• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengakuan hukum internasional atas odious debt doctrine

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Eksistensi Odious Debt Doctrine dalam Hukum Internasional

1. Pengakuan hukum internasional atas odious debt doctrine

Belum adanya suatu produk hukum yang mengatur secara spesifik mengenai

odious debt tidak dapat menjadi suatu sangkalan atas keberadaan doktrin ini.

Bagaimanapun juga odious debt adalah suatu fenomena yang nyata dalam perkembangan hukum perjanjian internasional. Disebutkan oleh Alexander Nahum Sack, pencetus utama doktrin ini, bahwa odious debt memiliki ciri-ciri sebagai berikut:83

1) perjanjian utang dilakukan tanpa persetujuan populasi negara debitur 2) tidak membawa manfaat

3) kedua alasan tersebut diketahui oleh kreditur

4) atau dilakukan untuk kepentingan pribadi pemerintah

Dari ciri-ciri yang disebutkan oleh Sack, tampak jelas odious debt mempunyai unsur penipuan, paksaan, dan korupsi. Hal ini menjadikan odious debt

83

terlarang karena bertentangan dengan sumber-sumber hukum internasional yang termuat dalam pasal 38 Statuta ICJ dengan penjelasan sebagai berikut:

a. Perjanjian internasional

Odious debt melanggar ketentuan Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 karena adanya unsur penipuan, korupsi, dan paksaan yang merupakan

pelanggaran terhadap pasal-pasal di bawah ini:

1) Pasal 49 yang berbunyi “If a State has been induced to conclude a treaty

by the fraudulent conduct of another negotiating State, the State may invoke the fraud as invalidating its consent to be bound by the treaty.

Menurut ketentuan ini apabila suatu negara dibujuk untuk melakukan suatu perjanjian internasional oleh negara lain yang bernegosiasi melalui tipu muslihat, negara terebut dapat mengajukan penipuan sebagai dasar ketidakabsahan pengikatan diri atas perjanjian internasional tersebut. Setiap perjanjian harus dilaksanakan berdasarkan prinsip itikad baik. Apabila suatu negara mendorong negara lain untuk melakukan suatu perjanjian utang melalui bujuk rayu padahal perjanjian tersebut dibuat untuk memaksimalkan keuntungan debitur dan di lain pihak merugikan kreditur, maka utang tersebut bersifat odious.

2) Pasal 50 menyebutkan: “If the expression of a State's consent to be

representative directly or indirectly by another negotiating State, the State may invoke such corruption as invalidating its consent to be bound by the treaty. Menurut ketentuan ini apabila tindakan

pengikatan diri suatu Negara terhadap suatu perjanjian internasional yang dilakukan oleh perwakilannya diperoleh dengan cara korupsi. Baik itu dilakukan secara langsung maupun tidak langsung oleh negara lain yang bernegosiasi, maka negara tersebut dapat mengajukan korupsi sebagai dasar ketidakabsahan pengikatan diri atas perjanjian internasional tersebut. Pelanggaran terhadap pasal ini ditunjukkan oleh kasus Maximillian, dimana pemerintah Meksiko dibawah pimpinan seorang diktator melakukan pinjaman luar negeri dan dana tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi. Dalam kasus ini, debitur mengetahui reputasi dari pemerintahan rezim Maximillian namun tetap mengucurkan pinjaman. Rezim Maximillian sebagai perwakilan dari Meksiko telah melakukan korupsi untuk mendapatkan dana pinjaman dan menggunakannya tidak untuk kepentingan rakyat karena utang yang dilakukan oleh pemerintahan Maximillian menjadi bersifat

odious.

3) Pasal 51 yang berbunyi ”The expression of a State's consent to be

bound by a treaty which has been procured by the coercion of its representative through acts or threats directed against him shall be without any legal effect. Menurut ketentuan ini apabila tindakan

pengikatan diri suatu negara terhadap suatu perjanjian internasional yang dilakukan oleh perwakilannya diperoleh dengan cara paksaan melalui suatu tindakan atau ancaman yang ditujukan langsung padanya maka hal tersebut tidak membawa efek yuridis apapun. Pelanggaran terhadap pasal ini ditunjukkan dalam kasus pengalihan utang Hindia Belanda kepada pemerintah Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar dan juga pengalihan utang Spanyol kepada Kuba. Baik pemerintah Hindia Belanda maupun Spanyol menggunakan pengaruhnya sebagai kolonial untuk memaksakan penundukan daerah jajahannya atas suatu perjanjian. Hal ini menjadikan utang yang diwariskan menjadi bersifat odious.

