• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah - Pluralisme Adat Perkawinan di Tanah Perbatasan (Studi Etnografi Mengenai Penerapan Adat Minangkabau, Mandailing, dan Hukum Islam di Kanagarian Simpang Tonang Kec. Duo Koto Kab. Pasaman Provinsi Sumatera Bara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah - Pluralisme Adat Perkawinan di Tanah Perbatasan (Studi Etnografi Mengenai Penerapan Adat Minangkabau, Mandailing, dan Hukum Islam di Kanagarian Simpang Tonang Kec. Duo Koto Kab. Pasaman Provinsi Sumatera Bara"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia memiliki banyak etnis yang tersebar di seluruh wilayah

Indonesia dari Sabang hingga Merauke. Masing-masing etnis tersebut memiliki

adat-istiadat dan kebudayaan yang berbeda satu sama lain. Perbedaan tersebut

terjadi karena kondisi alam dan kondisi sosial masyarakat yang ada. Dimana suatu

masyarakat memiliki suatu kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun

dari suatu generasi kepada generasi berikutnya.

Berbicara mengenai keberagaman kebudayaan Indonesia tidak hanya

berkaitan dengan seni belaka, namun sangat erat kaitannya dengan bagaimana

manusia menjalani kehidupannya. Dalam menjalani kehidupannya tersebut, suatu

masyarakat memiliki aturan yang harus dipatuhi oleh anggota masyarakatnya.

Suatu aturan yang dijadikan sebagai pedoman tentang apa yang harus dilakukan,

boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Aturan-aturan tersebut dapat

diamati dan dikaji dalam ranah antropologi hukum, karena aturan-aturan tersebut

lahir sebagai produk dari suatu kebudayaan masyarakat.

Salah satu contohnya adalah tata cara pelaksanaan perkawinan.

Perkawinan merupakan media budaya dalam mengatur hubungan antar sesama

manusia yang berlainan jenis kelamin. Perkawinan bertujuan untuk mencapai

suatu tingkat kehidupan yang lebih dewasa. Perkawinan tidak hanya menyatukan

(2)

kedua belah pihak, saudara-saudranya dan kerabat mereka masing-masing.

Sehubungan dengan adanya akibat-akibat perkawinan yang sangat penting

tersebut, maka masyarakat membutuhkan suatu norma atau kaidah yang mengatur

tentang syarat-syarat untuk peresmiannya, pelaksanaannya, kelanjutan serta

berakhirnya perkawinan tersebut.

Di era globalisasi ini perkawinan campuran antara etnis yang berbeda

sudah tidak dapat dibendung lagi. Arus urbanisasi dan modernisasi memperluas

pintu akses perantauan sehingga tidak ada lagi sekat yang mengisolasi suatu

daerah tertentu. Daerah perbatasan menjadi pintu gerbang migrasi tersebut. Di

daerah ini perkawinan campuran lurah terjadi meskipun tidak ada presentase yang

pasti karena dalam akta perkawinan tidak dicantumkan latar belakang etnisnya.

Sebagaimana diketahui bahwa daerah perbatasan merupakan suatu wilayah

persinggungan antar-budaya yang berbeda. Kebudayaan-kebudayaaan tersebut

saling berinteraksi sehingga terjadi proses percampuran kebudayaan (asimilasi).

Ada kebudayaan yang dominan, kebudayaan yang harus melebur dengan

kebudayaan lainnya, bahkan ada kebudayaan baru sebagai suatu identitas yang

lahir karna tidak ada kebudayaan yang dominan.

Kabupaten Pasaman mengalami hal tersebut. Pasaman merupakan salah

satu kabupaten yang terdapat di Provinsi Sumatera Barat. Secara administratif

wilayah ini berbatasan langsung di sebelah Utara dengan Kabupaten Mandaling

Natal, Provinsi Sumatera Utara. Menurut Djurip (2000:12), kata Pasaman berasal

dari bahasa Minangkabau yaitu pasamoan yang jika diterjemahkan ke bahasa

(3)

kesamaan pendapat antara golongan etnis yang mendiami Kabupaten Pasaman

tersebut. Etnis tersebut adalah Minangkabau dan Mandailing. Kesepakatan dan

kesamaan pendapapat merupakan sesuatu yang diutamakan agar tidak terjadi

perselisihan antar etnis, sehingga mereka dapat hidup berdampingan penuh

kerukunan dan kedamaian.

Dahulu hanya ada wilayah Kabupaten Pasaman saja, namun sekarang

Pasaman sudah mengalami pemekaran yaitu Kabupaten Pasaman Barat.

Pemekaran tersebut sesuai dengan Undang-Undang No. 38 Tahun 2003. Setelah

mengalami pemekaran tersebut luas Kabupaten Pasaman berkurang menjadi

3.947,63 Km2 yang terdiri dari 12 kecamatan, 32 nagari1 dan 209 jorong2

dengan Lubuksikaping sebagai ibukotanya. Salah satu kecamatan yang terdapat di

Kabupaten Pasaman ini yaitu Kecamatan Duo Koto yang terdiri dari Nagari

Cubadak dan Nagari Simpang Tonang tempat penelitian ini dilakukan.

Dalam konsepsi tradisional mengenai alam Minangkabau yang bersumber

pada tambo3, dinyatakan daerah Minangkabau terdiri dari daerah darek4

1Nagari

merupakan suatu replika dari republik mini dengan wilayah teritorial yang jelas.

Nagari merupakan suatu bentuk lembaga pemerintahan dan sekaligus merupakan lembaga kesatuan sosial. Ia mempunyai pemerintahan sendiri, punya manajemen suku adat sendiri yang mengatur tata kehidupan masyarakatnya. Dalam perkembangan otonomi daerah, istilah nagari

digunakan untuk menggantikan istilah desa yang digunakan di provinsi-provinsi lain di Indonesia.

Nagari merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat yang diakui dan merupakan bahagian yang integral dari pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2Jorong

merupakan suatu wilayah tempat tinggal yang terdiri dari beberapa rumah, telah memiliki peraturan hidup bermasyarakat, akan tetapi belum didirikan rumah gadang. Jorong

merupakan perangkat dari pemerintahan nagari. Jorong dipimpin oleh seorang kepala jorong. Dalam bahasa Indonesia disebut juga dengan kampung atau dusun.

3Tambo

adalah suatu karya sastra sejarah yang berisi uraian mengenai asal-usul orang Minangkabau beserta hukum-hukum adatnya.

(4)

rantau5

Bukan hanya etnis Minangkabau saja yang menganggap tanah perbatasan

Pasaman ini sebagai daerah rantau. Bagi etnis Mandailing, wilayah ini merupakan

bahagian dari wilayah harajaon (kerajaan) mereka. Hal ini terkait juga dengan

konsep merantau yang mereka miliki. Menurut Pelly (1994:11-12), misi migrasi

etnis Mandailing didasarkan pada konsep perluasan daerah teritorial. Mereka

menempati lahan baru dan menguasainya sebagai bagian dari Kerajaan Batak

(Batak Harajaon). Kedekatan geografis merupakan salah satu alasan kenapa etnis (Navis, 1984:53; Naim, 1984:61). Dalam tambo tersebut dijelaskan

batas-batas wilayah kerajaan Minangkabau, yaitu: “dari Sikilang Aia Bangih hinggo

Taratak Aia Hitam, Dari Durian Ditakuak Rajo hinggo Sialang Balantak Basi”.

Sikilang Aia Bangih adalah batas Utara, sekarang berada di Kabupaten Pasaman

Barat yang berbatasan dengan Kabupaten Mandailing Natal, Sumut. Taratak Aia

Hitam adalah Bengkulu. Durian Ditakuak Rajo adalah Kabupaten Bungo, Jambi.

Terakhir Sialang Balantak Basi adalah wilayah di Rantau Barangin, Kabupaten

Kampar, Riau. Pasaman merupakan wilayah kekuasaan dari kerajaan

Minangkabau. Wilayah Pasaman seperti: Muaro Sungai Lolo, Tapus, Rao Mapat

Tunggul, Kubu Nan Duo, Sinurut, Talu, Cubadak, Simpang Tonang, Paraman

Ampalu, Aua Kuniang, Parik Batu, Sasak, Sungai Aua, Aia Balam dan Sikilang

Aia Bangih, merupakan perluasan dari Luhak Agam.

4Darek

atau luhak adalah daerah yang dianggap sebagai sumber dan pusat adat Minangkabau. Daerah inti Minanagkabau ini terletak di dataran tinggi. Daerah ini terdiri dari Luhak Tanah Data, Luhak Agam, Luhak Limo Puluah Koto, yang biasanya disebut dengan "Luhak Nan Tigo". Di daerah inilah mula-mula orang Minangkabau mendirikan koto, dusun, nagari

sampai menjadi luhak

5Rantau

(5)

Mandailing memutuskan untuk bermigrasi ke daerah Pasaman. Selain itu, adat

Minangkabau di daerah rantau tidak sekuat adat Minangkabau di daerah darek

(luhak).

