• Tidak ada hasil yang ditemukan

DEPA

ARUH M

POSISI M

TERHAD

ARTEME

INS

ETODE P

MEDIA TA

DAP PERT

(Piper re

ISM

A

EN AGRO

FAKULT

STITUT P

PEMUPUK

ANAM DE

TUMBUH

etrofractum

MAIL SAL

A24063520

ONOMI DA

TAS PERT

PERTANIA

2010

KAN DAN

ENGAN PE

HAN CABE

m Vahl.)

EH

0

AN HORT

TANIAN

AN BOGO

N KOMBI

ENGAPU

E JAWA

TIKULTU

OR

INASI

URAN

URA

 

Latar Belakang

 

Pengembangan tanaman yang berpotensi menjadi tanaman obat terus dilakukan. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh obat-obatan kimia menyebabkan kembalinya kesadaran masyarakat untuk terus menggunakan bahan-bahan dari alam. Sudah sejak lama masyarakat Indonesia mengenal dan memakai tanaman berkhasiat obat sebagai salah satu upaya dalam penanggulangan masalah kesehatan yang dihadapinya, jauh sebelum pelayanan kesehatan formal (Wijayakusuma et al., 1996). Syukur dan Hernani (2002) menyatakan bahwa prospek tanaman obat semakin menjanjikan karena ditambah dukungan sosial budaya masyarakat Indonesia yang masih kuat dalam pemanfaatan obat dan kosmetika tradisional.

Salah satu tanaman obat yang saat ini sedang dikembangkan adalah cabai jawa (Piper retrofractum Vahl.). Prospek pengembangan cabe jawa cukup cerah sejalan dengan perkembangan industri obat tradisional dan modern didukung pula oleh kecenderungan back to nature dimana kebutuhan obat-obat yang berasal dari alam meningkat (Januwati dan Yuhono, 2003). Tahun 2002 pasokan buah cabe jamu dalam negeri sebesar 5 557 ton dan yang terserap oleh industri obat dalam negeri sebanyak 3 731.84 ton, dan sisanya sebesar 1 795.16 ton diekspor ke berbagai negara Asia dan Eropa (Kemala et al. dalam Djauharia dan Rosman, 2008). Cabai jawa juga dikenal dengan cabai jamu. Cabe jamu merupakan salah satu tanaman obat yang sudah dimanfaatkan sejak zaman dahulu. Tanaman ini merupakan tanaman asli Indonesia termasuk dalam famili Piperaceae, yang mempunyai sekitar 10 genera dan lebih dari 1000 species (Djauhariya dan Rosman, 2008).

Pengembangan tanaman obat tidak jauh berbeda dengan pengembangan tanaman pada umumnya. Tanaman obat seperti cabai jawa juga membutuhkan tanah yang subur serta iklim yang sesuai. Rata-rata produksi cabe jamu kering hanya sekitar 1.48 ton/ha/tahun, padahal potensi produksi bisa mencapai 2.5 ton/ha/tahun. Rendahnya produktivitas ini terutama disebabkan oleh penerapan teknik budidaya yang belum berpedoman pada standar good agricultural practice

2008). Rendahnya produksi cabe jawa di Jawa Timur diduga oleh karena beberapa faktor, satu di antaranya adalah petani masih mempergunakan sistem pengelolaan yang belum intensif. Hal ini terlihat dari cara penanganannya mulai dari pemilihan bibit sampai pasca panen (Siswanto et al., 1997). Oleh karena itu aspek-aspek penting dalam teknik budidaya tidak boleh diabaikan. Salah satu aspek tersebut adalah pemupukan. Pupuk dalam pertanian modern merupakan hal yang penting untuk meningkatkan produksi. Foth (1984) mendefinisikan pupuk dalam arti luas adalah semua bahan yang ditambahkan ke dalam tanah untuk menyediakan unsur- unsur esensial bagi pertumbuhan tanaman. Kerugian yang dapat ditimbulkan apabila pengaplikasian pupuk tidak tepat antara lain pupuk terbuang percuma, tidak mencapai sasaran sehingga tidak efisien, dan kadar hara berkurang kualitasnya.

