• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

B. Landasan Teori

4) Perangkaian (Conjunction)

Perangkaian (conjunction) adalah salah satu jenis kohesi

gramatikal yang dilakukan dengan cara menghubungkan unsur yang satu dengan unsur yang lain dalam wacana. Unsur yang dirangkai bisa berwujud kata, frase, klausa, kalimat, alinea, dan pembicaraan.

Makna perangkaian beserta konjungsi dapat dikemukakan di sini antara lain :

(1) sebab-akibat : sebab, karena, maka, makanya

(2) pertentangan : tetapi, namun

commit to user

(5) konsesif : walaupun, meskipun

(6) tujuan : agar, supaya

(7) penambahan (aditif) : dan, juga, serta

(8) pilihan (alternatif) : atau, apa

(9) harapan (optatif) : moga-moga, semoga

(10) urutan (sekuensial) : lalu, terus, kemudian

(11) perlawanan : sebaliknya

(12) waktu : setelah, sesudah, usai, selesai

(13) syarat : apabila, jika (demikian)

(14) cara : dengan (cara) begitu

(15) makna lainnya : (yang ditemukan dalam tuturan)

Contoh penggunaan konjungsi terdapat dalam tuturan di bawah ini :

Peristiwa kerusuhan dan pembakaran gedung-gedung di Solo waktu itu sangat meresahkan masyarakat Solo. Semoga saja dengan peristiwa tersebut masyarakat Solo dapat lebih mawas diri.

(Sumarlam, dkk., 2003:33)

Konjungsi semoga pada contoh di atas menyatakan makna

harapan, yaitu dengan terjadinya peristiwa kerusuhan dan pembakaran gedung-gedung di Solo yang sangat meresahkan masyarakat itu, mudah-mudahan menjadikan masyarakat Solo mau berintrospeksi (mawas diri).

b. Aspek Leksikal

Kepaduan wacana selain didukung oleh aspek gramatikal atau kohesi gramatikal juga didukung oleh aspek leksikal atau kohesi leksikal. Kohesi leksikal ialah hubungan antar unsur dalam wacana secara semantis. Dalam hal ini, untuk menghasilkan wacana yang padu pembicara atau penulis dapat menempuhnya dengan cara memilih kata-kata yang sesuai dengan isi

kewacanaan yang dimaksud. Hubungan kohesif yang diciptakan atas dasar aspek leksikal dengan pilihan kata yang serasi, menyatakan hubungan makna atau relasi semantik antara satuan lingual yang satu dengan satuan lingual yang lain dalam wacana (Sumarlam, dkk., 2003:35)

Aspek leksikal dapat dibedakan menjadi enam macam, yaitu : 1) Repetisi (pengulangan)

Repetisi (pengulangan) adalah pengulangan satuan lingual berupa bunyi, suku kata, atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Repetisi dibedakan menjadi delapan macam, yaitu repetisi epizeuksis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodiplosis, epanalepsis, dan anadiplosis.

a) Repetisi Epizeuksis

Repetisi epizeuksis ialah pengulangan satuan lingual (kata/frasa) yang dipentingkan beberapa kali secara berturut turut. Contohnya berikut ini :

Sebagai orang beriman, berdoalah selagi ada kesempatan, selagidiberi kesehatan, dan selagidiberi umur panjang. Berdoa wajib bagi manusia. Berdoa selagi kita sehat tentu lebih baik daripada berdoa selagi kita butuh. Mari kita berdoa bersama-sama selagiAllah mencintai umat-Nya.

(Sumarlam, dkk., 2003:36)

Pada tuturan di atas, kata selagi diulang beberapa kali

secara berturut-turut untuk menekankan pentingnya kata tersebut dalam konteks tuturan itu.

commit to user

Repetisi tautotes ialah pengulangan satuan lingual (kata/frasa) beberapa kali dalam sebuah konstruksi. Contohnya berikut ini :

Aku dan dia terpaksa harus tinggal berjauhan, tetapi aku sangat mempercayai dia, dia pun sangat mempercayai aku. Aku dan dia saling mempercayai.

