• Tidak ada hasil yang ditemukan

Experience is the best teacher. Dari pengalaman dapat dipelajari makna kehidupan. Pengalaman jugalah yang menghantarkan seseorang pada pola fikir

kedewasaan. Karena itu penulis merasa perlu berbagi sedikit pengalaman selama hidup bersama masyarakat lokal Nagari Simpang Tonang demi mengungkapkan kebudayaan dari sudut pandang mereka. Pengalaman berburu data penelitian sembari mempelajari makna kehidupan bersama informan-informan yang luar biasa. Semoga dengan uraian pengalaman yang penulis sampaikan ini bisa menjadi pembelajaran bagi semua orang.

Penelitian ini dilakukan pada pertengahan Juni 2013 di suatu nagari yang unik di Sumatera Barat bernama Simpang Tonang. Unik karena masyarakat setempat mayoritas adalah etnis Mandailing, namun dalam kesehariannya kebudayaan Minangkabau lebih mendominasi kehidupan mereka. Rancangan proposal penelitian pun sudah diseminarkan. Berbekal surat penelitian lapangan dari kampus, penulis melangkah dengan pasti melakukan perjalanan melintasi Sumatera.

Penulis menumpang bus patas Antar Lintas Sumatera (ALS) jurusan Medan-Padang. Perjalanan selama kurang lebih 22 jam itu mengantarkan penulis pada sebuah kota kecil di Sumatera Barat bernama Bukittinggi. Di sini lah penulis dilahirkan. Kota kecil nan sejuk dan penuh kenangan. Beristirahat beberapa hari sambil melepas rindu dan mempersiapkan segala sesuatu keperluan berburu data di lapangan nantiknya.

Penulis tidak mau mengulur waktu lebih lama lagi. Semakin cepat dikerjakan, maka semakin cepat pula selesainya. Minggu, 9 Juni 2013 akhirnya peneliti bertolak dari Kota Bukittinggi menuju Pasaman. Ditemani adik perempuanku, kami menumpang suatu mini bus bernama Family. Kami diantar

oleh ayah ke Terminal Aur Kuning setelah membuat janji dengan Uda Boy, supirnya. Sejam sudah kami di bus menunggu penumpang lain yang memang sudah berniat untuk pulang kampung pada hari itu. Bus kami pun akhirnya melaju meninggalkan Kota Bukittinggi menuju Pasaman. Rute yang ditempuh adalah Bukittinggi-Panti-Talu. Jalanan berbelok menuruni bukit dengan jurang di sisi kirinya. Bagi pemain lama di jalan lintas Sumatera tentu mereka sudah lihai dan hafal dengan kondisi jalanan seperti ini. Medan itu terus berliku hingga memasuki Lubuk Sikaping, ibukota Kabupaten Pasaman dua jam kemudian.

Di Simpang Panti bus kami berhenti sejenak. Dua orang remaja putri berseragam pramuka menaiki bus kami. Suasana pun sontak berubah dengan bahasa Mandailing yang kental. Suara binatang malam pun ikut menyambut pergantian petang itu. Kawasan Cagar Alam Rimbo Panti merupakan surga tempat berdiamnya flora dan fauna endemik Pasaman. Hutan inilah yang menghubungkan kami dengan Kecamatan Duo Koto, tempat penelitian ini akan dilakukan.

Aroma kopi yang sedang direndang dari salah satu rumah warga memanggil sang penikmat malam untuk mencobanya. Di sisi-sisi jalan terlihat puluhan bangunan tempat masyarakat setempat menempa besi untuk dijadikan alat-alat keperluan rumah tangga. Beberapa orang etek pun menaiki bus kami dan mereka juga berbahasa Mandailing. Rasanya sudah tidak sabar menunggu esok hari. Bus kami meninggalkan Kecamatan Duo Koto memasuki Kecamatan Talamau Kabupaten Pasaman Barat. Sampailah kami di Talu, kampung ayahanda untuk beristirahat sejenak.

Senin, 10 Juni 2013 jam 10.00 WIB kami bertolak dari Talu menuju Duo Koto. Saya dan adik perempuan saya dibonceng oleh kemenakan ayah naik sepeda motor. Kami langsung mengunjungi Kantor Camat Duo Koto di Andilan untuk memberikan surat izin penelitian dari kampus. Namun petugas di sini menolak kehadiran kami dengan halus. Rupanya mereka punya tata cara tersendiri dalam mengurus hal mengenai surat-menyurat izin penelitian. Atas rekomendasi mereka kami harus mengurus terlebih dahulu surat ke Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik (KESBANGPOL) yang ada di Lubuk Sikaping. Kali ini adik perempuanku harus tinggal karena tidak mungkin kami tarik tiga menuju kota. Dia kami tinggalkan di rumah kakak rantangan penulis selama kuliah di Kota Medan. Rumahnya tidaklah jauh dari kantor camat tersebut.