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa daerah Pasaman

merupakan daerah rantau bersama bagi etnis Minangkabau dan Mandailing. Di

daerah yang telah mendapat pengaruh dari dua kerajaan ini sering terjadi saling

pinjam-meminjam kebudayaan, sehingga budaya dan tradisi yang terdapat di sana

tidak sepenuhnya seperti tradisi Minangkabau dan juga tidak sepenuhnya seperti

tradisi Mandailing di Tapanuli Selatan. Meskipun dalam kehidupan sehari-hari

masyarakat Pasaman terlihat bahwa mereka lebih banyak mengacu pada

adat-istiadat serta tradisi Minangkabau, akan tetapi juga terlihat ada pengaruh tradisi

Mandailing. Salah satunya terlihat dari tata cara perkawinan yang tetap memakai

tata cara Minangkabau (tradisi meminang, pakaian adat, serta tradisi mengikuti

garis keturunan ibu), namun sebenarnya tradisi tersebut tidak sepenuhnya seperti

tradisi Minangkabau.

Pada masyarakat Simpang Tonang tradisi adat perkawinan ini disebut

dengan istilah sumondo. Adat perkawinan sumondo ini merupakan suatu realitas sosial budaya yang lahir sebagai suatu bentuk kompromi dalam menjembatani

perbedaan, serta mengatur perkawinan campuran di antara etnis Minangkabau

dengan etnis Mandailing.

Perkawinan sumondo ini merupakan kebudayaan pasar yang berlaku di

Simpang Tonang. Setiap anggota masyarakat yang hendak melakukan perkawinan

(6)

masyarakat lainnya masih ada yang tetap mempertahankan adat manjujur yang

dahulu dibawa oleh nenek moyang mereka dari Tapanuli Selatan. Adat manjujur

ini seolah kehilangan eksistensinya dalam beberapa kurun waktu terakhir

dikarenakan masyarakat sudah tidak paham akan adat tersebut di samping

biayanya yang relative lebih mahal. Sebenarnya adat manjujur boleh saja

dilakukan di daerah ini karena tidak ada yang melarangnya. Sistem manjujur

biasanya berlaku mutlak bagi laki-laki setempat yang kawin dengan perempuan

luar beretnis Mandailing yang memang menggunakan adat manjujur. Misalnya

perkawinan dengan perempuan yang berasal dari Ujung Gading, Panti, atau

Tapanuli. Namun jika yang terjadi sebaliknya, laki-laki luar dengan adat manjujur

kawin dengan perempuan setempat, maka bisa saja mereka menggunakan adat

ranto yakni perpaduan keudanya atau hanya sebatas syara’ dan undang-undang

yang berlaku. Hal di atas tidak berlaku mutlak karena di lapangan penulis

menemukan faktor-faktor lain yang mempengaruhi pemilihan adat apa yang akan

digunakan dalam suatu pernikahan.

Perkawinan campuran antara etnis Minangkabau dengan etnis Mandailing

di Kanagarian Simpang Tonang merupakan hal yang lumrah terjadi. Faktor

agama menjadi syarat utama terjadinya perkawinan tersebut. Dalam setiap

segi-segi kehidupan mereka selalu diwarnai dengan nilai-nilai Islam. Etnis Mandailing

mengistilahkannya dengan ombar do adat dohot ugamo6

6

Ungkapan “ombar do adat dohot ugamo”, yang secara harafiah artinya adat dan agama seiring-sejalan. Munculnya ungkapan ini melalui suatu proses dalam masa yang cukup panjang, dan di dalam masa yang panjang itulah terjadi benturan antara adat-istiadat dan agama Islam. Benturan tersebut terjadi karena adat-istiadat orang Mandailing sudah memiliki tatanan kehidupan, baik itu secara individu maupun secara bermasyarakat. Sementara agama Islam yang datang

(7)

Minangkabau mengistilahkannya dengan adat basandi syarak, syarak basandi

khitabullah7

Pada masyarakat Simpang Tonang berlaku beberapa hukum perkawinan.

Selain hukum adat sumondo, manjujur, dan adat ranto juga terdapat hukum

negara sebagaimana yang terdapat dalam UU No 1 Tahun 1974 dan hukum agama

Islam, dimana dalam prakteknya saling berhubungan satu sama lain. Situasi . Sebagaimana yang dikatakan oleh Benda-Backmann (2000:4),

bahwa kehidupan sosial masyarakat di Minangkabau telah diwarnai oleh

pluralisme hukum semenjak Islam masuk di daerah pada abad ke-16 dan

kemudian digabungkannya Minangkabau dalam Negara Klonial Hindia Belanda

pada awal abad ke-19. Orang Minangkabau termasuk etnis pertama yang

diislamkan di Indonesia telah menyerap konsep-konsep hukum Islam, seperti

hibah, wasiat dan wakaf dalam aturan hukum adatnya. Sebagian hukum Islam

juga telah menggantikan atau telah ditambahkan pada adat, misalnya hukum

perkawinan dan perceraian yang akhirnya digantikan oleh UU Perkawinan tahun

1974. Penerapan hukum Islam dalam proses perkawinan di Nagari Simpang

Tonang terlihat dari proses akad nikah (ijab qabul), meskipun penerapannya

diwarnai dengan adat masyarakat setempat.

para pemeluknya. Dengan kedatangan Islam itu maka bertemulah dua tatanan kehidupan di dalam masyarakat Mandailing yang masing-masing menuntut kepatuhan dari penganut/pendukungnya, yang membuat adanya persentuhan intens yang saling tarik-menarik antara kepentingan adat-istiadat dan agama, sehingga pada akhirnya lahirlah ungkapan ”ombar do adat dohot ugamo” di dalam masyarakat Mandailing.

7ABS-SBK artinya

(8)

kemajemukan hukum di daerah perbatasan ini merupakan hal yang sangat

menarik untuk dikaji. Hal inilah yang mendasari peneliti untuk meneliti mengenai

proses pemilihan adat sumondo, manjujur, dan adat ranto dalam sistem

perkawinan campuran antara etnis Minangkabau dengan etnis Mandailing di

Kanagarian Simpang Tonang, Kecamatan Duo Koto, Kabupaten Pasaman,

Provinsi Sumatera Barat.

1.2. Tinjauan Pustaka

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas Pasaman merupakan suatu

wilayah perbatasan yang terletak di antara daerah dengan kebudayaan Mandailing

dan Minangkabau. Menurut Arios (2003), masyarakat perbatasan dapat diartikan

sebagai masyarakat yang tinggal dan bersinggungan secara budaya di antara dua

atau lebih daerah dengan kebudayaan yang berbeda sehingga memungkinkan

terjadinya interaksi antarbudaya yang berbeda. Pada tingkat yang lebih jauh,

persinggungan budaya ini dapat mengakibatkan terjadinya budaya baru sebagai

hasil pembauran unsur-unsur kebudayaan masing-masing. Lebih lanjut

Koentjaraningrat (1981:149) menyebutkan bahwa di dalam interaksi sosial

manusia yang berbeda latar belakang kebudayaannya, maka dapat terjadi suatu

pembauran di dalamnya yang disebut dengan asimilasi. Proses sosial tersebut

timbul bila ada: 1). Golongan-golongan manusia dengan latar belakang

kebudayaan yang berbeda, 2). Mereka saling bergaul langsung secara intensif

dalam jangka waktu yang lama, 3). Kebudayaan tersebut masing-masing berubah

(9)

Kebudayaan masyarakat di Pasaman sangatlah unik, ia tidak seperti

kebudayaan Minangkabau dan Mandailing pada umumnya, akan tetapi merupakan

perpaduan dari dua kebudayaan tersebut. Misalnya saja penggunaan adat sumondo

dalam sistem perkawinan, meskipun dalam keseharian mereka berkomunikasi

menggunakan bahasa Mandailing. Menurut Astuti dan Widiyanto (1998/1999:4),

budaya masyarakat perbatasan diartikan sebagai budaya masyarakat yang tinggal

di daerah perbatasan budaya. Oleh karena itu, daerah ini merupakan pertemuan

paling sedikit dua budaya atau lebih. Dengan adanya dua kebudayaan atau lebih

yang tinggal di daerah tersebut berarti mereka mempunyai suatu kebudayaan

umum lokal atau budaya pasar sebagai acuan guna berinteraksi atau menjalin

hubungan baik dalam rangka memenuhi kebutuhan di lingkungan daerah tersebut.

Kewujudan budaya di Pasaman tersebut tidak terlepas dari sejarah

interaksi yang panjang antara kedua etnis tersebut di masa silam. Menurut Arios

(2003), ada dua kemungkinan yang terjadi dalam interaksi dua kebudayaan yang

berbeda, yaitu saling mempertahankan etnisitasnya atau saling memberi dan

menerima unsur-unsur kebudayaan. Jika yang terjadi adalah saling

mempertahankan etnisitasnya, ada kemungkinan akan terjadinya konfik sosial.

Sedangkan jika yang terjadi adalah saling memberi dan menerima unsur-unsur

kebudayaan, maka akan melahirkan suatu variasi kebudayaan baru atau bahkan

menciptakan etnis baru sebagai gabungan dari unsur-unsur budaya yang

berinteraksi.

Pada awalnya masyarakat Simpang Tonang menegaskan diri mereka

(10)

Tapanuli Selatan di bawah pipimpinan Rajo Sontang, mereka tetap mengikuti

adat-istiadat Minangkabau yang berlaku di daerah setempat, hanya bahasa mereka

saja yang masih bertahan. Akan tetapi, belakangan ini beberapa dari mereka

kembali menegaskan diri sebagai etnis Mandailing dengan menggunakan marga

di belakang namanya. Hal ini sesuai dengan kebutuhan etnis tersebut. Terkadang

rasa keetnisitasan bisa mengembang atau mengempis. Bahkan terkadang

perbedaan antar etnis sengaja diciptakan demi mendapatkan suatu keuntungan.