(Sumarlam, dkk., 2003:36)

Pada contoh di atas, kata mempercayai diulang tiga kali

dalam sebuah konstruksi. c) Repetisi Anafora

Repetisi anafora ialah pengulangan satuan lingual berupa kata atau frasa pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya. Pengulangan pada tiap baris biasanya terjadi dalam puisi, sedangkan pengulangan pada tiap kalimat terdapat dalam prosa. Contohnya berikut ini :

Bukannafsu, Bukanwajahmu, Bukankakimu, Bukantubuhmu,

Aku mencintaimu karena hatimu.

(Sumarlam, dkk., 2003:36)

Pada penggalan puisi di atas terjadi repetisi anafora berupa

pengulangan kata bukan pada baris pertama sampai dengan

keempat. Repetisi semacam itu dimanfaatkan penulis puisi untuk

menyampaikan maksud bahwa aku (tokoh pertama pada puisi

itu) mencintai seseorang benar-benar karena hatinya, bukan

sekadar karena nafsu, bukan karena wajah, bukan karena kaki,

d) Repetisi Epistrofa

Repetisi epistrofa ialah pengulangan satuan lingual kata atau frasa pada akhir baris (dalam puisi) atau akhir kalimat (dalam prosa) secara berturut-turut. Contohnya berikut ini :

Bumi yang kudiami, laut yang kulayari, adalah puisi. Udara yang kauhirup, air yang kauteguki, adalah puisi. Kebun yang kautanami, bukit yang kau gunduli, adalah puisi. Gubug yang kauratapi, gedung yang kautinggali, adalah puisi.

(Gorys Keraf dalam Sumarlam, 2003:37)

Pada contoh puisi di atas, satuan lingual adalah puisi

diulang empat kali pada tiap baris secara berturut-turut. e) Repetisi Simploke

Repetisi simploke ialah pengulangan satuan lingual pada awal dan akhir beberapa baris atau kalimat berturut-turut. Contohnya berikut ini :

Kamu bilang hidup ini brengsek. Biarin.

Kamu bilang hidup ini nggak punya arti. Biarin. Kamu bilang nggak punya kepribadian. Biarin. Kamu bilang nggak punya pengertian. Biarin.

(Gorys Keraf dalam Sumarlam, 2003:37) Pada bait puisi tersebut terdapat pengulangan satuan lingual

”kamu bilang hidup ini” pada baris pertama dan kedua, dan

satuan lingual ”kamu bilang nggak punya” pada baris ketiga

dan keempat, masing-masing terdapat pada awal baris.

Sementara itu, satuan lingual yang berupa kata ”biarin” diulang

empat kali pada tiap akhir baris pertama sampai dengan keempat.

commit to user

f) Repetisi Mesodiplosis

Repetisi mesodiplosis ialah pengulangan satuan lingual di tengah-tengah baris atau kalimat secara berturut-turut. Contohnya berikut ini :

Pegawai kecil jangan mencurikertas karbon.

Babu-babu jangan mencuritulang-tulang ayam goreng. Para pembesar jangan mencuribensin.

Para gadis jangan mencuriperawannya sendiri

(Gorrys Keraf dalam Sumarlam, 2003:37) Pada bait tiap puisi di atas, terdapat pengulangan satuan

lingual ”jangan mencuri” yang terletak di tengah-tengah baris

secara berturut-turut. Pengulangan seperti itu oleh penulisnya dimaksudkan untuk menekankan makna satuan lingual yang diulang, yaitu ’larangan mencuri’ karena perbuatan mencuri adalah perbuatan yang tidak terpuji bagi siapa pun, baik bagi pegawai kecil, pembantu rumah tangga, para pejabat, dan yang lainnya.

g) Repetisi Epanalepsis

Repetisi epanalepsis ialah pengulangan satuan lingual yang kata atau frasa terakhir dari baris atau kalimat itu merupakan pengulangan kata atau frasa pertama. Contohnya berikut ini :

Minta maaflah kepadanya sebelum dia datang meminta maaf. Kamu mengalah bukan berarti dia mengalahkan kamu.