Cabe jawa dapat diperbanyak dengan menggunakan sulur panjat, sulur tanah, dan cabang buah. Cabe jawa yang diperbanyak dengan menggunakan sulur panjat dan sulur tanah menghasilkan jenis cabe jawa panjat sedangkan apabila menggunakan sulur buah maka akan menghasilkan jenis cabe jawa perdu. Penggunaan sulur buah untuk bibit jarang digunakan dalam penanaman dalam skala luas, karena produktivitasnya rendah meskipun cepat berbuah (Balittro, 2004).

  Penelitian-penelitian yang telah dilaksanakan sebelumnya adalah untuk mengetahui metode pemupukan yang tepat untuk cabe jawa panjat sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui metode pemupukan yang tepat untuk cabe jawa perdu. Kelebihan cabe jawa perdu yaitu tanaman lebih cepat berbuah dan tidak membutuhkan tiang panjat. Bibit dari sulur buah baik digunakan untuk tabulampot atau penanaman dalam pola TOGA di pekarangan (Balittro, 2004). Cabe jamu (cabe jawa) termasuk tanaman yang rakus hara, yaitu tanaman yang memerlukan unsur hara yang sangat banyak agar dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik (Djauhariya dan Rosman, 2008). Belum ada data kebutuhan hara untuk cabe jawa perdu, namun Wahid dalam Melati et al. (2009) mengemukakan bahwa lada perdu yang satu family dengan cabe jawa, sangat rakus hara dengan

kebutuhan pupuk lada perdu 600 kg NPKMg/tanaman/tahun karena sistem perakarannya yang dangkal.

Salah satu aspek dalam teknik budidaya cabe jawa adalah pembibitan yang memiliki peranan penting dalam penyediaan dan perbanyakan bibit tanaman. Kebun bibit harus memenuhi persyaratan teknis, iklim, dan tanah bagi pertumbuhan tanaman cabe jawa yaitu kebun bibit terawat dengan baik dan bebas dari berbagai serangan hama atau penyakit; dan kebun bibit berisi tanaman yang tumbuh sehat dan subur (Rukmana, 2003).

Pembibitan cabe jawa biasanya menggunakan polybag yang berisi media tanam dengan komposisi tertentu. Komposisi media tanam tersebut harus memberikan lingkungan tumbuh yang baik bagi pertumbuhan bibit cabe jawa. Ferdiansyah (2009) menyatakan bahwa komposisi media tanam perlu diketahui agar kelembaban media tanam terjaga dan bibit cabe jawa tidak terserang oleh penyakit busuk pangkal batang. Rukmana (2003) menyatakan bahwa penyakit busuk pangkal batang disebabkan oleh kondisi lingkungan yang terlalu lembab sehingga perlu dilakukan perbaikan drainase tanah. Pencegahan terjadinya serangan penyakit tersebut selama pembibitan dapat dilakukan dengan menjaga kelembaban media.

Komposisi media berpengaruh terhadap tanah untuk memodifikasi kondisi drainase atau aerasi tanah. Tanah yang berstruktur baik akan mempunyai kondisi drainase dan aerasi yang baik pula sehingga lebih memudahkan sistem perakaran tanaman untuk masuk ke dalam tanah dan mengabsorpsi hara dan air (Hanafiah, 2005). Struktur tanah yang buruk karena kandungan liat tinggi (tekstur berat) dan kadar bahan organik rendah dapat menyebabkan fungsi akar terganggu. Keadaan demikian menciptakan kondisi aerasi di daerah perakaran menjadi buruk, proses serapan hara terhambat, dan drainase buruk. Pada waktu musim hujan tanah bertekstur berat tidak mampu menyerap air dengan cepat dan pada musim kemarau mudah retak dan berbongkah sehingga dapat berakibat banyak akar tanaman yang putus (Usman et al. 1996).