4) Selain dari ketentuan Vienna Convention on the Law of Treaty 1969, perihal legalitas penolakan utang atas dasar odious debt dimuat dalam

Versailles Treaty 1919 dan Treaty of Peace 1989. Dilatarbelakangi

oleh permasalahan yang sama yakni penolakan pembayaran suatu negara atas utang kolonial. Kedua perjanjian ini merupakan bukti bahwa dunia internasional mengakui hak suatu negara untuk menolak utang yang sifatnya odious.

b. Kebiasaan internasional

Sebagaimana disebutkan dalam pasal 38 (1) ICJ Statute, kebiasaan internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional. Indikasi bahwa

prinsip odious debt berkembang menjadi kebiasaan internasional adalah dengan pengaplikasian prinsip serta aturan tersebut secara seragam secara berkelanjutan dalam periode yang singkat di lebih dari dua negara di dunia.84 Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:

1) Penolakan pengakuan Amerika atas utang Kuba yang merupakan warisan kolonial Spanyol (1989)85

Pada tahun 1989, setelah perang Spanyol-Amerika, Spanyol menyerahkan kedaulatan atas Kuba, Filipina, Puerto Rico dan beberapa teritorialnya pada Amerika. Amerika menolak untuk menanggung utang Spanyol yang diwariskannya pada Kuba. Terkait penolakan utang Amerika atas Kuba, Komisioner Amerika berargumentasi sebagai berikut:

a) Utang tersebut dibuat bukan untuk kesejahteraan rakyat Kuba, melainkan untuk pendanaan yang digunakan untuk menekan populasi yang berkembang di Kuba dan untuk penyatuan kembali Santo Domingo di bawah Dominion Spanyol.

b) Rakyat Kuba tidak berniat mengikatkan diri pada perjanjian utang yang dibuat Spanyol.

84

Anthony Aust. Op Cit Hlm 6-7 Peter MalanczukAkehurst’s Modern Introduction to

International Law Seventh revised edition. Routledge, London and New York, 1997.hlm 2

Michael Schmitt & Jelena Pejic (edt).International Law and Armed Conflict: Exploring the

Faultiness. Martinus Nijhoff Publishers. Leiden Boston 2007.hlm 320

85 Robert Howse. 2007, The Concept of Odious Debt in Public International Law, Discussion

c) Kreditur tahu bahwa janji atas pendapatan Kuba sebagai jaminan utang diberikan sebagai usaha untuk menekan perlawanan rakyat Kuba yang memperjuangkan kebebasan atas kekuasaan Spanyol namun kreditur tetap berusaha mendapat keuntungan atas kondisi ini.

Spanyol mengajukan argumentasi berdasarkan intepretasi sempit hukum internasional yang mengatur mengenai suksesi.86 Menurut pendapat Spanyol, Amerika terikat kewajiban pembayaran utang dengan segala kondisi yang menyertai utang tersebut. Komisioner Spanyol berargumentasi bahwa: “Secara sempurna hal ini terbukti dengan sendirinya bahwa dalam percampuran antara asumsi atas kewajiban yang ditimbulkan oleh kedaulatan dan pemenuhannya pada saat yang sama, Amerika dapat menghentikan kewajibannya dengan cara melepaskan (haknya) atau cara-cara lain yang sah. Kewajiban luar biasa berpindah secara utuh mengikuti kedaulatan yang diwariskan kepada Amerika.” Pada akhirnya, baik Kuba maupun Amerikat tidak menanggung utang ini berdasarkan

Treaty of Paris 1898.87

Komisioner Amerika menganggap utang yang diwariskan atas Kuba bersifat

odious dan menyebutkan kasus ini sebagai praktek pertama atas odious debt.