Berbuat baiklah kepada semua selagi bisa berbuat baik.

(Sumarlam, dkk., 2003:38)

Pada tuturan di atas, terdapat repetisi epanalepsis yaitu frasa

meminta maaf pada akhir baris merupakan pengulangan frasa

merupakan pengulangan kata yang sama pada awal baris kedua.

Selanjutnya, frasa berbuat baik pada akhir baris merupakan

pengulangan frasa yang sama pada awal baris ketiga. Pengulangan seperti itu berfungsi untuk menekankan pentingnya

makna satuan lingual yang diulang, yaitu meminta maaf, kamu,

dan berbuat baik.

i) Repetisi Anadiplosis

Repetisi anadiplosis ialah pengulangan kata atau frasa terakhir dari baris atau kalimat itu menjadi kata atau frasa pertama pada baris atau kalimat berikutnya. Contohnya berikut ini :

dalam hidup ada tujuan tujuandicapai dengan usaha usahadisertai doa

doaberarti harapan

harapan adalah perjuangan perjuanganadalah pengorbanan

(Sumarlam, dkk., 2003:38)

Pada puisi di atas, kata tujuan pada akhir baris pertama

menjadi kata pertama pada baris kedua, kata usaha pada akhir

baris kedua menjadi kata pertama pada baris ketiga, kata doa

pada akhir baris ketiga menjadi kata pertama pada baris

keempat, kata harapan pada akhir baris keempat menjadi kata

pertama pada baris kelima, dan kata perjuanganpada akhir baris

kelima menjadi kata pertama pada baris terakhir (baris keenam) dari puisi itu.

commit to user

Sinonimi merupakan salah satu aspek leksikal untuk mendukung kepaduan wacana. Sinonimi berfungsi menjalin hubungan makna yang sepadan antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual yang lain dalam wacana (Sumarlam, dkk., 2003:39).

Berdasarkan wujud satuan lingualnya, dibedakan menjadi lima macam, yaitu (1) sinonimi morfem bebas dengan morfem terikat, (2) sinonimi kata dengan kata, (3) kata dengan frasa atau sebaliknya, (4) frase-frase, (5) klausa/kalimat dengan klausa/kalimat (Sumarlam, dkk., 2003:39). Contonya berikut ini :

1) Sinonimi antara morfem (bebas) dengan morfem (terikat)

a. Akumohon kau mengerti perasaanku. b. Kamuboleh bermain sesuka hatimu. c. Dia terus berusaha mencari jatidirinya

(Sumarlam, dkk., 2003:39)

Pada contoh di atas, morfem (bebas) aku(a) kamu (b), dan

dia (c), masing-masing bersinonim dengan morfem (terikat)

–ku, –mu, dan -nya.

2) Sinonimi kata dengan kata

Meskipun capeg, saya sudah terima bayaran. Setahun menerima gaji 80% SK pegnegku keluar. Gajiku naik.

(Sumarlam, dkk., 2003:39)

Pada tuturan di atas, kepaduan wacana tersebut antara lain didukung oleh aspek leksikal yang berupa sinonimi antara kata

bayaran pada kalimat pertama dengan kata gaji pada kalimat kedua dan ketiga. Kedua kata tersebut maknanya sepadan.

Kota itu semalam dilanda hujan dan badai. Akibat adanya musibah itu banyak gedung yang runtuh, rumah-rumah penduduk roboh, dan pohon-pohon pun tumbang disapu badai.