Ketersediaan hara juga menjadi faktor penting selama pembibitan. Ketersediaan unsur hara tersebut salah satunya dipengaruhi oleh pH tanah. Secara umum pH ideal untuk tanaman adalah 6.5-7.0. Jenis tanah yang berada di sekitar

reaksi tanah masam sampai agak masam (pH H2O 4.5-6.5) dan kandungan unsur haranya rendah (Soepraptohardjo, 1961) sehingga untuk tanaman jenis tertentu memerlukan pengapuran supaya ketersediaan haranya dapat terpenuhi dengan baik.

Tiga lokasi sentra produksi cabe jawa (Madura, Lamongan, dan Lampung) memiliki kemiripan dalam tingkat kesuburan tanah terutama kemasaman tanah yang rendah (pH netral-tinggi, kandungan Al dan H yang sangat rendah), kandungan Ca yang tinggi-sangat tinggi, serta kejenuhan basa yang tinggi. Sifat fisik tanah juga memiliki kemiripan yaitu kadar liatnya yang rendah karena didominasi kadar debu (Madura dan Lampung) atau pasir (Lamongan) (Melati et al., 2009). Oleh karena itu perlu dipelajari pengaruh komposisi media tanam dan pengapuran terhadap pembibitan cabe jawa di daerah dengan kemasaman tinggi dan memiliki kadar liat yang tinggi (misalnya pada tanah latosol).

Penelitian ini terdiri atas dua percobaan yaitu metode pemupukan terhadap cabe jawa perdu dan pengaruh komposisi media tanam dan pengapuran terhadap pertumbuhan bibit cabe jawa panjat. Penelitian mengenai pengaruh komposisi media tanam dilakukan karena cabe jawa rentan terserang oleh penyakit busuk pangkal batang yang disebabkan oleh cendawan Phytophtora palmivora. Cendawan ini berkembang pada lingkungan yang lembab sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai media tanam yang sesuai dan kelembabannya terjaga.

Tujuan

 

Percobaan 1:

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon tanaman cabe jawa perdu terhadap berbagai metode pemupukan.

Percobaan 2:

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon pertumbuhan bibit cabe jawa panjat yang ditanam dengan berbagai komposisi media tanam dan perlakuan pengapuran. Cabe jawa panjat digunakan pada percobaan ke dua karena keterbatasan bahan tanaman cabe jawa perdu.

Hipotesis

 

Percobaan 1:

Terdapat perbedaan respon tanaman tehadap beberapa jenis perlakuan pemupukan sehingga diperoleh cara pemupukan yang tepat.

Percobaan 2:

Hipotesis dari penelitian ini yaitu:

1. Terdapat komposisi media tanam terbaik untuk pertumbuhan bibit cabe jawa.

2. Terdapat perbedaan respon tanaman terhadap adanya pengapuran pada media tanam.

3. Adanya interaksi antara komposisi media tanam dengan pengapuran terbaik terhadap pertumbuhan tanaman.

Botani

Cabai jawa merupakan tanaman asli Indonesia (Winarto, 2003). Cabai Jawa banyak dikenal dengan berbagai nama daerah di antaranya lada panjang atau cabai panjang (Sumatera), cabe jamu, cabean, cabe areuy, cabe sula (Jawa), cabi jamo, cabi onggu, cabi solah (Madura), cabian (Ujungpandang) (Rukmana, 2003). Dalam bahasa Inggris cabe jawa dikenal dengan nama Java long pepper (Djauhariya dan Rosman, 2008).

Winarto (2003) menyatakan bahwa pengelompokan cabai jawa dalam taksonomi termasuk dalam divisi spermatophyta, subdivisi angiospermae, kelas Dicotyledoneae, ordo piperales, famili piperaceae, genus piper, spesies Piper