Menurut Barth (1988), tidak ada masyarakat yang benar-benar berasimilasi,

batas-batas etnik ini tetap ada walaupun terjadi proses penetrasi dan pengaburan batas-batas

kebudayaan di antara kedua kelompok etnis yang berbeda. Ini berarti bahwa

perbedaan-perbedaan budaya dapat terus ada walaupun kontak-kontak sosial

antarkelompok etnik dan saling ketergantungan di antara mereka terjadi.

Walaupun terjadi perubahan identitas etnis Mandailing di Kanagarian

Simpang Tonang, akan tetapi hukum yang berlaku di nagari tersebut lebih banyak

dipengaruhi oleh adat Minangkabau. Masyarakat asli yang sudah hidup beberapa

generasi di daerah ini lebih memilih untuk menggunakan adat Minangkabau

daripada adat Mandailing. Mengikuti pendapat Brunner (Astuti, 1998), kondisi

hubungan sosial (majemuk) setempat dapat berwujud kekuatan-kekuatan sosial

yang dapat menjadi dominan atau tidak dominan dan dapat mempengaruhi wujud

dari corak hubungan sosial di antara suku-suku bangsa yang berbeda identitas

serta berdiam bersama di tempat tersebut.

Masyarakat Kanagarian Simpang Tonang merupakan salah satu contoh

(11)

Perbedaan latar belakang kebudayaan antara etnis Mandailing dan Minangkabau

diminimalisir dengan melakukan musyawarah yang melahirkan suatu kesepakatan

bersama. Salah satu bentuk sederhana dari proses pembauran tersebut adalah

perkawinan campuran antara etnis Minangkabau dan etnis Mandiling yang

melahirkan sistem perkawinan sumondo. Menurut Hadikusuma (2007:15),

perkawinan campuran menurut hukum adat ialah perkawinan antara adat yaitu

perkawinan antara suami dan isteri yang adat istiadatnya berlainan, baik dalam

kesatuan masyarakat hukum adat dari suatu daerah, maupun di antara anggota

masyarakat adat yang daerah asal/ suku bangsanya berlainan.

Perkawinan merupakan suatu peristiwa sakral dalam sejarah kehidupan

manusia. Di dalam tatacara dan ritual pernikahan terkandung nilai-nilai dan

norma-norma yang merupakan unsur kebudayaan yang mengatur serta

mengukuhkan suatu hubungan yang sangat sensial antara manusia yang berlainan

jenis. Perkawinan bukan hanya menyatukan dua insan manusia, akan tetapi

menyatukan dua keluarga besar yang berbeda. Perkawinan selalu melibatkan

pihak lain, terutama karib-kerabat di setiap tahapaannya, mulai dari pencarian

pasangan, persetujuan, pertunangan, upacara perkawinan, bahkan sampai ke

akibat perkawinan.

Menurut Koentjaraningrat (1967:84-85), perkawinan merupakan salah satu

tahap yang terpenting dalam siklus kehidupan manusia (stage a long the

life-cycle)8

8Stage along the life cycle

yaitu berupa fase tingkat kehidupan seperti masa bayi, masa penyapihan, masa anak-anak, masa remaja, masa pubertet, masa sesudah nikah, masa tua, dan sebagainya.

. Perkawinan merupakan masa peralihan dari tingkat hidup remaja ke

(12)

memiliki status sosial yang lebih di tengah masyarakat. Perkawinan tidak hanya

berfungsi sebagai pengatur tingkah laku manusia yang berkaitan dengan

kehidupan seksnya saja, akan tetapi juga berfungsi sebagai pemberi kejelasan

akan hak dan kewajiban serta perlindungan pada hasil persetubuhan (anak-anak);

memenuhi kebutuhan akan teman hidup; memenuhi kebutuhan akan harta; akan

gengsi dan naik kelas dalam masyarakat; dan perkawinan juga berfungsi untuk

memelihara hubungan baik antara kelompok-kelompok kerabat tertentu.

Berbicara mengenai perkawinan di Indonesia, sebenarnya telah diatur di

dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974. Dalam Undang-Undang tersebut

dinyatakan bahwa: “perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria

dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa”. Suatu perkawinan dianggap sah di mata hukum negara Republik Indonesia

apabila perkawinan tersebut telah memenuhi aturan-aturan yang terdapat dalam

Undang-Undang dan telah mendapat pengesahan di mata agama atau kepercayaan

masing-masing. Selain itu, perkawinan tersebut harus dicatatatkan di Lembaga

Urusan Perkawinan agar memiliki legalitas hukum.

Selain hukum perkawinan negara di atas, perkawinan di Nagari Simpang

Tonang diatur oleh hukum adat (sumondo, manjujur, dan adat ranto) serta hukum

Islam. Perkawinan menurut hukum adat bukan saja sebagai perikatan perdata,

tetapi juga merupakan perikatan adat dan sekaligus merupakan perikatan

kekerabatan dan ketetanggaan. Jadi terjadinya suatu ikatan perkawinan bukan

(13)

hak dan kewajiban suami isteri, harta bersama, kedudukan anak, hak dan

kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut hubungan-hubungan adat istiadat

kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan dan ketetanggaan serta menyangkut

upacara-upacara adat keagamaan (Hadikusuma, 2007:8).

Adat pernikahan yang terdapat di Indonesia sangat beranekaragam

jenisnya. Hal ini sesuai dengan adat kebiasaan yang terdapat pada suatu kelompok

masyarakat. Keberanekargamaan adat pernikahan ini sangat unik dan mempunyai

ciri khasnya masing-masing. Hukum perkawinan ini sangat erat hubungannya

dengan sifat susunan kekeluargaan. Menurut Hadikusuma (2007:9), setidaknya

ada tiga jenis perkawinan bila dilihat dari sifat susunan kekeluargaan, yaitu:

a. Perkawinan jujur pada tertib keluarga patrilineal

Pada perkawinan jenis ini, pelamaran dilakukan oleh pihak pria kepada

pihak wanita dan setelah perkawinan isteri mengikuti tempat kedudukan dan

kediaman suami. Lebih lanjut Yaswirman (2011:130), mengatakan pada tertib

masyarakat patrilineal atau tertib sanak bertali satu seperti Tapanuli, perkawinan

juga menjadi urusan keluarga, keturunan dan klan. Anak ikut marga ayah

kandungnya. Sedangkan isteri kendati tetap memakai marga ayahnya, tetapi ia

masuk ke dalam kerabat suami, diikuti pula oleh anak-anaknya.

Perkawinan ini diawali dengan penyerahan sejumlah jujuran atau belis

kepada pihak wanita. Ada banyak istilah jujur atau belis di Indonesia, namun

semuanya mengandung arti beli. Misalnya: beuli niha di Nias, tuhor/boli/sinamot

di Batak, onjog di Gayo, weli di Ambon, patuku di Bali, dan lain sebagainya.

(14)

melepaskan gadis dari golongan sanak patrilinealnya dan memasukkannya ke

dalam golongan sanak dari famili suami.

Koentjaraningrat (1967:94-97) mengistilahkannya dengan bride-price,

yaitu sejumlah harta yang diberikan oleh si pemuda kepada si gadis dan kaum

kerabat si gadis. merupakan salah satu syarat perkawinan Maknanya adalah

sebagai pengganti kerugian karna anak gadis tersebut dianggap memiliki potensi

tenaga dalam keluarga tersebut. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa besar kecilnya

bride-price itu berbeda-beda, bahkan terkadang harus ditetapkan melalui

perundingan antara kedua pihak yang bersangkutan. Pada etnis tertentu bisa saja

yang dijadikan sebagai bride-price adalah benda yang bertuah seperti genderang

perungggu atau moko di Timor, uang setalen (25 sen) di Jawa. Menurut Rato

(2011:22), belis berbeda dengan mas kawin sebagaimana diajarkan dalam fiqih

Islam. Belis berkenaan dengan kewajiban seorang suami terhadap keluarga isteri,

sedangkan mas kawin berkenaan dengan keabsahan perkawinan.

Bagi etnis Rejang ketidakmampuan pihak laki-laki membayar uang jujur

atau hadiah-hadiah tertentu kepada keluarga calon isterinya akan mempengaruhi

garis keturunan anak-anak mereka kelak. Anak-anak dari perkawinan tersebut

tidak berhak menarik garis keturunan bapaknya, anak-anak tersebut termasuk

garis keturunan kakek dari ibu mereka (Ihromi, 2000:20). Namun pada etnis

lainnya terdapat beberapa jalan keluar yang ditawarkan apabila seorang laki-laki

tidak sanggup memberikan jujuran/belis, baik sebagian maupun

(15)

1. Kawin lari

Menurut Yaswirman (2011:130), perkawinan ini adalah perkawinan yang

mana seorang laki-laki melarikan seorang gadis atau melarikan diri berdua

sebagai pendahuluan perkawinan. Ini bisa dilakukan apabila calon suami tidak

mampu menyediakan uang jujuran. Tapi akhirnya juga sama, karena uang itu

harus dibayarkan oleh suami setelah ia mempunyai kelapangan.