(Sumarlam, dkk., 2003:39)

Kepaduan wacana di atas, didukung oleh aspek leksikal

yang berupa sinonim antara frasa hujan dan badaipada kalimat

pertama dengan kata musibah pada kalimat berikutnya. Selain

itu, kepaduannya juga didukung adanya pemakaian kata musibah itu dengan realisasi peristiwa yang digambarkan sebagai rincian melalui ungkapan gedung yang runtuh, rumah-rumah penduduk yang roboh, dan pohon-pohon pun tumbang pada kalimat kedua. 4) Sinonimi frasa dengan frasa

Tina adalah sosok wanita yang pandai bergaul. Betapa tidak baru dua hari pindah ke sini, dia sudah bisa beradaptasi dengan baik.

(Sumarlam, dkk., 2003:40)

Keterpaduan wacana di atas, didukung oleh aspek leksikal

sinonim antara frasa pandai bergaul pada kalimat pertama

dengan frasa beradaptasi dengan baik pada kalimat ketiga.

Kedua ungkapan itu mempunyai makna yang sepadan. 5) Sinonimi klausa atau kalimat dengan klausa atau kalimat

Gunakan landasan teori yang tepat untuk memecahkan masalah tersebut. Pendekatan yang digunakan untuk menyelesaikan persoalan itupun juga harus akurat.

(Sumarlam, dkk., 2003:40)

Klausa memecahkan masalah tersebut pada kalimat

commit to user

mendukung kepaduan wacana baik secara leksikal maupun semantis.

3) Antonimi (lawan kata)

Antonimi adalah satuan lingual yang maknanya berlawanan atau beroposisi dengan satuan lingual yang lain. Antonimi disebut juga oposisi makna. Berdasarkan sifatnya, oposisi makna dapat dibedakan menjadi lima macam, yakni oposisi mutlak, oposisi kutub, oposisi hubungan, oposisisi hirarkial, dan oposisi majemuk (Sumarlam, dkk., 2003:40)

a) Oposisi mutlak

Oposisi mutlak adalah pertentangan makna secara mutlak. Contohnya berikut ini :

Hidup dan matinya perusahaan tergantung dari usaha kita. Jangan hanya diam menunggu kehancuran, mari kita mencoba bergerakdengan cara yang lain.

(Sumarlam, dkk., 2003:41)

Pada contoh di atas, terdapat oposisi mutlak antara kata

hidup dan mati pada kalimat pertama, dan kata diam dan

bergerak pada kalimat kedua. b) Oposisi kutub

Oposisi kutub adalah oposisi makna yang tidak bersifat mutlak, tetapi bersifat gradasi. Artinya, terdapat tingkatan makna pada kata-kata tersebut. Contohnya berikut ini :

kaya >< miskin besar >< kecil panjang >< pendek lebar >< sempit senang >< susah

Pemakaian kata-kata tersebut dapat diamati pada tuturan berikut :

Memasuki era globalisasi sekarang ini, meningkatkan kualitas sumber daya manusia sangatlah penting. Semua warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran, baik itu orang kaya maupun orang miskin. Semua mempunyai hak yang sama untuk mengenyam pendidikan.

(Sumarlam, dkk., 2003:41)

Pada wacana di atas, terdapat oposisi kutub antara kata

kaya dan kata miskin pada kalimat yang kedua. Kedua kata tersebut dikatakan beroposisi kutub sebab terdapat gradasi di

antara oposisi keduanya. Adanya realitas sangat kaya, kaya,

agak kaya, agak miskin, miskin, sangat miskin bagi kehidupan orang di dunia ini.

c) Oposisi hubungan

Oposisi hubungan adalah oposisi makna yang bersifat saling melengkapi. Oposisi ini bersifat saling melengkapi, maka kata yang satu dimungkinkan ada kehadirannya karena kehadiran kata yang lain menjadi oposisinya, atau kehadiran kata yang satu disebabkan oleh adanya kata yang lain. Contohnya berikut ini : bapak >< ibu guru >< murid dosen >< mahasiswa dokter >< pasien jual >< beli (Sumarlam, dkk., 2003:42)

commit to user

Ibu Rini adalah seorang guru yang cantik dan cerdas. Selain itu, beliau juga pandai dalam menyampaikan materi pelajaran di kelas, sehingga muridsenang padanya.