86 Ibid

87Treaty of Paris ditandatangani pada tanggal 10 Desember 1989 dan menandai berakhirnya

2) Penolakan Soviet atas Utang Tsar (1918)88

Setelah revolusi tahun 1917, Pemerintah Soviet mengumumkan bahwa dirinya akan membayar pinjaman dari rezim terdahulu. Tapi pada tahun 1918, Pemerintah Soviet menolak pembayaran utang tersebut dan membiarkannya tidak terbayar hingga saat ini. Alexander Nahum Sack yang merupakan mantan menteri pada rezim Tsarist, mencetuskan doktrin terkait perjanjian utang yang dilakukan oleh pemerintah sebelumnya. Menurut Sack, perjanjian utang yang dilakukan rezim Tsarist hanya melahirkan kewajiban personal. Lebih jauh Sack menjelaskan bahwa utang yang dilakukan oleh rezim Tsarist bersifat odious dan tidak dapat dipaksakan pembayarannya pada pemerintah suksesor karena sifatnya yang merugikan rakyat.89

Berdasarkan keputusan yang dikeluarkan pada tanggal 28 Januari 1918 pemerintah suksesor Rusia tidak membayar utang dari rezim Tsarist karena utang tersebut dibuat oleh tuan tanah Rusia atau kelompok bourgeoisie90 Rusia. Dalam

sebuah pernyataan yang disampaikan dalam Genoa Conferene pada 20 April 1922, delegasi Rusia menyatakan meskipun pihak Rusia mampu untuk membayar utng rezim terdahulu, pembayaran tersebut tidak akan dilakukan karena alasan prinsip dan kebutuhan politik.

88

Ashfaq Khalfan, Jeff King, & Bryan Thomas Op cit hlm 26 89 Robert Howse Op Cit hal 11

90

3) Arbitrase Tinoco 1923 (Costa Rica v. Great Britain)

Pada tahun 1922, Costa Rica menolak untuk membayar utang yang dibuat oleh the Royal Bank of Canada dengan mantan diktator Federico Tinoco. 91 Hal ini merupakan contoh dari tindakan negara yang dilandasi pada pergantian pemerintahan dan bukan oleh suksesor negara. Kasus ini juga merupakan contoh bahwa odious debt dapat dilakukan oleh kreditur privat.

Pada tahun 1917, Frederico Tinoco menggulingkan pemerintahan Costa Rica dan kemudian mengadakan pemilihan untuk mensahkan revolusi. Selama musim panas tahun 1919, the Banco Internacional de Costa Rica mengajukan kredit pada the Royal Bank of Canada, sebagai bentuk realisasi Royal Bank mengeluarkan sejumlah cek bagi pemerintahan Tinoco. Uang tersebut digunakan secara pribadi oleh Tinoco dan kerabatnya untuk hal-hal bukan merupakan kepentingan publik. Pada bulan Agustus 1919, Tinoco dan kerabatnya meninggalkan Costa Rica dan pemerintahannya runtuh pada bulan September. Pemerintahan berikutnya membuat suatu peraturan yang membuat tidak berlakunya semua transaksi yang dibuat antara negara dan pemegang kredit yang dikeluarkan oleh Banco Internacional. Kasus Costa Rica v Great Britain tentang

odious debt ini dimenangkan oleh Costa Rica.92

91 Robert Howse Op Cit hlm 12 92

4) Utang-utang Terkait Administrasi Belanda di Indonesia (1949)

Berdasarkan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diadakan di Den Haag antara 23 Agustus 1949 dan 2 November 1949, Pemerintah Indonesia setuju untuk menanggung sejumlah utang yang timbul atas penyerahan wilayah Indonesia oleh Belanda kepada Jepang pada tahun 1942. Setelah dilakukan negosiasi, disetujui bahwa Indonesia menanggung porsi utang 4,5 milyar gulden sementara Belanda menanggung 2 milyar gulden. Perjanjian tersebut diabaikan oleh pemerintah Indonesia dan menyisakan utang yang belum terbayar hingga saat ini. Seorang pegawai sipil Belanda yang bernama Polderman berusaha mengajukan tuntutan atas hilangnya gaji yang diterimanya atas 3 tahun masa intervensi Jepang. Kasus ini diajukan di Pengadilan Den Haag (terkenal dengan nama Polderman v. State of

the Netherland) dan pengadilan menolak kompensasi atas Polderman dengan

alasan utang yang dimiliki Indonesia memiliki karekteristik odious. 93 5) Utang Apartheid

Pada tahun 1973, PBB menyerukan Rezim Apartheid sebagai rezim diktator. Pada tahun 1977 PBB memberlakukan embargo atas Afrika Selatan dan pada tahun 1985 Dewan Keamanan PBB memberlakukan sanksi perdagangan atas rezim apartheid. Menghadapi permasalahan ini, rezim tersebut meminjam dana dari bank. Pada bulan Juli 1985, pemerintah mendeklarasikan Negara dalam keadaan darurat dan pada 1 September 1985 Afrika Selatan berhenti melakukan