2. Kawin mengabdi

Dalam perkawinan ini suami bekerja untuk keluarga calon isteri,

seolah-olah tidak dibeli dengan uang tetapi dengan tenaga. Di Bali dikenal dengan

santana dan di Lampung dikenal dengan ambil anak.

b. Perkawinan sumenda pada tertib keluarga matrilineal

Pada perkawinan jenis ini, pelamaran dilakukan oleh pihak wanita kepada

pihak pria dan setelah perkawinan suami mengikuti tempat kedudukan dan

kediaman isteri. Pada perkawinan ini tidak ada istilah belis, yang ada hanyalah

pembayaran-pembayaran lain seperti: pembayaran kepada orang tua gadis berupa

ongkos-ongkos peralatan perkawinan (antaran, tukon). Ada pula uang panjemput

yang diberikan kepada laki-laki yang dijadikan menantu (Ngani, 2012:39)

Salah satu contoh dari perkawinan ini adalah sistem perkawinan yang

berlaku di Minangkabau. Pada perkawinan ini tidak ada pembayaran jujur.

Seorang yang telah berumah tangga tetap menjadi kerabat asalnya. Suami di

rumah isteri disebut dengan urang sumando (semenda) dan tidak masuk ke dalam

(16)

perempuan dengan upacara adat untuk kemudian dibawa ke rumah isteri (alek

malapeh marapulai) (Yaswirman, 2011:134)

c. Perkawinan bebas pada tertib keluarga parental

Pada perkawinan jenis ini, pelamaran dilakukan oleh pihak pria dan

setelah perkawinan suami isteri bebas menentukan tempat kedudukan dan

kediaman mereka. Mengikuti pendapat Prodjodikoro (Yaswirman, 2011:131),

tertib hukum bilateral paling merata di Indonesia, yaitu semua etnis Jawa (mencar

atau mentas), Madura, Sumatera Timur, Riau, Aceh, Sumatera Selatan,

Kalimantan, Sulawesi, Ternate dan Lombok. Pada tertib hukum ini tidak ada

perbedaan antara suami dan isteri, baik dalam rumah tangga maupun dalam

keluarga masing-masing. Suami menjadi anggota keluarga isteri dan isteri juga

demikian. Status kerabat anak laki-laki dengan anak perempuan juga sama.

Setelah dewasa, mereka diberi kebebasan untuk ikut ayah atau ibu. Pemberian

sesuatu oleh suami untuk isteri ketika melangsungkan perkawinan bukan berarti

untuk pembelian isteri, melainkan sekedar pembelian kebutuhan rumah tangga

atau semata-mata hibah dari suami terhadap isteri.

Di samping sifat susunan kekeluargaan seperti: genealogi patrilineal (garis

bapak), genealogi matrilineal (garis ibu), genealogi parental (garis bapak dan

ibu), keberagamanan hukum adat juga ditentutakan oleh genealogi teritorial

(wilayah). Hal tersebut berpengaruh dalam penentuan adat menetap setelah kawin.

Setidaknya ada tujuh kemungkinan adat menetap setelah kawin menurut

(17)

a. Adat utrolokal, yang memberi kemerdekaan kepada tiap pengantin baru untuk

menetap sekitar pusat kediaman kaum kerabat si suami ataupun di sekitar

pusat kediaman kaum kerabat si isteri;

b. Adat virilokal, yang menentukan bahwa pengantin baru menetap sekitar pusat

kediaman kaum kerabat si suami;

c. Adat uxorilokal, yang menentukan bahwa pengantin baru menetap sekitar

pusat kediaman kaum kerabat isteri;

d. Adat bilokal, yang menentukan bahwa pengantin baru tinggal berganti-ganti,

pada satu masa tertentu sekitar pusat kediaman kerabat si suami, pada lain

masa tertentu sekitar pusat kediaman kaum kerabat si isteri;

e. Adat neolokal, yang menentukan bahwa pengantin baru tinggal sendiri di

tempat kediaman yang baru, tidak mengelompok sekitar tempat kediaman

kaum kerabat si suami ataupun kaum kerabat si isteri;

f. Adat avunkulokal, yang menentukan bahwa pengantin baru tinggal menetap

sekitar tempat kediaman saudara laki-laki ibu (avunculus) dari si suami;

g. Adat natolokal, yang menentukan bahwa pengantin baru tinggal terpisah, si

suami sekitar pusat kediaman kaum kerabatnya sendiri dan si isteri di sekitar

pusat kediaman kaum kerabatnya sendiri juga.

Selain sistem kekerabatan dan adat menetap setelah kawin, yang sangat

berpengaruh dalam bentuk perkawinan adalah sifat pemilihan jodoh. Dalam

masyarakat sederhana soal memilih jodoh tidaklah semata-mata bergantung pada

kehendak dari mereka yang menikah saja. Soal perkawinan ditentukan oleh

(18)

anggota keluarga terikat pada ketentuan-ketentuan kawin yang diharuskan dan

dihalalkan golongannya secara khusus melalui sebuah norma hukum adat (Rato,

2011:14). Mengikuti pendapat Wignjodipoe (Yaswirman, 2011:132-133), ada tiga

sistem perkawinan yang terdapat di Indonesia, yaitu:

a. Sistem endogami, yang mengharuskan seseorang mencari jodoh di lingkungan

sosial, kerabat, kelas sosial atau lingkungan pemukiman. Sistem ini hanya

ditemukan di Tanah Toraja. Sistem ini bersifat relatif karena perlu

ditambahkan dengan endogami apa, misalnya endogami ras, endogami

agama, endogami pelapisan masyarakat, atau endogami desa (Rato, 2011:14;

Ngani, 2012:36-37).

b. Sistem eksogami, yang mengharuskan seseorang mencari jodoh di luar

lingkungan sosial, kerabat, golongan sosial atau lingkungan sosial, seperti di

daerah Gayo, Alas, Tapanuli, Minangkabau, Sumatera Selatan, Boru, Seram,

dan lain-lain. Sistem ini juga bersifat relatif dan juga perlu dijelaskan

eksogami apa, misalnya eksogami desa, eksogami klan, eksogami marga, dan

sebagainya. (Rato, 2011:14; Ngani, 2012:36-37)

c. Sistem eleutherogami, yang tidak menganal larangan-larangan seperti dua

sistem di atas. Larangan terjadi jika ada ikatan keluarga senasab dan hubungan

keluarga (mushaharah) seperti yang terdapat dalam Islam. Sistem hukum ini

terdapat di Aceh, Sumatera Timur, Bangka Belitung, Kalimantan, Minahasa,

Sulawesi Selatan, Ternate, Irian, Timor, Bali, Lombok, seluruh Jawa dan

(19)

Dari jenis-jenis sistem perkawinan yang telah diuraikan di atas, maka

sistem perkawinan yang berlaku di masyarakat Kanagarian Simpang Tonang

adalah sistem perkawinan sumenda dengan sifat eksogami dan adat menetap

matrilokal. Akan tetapi di sini adat sumondo tidak sepenuhnya sama dengan adat

perkawinan Minangkabau. Pada adat sumondo pelamaran dilakukan oleh pihak

laki-laki. Di samping itu, sifat perkawinan eksogami marga bukanlah menjadi

sesuatu yang dianggap penting lagi. Perkawinan semarga, Lubis dengan Lubis

atau Nasution dengan Nasution, kerap terjadi di sini. Perkawinan eksogami

daerah pun kerap terjadi di daerah ini. Mengenai adat menetap setelah

perkawinan pun tidak hanya matrilokal, adakalanya bersifat neolokal dimana

mereka tinggal jauh dari kediaman kerabat isteri maupun suami di perantauan

karena alasan mencari nafkah, dan lain sebagainya.

Mengikuti pendapat Van den Berg (Yaswirman, 2011:63-72), hukum adat

adalah hukum agama, dimana suatu masyarakat menerima hukum tersebut secara

utuh (reception in complexu). Dengan kata lain, kalau suatu masyarakat itu

memeluk suatu agama tertentu, maka hukum adat masyarakat yang bersangkutan

adalah hukum agama yang dipeluknya itu. Mereka menerima hukum tersebut

secara utuh. Berdasarkan teori tersebut, maka hukum adat yang berlaku dalam

perkawinan pada masyarakat Minangkabau dan Mandailing di Kanagarian

Simpang Tonang adalah hukum Islam, sehingga perkawinan pun harus

berdasarkan hukum Islam.

Menurut Islam, perkawinan adalah akad (perikatan) antara wali wanita

(20)

si wanita dengan jelas berupa ijab (serah) dan qabul (diterima) oleh si calon suami

yang dilaksanakan di hadapan dua orang saksi yang memenuhi syarat. Hal ini

sesuai dengan hadist Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Ahmad:

Tidak sah nikah kecuali dengan dua wali atau yang adil” (Hadikusuma,

2007:10-11). Perintah kawin di dalam Islam terdapat di dalam kitab suci

Al-Qur’an, Allah berfirman: ”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia

menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung

dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan

sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda

bagi kaum yang berfikir”(Q.S. Ar-Ruum:21). Lebih lanjut, ketika hendak

melakukan suatu perkawinan, maka pihak laki-laki wajib memberikan maskawin

kepada wanita yang dinikahinya. Akan tetapi tidak ada ketentuan berapa besarnya

maskawin tersebut. Sebagaimana firman Allah SWT: “Berikanlah mahar (mas

kawin) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh

kerelaan” (Q.S.An Nisaa:4).

Tatacara dan adab pernikahan tidak hanya terdapat di dalam Al-Qur’an

saja, akan tetapi juga diatur oleh sunnah atau hadist Nabi Muhammad SAW.