retrofractum Vahl. Rukmana (2003) menyatakan bahwa karakteristik tanaman

cabai jawa menyerupai tanaman lada. Ciri-ciri tanaman ini antara lain bentuk batang bulat berkayu tetapi percabangannya agak lunak, memiliki alur dan ruas, serta berwarna hijau dan di setiap ruas akan keluar akar. Batang cabai jawa merupakan peralihan antara dicotyledonae dan monocotyledonae, yaitu jaringan pengangkut terletak dalam dua lingkaran pembuluh atau lebih. Januwati dan Yuhono (2003) menyatakan bahwa cabe jawa mempunyai batang yang memiliki akar panjat pada ruasnya, sehingga tanaman ini dapat melekat erat pada tiang panjat atau batang pohon. Batang yang melekat pada tiang panjat disebut ”sulur panjat”. Panjang tanaman ini mencapai 10-12 m. Tanaman ini juga memiliki ”sulur cabang buah”, yaitu batang tempat keluarnya buah dan ”sulur cacing”, yaitu batang yang keluar dari pangkal batang yang menjalar di permukaan tanah. Daun cabai jawa berbentuk bulat telur sampai lonjong, pangkal tumpul, ujung runcing, tepi merata, pertulangan menyirip, permukaan atas licin, permukaan bawah berbintik-bintik, panjang 8,5-20 cm, lebar 3-7 cm, dan warna hijau mengkilap (Winarto, 2003).

Bunga cabai jawa berkelamin tunggal, berbentuk bulir dengan bulir bunga jantan lebih panjang daripada bunga betina. Buah cabai jawa berbentuk bulat memanjang, berwarna merah cerah, ukuran buah kecil-kecil tersusun menjadi satu dalam satu tangkai buah menjadi bentuk seperti buah cabe biasa yang

panjangnyag 2-7 cm. Rasa buah pedas manis dan berbau harum (Rukmana, 2003; Winarto, 2003). Bagian yang bermanfaat adalah buahnya yang mengandung minyak atsiri, piperina, piperidina, asam palmitat, asam tetrahidropiperat, undecylenyl 3-4 methylenedioxy benzene, N-isobutyl decatrans-2 trans-4 dienamida, sesamin, eikosadienamida, eikopsatrienamida, guinensina, oktadekadienamida, protein, karbohidrat, gliserida, tannin, dan kariofelina (Balittro, 2004).

Cabe jawa termasuk golongan tanaman yang tidak memerlukan syarat tumbuh khusus, tanaman ini cukup tahan cekaman lingkungan dengan jenis tanah andosol, grumosol, latosol, podsolik dan regosol, bertekstur ringan dengan kandungan kimia tanah yang cukup subur, kaya bahan organik dan mineral dengan lapisan tanah yang dalam, pH 5.5 – 7. Cabe jawa masih dapat tumbuh baik pada lahan berbatu dan berkapur, lapisan tanah dangkal dan berbatu. Cabe jawa dapat tumbuh baik pada ketinggian 1–600 m dpl, dari daerah pantai sampai di kaki perbukitan, suhu 20-34°C, kelembaban 60-80%, curah hujan 1 500 – 3 000 mm per tahun (Balittro, 2004). Menurut Djauharia dan Rosman (2008) tekstur tanah yang dikehendaki oleh cabe jawa adalah liat yang mengandung pasir, porous, dan drainase tanah yan baik.

Pemupukan

Pemupukan merupakan salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam teknik budidaya tanaman. Tanaman memanfaatkan pupuk untuk hidup, tumbuh, dan berkembang. Foth (1984) menyatakan pupuk dalam arti luas adalah semua bahan yang ditambahkan ke dalam tanah untuk menyediakan unsur-unsur essensial bagi pertumbuhan tanaman. Gardiner dan Miller (2004) menyatakan bahwa pupuk merupakan salah satu manajemen input yang paling umum dilakukan. Pupuk menggantikan unsur hara yang hilang dari tanah.

 

Jenis Pupuk

 

Berdasarkan bahan pembuatannya, pupuk digolongkan menjadi dua yaitu pupuk anorganik (sering disebut pupuk kima) dan pupuk organik. Pupuk anorganik berasal dari bahan kimia yang diubah melalui proses produksi. Salah

merupakan pupuk majemuk yang memberikan unsur N, P, dan K bagi tanaman (Lingga dan Marsono, 2009).