93

pembayaran pada para krediturnya. Sementara itu, pada tanggal 12 November 2002, sebuah tuntutan ditujukan di Pengadilan New York Distrik Selatan atas ganti rugi apartheid melawan 8 bank, 12 perusahaan minyak, transportasi, dan komunikasi teknologi dari Jerman, Swiss, Inggris, Amerika, Belanda, dan Perancis. Tuntutan tersebut diajukan atas nama Khulumani Support Group mewakili 32000 korban penyiksaan, pemerkosaan, penahanan sewenang-wenang, dan tindakan tidak berperi-kemanusiaan yang dilakukan dengan dukungan utang Apartheid.94

6) Pembatalan sepihak Norwegia atas utang 5 negara berkembang95 Pada Oktober 2006, setelah dilakukannya kampanye oleh kelompok sipil dan pergerakan hak masyarakat di Ekuador. Norwegia menerima pertanggungjawabannya atas ketidakabsahan pinjaman terhadap 5 negara yakni: Ekuador, Mesir, Jamaika, Peru, dan Sierra Leone, dan secara sepihak membatalkan pinjaman atas negara-negara tersebut senilai 62 juta euro. Utang yang diberikan oleh Norwegia bukan merupakan odious debt, sedangkan tindakan pembatalan sepihak oleh Norwegia terhadap utang negara-negara berkembang tersebut merupakan suatu bentuk shared responsibility.96

Praktek penolakan utang yang atas dasar odious debt menunjukkan bahwa

odious debt doctrine merupakan suatu hal yang diakui berdasarkan hukum

94

Anup Shah, Causes of the Debt Crisis,http://www.globalissues.com , 2007 (27 Maret 2010) 95

Ibid

96Round Table on Conceptual and Operational Issues of Lender Responsibility for Sovereign Debt, World Bank, Washington D.C. 14 April 2008, hlm 3

kebiasaan internasional meskipun negara-negara dunia belum mencapai kesepakatan atas batasan konsep ini. Ditetapkannya pembatalan sepihak Norwegia atas utang yang diberikan kepada negara-negara berkembang sebagai suatu bentuk

shared responsibility dan bukan odious debt, menunjukkan bahwa terdapat adanya

anggapan yang berbeda atas konsep odious debt. Ada 2 opini berbeda yang mungkin timbul atas kerugian yang ditimbulkan oleh suatu utang luar negeri terhadap suatu bangsa , yang pertama utang tersebut bersifat odious, yang kedua hal tersebut disebabkan oleh kelalaian negara debitur.

c. Prinsip umum hukum internasional yang diakui oleh bangsa yang berdaulat

1) unjust enrichment (memperkaya diri sendiri)

Terdapat unsur unjust enrichment dalam setiap utang yang bersifat odious. Apabila utang debitur dibayarkan, jelas sekali tindakan tersebut memiskinkan negara debitur dan semakin menambah kekayaan kreditur mengingat utang tersebut tidak membawa manfaat yang nyata bagi debitur. Dalam prakteknya, terdapat kelemahan dari penggunaan prinsip ini yakni unjust enrichment umumnya diaplikasikan bersama dengan tidak adanya kewajiban hukum. Sehingga apabila debitur terikat secara hukum untuk membayar, maka prinsip ini tidak dapat berlaku.97

97 Ashfaq Khalfan, Jeff King, & Bryan Thomas Op Cit hlm 34,C.H. Schreuer, “Unjustified

Dalam kasus Shamia v. Joory [1958] 1 QB 448, diputuskan bahwa apabila A berhutang pada B, dan menjanjikan pada B bahwa utang tersebut akan dibayar oleh C dan menegaskan kewajiban tersebut pada C, maka hukum akan menganggap perjanjian tersebut sebagai kuasi-kontrak98 Prinsip serupa tampak pada kasus odious debt yang melibatkan pihak-pihak sebagai berikut: pemerintah

odious, pemerintah suksesor, dan debitur (negara, organisasi internasional, atau

lembaga privat). Perjanjian utang dibuat antara pemerintah odious dan debitur serta tidak memberi manfaat bagi pemerintah suksesor. Meskipun pemerintah

odious mengkonfirmasi utangnya untuk dibayarkan oleh pemerintah suksesor,

tindakan pemerintah odious tergolong tindakan memperkaya diri sendiri.

