• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengalaman Bencana dan Dampaknya Terhadap Keluarga…

Dalam dokumen STUDI AWAL MENGENAI DONGENG SEBAGAI METO (Halaman 94-102)

BAB IV. PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN

D. Pembahasan

1. Pengalaman Bencana dan Dampaknya Terhadap Keluarga…

Sabtu, 27 Mei 2006 pagi baru saja menyingsing, beberapa warga Bantul memulai aktivitasnya seperti biasa, ibu-ibu di rumah mulai menyiapkan sarapan pagi untuk anak-anaknya, tak jarang pula warga yang masih melanjutkan mimpi indah diatas tempat tidur. Tidak ada yang menyangka bahwa pagi itu akan menjadi pagi yang takkan terlupakan. Beberapa keluarga nampak mulai melakukan aktivitas sehari-hari, bersiap untuk menjalani hari bekerja maupun sekolah. Dalam wawancara yang dilakukan kepada enam orang tua, dua guru dan tokoh masyarakat serta anak-anak, mereka menceritakan pengalamannya di sabtu pagi 27 Mei 2006,

baru mau makan terus ada getaran itu, ada bunyi ”jlung” terus ada getaran, terus beserta dua anak keluar rumah. (Ny.Sp, ww.01 B.3-5)

Di kamar tidur (dikamar tidur) tapi sudah bangun (bisa diceritain) sudah bangun terus lari keluar terus mbetho niku, An.B (7th). An.B (7th) yo sing tak gowo kae. (Bp.S, ww.02 B.19-22)

bangun tidur langsung lari di depan saya..baru itu kedaduk (cat peneliti.tersandung) batu itu..langsung aku nggak.. bisa.. bisa lari..kejadian itu saya langsung begitu peteng..(cat.peneliti : pusing) saya nggak teringat apa-apa saya.. (Ny.Ng, ww.03.B.31-35)

habis nimba baru ditaruh gitu mbak baru mau ambil piring satu, ga beberapa selang lama dari sebelah sana terdengar kayak semacam suara helikopter dari dalam tanah. Astaghfirullahaladzim ada suara apa itu ya, dalam hati saya wah kayaknya ada bahaya ni saya. Saya dari sini lari kedepan kesana mbak ini tembol dibelakang saya itu rubuh semua itu yang ada dibelakang saya.

(Ny.Mu, ww.04 B.11-16)

An.Ar (9 th) mau sarapan pagi.. udah mandi.. mak mana nasinya.. Lha nasinya di dalam sana.. Oh.. untung belum masuk ada itu.. bruk.. dik gempa.. saya ini kan.. saya bawa lari di bawah itu.. trus lihat ini to jendelane greng ogreng ogreng gitu.. saya lari panggil An.An (15 th) sama ponakan saya.. An.An (15 th).. An.An (15 th) .. An.An (15 th) sempoyongan di pintu. (Ny.Sar, ww.05 B.1-5)

Gempa bumi 5,7 S.R. mengguncang Provinsi DIY dan sebagian Jawa tengah, gempa ini hanya berselang tujuh bulan dari gempa di Nias dan 1.5 tahun dari gempa bumi dan gelombang tsunami yang melanda provinsi NAD.

Ny.Sp menceritakan bahwa saat terjadinya gempa, ia dan anak-anaknya sedang sarapan dan bersiap untuk pergi mengajar sedang kedua anaknya saat itu suda siap untuk berangkat ke sekolah, sebelum gempa ia mendengar sebuah bunyi keras dan ia beserta kedua anaknya segera keluar rumah. Bp.S menceritakan , saat terjadinya gempa ia dan anaknya An.B sedang tidur di kamar, saat terasa adanya getaran istri dan kedua anaknya An.My dan An M sudah terlebih dahulu keluar, Bp.S segera bangun dan membawa An.B namun saat itulah kepalanya terkena genting. Ny.Ng menceritakan saat itu ia baru bangun dan merakan ada getaran iapun lari namun ia terjatuh sehingga ia tertimpa rumahnya saat itu ia tidak merasakan apa-apa lagi (pingsan). Ny.Mu menceritakan bahwa saat terjadinya

gempa ia sedang menimba air untuk mencuci piring, suaminya sudah berangkat bekerja, sedangkan anaknya berada bersama simbahnya, kemudian ia mendengar seperti ada suara helikopter dari dalam tanah, ia pun segera berlari ke halaman. Ny.Sar menceritakan bahwa saat terjadinya gempa pagi itu ia sedang menyiapkan sarapan pagi untuk anaknya, saat itu An.Ar menanyakan dimana nasi, sebelum sempat mengambil nasi terjadi getaran besar, yang terlihat dari jendela rumahnya yang berbunyi, ia segera menarik An.Ar keluar sambil berteriak memanggil anak sulungnya An.An, saat itu suami beliau sedang bekerja shift malam di pabrik rokok di Bantul. Dua orang guru anak yang diwawancarai pula oleh peneliti mengungkapkan pula bahwa,