Adapun rukun pernikahan tersebut yaitu:

a. Ada calon mempelai pengantin pria dan wanita

b. Ada maskawin/ mahar

c. Ada wali pengantin perempuan

(21)

e. Ada ijab (penyerahan wali pengantin wanita) dan ada qabul (penerimaan dari

pengantin pria)

Dalam prakteknya hukum Islam di Kanagarian Simpang Tonang tidaklah

sepenuhnya diterapkan sebagaimana yang diungkapkan oleh Van den Berg di

atas. Pertentangan antara hukum Islam dan adat terutama dalam hal kekerabatan.

Masyarakat Simpang Tonang menganut sistem matrilineal, dimana setelah

perkawinan suami tinggal bersama di rumah keluarga isteri. Sementara menurut

hukum Islam garis keturunan diambil dari ayah (patrilineal) dan isteri tinggal di

rumah yang telah disediakan oleh isteri.

Dari penjelasan di atas maka dapat dilihat bahwa hukum perkawinan

bukan hanya diatur oleh hukum negara semata. Di samping hukum negara,

perkawinan juga diatur oleh hukum-hukum lainnya seperti hukum adat dan

agama. Situasi seperti ini dalam antropologi dikenal dengan istilah “pluralisme

hukum”. Pluralisme hukum merupakan suatu situasi dimana ada dua atau lebih

hukum, saling berinteraksi atau saling mempengaruhi, dan berlaku di suatu

kelompok masyarakat.

Menurut Griffith (Irianto dalam Ihromi, 1993), pluralisme hukum adalah

suatu situasi dimana terdapat lebih dari satu tatanan hukum yang berlaku dalam

suatu arena sosial (masyarakat). Dalam arena pluralisme hukum itu terdapat

hukum negara di satu sisi, dan di sisi lain adalah hukum rakyat yang terdiri hukum

adat, agama, kebiasaan-kebiasaan atau konvensi-konvensi sosial lain yang

dipandang sebagai hukum. Hukum-hukum itu dapat dijadikan sebagai pegangan

(22)

Hal ini sejalan dengan pendapat Sally Eagle Merry yang mengatakan

bahwa pluralisme hukum “... is generally defined as a situation in which two or

more legal systems coexist in the same social field” (... secara umum didefinisikan

sebagai suatu situasi dimana dua atau lebih sistem hukum hidup berdampingan

dalam bidang sosial yang sama) (Irianto dalam Masinambow, 2000:66). Lebih

lanjut Sally F. Moore menyebutkan bahwa dalam suatu lapangan tidak ada hukum

yang dominan. Suatu aturan umum akan terpengaruh oleh hukum-hukum lain

yang ada di sekitarnya (Semi Otonomus Social Field) (Irianto dalam Ihromi,

1993).

Pandangan pluralisme hukum dapat menjelaskan bagaimanakah hukum

yang beranekaragam secara bersama-sama mengatur suatu perkara. Melalui

pandangan pluralisme hukum, dapat diamati bagaimanakah semua sistem hukum

tersebut beroperasi bersama-sama dalam kehidupan sehari-hari, artinya dalam

konteks apa ia memilih aturan dan sistem peradilan yang lain.

Dalam pandangan pluralisme hukum tidak ada istilah sentralisme hukum

(legal centralism) yang menganggap hukum negara merupakan satu-satunya

hukum yang berlaku di suatu negara. Menurut Griffiths: “Legal pluralism is the

fact. Legal centralism is a myth,an ideal, a claim, an illusion. Legal pluralism is

the name of a social state of affairs and it is a characteristic which can be

predicted of a social group.” (Pluralisme hukum adalah fakta. Sentralisme hukum

adalah mitos, ideal, klaim, ilusi. Pluralisme hukum adalah nama dari keadaan

sosial urusan dan itu adalah karakteristik yang dapat diprediksi dari kelompok

(23)

interpretasi yang berbeda terhadap suatu aturan hukum. Hal ini terjadi karena

adanya dasar pengetahuan, harapan-harapan, dan kepentingan-kepentingan yang

berbeda-beda. Hal itu dapat dilihat ketika seseorang dihadapkan pada beberapa

pilihan pranata hukum, ia akan memilih suatu pranata hukum tertentu atau

kombinasi lebih dari satu aturan hukum demi pemenuhan kepentingannya.

Benda-Backman (2000:64-66) mengistilahkannya dengan forum shopping, dimana

orang-orang yang terlibat dalam suatu sengketa/masalah hukum lainnya dapat

memilih berbagai lembaga hukum untuk menyelesaikan kasusnya atas dasar

orientasi kepentingan.

Sistem hukum yang berbeda-beda ini terjadi karena beragamnya latar

belakang kebudayaan suatu kelompok masyarakat tertentu. Dalam antropologi,

hukum merupakan bagian dari kebudayaan. Secara umum hukum dapat dijadikan

sebagai pedoman dalam bertindak (apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan) di

dalam suatu kelompok masyarakat. Nilai-nilai budaya tersebut diajarkan kepada

setiap warga masyarakat supaya dapat menjadi pedoman berlaku pada waktu

melakukan berbagai peranan dalam situasi sosial. Salah satu cara untuk

mendorong para anggota masyarakat supaya melestarikan kebudayaan itu adalah

hukum (Ihromi, 2000:4).

Oleh karena itulah suatu perkawinan tidak hanya disahkan berdasarkan

pada satu pilihan hukum saja (hukum negara melalui undang-undang), akan tetapi

suatu perkawinan dapat disahkan berdasarkan pilihan hukum yang menurut

masyarakat itu sangat mempengaruhi dalam kehidupan seharinya, misalnya saja

(24)

sejumlah rangkaian upacara adat yang dipertahankan dan dilestarikan oleh

masyarakatnya.

Prinsip dan aturan perkawinan yang dijalankan pada masyarakat Simpang

Tonang, selain menerapkan hukum adat (sumondo, manjujur, dan adat ranto),

hukum Islam (akad nikah) serta hukum nasional (pencatatan sipil), dimana dalam

prakteknya saling berhubungan satu sama lain. Situasi kemajemukan ini

mencerminkan bahwa studi mengenai masyarakat perbatasan, terkait dengan

pemberlakuan aturan hukum yang ada menarik untuk dikaji, di samping juga

adanya faktor kompleksitas dalam budaya masyarakatnya itu sendiri. Meskipun

hukum negara yang dianggap legal mulai menggeser keberadaanya, namun dalam

kehidupan sehari-hari hukum adat dan agama masih digunakan. Hal ini

menunjukkan bahwa lingkup hukum adat dan agama tidak hanya terbatas pada

penyelesaian sengketa saja, perkawinan juga merupakan salah satu aktifitas yang

bisa diamati dalam melihat keberagaman hukum.

Kajian mengenai perkawinan campuran antara etnis Minangkabau dengan

Mandailing di tanah perbatasan Pasaman sebenarnya bukanlah hal yang baru.

Sebelumnya sudah pernah dikaji oleh orang lain, baik dari background

antropologi maupun hukum. Beberapa di antaranya adalah penelitian yang

dilakukan oleh Asri tahun 2011 di Jorong Pasar Rao dan penelitian Edishan tahun

1994 di Kecamatan Talamau.

Dari hasil penelitian Asri tahun 2011 di Jorong Pasar Rao, ditemukan

bahwa tidak ada larangan perkawinan campur antara etnis Minangkabau dengan

(25)

dirasakan oleh anak atau keturunan buah dari hasil perkawinan tersebut. Anak

sering tidak mendapatkan status sosial dan hak waris sebagai keturunan orang

tuanya. Pada masyarakat Jorong Pasar Rao Pasaman terjadi suatu fenomena

saling mempertahankan ketentuan atau norma-norma adat masing-masing,

terutama sekali yang menyangkut dengan penentuan status anak dan menyangkut

harta warisan. Menurut adat Minangkabau anak seorang laki-laki Minangkabau

yang kawin dengan seorang perempuan Batak, maka ia tidak memiliki hak atas

kaumnya karena si anak tidak mempunyai suku (kaum) yang jelas. Akan tetapi,

biasanya si anak akan diberikan pinjaman seumur hidup berupa oleh pihak

keluarga ayahnya dan warisan yang didapat hanya dari harta pencaharian orang

tua.

Menurut hasil penelitian Edishan tahun 1994, pelaksanaan hukum adat

Mandailing di Kecamatan Talamau telah disesuaikan dengan adat Minangkabau,

misalnya pengambilan suku untuk anak bisa berasal dari pihak ibu ataupun pihak

bapak, warisan diberikan kepada anak dan kemenakan, serta pemegang

kedudukan kerajaan (penguasa rumah) dalam keluarga Mandailing, boleh

ditempati oleh anak maupun kemenakan.

Dari kedua hasil studi tersebut, hanya dibahas mengenai pelaksanaan

hukum waris dan kedudukan anak saja, tidak ada pembahasan rinci mengenai

bagaimana proses pemilihan adat pada perkawinan campur tersebut. Menurut

hemat penulis, proses pemilihan adat perkawinan (sumondo, manjujur, dan adat

ranto) di tanah perbatasan Pasaman merupakan suatu topik yang menarik untuk

(26)

apa yang cenderung digunakan oleh suatu keluarga, baik mengenai masalah

kedudukan suami-isteri, hubungan orang tua dengan anak dan harta benda dalam

perkawinan. Pada proses pemilihan adat ini juga terdapat aktor-aktor yang

berpengaruh dalam kehidupan sosial masyarakat tersebut. Di samping itu dalam

perkawinan campuran pluralisme hukum seringkali bertumpah tindih dalam hal

pengambilan keputusannya.