(Sumarlam, dkk., 2003:42)

Pada tuturan di atas terdapat oposisi hubungan antara guru

pada kalimat pertama dengan murid pada kalimat kedua. Guru

sebagai realitas dimungkinkan ada karena kehadirannya

dilengkapi oleh murid.

d) Oposisi hirarkial

Oposisi hirarkial adalah oposisi makna yang menyatakan deret jenjang atau tingkatan. Satuan lingual yang beroposisi hirarkial pada umumnya kata-kata yang menunjuk pada nama-nama satuan ukuran (panjang, berat, isi), nama-nama satuan hitungan, penanggalan, dan sejenisnya.

Contohnya berikut ini :

Milimeter >< sentimeter >< meter >< meter >< kilometer Kilogram >< kuintal >< ton

Detik >< menit >< jam >< hari >< minggu >< bulan SD >< SLTP >< SMU >< PT

Pemakaian kata-kata tersebut dapat diamati pada tuturan berikut :

Ketika di TK, Silvy adalah anak yang periang, pemberani, dan cerdas, sehingga setelah masuk SD dia menjadi bintang kelas. Hal itu terus berlangsung hingga dia masuk di SLTP. Namun, setelah dia masuk di SMU sifatnya yang periang itu hilang semenjak ayah dan ibunya bercerai. Akhirnya ia pun terpaksa tidak bisa melanjutkan kuliah di PT karena ibunya tidak mampu membiayai lagi.

(Sumarlam, dkk., 2003:42)

Pada contoh di atas, ditemukan oposisi hirarkial antara TK,

atau tingkat pendidikan dari yang paling rendah TK sampai yang

paling tinggi PT.

e) Oposisi majemuk

Oposisi majemuk adalah oposisi makna yang terjadi pada beberapa kata (lebih dari dua). Perbedaan antara oposisi majemuk dengan oposisi kutub terletak pada ada tidaknya gradasi yang dibuktikan dengan dimungkinkannya bersanding

dengan kata agak, lebih, dan sangat pada oposisi kutub, dan

tidak pada oposisi majemuk. Adapun perbedaannya dengan oposisi hirarkial, pada oposisi hirarkial terdapat makna yang menyatakan jenjang atau tingkatan yang secara realitas tingkatan yang lebih tinggi atau lebih besar selalu mengasumsikan adanya tingkatan yang lebih rendah atau lebih kecil.

Berdiri >< jongkok >< duduk >< berbaring Diam >< berbicara >< bergerak >< bertindak Berlari >< berjalan >< melangkah >< berhenti

Pemakaian kata-kata tersebut dapat diamati pada tuturan berikut:

Adi berlari karena takut dimarahi ibunya. Setelah agak jauh dari ibunya, ia berjalan menuju rumah temannya. Sampai di rumah itu lalu ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. Mendadak ia berhentidan terkejut karena ternyata yang tampak di depan matanya Adi adalah ibunya sendiri.

(Sumarlam, dkk., 2003:44) 4) Kolokasi (sanding kata)

Kolokasi (sanding kata) adalah asosiasi tertentu dalam menggunakan pilihan kata yang cenderung digunakan secara berdampingan.

commit to user

Waktu aku masih kecil, ayah sering mengajakku ke sawah. Ayah adalah seorang petani yang sukses. Dengan lahan yang luas dan bibit padiyang berkualitas serta didukung sistem pengolahanyang sempurna maka panen pun melimpah. Dari hasil panenitu pula keluarga ayahku mampu bertahan hidup secara layak.

(Sumarlam, dkk., 2003:44)

Pada contoh di atas tampak pemakaian kata-kata sawah, petani,

lahan, bibit padi, sistem pengolahan, dan hasil panen, yang saling berkolokasi dan mendukung kepaduan wacana. Kata-kata tersebut sering dipakai dalam jaringan pertanian.