Saya waktu itu sedang.. sholat shubuh itu.. amalan sholat shubuh sudah selesai, trus mau.. berdiri, membuka baju.. tiba-tiba ada getaran yang sangat kuat..(Bp.Wr, ww.08, B.3-4)

Saya tu saat gempa tu berada di dapur.. memasak.. trus suami saya baru mbangunkan anaknya.. nggak tau saya baru menanak nasi dan air untuk minum.. trus langsung terasa saya kok ada seperti suara (tidak jelas) trus langsung bergerak ini bergerak trus saya lari tapi nggak menyadari kalo anak saya yang gedhe tu dah masuk di kamar mandi..

trus saya yang.. astaghfirullahal’adzim.. keluar keluar..bapaknya bisa

keluar, saya bisa keluar rumah..(Ny.Sj, ww.09 B.4-9)

Dari beberapa pengalaman yang dialami orang tua dan guru dalam peristiwa gempa 27 Mei 2006, peneliti menemukan bahwa gempa dini hari tersebut adalah sebuah kejadian yang sifatnya tiba-tiba, tak terduga, ketujuh subjek diatas menceritakan bahwa gempa terjadi saat mereka sedang melakukan aktivitas sehari-hari. Sedangkan Ny.Ng mengalami luka fisik karena terperangkap dalam rumahnya yang roboh, sedangkan Bp.S terkena genting yang jatuh, dari

pengalaman ini maka gempa yang terjadi berpotensi menyebabkan korban jiwa dan luka-luka yang luas.

Norris (dalam Handayani, 2007) mengemukakan bahwa bencana adalah terjadinya peristiwa mendadak atau tiba-tiba, yang mempunyai potensi menakutkan, mengerikan, mengejutkan, atau menimbulkan kehilangan dan kerugian bagi masyarakat luas. Atas potensi inilah bencana memerlkan sebuah upaya penangganan yang terpadu berbagai pihak untuk mengurangi dampak yang merugikan dan menyengsarakan manusia.

b. Dampak Bencana

Sebagian besar subjek yang diwawancarai memiliki rumah dari tembok . Dari delapan subjek dua keluarga mengalami kerusakan diatas 80% sedangkan yang lainnya hanya dibawah 30%,

Iya, bangun dulu. Memperbaiki dapur saya itu, yang, sebelah ini saya

bersihin semua, berantakan, wong roboh semua rata. (istrinya,‖warung itu‖). Bangun rung ono setahun roboh.(Bp.S, ww.02 B.152-154)

..saya minta tolong tolong.. nggak ada orang.. sama sekali nggak ada orang.. saya kan lihat rumah di depan itu kan masih utuh.. kok rumah saya rubuh.. anu kok cuma rumah saya sendiri..berusaha minta tolong kok anak saya buru-buru.. ini (tidak jelas) terus sing ditolong anak saya An.Ta iki terus dikeluarkan terus saya ya minta tolong terus bisa keluar.(Ny.Ng, ww.03 B.37-43)

Bencana menyebabkan kerugian berupa hancurnya tempat tinggal.Bp.S mengungkapkan bahwa bencana menghancurkan rumahnya terutama bagian belakang yang berfungsi sebagai dapur dan juga warung yang sehari-hari digunakan untuk usaha keluarga, robohnya bangunan ini otomatis sangat memukul aspek ekonomi keluarga Bp.S sedangkan Ny. Ng mengungkapkan bencana menghancurkan rumahnya rata dengan tanah hal ini sangat membuatnya

tertekan apalagi dengan tiga orang anak sebagai tanggungannya. Kerusakan yang diakibatkan ini tidak dapat secara cepat diatasi karena umumnya masyarakat membangun rumah sedikit demi sedikit.