Mempelajari proses pemilihan adat pada kasus perkawinan campuran dari

perspektif pluralisme hukum bukanlah sesuatu hal yang kaku dan ketinggalan

zaman. Hal ini terjadi apabila proses pemilihan adat tesebut dikaitkan dengan

“hukum yang bergerak” dalam ranah globalisasi. Menurut Irianto (2009:29-40),

peneliti tidak dapat lagi membuat pemetaan terhadap keanekaragaman hukum

dalam lapangan kajian tertentu (maping of legal universe), menarik garis batas

tegas untuk membedakan suatu entitas hukum tertentu dari yang lain. Berbagai

sistem hukum yang berasal dari tataran yang berbeda-beda akan saling

bersentuhan, berkontestasi, saling memproduksi dan mengadopsi satu sama lain

secara luas. Untuk itu maka perlu dilihat para aktor yang menyebabkan hukum

tersebut bergerak dan kontekstualisasi sejarah globalisasi hukum. Kanagarian

Duo Koto bukanlah sebuah maping of legal universe. Ia hanya suatu wilayah

perbatasan dimana sering terjadinya migrasi dan perkawinan campuran antara dua

wilayah yang memiliki dua kebudayaan yang berbeda. Hal inilah yang

menyebabkan lahirnya suatu hukum baru sebagai akibat dari pembauran berbagai

hukum yang ada (nasional, adat agama, dan lain sebagainya). Hukum tersebut

(27)

dalam konsep berfikir (mind) masyarakatnya. Apabila keadaan memungkinkan,

maka mereka akan menerapkan hukum tersebut di lingkungan yang baru. Jika

tidak memungkinkan, maka akan lahir varian hukum baru sebagai akibat dari

persentuhan dengan hukum lainnya.

Pluralisme hukum tidak hanya dikaitkan dengan ko-eksistensi antara

berbagai sistem hukum yang berlaku dalam suatu arena tertentu. Batasnya

semakin kabur karena banyak adopsi, adaptasi, saling pengaruh di antara sistem

hukum yang saling bertemu. Hal ini menyebabkan hukum berubah dinamis

mengikuti perubahan yang terjadi di dalam masyarakat tersebut. Salah satu

penyebabnya adalah adanya migrasi dan perkawinan campuran (Irianto, 2009)

1.3. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah

dalam penelitian ini adalah bagaimana proses pemilihan adat perkawinan di

Kanagarian Simpang Tonang Kabupaten Pasaman Provinsi Sumatera Barat?

Rumusan masalah tersebut diuraikan melalui lima pertanyaan penelitian, yakni:

1. Adat perkawinan apa saja yang berlaku di Simpang Tonang?

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pemilihan adat perkawinan

tersebut?

3. Siapa saja tokoh-tokoh yang terlibat dalam proses pemilihan adat tersebut?

4. Proses-proses apa saja yang harus dilalui seseorang apabila hendak kawin baik

(28)

5. Bagaimana penerapan hukum lainnya seperti Undang-Undang Perkawinan

dan agama Islam di daerah tersebut?

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara mendalam (thick

description) mengenai budaya masyarakat perbatasan, khususnya mengenai gejala

pluralisme hukum dalam proses pemilihan adat perkawinan di Kanagarian

Simpang Tonang, Kecamatan Duo Koto, Kabupaten Pasaman, Provinsi Sumatera

Barat.

Secara akademis penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan

keilmuan dalam kaitannya dengan ilmu sosial seperti antropologi hukum yang

memperkaya literatur mengenai gejala pluralisme hukum pada masyarakat

perbatasan. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan

kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam hal pengembangan pariwisata,

serta sebagai bahan pertimbangan dalam pembuatan kebijakan

perundang-undangan yang sesuai dengan kondisi latar belakang budaya masyarakat

perbatasan.

1.5. Metode Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

kualitatif yang bertipekan deskriptif dalam suatu kajian etnografis. Penelitian

deskriptif kualitatif lebih tepat apabila digunakan untuk meneliti masalah-masalah

(29)

memberi gambaran mendalam mengenai gejala pluralisme hukum di tanah

perbatasan yaitu mengenai pemilihan adat sumondo, manjujur, dan adat ranto

dalam sistem perkawinan campuran antara etnis Minangkabau dan Mandailing di

Kanagarian Simpang Tonang Kecamatan Duo Koto, Kabupaten Pasaman,

Provinsi Sumatera Barat.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian antropologi hukum ini

bersifat holistik9

a. Wawancara Mendalam

, yaitu dengan mempelajari semua budaya yang terkait dan

melatarbelakangi peristiwa hukum yang terjadi (Hadikusuma, 2004:22).

Penelitian ini tidak hanya mempelajari mengenai hukum yang berlaku di suatu

masyarakat saja, akan tetapi juga mempelajari mengenai budaya perilaku

manusianya yang berbuat terhadap suatu masalah hukum, dikarenakan adanya

faktor-faktor budaya yang mempengaruhinya.

Dalam penelitian ini ada dua jenis data yang digunakan, yaitu: data primer

dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari lapangan melalui

observasi dan wawancara. Untuk melengkapinya maka digunakan data sekunder

yang diperoleh dari berbagai buku ilmiah, jurnal, media massa serta internet.

Untuk mendapatkan data-data primer maka digunakan metode pengumpulan

sebagai berikut:

Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara

mendalam (depth interview). Wawancara mendalam adalah proses memperoleh

9

Pendekatan holistik dalam

(30)

keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka

antara pewawancara dengan informan dengan atau tanpa menggunakan pedoman

wawancara, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial

yang relatif lama (Bungin, 2007:108).

Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah masyarakat

Kanagarian Simpang Tonang Kecamatan Duo Koto Kabupaten Pasaman Propinsi

Sumatera Barat yang mengetahui akan adat perkawinan yang berlaku tersebut.

Masyarakat Simpang Tonang yang peneliti maksud di sini bukan saja mereka

yang tinggal di kampung halaman, mereka yang tinggal di rantau pun tidak

menutup kemungkinan untuk menjadi informan dalam penelitian ini. Jumlah

informan dalam penelitian ini adalah sebanyak sembilan orang. Peneliti

membatasi jumlah informan sebanyak sembilan orang karena data yang

dibutuhkan dalam penelitian ini dirasa telah cukup. Informan-informan tersebut

ialah mereka yang telah melakukan perkawinan atau orang yang pernah terlibat

dalam suatu perkawinan. Alasannya ialah karena menurut hemat peneliti mereka

sudah mempunyai pengalaman bagaimana dahulu dihadapi oleh berbagai variasi

pilihan adat perkawinan. Di samping itu peneliti juga mewawancarai niniak

mamak atau tetua adat setempat guna mengetahui sejarah Nagari Simpang

Tonang serta adat-istiadat yang berlaku di nagari tersebut. Dalam penelitian ini,

peneliti tidak mengkategorisasikan informan ke dalam kategori informan pangkal,

informan biasa maupun informan kunci, karena semua orang yang memberikan

(31)

Dalam proses wawancara, maka rapport10

10Rapport

adalah keterampilan dalam membina hubungan baik antara peneliti dengan informan.

merupakan suatu hal yang perlu

diperhatikan. Hal ini akan mengurangi kecurigaan informan terhadap peneliti,

sehingga dengan keterbukaan tersebut diharapkan informan dapat memberikan

informasi berupa data terkait dengan masalah penelitian. Di sini peneliti

memposisikan diri sebagai orang yang tidak mengetahui mengenai masalah

pemilihan adat dalam perkawinan campur tersebut dan menunjukkan rasa

ketertarikan akan hal tersebut, sehingga mereka menjadi bersemangat untuk

menceritakan apa saja pengetahuan yang dimiliki tanpa adanya rasa takut

pendapat tersebut benar atau salah. Untuk menjalin rapport ini merupakan suatu

keterampilan yang perlu dilatih. Cara-cara yang peneliti lakukan dalam menjalin

hubungan baik dengan informan ini yaitu dengan terlebih dahulu

memperkenalkan diri dan sering-sering berkunjung. Setelah kehadiran peneliti

mulai dapat diterima oleh informan, maka dilakukanlah tahap penjajakan dengan

cara melontarkan beberapa pertanyaan yang ringan. Pertanyaan-pertanyaan yang

dilontarkan pun semakin mendalam dan menjurus pada inti masalah dalam

penelitian ini, sehingga terjadilah jalinan kerja sama dengan informan. Pada

tahapan berikut akan terjadi suatu partisipasi, dimana informan memberikan

informasi penting yang belum peneliti sadari sebelumnya untuk melengkapi

data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Perlu ditekankan di sini, bahwa dalam

menjalin rapport ini terkadang harus dilakukan pertemanuan secara intens

(berkali-kali). Hal ini bertujuan agar data yang didapatkan benar-benar mendalam

(32)

Dalam proses wawancara tersebut peneliti membutuhkan tape recorder.

Penggunaan alat perekam ini terkait dengan terbatasnya kemampuan daya ingat

penulis dalam mengingat setiap kata yang diucapkan oleh informan dan kecepatan

tangan yang belum terlatih dalam mecatat kata-kata yang diucapkan informan

secara rinci. Hasil wawancara tersebut kemudian dibuatkan transkripnya.

b. Observasi Partisipasi

Obeservasi atau pengamatan adalah suatu metode pengumpulan data yang

digunakan untuk menghimpun data penelitian yang melibatkan pancaindra

(Bungin, 2007:115). Observasi yang digunakan adalah observasi partisipasi.