Pupuk organik merupakan pupuk yang berasal dari pelapukan bahan organik. Bahan organik berfungsi sebagai penyimpanan unsur hara yang secara perlahan akan dilepaskan ke dalam larutan air tanah dan disediakan bagi tanaman (Reijntjes, 1999). Selama proses pembusukan bahan organik, unsur-unsur hara dilepaskan secara bertahap dan diubah menjadi bentuk yang dapat tersedia bagi tanaman. Pupuk organik juga dikenal lebih ramah lingkungan daripada pupuk anorganik. Aminah (2003) menambahkan bahwa pupuk organik mampu menahan erosi, kemampuan tanah untuk mengikat air tinggi, menciptakan kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan mikroba tanah. Hasil penelitian Harnani (2008) menunjukkan bahwa penambahan pupuk kandang sapi meningkatkan pertumbuhan vegetatif cabe jawa panjat. Hal tersebut diduga karena penambahan hara dengan pupuk kandang sapi dapat meningkatkan kandungan hara dalam tanah dan dapat mencukupi kebutuhan hara tanaman. Selain itu pengaruh pupuk kandang cenderung lebih baik dibandingkan dengan pengaruh pupuk buatan terhadap pertumbuhan bibit cabe jawa karena pupuk kandang memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah, sehingga terjadi perbaikan perakaran dan serapan hara. Namun kelemahan pupuk organik menurut Sanchez (1992) adalah dibutuhkan dalam jumlah yang besar, kandungan unsur hara yang dikandung rendah, dan membutuhkan banyak tenaga dalam pengaplikasiannya.

   

Metode Pemupukan

 

Terdapat berbagai cara pemberian pupuk antara lain ditabur atau disebar, diletakkan di antara barisan atau larikan, dan ditempatkan dalam lubang (Lingga dan Marsono, 2009). Metode pemupukan akan mempengaruhi keefesienan dari pupuk yang diberikan. Salah satu contoh adalah waktu pemberian pupuk. Gardiner dan Miller (2004) menyatakan bahwa pemberian pupuk nitrogen akan lebih efektif apabila aplikasinya dengan cara di-split, sedangkan untuk fosfor dan

kalium aplikasi dengan cara di-split akan menurunkan efisiensi karena pupuk tersebut tidak bersifat mobil dalam tanah.

Cabe jamu (cabe jawa) termasuk tanaman yang rakus hara, yaitu tanaman yang memerlukan unsur hara yang sangat banyak agar dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik (Djauhariya dan Rosman, 2008). Wahid dalam Melati et al. (2009) mengemukakan bahwa lada perdu yang satu family dengan cabe jawa sangat rakus hara dengan kebutuhan pupuk lada perdu 600 kg NPKMg/tanaman/tahun karena sistem perakarannya yang dangkal. Oleh karena itu Januwati dan Yuhono (2003) menyatakan pemupukan sangat diperlukan supaya hasilnya dapat optimal.

Pembibitan

 

Tanaman cabe jawa dapat diperbanyak secara generatif (biji) dan secara vegetatif (stek batang). Perbanyakan tanaman cabe jawa dengan biji biasanya menghasilkan tanaman yang tidak seragam dan berbunga lebih lambat, sehingga cara ini hanya dilakukan dalam skala penelitian (Rukmana, 2003). Selain itu cabe jawa merupakan tanaman menyerbuk silang sehingga perbanyakan dengan biji tidak dianjurkan karena variabilitasnya sangat tinggi. Oleh karena itu cabe jawa diperbanyak dengan menggunakan setek sulur panjat, sulur tanah (sulur cacing) dan sulur buah. Tanaman yang berasal dari sulur tanah (sulur cacing), pada umumnya mulai berbuah pada umur 3-4 tahun, lebih lambat dibandingkan dengan asal sulur panjat. Kelebihan bahan bibit dari sulur cacing adalah umur tanaman lebih panjang (lebih tahan lama) dan lebih tahan kekeringan. Bagian yang paling banyak digunakan sebagai bibit adalah sulur panjat karena lebih cepat berbuah (1-2 tahun). Kelemahannya yaitu tanaman kurang tahan kekeringan dan umurnya lebih pendek dibandingkan dengan tanaman asal bibit sulur cacing. Perbanyakan dengan sulur panjat dilakukan dengan menggunakan satu atau dua ruas dengan 1-2 daun (Balittro, 2004).