Salah satu dampak yang sangat berat dari terjadinya bencana adalah adanya korban jiwa berupa keluarga dan orang-orang yang dikasihi, seperti pengalaman yang diceritakan oleh beberapa keluarga :

simbok itu dibopong sama bapaknya An.S karena ndak ndak bisa jalan tho tertimpa tu dinding, dindingnya kan roboh terus mengenai itu mengenai kepala (Ny.Sp, ww.01 B.20-22)

yang meninggal itu masih saudara sepupu opo yo tunggal mbah ki, nak tunggal mbah ki sepupu terus ini rumah ini anak kecil yang meninggal, ini juga masih-masih saudara jadi ini cucunya paklek kalau yang disana itu anaknya Budhe (Ny.Sp, ww.01 B.92-95)

Sak, sak kali disini. Sakiki sudah sembuh. Iya….kena genteng. (Bp.S, ww.02 B.25)

saya kan masih di (tidak jelas) sama anak saya..tadi anak saya yang kedua sudah keluar..cari itu lho cari.. anu.. mlinjo.. nha waktu itu kan anu.. ndak.. ndak belum..krasa ada itu..’IZIGG’ itu.. dua kali aku belum terasa.. yang terakhir kali aku baru terasa.. izig gitu aku langsung subhanallah..aku ngambil itu dua kali nggak sampai.. nggak bisa..tiga kali baru..bisa.. baru itu saya lari..tiba-tiba kok rumah sudah.. di belakang saya sudah bleg..bleg dah rubuh.. gitu.. nha saya kan sudah nggak ingat lagi kejadian itu (Ny.Ng, ww.03.B.25-31)

cuman sampai rumah kakak saya itu sudah ngerasane gempa itu, mau lari itu ga bisa cuma jatuh-jatuh begitu anu, gunung-gunung kan langsung, rumahnya langsung roboh bapak saya kena (Ny.Ng, ww.03.B.77-82)

Ny.Sp menceritakan bahwa simbok saat itu tertimpa tembok dikepalanya sehingga tidak sadarkan diri, selain simbok dari lingkungan tetangganya anaknya Bu De juga meninggal akibat kejatuhan tembok. Bp.S menceritakan bahwa saat ia berlari keluar rumah itulah kepalanya tertimpa genting yang membuatnya terluka. Ny.Ng menceritakan bahwa saat ia hendak keluar ia terjatuh dan tiba-tiba saja ia sudah tertimpa rumahnya yang roboh dan hal itu membuatnya terluka di kepala

dan memerlukan perawatan. Dari uraian yang diceritakan oleh keluarga maka gempa yang terjadi merupakan sebuah kejadian yang merugikan berupa kehilangan rumah, tempat usaha serta mengancam nyawa dan menyebabkan luka fisik. Hal ini senada dengan pandangan Departemen sosial (1998) yang mendefinisikan bencana sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, manusia, dan atau oleh keduanya yang mengakibatkan korban dan penderitaan manusia, kerugian harta benda, kerusakan lingkungan, kerusakan sarana, prasarana dan utilitas umum serta menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat.

Perubahan kehidupan yang berlangsung dengan cepat memaksa para keluarga untuk mencari jalan keluar untuk dapat bertahan dalam situasi bencana hal ini dilakukan oleh keluarga untuk memilih untuk mengungsi ke tempat yang aman. Salah satu stressor (sumber stres) pasca terjadinya sebuah bencana alam adalah mengungsi, atau relokasi. Mengungsi berarti pindah ketempat baru sampai masa tak ditentukan (dalam hal ini sampai keadaan cukup aman bagi keluarga) masa mengungsi adalah masa yang berat bagi keluarga terutama bagi orang tua, keterbatasan ruang hidup, keterbatasan sumber makanan, perubahan aktivitas, kehilangan privacy, gangguan yang disebabkan keadaan cuaca dsb. Dari wawancara diketahui bahwa tiap-tiap keluarga memilih tempat untuk mengungsi yang paling dianggapnya aman, tidak semua keluarga turut mengungsi di tempat-tempat yang ditentukan pemerintah, beberapa memilih untuk pindah ke tempat-tempat saudara, atau pergi ke lapangan kota, atau bahkan tidak mengungsi. Ny.Sp

memilih mengungsi ketengah sawah bersama keluarga besarnya (4 keluarga), sdangkan Bp.S, Ny.Ng, Ny.Mu mengungsi di lapangan desa, Ny.Sar memilih mengungsi dilapangan kota Bantul dan Ny.Si mengungsi dirumah saudara di daerah Godean. Berikut ini gambaran dari beberapa keluarga mengenai keadaan dalam pengungsian;