2) Kedaulatan negara

Dalam putusan Island of Palmas Case, Max Huber mengemukakan99

Sovereignty in the relations between States signifies independence. Independence in regard to a portion of the globe is the right to exercise therein, to the exclusion of any other State, the functions of a State. 100 Kedaulatan adalah

sebuah konsep mengenai alokasi kekuasaan. Konsep ini menekankan pada superioritas kekuatan pemerintahan nasional.101 Dalam hubungan internasional

98

Stephen Judge.Op Cit hlm 68 99

Vaughan Lowe. Sovereignty and International Economic Law.Redefining Sovereignty in

International Law. Hart Publishing,UK, 2008. Hlm 77. Netherlands v USA, Island of Palmas case

(1928), 2 UNRIAA 829 100

Kedaulatan dalam hubungan antar negara berarti kemerdekaan. Kemerdekaan dalam hubungannya sebagai bagian dari masyarakat dunia merupakan hak untuk menjalin hubungan keluar bersama denan negara lain, fungsi-fungsi dari negara.

101 Asha Kaushal. Revisiting History: How the Past Matters for the Present Backlash Against

terdapat 2 macam kedaulatan yang dimiliki oleh negara yakni kedaulatan internal dan kedaulatan eksternal.102 Kedaulatan internal mengarah pada otonomi dan kemampuan negara untuk memaksakan aturan dalam tingkat domestik sedangkan kedaulatan eksternal terkait dengan penerimaan kedaulatan suatu negara dalam komunitas internasional. Terciptanya hubungan antar negara dalam level internasional menjadikan kedaulatan suatu negara tidak lagi bersifat mutlak karena adanya bentuk tanggung jawab atas ikatan yang dibuat oleh negara lain. Hal ini menjadikan suatu negara tidak dapat secara sepihak menyalahi perjanjian yang dibuat dengan hanya berdasar pada alasan penegakan kedaulatan.

3) Prinsip itikad baik

Setiap perjanjian internasional harus dibuat berdasarkan itikad baik103 Prinsip ini tidak hanya mengatur hubungan antar negara, tetapi juga mengatur hak dan kewajiban bagi para pihak yang mengajukan tuntutan internasional atas perjanjian internasional uang berkaitan dengan tuntutan yang diberikan.104 Tidak dipenuhinya prinsip itikad baik dalam suatu perjanjian internasional dapat berakibat batalnya perjanjian tersebut demi hukum.105 Dalam kasus Vodafone

Pacific Ltd v Mobile Innovations Ltd, Hakim Priestley JA mengatakan bahwa

102

J. Samuel Barkin.Op Cit 6 103

Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 pasal 26, Vienna Convention On The Law Of Treaties Between States And International Organizations Or Between International Organizations 1986 pasal 26

104

Phoenix Action Ltd v. The Czech Republic ICSID Case No. ARB 6/05 para 107 105

Compañía de Aguas del Aconquija S.A. & Compagnie Générale des Eaux (Vivendi) v. Argentine Republic, ICSID Case No. ARB/97/3, Decision on Annulment, July

sebuah kontrak hanya akan berlaku efektif sepanjang dipenuhinya hal-hal yang dijanjikan para pihak, sepanjang persyaratan yang diajukan dapat diterima.106

Contoh dari tidak adanya prinsip itikad baik tampak pada perjanjian utang yang dilakukan oleh pemerintah Belanda pada Republik Indonesia berdasarkan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diadakan di Den Haag antara 23 Agustus 1949 dan 2 November 1949. Dialihkannya utang pemerintah ex-kolonial yang tidak memberi manfaat bagi rakyat Indonesia kepada pemerintah Indonesia, hanya akan berdampak pada semakin menderitanya rakyat Indonesia.