Observasi partisipasi adalah pengumpulan data melalui observasi terhadap objek

pengamatan dengan langsung hidup bersama, merasakan, serta berada dalam

aktivitas kehidupan objek pengamatan (Bungin, 2007:116).

Peneliti tinggal dan hidup bersama masyarakat Kanagarian Simpang

Tonang Kecamatan Duo Koto Kabupaten Pasaman Provinsi Sumatera Barat

selama sebulan untuk mengungkapkan kebudayaan dari sudut pandang mayarakat

setempat (native point of vieuw). Selama tinggal dan hidup bersama dengan

mereka, peneliti melakukan pengamatan mengenai kegiatan-kegiatan yang

dilakukan dalam proses perkawinan campuran tersebut, pihak-pihak siapa saja

yang terlibat, alat-alat kelengkapan apa saja yang dibutuhkan, bagaimana

hubungan kekerabatan yang terjadi akibat perkawinan tersebut, serta bagaimana

interaksi atau hubungan sosial yang dijalin dalam berbagai bidang kehidupan.

Karena keterbatasan kemampuan daya ingat, maka perlu dilakukan

(33)

samping itu, juga akan dihasilkan karya-karya visual etnogarafi dalam bentuk

rekaman video dan foto. Data-data ini nantinya dapat membantu penulis untuk

memperjelas data-data yang didapatkan melalui wawancara, serta sebagai bukti

otentik keberadaan penulis di lapangan. Penggunaan alat-alat tersebut terlebih

dahulu telah mendapat persetujuan dari informan.

Untuk melengkapi data primer tersebut, maka dibutuhkan data sekunder.

Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan yaitu dari berbagai buku ilmiah,

jurnal, artikel, internet, dan hasil penelitian yang berhubungan dengan masalah

penelitian.

Data-data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis. Proses analisis

data dalam penelitian ini dapat dilakukan dengan on going analysis (analisis

berkelanjutan). Dengan kata lain, analisis tersebut telah dilakukan sebelum terjun

ke lapangan (analisis hasil studi terdahulu untuk menentukan fokus penelitian

sementara dan akan berkembang setelah peneliti terjun ke lapangan), saat

melakukan pengumpulan data di lapangan (analisis terhadap jawaban dari

informan), dan kemudian dilanjutkan setelah pengumpulan data selesai. Analisis

data dalam tersebut dilakukan secara kualitatif. Data-data yang telah terkumpul

dianalis menggunakan kebudayaan masyarakat itu sendiri dan kemudian baru

dianalisis menggunakan teori-teori yang objektif.

1.6. Pengalaman Lapangan: Suatu Refleksi

Experience is the best teacher. Dari pengalaman dapat dipelajari makna

(34)

kedewasaan. Karena itu penulis merasa perlu berbagi sedikit pengalaman selama

hidup bersama masyarakat lokal Nagari Simpang Tonang demi mengungkapkan

kebudayaan dari sudut pandang mereka. Pengalaman berburu data penelitian

sembari mempelajari makna kehidupan bersama informan-informan yang luar

biasa. Semoga dengan uraian pengalaman yang penulis sampaikan ini bisa

menjadi pembelajaran bagi semua orang.

Penelitian ini dilakukan pada pertengahan Juni 2013 di suatu nagari yang

unik di Sumatera Barat bernama Simpang Tonang. Unik karena masyarakat

setempat mayoritas adalah etnis Mandailing, namun dalam kesehariannya

kebudayaan Minangkabau lebih mendominasi kehidupan mereka. Rancangan

proposal penelitian pun sudah diseminarkan. Berbekal surat penelitian lapangan

dari kampus, penulis melangkah dengan pasti melakukan perjalanan melintasi

Sumatera.

Penulis menumpang bus patas Antar Lintas Sumatera (ALS) jurusan

Medan-Padang. Perjalanan selama kurang lebih 22 jam itu mengantarkan penulis

pada sebuah kota kecil di Sumatera Barat bernama Bukittinggi. Di sini lah penulis

dilahirkan. Kota kecil nan sejuk dan penuh kenangan. Beristirahat beberapa hari

sambil melepas rindu dan mempersiapkan segala sesuatu keperluan berburu data

di lapangan nantiknya.

Penulis tidak mau mengulur waktu lebih lama lagi. Semakin cepat

dikerjakan, maka semakin cepat pula selesainya. Minggu, 9 Juni 2013 akhirnya

peneliti bertolak dari Kota Bukittinggi menuju Pasaman. Ditemani adik

(35)

oleh ayah ke Terminal Aur Kuning setelah membuat janji dengan Uda Boy,

supirnya. Sejam sudah kami di bus menunggu penumpang lain yang memang

sudah berniat untuk pulang kampung pada hari itu. Bus kami pun akhirnya melaju

meninggalkan Kota Bukittinggi menuju Pasaman. Rute yang ditempuh adalah

Bukittinggi-Panti-Talu. Jalanan berbelok menuruni bukit dengan jurang di sisi

kirinya. Bagi pemain lama di jalan lintas Sumatera tentu mereka sudah lihai dan

hafal dengan kondisi jalanan seperti ini. Medan itu terus berliku hingga memasuki

Lubuk Sikaping, ibukota Kabupaten Pasaman dua jam kemudian.

Di Simpang Panti bus kami berhenti sejenak. Dua orang remaja putri

berseragam pramuka menaiki bus kami. Suasana pun sontak berubah dengan

bahasa Mandailing yang kental. Suara binatang malam pun ikut menyambut

pergantian petang itu. Kawasan Cagar Alam Rimbo Panti merupakan surga

tempat berdiamnya flora dan fauna endemik Pasaman. Hutan inilah yang

menghubungkan kami dengan Kecamatan Duo Koto, tempat penelitian ini akan

dilakukan.

Aroma kopi yang sedang direndang dari salah satu rumah warga

memanggil sang penikmat malam untuk mencobanya. Di sisi-sisi jalan terlihat

puluhan bangunan tempat masyarakat setempat menempa besi untuk dijadikan

alat-alat keperluan rumah tangga. Beberapa orang etek pun menaiki bus kami dan

mereka juga berbahasa Mandailing. Rasanya sudah tidak sabar menunggu esok

hari. Bus kami meninggalkan Kecamatan Duo Koto memasuki Kecamatan

Talamau Kabupaten Pasaman Barat. Sampailah kami di Talu, kampung ayahanda

(36)

Senin, 10 Juni 2013 jam 10.00 WIB kami bertolak dari Talu menuju Duo

Koto. Saya dan adik perempuan saya dibonceng oleh kemenakan ayah naik sepeda motor. Kami langsung mengunjungi Kantor Camat Duo Koto di Andilan untuk

memberikan surat izin penelitian dari kampus. Namun petugas di sini menolak

kehadiran kami dengan halus. Rupanya mereka punya tata cara tersendiri dalam

mengurus hal mengenai surat-menyurat izin penelitian. Atas rekomendasi mereka

kami harus mengurus terlebih dahulu surat ke Kantor Kesatuan Bangsa dan

Politik (KESBANGPOL) yang ada di Lubuk Sikaping. Kali ini adik perempuanku

harus tinggal karena tidak mungkin kami tarik tiga menuju kota. Dia kami

tinggalkan di rumah kakak rantangan penulis selama kuliah di Kota Medan.

Rumahnya tidaklah jauh dari kantor camat tersebut.

Jam di telepon genggam penulis menunjukkan pukul 13.20 WIB. Kantor

Kesatuan Bangsa dan Politik Jln. Ahmad Yani No. 19 begitulah papan yang

terpampang di depan bangunan tersebut. Kantor tersebut tampak sepi dan ternyata

benar-benar tidak ada penghuninya sama sekali karena tidak ada yang menyahuti

beberapa salam yang kami ucapkan. Dari Kantor Diknas, kami dapat info kalau

ini adalah jam istirahat makan siang. Kami pun kembali setelah makan siang.

Awalnya penulis merasa grogi, apalagi ketika ditanya mengenai pengetahuan

empat pilar kehidudapan berbangsa dan bernegara oleh petugas. Suasana pun

semakin mencair mereka mulai bertanya tentang keluarga dan alasan ketertarikan

penulis terhadap judul penelitian yang membuat penulis terdampar di sana. Dari

alasan-alasan yang penulis sampaikan sepertinya membuat mereka pun menjadi

(37)

hasil penelitian dikemudian hari. Penulis menyanggupinya sembari bertanya

kenapa kami harus mengurus surat izin penelitian ke sini terlebih dahulu, padahal

teman-teman saya bisa langsung ke Kantor Camat. Rupanya inilah peraturan di

sini, semuanya dilakukan agar terkoordinir; tau siapa saja yang meniliti dan apa

hasil yang telah diteliti.

Diguyur hujan kami pun pulang. Sudah hampir mangrib ketika kami

sampai di tempat kakak untuk menyemput adik perempuanku. Kami menolak

halus tawaran jamuan makan malam dari mereka karena alasan perjalanan masih

jauh. Kakak dan abang itu bilang kalau adik saya orangnya sangat pemalu dan dia

dari tadi menunggu dengan cemas kepulangan kami. Setelah beramah-tamah

akhirnya kami pamit pulang ke Talu.