5) Hiponimi (hubungan atas-bawah)

Hiponimi (hubungan atas-bawah) adalah alat kohesi leksikal yang makna kata-katanya merupakan bagian dari makna kata yang lain. Kata yang mencakupi beberapa kata yang berhiponim disebut hipernim atau superordinat. Contoh penggunaan hiponimi dapat diperhatikan pada penggalan wacana berikut ini :

Binatang melata termasuk kategori hewan reptil. Reptil yang hidup di darat dan di air ialah katakdan ular. Cicak adalah reptil yang bisa merayap di dinding. Adapun jenis reptil yang hidup di semak-semak dan rumput adalah kadal. Sementara itu, reptil yang dapat berubah warna sesuai dengan lingkungannya yaitu bunglon.

(Sumarlam, dkk., 2003:45)

Pada contoh di atas yang merupakan hipernim atau

superordinatnya adalah binatang melata atau yang disebut reptil.

Sementara itu, binatang-binatang yang merupakan golongan reptil

sebagai hiponimnya adalah katak, ular, cicak, kadal, dan bunglon.

Hubungan antarunsur bawahan atau antarkata yang menjadi anggota hiponim itu disebut kohiponim. Fungsi hiponim adalah untuk mengikat hubungan antarunsur atau antarsatuan lingual dalam wacana secara

semantis terutama untuk menjalin hubungan makna atas dan bawahan, atau antara unsur yang mencakupi dan unsur yang dicakupi.

6) Ekuivalensi (kesepadanan bentuk)

Ekuivalensi (kesepadanan bentuk) adalah hubungan kesepadanan antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual yang lain dalam sebuah paradigma.

Berikut ini contohnya :

Fatimah rajin sekali membaca buku. Baik buku pelajaran maupun buku bacaan lainnya. Ia mempunyai perpustakaan kecil di rumahnya. Hampir semua buku yang dikoleksi sudah dibaca. Fatimah bercita-cita ingin menjadi pembaca berita di televisi agar semua orang mengenalnya.

(Sumarlam, dkk., 2003:45)

Dari contoh di atas ditemukan ekuivalensi atau kesepadanan pada

satuan lingual membaca (menunjukkan prefiks) dan bacaan

(menunjukkan sufiks). Prefiks merupakan peristiwa melekatnya afiks yang terjadi pada awal pada kata dasarnya, sedangkan sufiks merupakan peristiwa melekatnya afiks yang terjadi pada akhir pada kata dasarnya.

Satuan lingual membaca, bacaan, dibaca, dan pembaca, dibentuk dari

dari kata dasar baca.

4. Kontekstual Wacana

Analisis wacana kontekstual wacana ialah analisis wacana dengan bertumpu pada teks yang dikaji berdasarkan konteks eksternal yang melingkupinya, baik konteks situasi maupun konteks kultural.

Menurut Sumarlam (2006:31), pemahaman konteks situasi dan kultural dalam wacana dapat dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai prinsip

commit to user

penafsiran personal, prinsip penafsiran lokasional, prinsip temporal, dan prinsip analogi. Di samping pemahaman mengenai konteks, inferensi juga merupakan proses yang sangat penting dalam memahami wacana. Sumarlam (2003:51) mengemukakan bahwa inferensi adalah proses yang harus dilakukan oleh komunikan (pembaca/pendengar/mitra tutur) untuk memahami makna yang secara harfiah tidak terdapat dalam wacana yang diungkapkan oleh komunikator (pembicara/penulis/penutur). Proses pemahaman seperti itu tidak dapat dilakukan melalui pemahaman makna secara harfiah saja, melainkan harus didasari pula oleh pemahaman makna berdasarkan konteks sosial dan budaya. Dengan kata lain, pemahaman konteks wacana (baik internal maupun eksternal) merupakan dasar inferensi (pengambilan kesimpulan).

a. Prinsip Penafsiran Personal

Prinsip ini berkaitan dengan siapa yang menjadi partisipan di dalam suatu wacana. Dalam hal ini, siapa penutur dan siapa mitra tutur sangat menentukan makna suatu tuturan. Pelibat wacana biasanya menunjuk pada orang-orang yang berperan dalam wacana, kedudukannya, jenis hubungan perannya, ciri fisik dan non-fisik, serta emosi penutur dan mitra tutur.