4) Abuse of Right (penyalahgunaan hak)

Dalam proses negosiasi kredit, negara dibebankan kewajiban untuk memastikan dana tersebut tidak akan digunakan oleh kreditur sebagai fasilitas untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Meskipun dalam perkembangan selanjutnya, debitur mungkin mengalami kesulitan untuk memantau penyimpangan dana yang pada awal perjanjian misalnya ditujukan untuk dana pendidikan.107Abuse of right dipandang

sebagai dasar atas munculnya prinsip itikad baik.108 Prinsip ini menjadi pilar atas

odious debt doctrine karena sifat odious debt yang bertentangan dengan

106

Elisabeth Peden. Op Cit hlm 2 107

Anthony E Cassimatis Human Right Related Trade Measures under International Law, Martinus Nijhoff Publishers, Leiden-Boston. 2007..hlm 384

108

August Reinisch. Analysis of the Export of Warship from the Former GDR Navy to

Indonesia between 1992-2004 in Terms of the Legitimacy of the German Entitlement to Payment.Vienna 30 May 2008. Hlm 21

kepentingan rakyat.109 Ada sebuah putusan menarik tentang prinsip abuse of right yang menyebutkan bahwa kewajiban hukum tidak serta merta menyertai pihak yang tidak tahu sebagaimana dijelaskan dalam kasus Land and Maritime

Boundary between Cameroon and Nigeria (Preliminary Objections): 110

The Court . . . notes that although the principle of good faith is one of the basic principles governing the creation and performance of legal obligations . . . it is not in itself a source of obligation where none would otherwise exist . . . There is no specific obligation in international law for States to inform other States party to the Statute that they intend to subscribe or have subscribed to the Optional Clause. Consequently, Cameroon was not bound to inform Nigeria that it intended to subscribe or had subscribed to the Optional Clause . . . Cameroon was not bound to inform Nigeria of its intention to bring proceedings before the Court. In the absence of any such obligations and of any infringement of Nigeria s corresponding rights, Nigeria may not justifiably rely upon the principle of good faith in support of its [objection to the jurisdiction].111

Berdasarkan yurisprudensi ini, apabila terjadi tuntutan hukum terhadap kreditur oleh negara debitur, kreditur tidak dapat menolak yurisdiksi pengadilan internasional dengan dalih tidak adanya prinsip itikad baik dalam hal korespondensi perkara.

109 Ibid 110

Shabtai Rosenne, Essays on International Law andPratice.Boston. Leiden, 2007, hlm 193 Judgment (cited) at 297 (para. 39). The initial quotation is from the Border and Transborder

Armed Actions case, note 40 above at 105 (para. 94)

111

Pengadilan..mencatat behwa meskipun prinsip itikad baik merupakan salah satu dasar yang mengatur penciptaan dan performa kewajiban hukum. Di dalamnya tidak termasuk sumber kewajiban dimana ketiadaannya akan memunculkan prinsip yang lainnya. Tidak ada kewajiban khusus bagi Negara untuk menginformasikan Negara pihak lain mengenai statute yang mana mereka tunduk kepadanya atau tunduk berdasarkan klausula pilihan. Secara konsekuen, Kamerun tidak terikat untuk menginformasikan kepada Nigeria mengenai penunduknnya (atas suatu Statuta) atau penundukan berdasarkan klausula pilihan… Kamerun tidak terikat kepada Nigeria atas niatnya untuk berperkara di Pengadilan dalam hal absennya kewajiban dan pelanggaran atas hak-hak korespondensi Nigeria. Nigeria tidak dapat menolak yurisdiksi pengadilan berdasarkan prinsip itikad baik.

Dalam penulisan ini, penulis beranggapan bahwa utang menjadi bersifat odious dan menyalahi prinsip-prinsip hukum internasional karena adanya hal-hal berikut:

1) pengalihan pembayaran atas suatu utang yang sifatnya merugikan kepada negara atau pemerintah suksesor merupakan pengalihan kerugian dan merupakan pelanggaran atas prinsip unjust enrichment.

2) Tindakan kreditur memaksa negara debitur untuk melakukan perjanjian utang melanggar hak negara debitur untuk menentukan kebijakan ekonominya sendiri. Hal ini merupakan pelanggaran atas prinsip kedaulatan negara.

3) Perjanjian yang dibuat bukan untuk kepentingan rakyat merupakan pelanggaran atas prinsip itikad baik. Dalam kasus odious debt, suatu utang menjadi bersifat odious apabila tujuan dari utang yang bukan untuk kepentingan rakyat tersebut diketahui oleh kreditur.

Utang yang dilakukan dengan tujuan yang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia merupakan suatu hal yang ilegal. Utang jenis ini ditunjukkan dalam kasus utang Apartheid, dimana utang yang dibuat oleh rezim diktator ditujukan untuk mendukung represi atas masyarakat pribumi. Utang jenis ini ilegal menurut prinsip abuse of right.

d. Yurisprudensi dan doktrin

Dokumen terkait