidakstabilan emulsi dapat digolongkan menjadi :

a. Flokulasi ataucreaming

b. Koalesen atau pecahnya emulsi (breaking, cracing) c. Macam-macam perubahan fisika dan kimia

d. Inverse

Creamingadalah terpisahnya emulsi menjadi dua lapiasan, dimana lapisan yang satu mengandung butir-butir tetesan (fase terdispersi) lebih banyak dari pada lapisan yang lain.Creamingmerupakan proses bolak-balik, sedangkan pemecahan merupakan proses searah. Krim yang menggumpal bisa didispersikan kembali dengan mudah, dan dapat terbentuk kembali suatu campuran yang homogen dari suatu emulsi yang membentuk krim dengan pengocokan, karena bola-bola minyak masih dikelilingi oleh suatu lapisan pelindung dari zat pengemulsi. Jika terjadi pemecahan, pencampuran biasa tidak bisa mensuspensikan kembali bola-bola tersebut dalam suatu emulsi yang stabil (Martin, 1993).

Inversi adalah peristiwa berubahnya tipe emulsi dari tipe M/A menjadi A/M atau sebaliknya. Inverse dapat dipengaruhi oleh suhu, atau inverse merupakan fungsi suhu (Lachmanet. al, 1994).

Bahan-bahan umum yang biasa ditambahkan pada sediaan krim yaitu : Basis krim, emulsifying agent, stiffening agent, buffer, antioksidan, pengawet, penetrating agent,humektan dll.

Dokumen terkait