Contohnya di bawah ini :

”Aku bisa bikin nasi goreng sendiri”

(Sumarlam, dkk., 2003:48)

Siapakah yang menjadi kunci pokok bagi pendengar/pembaca untuk memahami makna dan dampak dari tuturan tersebut. Apabila penuturnya adalah seorang anak berumur 5 tahun, maka tentu makna tuturan itu menjadi luar biasa bagi pendengarnya. Seorang anak yang berusia 5 tahun dan sudah dapat membuat nasi goreng sendiri tanpa bantuan ibunya merupakan prestasi

yang luar biasa bagi pelakunya dan sekaligus merupakan berita mengejutkan bagi mitra tuturnya. Akan tetapi, apabila tuturan yang sama dituturkan oleh penutur seorang pramuwisma berumur 25 tahun, maka makna dan dampak dari tuturan itu biasa-biasa saja, sama sekali tidak mengejutkan bagi mitra tutur dan bukan suatu prestasi yang luar biasa bagi pelakunya sudah menjadi pekerjaan rutin yang biasa dikerjakan sehari-hari oleh pelakunya.

b. Prinsip Penafsiran Lokasional

Prinsip ini berkaitan dengan penafsiran tempat atau lokasi terjadinya suatu situasi (keadaan, peristiwa, dan proses) dalam rangka memahami wacana.

Berikut ini beberapa contohnya :

(1) Di sinimurid-murid sudah terbiasa tertib dan disiplin. (2) Di siniPak Wali selalu memperhatikan keadaan warga kota.

(3) Sungai Bengawan Solo menjadi sumber air baik bagi persawahan maupun bagi penduduk sekitarnya di sini.

(4) Pancasila menjadi dasar negara kami di sini.

(Sumarlam, dkk., 2003:49)

Berdasarkan perangkat benda dan realitas yang menjadi konteksnya,

maka ungkapan di sini pada tuturan (1) berarti ’kelas’ atau ’sekolah’

sebagaimana yang disarankan dan didukung oleh kata murid-murid, dan

realita yang diacunya. Frasa Pak Wali dan warga kota menyarankan

pengertian ’di suatu kota’ bagi ungkapan di sini pada tuturan (2). Perangkat

sungai, sumber air, persawahan, dan penduduk sekitarnya menyarankan

pengertian ’daerah aliran sungai (Bengawan Solo)’ bagi ungkapan di sini

commit to user

negara, sebab realitas menunjukkan bahwa negara yang berdasarkan Pancasila adalah Negara Republik Indonesia.

c. Prinsip Penafsiran Temporal

Prinsip Penafsiran Temporal berkaitan dengan pemahaman mengenai waktu. Prinsip ini dapat menafsirkan kapan dan berapa lama waktu terjadinya situasi (peristiwa, keadaan, proses).

Berikut ini beberapa contohnya :

(!) Marilah sekarangbersama-sama kita teriakkan pekik kemerdekaan tiga kali : ”Merdeka! Merdeka! Merdeka!”

(2) Marilah kita sekarangmakan dulu!

(3) Sekarang ini sudah mulai banyak tugas. Hampir tiap dosen memberi tugas.

(4) Sekarang saya sedang kuliah S-1 di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta.

(5) Pada zaman modern seperti sekarang ini, barang-barang yang dulu dianggap istimewa sudah menjadi biasa.

(Sumarlam, dkk., 2003:49-50)

Pemahaman makna dan acuan waktu (kapan atau berapa lama)

Dokumen terkait