Hari berikutnya adalah hari pertama penulis bertandang di Kanagarian

Simpang Tonang, tempat penelitian ini dilakukan. Surat tembusan dari

KESBANGPOL semalam kami berikan kepada Camat Duo Koto, Wali Nagari,

dan kepala KAN (Kerapatan Adat Nagari). Setelah itu penulis diantarkan oleh Da

Ringga, kemenakan ayah ke rumah mertuanya di Ampung Parik. Disini lah kelak

penulis akan tinggal selama melakukan penelitian.

Rumah-rumah tampak berjejar rapat, seperti tidak ada sedikit jarak untuk

bernafas. Seperti rapatnya rumah kami di perumnas Kota Bukittinggi, namun

rumah-rumah di sini terbuat dari kayu tua dengan warna hitam mendominasi.

Salam kami dijawab si-empu rumah seraya membukakan pintu depan.

Kedatangan kami disambut oleh rasa bahagia dan tidak disangka-sangka oleh

(38)

bapak-bapak pun datang dari ruangan sebelah bersama seorang nenek dan anak

balita. Ibu itu meninggalkan kami untuk membuatkan minuman dengan membawa

oleh-oleh titipan amei dari Talu. Seperti kebiasaan di sini, percakapan tersebut

dimulai dengan mencari hubungan tali persaudaraan terlebih dahulu. Hal ini

membuat kami menjadi semakin dekat. Saya kurang begitu paham mengkonversi

istilah panggilan kekerabatan Minangkabau ke istilah panggilan kekerabatan

Mandailing Simpang Tonang. Da Ringga adalah kemenakan kandung ayah, dalam

tutur Mandailing kami mar-lae. Mertuanya tersebut dipanggil pak etek dan etek

oleh Da Ringga, begitu jugalah seharusnya penulis memanggil mereka. Dari sini

lah jembatan perkauman itu dibangun. Ini membuat kami menjadi semakin dekat.

Dari raut muka Pak etek sepertinya beliau masih trauma dengan

kehilangan putri mereka beberapa minggu yang lalu. Dia lebih banyak merenung

dengan tatapan kosong. Kedatangan penulis bersama menantunya mungkin hanya

mengungkap luka lama. Apalagi disini penulis bertanya mengenai perkawinan

mendiang puteri mereka dengan Da Ringga beberapa waktu yang lalu. Masih

segar diingatan mereka rentetan prosesi perkawinan tersebut. Tapi tidak ada

anggota keluarga yang mengetahui bagaimana adat perkawinan manjujur di

rumah ini.

Di Rumah Bang Erman, abangnya mendiang kami mendapatkan informasi

mengenai adat perkawinan lainnya tersebut. Nonok Sahlido (75) dengan

pengetahuannya memaparkan perbedaan antara adat perkawinan sumondo

Simpang Tonang dengan manjujur lengkap dengan jenis-jenisnya. Keterbatasan

(39)

akhirnya kami direkomendasikan untuk menemui orang yang pernah menjalani

adat manjujur bernama Karman Lubis di Aia Angek Talu. Kami pun bertolak ke

Talu meninggalkan kegelapan kampung karna pemadaman listrik. Ya di Pasaman

mati lampu ibaratnya sudah seperti makan obat sehari-hari.

Sesampainya di Talu, listrik masih padam. Penggalian data dari Pak

Karman Lubis (60) dengan isterinya Buk Nursaida boru Hasibuan harus dilakukan

dalam suasana temaran malam ditemani lampu dinding yang terbuat dari botol

minuman berenergi dan sumbu. Dari penuturan mereka penulis menangkap

adanya persamaan dan perbedaan antara manjujur yang lazim digunakan oleh

orang Mandailing dengan manjujur yang berlaku di Simpang Tonang.

Penelitian dilanjutkan hari berikutnya di Simpang Tonang. Di Ampung

Parik peneliti menemui Pak Pen, ketua KAN (Kerapatan Adat Nagari). Isteri

beliau bilang kalau Pak Pen sehari-hari menghabiskan waktu memelihara hewan

ternak di Ampung Parik. Sampailah kami di tempat tersebut dengan bantuan

masyarakat setempat dan petunjuk yang diberikan ibuk itu. Tempat itu terletak di

tengah areal persawahan sehingga kami harus berhati-hati meniti pematang sawah

yang licin. Kami hanya menggunakan senter dan hp untuk menerangi jalan. Ada

sebuah rumah kecil diantara kolam-kolam ikan dan kandang ayam dan di

sekeliling arealnya dipagari oleh kayu dan jaring yang tinggi. Pak Pen, beliau

tidak memberikan informasi apa-apa karna alasan kurang sehat. Beliau malah

menyuruh kami menemui Pak Melan, ketua Bamus. Pak Melan direkomendasikan

oleh Pak Pen karena beliau menyimpan arsip sejarah asal-usul Simpang Tonang.

(40)

saya disambut oleh seorang ibu yang duduk di atas kursi roda, beliau sudah tidak

bisa lagi berbicara seperti orang normal. Beliau kemudian menyalinkan sejarah

tersebut kedalam beberapa lembar kertas dengan tulisan tangannya sendiri.

Beberapa hari kemudian penulis datang untuk menjemputnya sesuai dengan

perjanjian. Penulis beberapa kali melakukan wawancara secara berulang-ulang.

Hal ini penulis lakukan agar benar-benar paham. Pak Melan orangnya ramah.

Beliau mengajari penulis dengan rasa sabar dan beberapa petuah dalam menjalani

kehidupan ini.

Tidak puas rasanya kalau mendapatkan informasi berulang-ulang seperti

yang disampaikan oleh para informan di desa ini. Mungkin penulis kurang lihai

dalam mengolah pertanyaan. Di kampung ini hampir tidak ada lagi yang

menggunakan adat perkawinan manjujur. Berbekal informasi dari beberapa

informan dan media jejaring facebook, penulis akhirnya berpetualang di Nagari

Simpang Tonang agar bisa langsung mewawancarai mereka. Langka memang

menemukan orang yang masih menggunakan adat manjujur di sini, tapi mereka

ada dan masih mempertahankannya. Mereka turut memberi warna kepluralismean

hukum di daerah perbatasan tersebut.

Sebulan sudah penulis hidup bersama mereka. Memakan apa yang mereka

makan dan bertingkah laku seperti mereka. Ingkayu Siahapor adalah makanan

baru bagi lidahku dan mungkin bagi sebagian orang hal ini terdengar sedikit

ekstream. Makanan itu diolah dari belalang kecil dengan parutan anyang kelapa.

Mandi pagi di pancur atau batang aek dan yang parahnya harus menahan hasrat

(41)

bisa bertahan dan penulis akhirnya mencoba beradaptasi dengan menggunakan

jamban tanpa penutup di atasnya. Mungkin anak-anak muda disana merasa aneh

dengan tingkah laku penulis karena mereka sepertinya tertawa ketika penulis tidak

nyaman dan selalu waspada melihat keadaan sekitar. Di lain hari penduduk

tampak sibuk maloming atau memasak lemang. Hampir setiap rumah sedari pagi

menyiapkan bulu (bambu), soban (kayu bakar), bulung ni pisang (daun pisang),

dan bahan-bahan yang dipelukan dalam membuat lemang. Penulis juga

menghadiri beberapa undangan mando’a dalam rangka menyambuat bulan puasa.

Hingga suatu hari kami dikejutkan dengan adanya berita orang yang manyingkot

atau gantung diri yang membuat penulis sadar akan kepercayaan mistis yang

masih kental di sini. Penulis juga merasa tersanjung ketika menyaksikan gadis

tuna rungu dengan segala keterbatasannya itu mencoba menunjukkan rasa

ketertarikannya kepada penulis layaknya remaja normal pada umumnya. Hanya

dia yang menghadiahkan senyuman, sementara yang lain menghadiahkan tangisan

haru di hari terakhir itu. Saya akan benar-benar merindukan tidur di tikar anyaman

pandan dihembus tiupan angin Gunung Kulabu, menyeruput teh panas dan

santapan budu atau ingkayu sihapor sebelum mandi di pancur. Penduduk yang

ramah dan memperlakukan penulis layaknya bukan orang asing. Beruntung

rasanya dapat berkomunikasi dengan bahasa mereka sehingga bisa belajar makna

Referensi

Dokumen terkait

Untuk memecahkan permasalahan tersebut, peneliti memutuskan untuk membuat bahan ajar akuntansi materi jurnal penyesuaian menggunakan software eXe.Bahan ajar tersebut

Dalam penentuan sampel, pertama-tama dipilih satu atau dua orang, tetapi karena dengan dua orang ini belum merasa lengkap terhadap data yang diperlukan, maka peneliti

1) Menjadi agen pembangunan desa yang dapat memonitor, mengevaluasi dan mengaspirasikan kepada pihak pemerintah daerah serta wakil rakyat tentang permasalahan,

Temuan dari penelitian ini menunjukan bahwa dukhul sebagai alasan pambatalan ikrar talak di tinjau dari pemikiran hakim adalah sesuai pendapat hukum atau aturan

Uji hipotesis menunjukkan bahwa r hitung>r tabel pada taraf signifikansi 5% (0,344) terdapat korelasi yang signifikan antara motivasi belajar dan perhatian

Plot data hasil pengujian menunjukkan bahwa fasa S memiliki rentang waktu gangguan stabilitas tegangan jangka panjang berupa tegangan kurang yang lebih lama

Kesimpulan dari teori motivasi kerja Herzberg’s Two Factors Motivation Theory adalah fokus teori motivasi ini lebih menekankan bagaimana memotivasi karyawan di