Jam di telepon genggam penulis menunjukkan pukul 13.20 WIB. Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik Jln. Ahmad Yani No. 19 begitulah papan yang terpampang di depan bangunan tersebut. Kantor tersebut tampak sepi dan ternyata benar-benar tidak ada penghuninya sama sekali karena tidak ada yang menyahuti beberapa salam yang kami ucapkan. Dari Kantor Diknas, kami dapat info kalau ini adalah jam istirahat makan siang. Kami pun kembali setelah makan siang. Awalnya penulis merasa grogi, apalagi ketika ditanya mengenai pengetahuan empat pilar kehidudapan berbangsa dan bernegara oleh petugas. Suasana pun semakin mencair mereka mulai bertanya tentang keluarga dan alasan ketertarikan penulis terhadap judul penelitian yang membuat penulis terdampar di sana. Dari alasan-alasan yang penulis sampaikan sepertinya membuat mereka pun menjadi tertarik. Mereka memberikan surat izin dengan syarat penulis harus menyerahkan

hasil penelitian dikemudian hari. Penulis menyanggupinya sembari bertanya kenapa kami harus mengurus surat izin penelitian ke sini terlebih dahulu, padahal teman-teman saya bisa langsung ke Kantor Camat. Rupanya inilah peraturan di sini, semuanya dilakukan agar terkoordinir; tau siapa saja yang meniliti dan apa hasil yang telah diteliti.

Diguyur hujan kami pun pulang. Sudah hampir mangrib ketika kami sampai di tempat kakak untuk menyemput adik perempuanku. Kami menolak halus tawaran jamuan makan malam dari mereka karena alasan perjalanan masih jauh. Kakak dan abang itu bilang kalau adik saya orangnya sangat pemalu dan dia dari tadi menunggu dengan cemas kepulangan kami. Setelah beramah-tamah akhirnya kami pamit pulang ke Talu.

Hari berikutnya adalah hari pertama penulis bertandang di Kanagarian Simpang Tonang, tempat penelitian ini dilakukan. Surat tembusan dari KESBANGPOL semalam kami berikan kepada Camat Duo Koto, Wali Nagari, dan kepala KAN (Kerapatan Adat Nagari). Setelah itu penulis diantarkan oleh Da Ringga, kemenakan ayah ke rumah mertuanya di Ampung Parik. Disini lah kelak penulis akan tinggal selama melakukan penelitian.

Rumah-rumah tampak berjejar rapat, seperti tidak ada sedikit jarak untuk bernafas. Seperti rapatnya rumah kami di perumnas Kota Bukittinggi, namun rumah-rumah di sini terbuat dari kayu tua dengan warna hitam mendominasi. Salam kami dijawab si-empu rumah seraya membukakan pintu depan. Kedatangan kami disambut oleh rasa bahagia dan tidak disangka-sangka oleh mereka. Kami pun dipersilahkan duduk di ruang depan oleh ibu itu. Seorang

bapak-bapak pun datang dari ruangan sebelah bersama seorang nenek dan anak balita. Ibu itu meninggalkan kami untuk membuatkan minuman dengan membawa oleh-oleh titipan amei dari Talu. Seperti kebiasaan di sini, percakapan tersebut dimulai dengan mencari hubungan tali persaudaraan terlebih dahulu. Hal ini membuat kami menjadi semakin dekat. Saya kurang begitu paham mengkonversi istilah panggilan kekerabatan Minangkabau ke istilah panggilan kekerabatan Mandailing Simpang Tonang. Da Ringga adalah kemenakan kandung ayah, dalam tutur Mandailing kami mar-lae. Mertuanya tersebut dipanggil pak etek dan etek oleh Da Ringga, begitu jugalah seharusnya penulis memanggil mereka. Dari sini lah jembatan perkauman itu dibangun. Ini membuat kami menjadi semakin dekat.

Dari raut muka Pak etek sepertinya beliau masih trauma dengan kehilangan putri mereka beberapa minggu yang lalu. Dia lebih banyak merenung dengan tatapan kosong. Kedatangan penulis bersama menantunya mungkin hanya mengungkap luka lama. Apalagi disini penulis bertanya mengenai perkawinan mendiang puteri mereka dengan Da Ringga beberapa waktu yang lalu. Masih segar diingatan mereka rentetan prosesi perkawinan tersebut. Tapi tidak ada anggota keluarga yang mengetahui bagaimana adat perkawinan manjujur di rumah ini.

Di Rumah Bang Erman, abangnya mendiang kami mendapatkan informasi mengenai adat perkawinan lainnya tersebut. Nonok Sahlido (75) dengan pengetahuannya memaparkan perbedaan antara adat perkawinan sumondo Simpang Tonang dengan manjujur lengkap dengan jenis-jenisnya. Keterbatasan daya ingat nonok dibantu oleh anggota keluarga yang lainnya. Dari mereka

akhirnya kami direkomendasikan untuk menemui orang yang pernah menjalani adat manjujur bernama Karman Lubis di Aia Angek Talu. Kami pun bertolak ke Talu meninggalkan kegelapan kampung karna pemadaman listrik. Ya di Pasaman mati lampu ibaratnya sudah seperti makan obat sehari-hari.