Sulur panjat, cacing, atau sulur buah yang akan digunakan sebagai bibit disemaikan terlebih dahulu lebih kurang 3-5 bulan (Balittro, 2004). Pembibitan dilakukan dalam polybag yang berukuran tinggi 20 cm dan lebar 18 cm (Winarto, 2003) dan berisi campuran tanah, pasir, dan pupuk kandang dengan perbandingan

Penyemaian dilakukan di tempat yang ternaungi untuk menjaga kelembaban (Balittro, 2004). Pengaturan media tanam dengan komposisi tertentu dapat menyediakan lingkungan/kondisi yang optimal bagi pertumbuhan dan perkembangan akar.

Faktor lingkungan memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan tanaman cabe jawa. Hasil penelitian Ferdiansyah (2009) dan Arifiyanti (2009) menunjukkan bahwa curah hujan dan kelembaban yang tinggi menyebabkan banyak tanaman cabe jawa yang terserang penyakit busuk pangkal batang. Pengendalian penyakit busuk pangkal batang dilakukan dengan pemisahan tanaman yang sakit dari tanaman yang sehat, penyiangan gulma, perbaikan aerasi melalui penggemburan media. Oleh karena itu komposisi media tanam yang tepat sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan bibit cabe jawa.

Komposisi Media Tanam

 

Media tanam berfungsi sebagai tempat melekatnya akar, penyedia air dan unsur hara, penyedia oksigen bagi berlangsungnya proses fisiologi akar serta kehidupan dan aktvitas mikroba tanah (Mardani, 2005). Purwanto (2006) menambahkan ada 5 persyaratan media tanam yang baik yaitu mampu mengikat dan menyimpan air dan hara dengan baik, memiliki aerasi dan drainase yang baik, tidak menjadi sumber penyakit, cukup porous (memiliki banyak rongga) sehingga mampu menyimpan oksigen yang diperlukan untuk proses respirasi (pernapasan), dan tahan lama.

Fungsi media tanam sebagai media tumbuh bibit tanaman adalah tempat akar untuk berpenetrasi yang dipengaruhi oleh pori-pori yang terbentuk di antara partikel-partikel tanah (tekstur dan struktur). Kerapatan porositas tanah menentukan kemudahan air untuk bersirkulasi dengan udara (drainase dan aerasi) (Hanafiah, 2005). Media tanam harus memiliki kelembaban yang cukup, memiliki porositas dan aerasi yang baik, bebas dari benih gulma, nematoda, dan patogen lainnya, dan mampu menyediakan nutrisi yang cukup bagi tanaman (Hartmann dan Kester, 1978).

Tekstur tanah menunjukkan komposisi pertikel tanah yang dinyatakan sebagai perbandingan proporsi relatif antara fraksi pasir, debu, dan liat (Hanafiah, 2005). Tanah yang didominasi pasir akan banyak mempunyai pori-pori makro (lebih porous), tanah yang didominasi debu akan banyak mempunyai pori-pori meso (agak porous), sedangkan yang didominasi liat akan banyak mempunyai pori-pori mikro (tidak porous). Makin porous tanah maka akan mudah akar untuk berpenetrasi, serta semakin mudah air dan udara untuk bersirkulasi (Hanafiah, 2005).

Ada beberapa jenis media tanam yang dapat digunakan dalam pembibitan tanaman antara lain tanah, arang sekam, pasir, dan pupuk kandang. Tanah yang dijumpai di sekitar lokasi penanaman adalah latosol (komunikasi pribadi dengan Prof. Dr. Ir. Didi Ardi Suriadikarta, M.Sc. staf Balai Penelitian Tanah bagian pedologi, 2010). Latosol merupakan tanah dengan tekstur liat dan berstruktur remah hingga gumpal. Selain itu tanah latosol memiliki kandungan bahan organik yang rendah (Soepraptohardjo, 1961). Oleh karena itu penggunaan tanah tersebut sebagai media tanam harus dicampur dengan media lain seperti pasir, arang sekam atau pupuk kandang.