saya aja dilapangan aja hampir 2 minggu lho mbak, kalau embah saya dibawa kakak saya ke Jakarta(Ny.Mu, ww.04 B.77-78)

sayakan sudah pagi-pagi kemudian pindah kelapangan (itu kelapangan tengah itu ya kalau ga salah didiriin tenda itu ya?) iya ditenda, saya dilapangan saya begitu didiriin itu sayakan sudah begitu enak, nyaman ndak anu, soale sudah ada tendanya itu, 15 hari saya ditenda itu. (Ny.Ng, ww.03.B.169-176)

jam sembilanan saya cari itu.. trus saya dibawa ke.. sana.. ke

lapangan dwi windu itu.. he’em.. ke lapangan dwi windu itu trus..

sepuluh hari saya di

sana (Ny.Sar, ww.05 B.94-98)

Diungkapkan oleh Ny.Mu bahwa ia dan keluargamnya tinggal mengungsi di lapangan desa selama dua mingguan, pada masa itu simbahnya dibawa ke Jakarta oleh kakaknya. Ny.Ng mengungkapkan bahwa ia dan anak-anaknya berada di tenda pengungsian selama 15 hari, Ny.Sar mengungkapkan bahwa ia berada di pengungsian di lapangan kota selama sepuluh hari. Dari ungkapan diatas rataan keluarga mengungsi selama 1-15 hari.

Keluarga mengungkapkan akan adanya perubahan dari segi finansial atau pendapatan, hal ini terungkap sebagai berikut,

lha wong gimana lagi. Menghadapi anak mau masuk SMA, yang kuliah mau semesteran minta uang, yang matanya min minta kacamata. Padahal ndak ada keuangan sumbernya hanya dari gaji aja sudah saya ambil dulu

karena ada iming-iming gratis, karena aku yang ndak punya uang untuk biaya sekolah, disekolahkan di Bantul biar gratis, ternyata juga bayar pakai uang pembangunan 1,5 juta minimal (Ny.Sp, ww.01 B.128-131)

Ndek e orang tua tak tanami. Ada yang ga bisa ditanami apa-apa. Jadinya ya nganggur, kosong ga ada penghasilan(Bp.S, ww.02 B.110-111) Padahal ini.. pulsanya anak-anak gedhe juga (Ny.Sar, ww.05 B.23-24)

Dari tabel diatas, Ny.Sp mengungkapkan bahwa karena gempa berdekatan dengan waktu ajaran baru sekolah maka pengeluarannya paling besar adalah untuk biaya anak masuk sekolah dan juga untuk biaya SPP anaknya yang masih kuliah. Bp.S mengungkapkan bahwa selain karena pasca gempa ia semakin sulit mendapatkan pekerjaan, tanah pertanian juga tidak bisa ditanami karena mengalami kekeringan. Ny.sar mengungkapkan pula bahwa pengeluaran di keluarga lebih besar daripada penghasilan apalagi dengan besarnya biaya pulsa anak-anak (sejak gempa dibelikan handphone). Dari beberapa uraian yang dikemukakan beberapa keluarga maka peneliti melihat bahwa pada renggang waktu 25 hari sampai 3 bulan pasca gempa bumi 27 Mei 2006 keluarga masih merasakan dampak finansial yang disebabkan karena bertepatan dengan dimulainya masa ajaran baru sekolah, dan pengeluaran yang paling besar adalah dari kebutuhan anak-anak, termasuk perubahan pola berupa pemakaian barang-barang seperti handphone.

Soetarso (1997) mengungkapkan bahwa dampak bencana dapat bersifat primer, yaitu menyengsarakan orang dan merusak lingkungan secara langsung saat bencana terjadi, antara lain: kematian, sakit, kecacatan, stres, dan trauma emosional, menghancurkan pemukiman dan bisnis, menimbulkan musibah secara ekonomi dan kesengsaraan finansial dalam setiap bencana paling berat dialami oleh masyarakat miskin, dampak sekunder yaitu berupa timbulnya masalah keluarga, terutama bila kepala keluarga mengalami kematian, atau

kecacatan, pemberian bantuan yang tidak tepat dapat menyebabkan masalah berupa korban yang sulit untuk bangkit kembali, kesulitan ekonomi dan menyebabkan masyarakat tidak mampu menghadapi bencana di kemudian hari.

2. Dampak Psikologis Bencana Terhadap keluarga

Dalam dokumen STUDI AWAL MENGENAI DONGENG SEBAGAI METO (Halaman 94-102)

Dokumen terkait