Sesampainya di Talu, listrik masih padam. Penggalian data dari Pak Karman Lubis (60) dengan isterinya Buk Nursaida boru Hasibuan harus dilakukan dalam suasana temaran malam ditemani lampu dinding yang terbuat dari botol minuman berenergi dan sumbu. Dari penuturan mereka penulis menangkap adanya persamaan dan perbedaan antara manjujur yang lazim digunakan oleh orang Mandailing dengan manjujur yang berlaku di Simpang Tonang.

Penelitian dilanjutkan hari berikutnya di Simpang Tonang. Di Ampung Parik peneliti menemui Pak Pen, ketua KAN (Kerapatan Adat Nagari). Isteri beliau bilang kalau Pak Pen sehari-hari menghabiskan waktu memelihara hewan ternak di Ampung Parik. Sampailah kami di tempat tersebut dengan bantuan masyarakat setempat dan petunjuk yang diberikan ibuk itu. Tempat itu terletak di tengah areal persawahan sehingga kami harus berhati-hati meniti pematang sawah yang licin. Kami hanya menggunakan senter dan hp untuk menerangi jalan. Ada sebuah rumah kecil diantara kolam-kolam ikan dan kandang ayam dan di sekeliling arealnya dipagari oleh kayu dan jaring yang tinggi. Pak Pen, beliau tidak memberikan informasi apa-apa karna alasan kurang sehat. Beliau malah menyuruh kami menemui Pak Melan, ketua Bamus. Pak Melan direkomendasikan oleh Pak Pen karena beliau menyimpan arsip sejarah asal-usul Simpang Tonang. Kali pertama datang ke rumah Pak Melan yang terletak di samping tobat (kolam)

saya disambut oleh seorang ibu yang duduk di atas kursi roda, beliau sudah tidak bisa lagi berbicara seperti orang normal. Beliau kemudian menyalinkan sejarah tersebut kedalam beberapa lembar kertas dengan tulisan tangannya sendiri. Beberapa hari kemudian penulis datang untuk menjemputnya sesuai dengan perjanjian. Penulis beberapa kali melakukan wawancara secara berulang-ulang. Hal ini penulis lakukan agar benar-benar paham. Pak Melan orangnya ramah. Beliau mengajari penulis dengan rasa sabar dan beberapa petuah dalam menjalani kehidupan ini.

Tidak puas rasanya kalau mendapatkan informasi berulang-ulang seperti yang disampaikan oleh para informan di desa ini. Mungkin penulis kurang lihai dalam mengolah pertanyaan. Di kampung ini hampir tidak ada lagi yang menggunakan adat perkawinan manjujur. Berbekal informasi dari beberapa informan dan media jejaring facebook, penulis akhirnya berpetualang di Nagari Simpang Tonang agar bisa langsung mewawancarai mereka. Langka memang menemukan orang yang masih menggunakan adat manjujur di sini, tapi mereka ada dan masih mempertahankannya. Mereka turut memberi warna kepluralismean hukum di daerah perbatasan tersebut.

Sebulan sudah penulis hidup bersama mereka. Memakan apa yang mereka makan dan bertingkah laku seperti mereka. Ingkayu Siahapor adalah makanan baru bagi lidahku dan mungkin bagi sebagian orang hal ini terdengar sedikit ekstream. Makanan itu diolah dari belalang kecil dengan parutan anyang kelapa. Mandi pagi di pancur atau batang aek dan yang parahnya harus menahan hasrat ingin buang air besar sebab rumah ini tak memiliki kakus. Beberapa hari masih

bisa bertahan dan penulis akhirnya mencoba beradaptasi dengan menggunakan jamban tanpa penutup di atasnya. Mungkin anak-anak muda disana merasa aneh dengan tingkah laku penulis karena mereka sepertinya tertawa ketika penulis tidak nyaman dan selalu waspada melihat keadaan sekitar. Di lain hari penduduk tampak sibuk maloming atau memasak lemang. Hampir setiap rumah sedari pagi menyiapkan bulu (bambu), soban (kayu bakar), bulung ni pisang (daun pisang), dan bahan-bahan yang dipelukan dalam membuat lemang. Penulis juga menghadiri beberapa undangan mando’a dalam rangka menyambuat bulan puasa. Hingga suatu hari kami dikejutkan dengan adanya berita orang yang manyingkot atau gantung diri yang membuat penulis sadar akan kepercayaan mistis yang masih kental di sini. Penulis juga merasa tersanjung ketika menyaksikan gadis tuna rungu dengan segala keterbatasannya itu mencoba menunjukkan rasa ketertarikannya kepada penulis layaknya remaja normal pada umumnya. Hanya dia yang menghadiahkan senyuman, sementara yang lain menghadiahkan tangisan haru di hari terakhir itu. Saya akan benar-benar merindukan tidur di tikar anyaman pandan dihembus tiupan angin Gunung Kulabu, menyeruput teh panas dan santapan budu atau ingkayu sihapor sebelum mandi di pancur. Penduduk yang ramah dan memperlakukan penulis layaknya bukan orang asing. Beruntung rasanya dapat berkomunikasi dengan bahasa mereka sehingga bisa belajar makna kehidupan.

Dokumen terkait