Arang sekam atau sekam bakar dibuat dari sekam padi yang dibakar. Arang sekam padi ini bersifat mudah mengikat air, tidak cepat lapuk, tidak cepat menggumpal, tidak mudah ditumbuhi fungi dan bakteri, dapat menyerap senyawa toksik atau racun dan melepaskannya kembali pada saat penyiraman serta merupakan sumber kalium bagi tanaman (Purwanto, 2006). Melati et al.(2008) menyatakan bahwa abu sekam diduga mengandung unsur K yang relatif tinggi. Selain itu abu sekam juga diduga mengandung silikat yang berperan sebagai unsur hara mikro yang meningkatkan ketahanan tanaman terhadap hama dan penyakit melalui pengerasan jaringan. Abu sekam dapat diberikan sebagai kombinasi dengan pupuk organik lain untuk menekan intensitas serangan hama.

Pasir tidak mengandung unsur hara dan kapasitas menahan airnya sangat rendah sehingga penggunaannya sebagai media tanam harus dicampur dengan bahan organik (Hartmann dan Kester, 1978). Bahan organik yang biasa digunakan sebagai campuran media tanam antara lain kompos atau pupuk kandang. Pasir tidak memberikan hara yang cukup bagi tanaman. Kandungan unsur hara pada

airnya sangat rendah yang menyebabkan pertumbuhan terhambat. Tanaman karuk

(Piper sarmentosum) pada media dengan penambahan pupuk kandang sapi

mengalami pertumbuhan yang sangat pesat dibandingkan yang ditambah pasir dan arang sekam (Fetiandreny, 2007).

Penggunaan bahan organik adalah untuk menyediakan hara yang dibutuhkan oleh tanaman. Selain itu, kelebihan penggunaan bahan organik antara lain meningkatkan kemampuan tanah untuk menyimpan air, meningkatkan ketersediaan air untuk tanah berpasir, dan memperbaiki aerasi tanah melalui perbaikan tekstur tanah. Hasil penelitian Fetiandreny (2007) menunjukkan bahwa penambahan pupuk kandang sapi dapat meningkatkan tinggi tanaman, jumlah ruas, jumlah cabang primer, jumlah cabang sekunder, dan jumlah sulur tanah. Perlakuan media yang ditambah pupuk kandang sapi berpengaruh terbaik pada semua komponen pertumbuhan dan produksi vegetatif (tajuk dan akar) karuk. Hal ini diduga karena cukupnya bahan organik dan unsur hara essensial dalam pupuk kandang.

Pengapuran

 

Tanah di daerah yang basah bersifat masam karena pencucian kation- kation (Ca2+, Mg2+, Na+, K+) oleh air hujan kemudian digantikan oleh ion-ion H+, Al3+, dan Al(OH)+. Sebagian besar tanah yang menerima curah hujan lebih besar atau sama dengan 500 mm/tahun cenderung bersifat asam contohnya tanah ultisol. Tanah ultisol merupakan tanah dengan pencucian tinggi dan memiliki subsoil berupa liat. Selain itu penyebab tanah masam antara lain pelepasan H+ oleh akar tanaman, pelepasan asam organik selama proses dekomposisi (Gardiner dan Miller, 2004).

Teknik budidaya tanaman, untuk tanah-tanah yang bersifat masam membutuhkan pengapuran untuk meningkatkan pH terutama. Baik pemupukan maupun pengapuran untuk jenis tanah tersebut dibutuhkan untuk memperoleh hasil yang optimum (Gardiner dan Miller, 2004). Pengapuran bertujuan untuk meningkatkan pH tanah dari tanah masam (pH<6) untuk mencapai kemasaman netral (pH=7). Kemasaman tanah yang mendekati netral memudahkan unsur-

unsur hara di dalam tanah terserap tanaman. Selain itu, penyakit-penyakit terbawa tanah akan lebih terkendalikan. Pengapuran juga akan menambah unsur hara kalsium yang diperlukan untuk pembentukan dinding sel tanaman (Prajnanta, 2004).

Unsur-unsur kapur yang biasa digunakan adalah kalsium dan magnesium

Dokumen terkait