BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia memiliki banyak etnis yang tersebar di seluruh wilayah
Indonesia dari Sabang hingga Merauke. Masing-masing etnis tersebut memiliki
adat-istiadat dan kebudayaan yang berbeda satu sama lain. Perbedaan tersebut
terjadi karena kondisi alam dan kondisi sosial masyarakat yang ada. Dimana suatu
masyarakat memiliki suatu kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun
dari suatu generasi kepada generasi berikutnya.
Berbicara mengenai keberagaman kebudayaan Indonesia tidak hanya
berkaitan dengan seni belaka, namun sangat erat kaitannya dengan bagaimana
manusia menjalani kehidupannya. Dalam menjalani kehidupannya tersebut, suatu
masyarakat memiliki aturan yang harus dipatuhi oleh anggota masyarakatnya.
Suatu aturan yang dijadikan sebagai pedoman tentang apa yang harus dilakukan,
boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Aturan-aturan tersebut dapat
diamati dan dikaji dalam ranah antropologi hukum, karena aturan-aturan tersebut
lahir sebagai produk dari suatu kebudayaan masyarakat.
Salah satu contohnya adalah tata cara pelaksanaan perkawinan.
Perkawinan merupakan media budaya dalam mengatur hubungan antar sesama
manusia yang berlainan jenis kelamin. Perkawinan bertujuan untuk mencapai
suatu tingkat kehidupan yang lebih dewasa. Perkawinan tidak hanya menyatukan
kedua belah pihak, saudara-saudranya dan kerabat mereka masing-masing.
Sehubungan dengan adanya akibat-akibat perkawinan yang sangat penting
tersebut, maka masyarakat membutuhkan suatu norma atau kaidah yang mengatur
tentang syarat-syarat untuk peresmiannya, pelaksanaannya, kelanjutan serta
berakhirnya perkawinan tersebut.
Di era globalisasi ini perkawinan campuran antara etnis yang berbeda
sudah tidak dapat dibendung lagi. Arus urbanisasi dan modernisasi memperluas
pintu akses perantauan sehingga tidak ada lagi sekat yang mengisolasi suatu
daerah tertentu. Daerah perbatasan menjadi pintu gerbang migrasi tersebut. Di
daerah ini perkawinan campuran lurah terjadi meskipun tidak ada presentase yang
pasti karena dalam akta perkawinan tidak dicantumkan latar belakang etnisnya.
Sebagaimana diketahui bahwa daerah perbatasan merupakan suatu wilayah
persinggungan antar-budaya yang berbeda. Kebudayaan-kebudayaaan tersebut
saling berinteraksi sehingga terjadi proses percampuran kebudayaan (asimilasi).
Ada kebudayaan yang dominan, kebudayaan yang harus melebur dengan
kebudayaan lainnya, bahkan ada kebudayaan baru sebagai suatu identitas yang
lahir karna tidak ada kebudayaan yang dominan.
Kabupaten Pasaman mengalami hal tersebut. Pasaman merupakan salah
satu kabupaten yang terdapat di Provinsi Sumatera Barat. Secara administratif
wilayah ini berbatasan langsung di sebelah Utara dengan Kabupaten Mandaling
Natal, Provinsi Sumatera Utara. Menurut Djurip (2000:12), kata Pasaman berasal
dari bahasa Minangkabau yaitu pasamoan yang jika diterjemahkan ke bahasa
kesamaan pendapat antara golongan etnis yang mendiami Kabupaten Pasaman
tersebut. Etnis tersebut adalah Minangkabau dan Mandailing. Kesepakatan dan
kesamaan pendapapat merupakan sesuatu yang diutamakan agar tidak terjadi
perselisihan antar etnis, sehingga mereka dapat hidup berdampingan penuh
kerukunan dan kedamaian.
Dahulu hanya ada wilayah Kabupaten Pasaman saja, namun sekarang
Pasaman sudah mengalami pemekaran yaitu Kabupaten Pasaman Barat.
Pemekaran tersebut sesuai dengan Undang-Undang No. 38 Tahun 2003. Setelah
mengalami pemekaran tersebut luas Kabupaten Pasaman berkurang menjadi
3.947,63 Km2 yang terdiri dari 12 kecamatan, 32 nagari1 dan 209 jorong2
dengan Lubuksikaping sebagai ibukotanya. Salah satu kecamatan yang terdapat di
Kabupaten Pasaman ini yaitu Kecamatan Duo Koto yang terdiri dari Nagari
Cubadak dan Nagari Simpang Tonang tempat penelitian ini dilakukan.
Dalam konsepsi tradisional mengenai alam Minangkabau yang bersumber
pada tambo3, dinyatakan daerah Minangkabau terdiri dari daerah darek4
1Nagari
merupakan suatu replika dari republik mini dengan wilayah teritorial yang jelas.
Nagari merupakan suatu bentuk lembaga pemerintahan dan sekaligus merupakan lembaga kesatuan sosial. Ia mempunyai pemerintahan sendiri, punya manajemen suku adat sendiri yang mengatur tata kehidupan masyarakatnya. Dalam perkembangan otonomi daerah, istilah nagari
digunakan untuk menggantikan istilah desa yang digunakan di provinsi-provinsi lain di Indonesia.
Nagari merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat yang diakui dan merupakan bahagian yang integral dari pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2Jorong
merupakan suatu wilayah tempat tinggal yang terdiri dari beberapa rumah, telah memiliki peraturan hidup bermasyarakat, akan tetapi belum didirikan rumah gadang. Jorong
merupakan perangkat dari pemerintahan nagari. Jorong dipimpin oleh seorang kepala jorong. Dalam bahasa Indonesia disebut juga dengan kampung atau dusun.
3Tambo
adalah suatu karya sastra sejarah yang berisi uraian mengenai asal-usul orang Minangkabau beserta hukum-hukum adatnya.
rantau5
Bukan hanya etnis Minangkabau saja yang menganggap tanah perbatasan
Pasaman ini sebagai daerah rantau. Bagi etnis Mandailing, wilayah ini merupakan
bahagian dari wilayah harajaon (kerajaan) mereka. Hal ini terkait juga dengan
konsep merantau yang mereka miliki. Menurut Pelly (1994:11-12), misi migrasi
etnis Mandailing didasarkan pada konsep perluasan daerah teritorial. Mereka
menempati lahan baru dan menguasainya sebagai bagian dari Kerajaan Batak
(Batak Harajaon). Kedekatan geografis merupakan salah satu alasan kenapa etnis (Navis, 1984:53; Naim, 1984:61). Dalam tambo tersebut dijelaskan
batas-batas wilayah kerajaan Minangkabau, yaitu: “dari Sikilang Aia Bangih hinggo
Taratak Aia Hitam, Dari Durian Ditakuak Rajo hinggo Sialang Balantak Basi”.
Sikilang Aia Bangih adalah batas Utara, sekarang berada di Kabupaten Pasaman
Barat yang berbatasan dengan Kabupaten Mandailing Natal, Sumut. Taratak Aia
Hitam adalah Bengkulu. Durian Ditakuak Rajo adalah Kabupaten Bungo, Jambi.
Terakhir Sialang Balantak Basi adalah wilayah di Rantau Barangin, Kabupaten
Kampar, Riau. Pasaman merupakan wilayah kekuasaan dari kerajaan
Minangkabau. Wilayah Pasaman seperti: Muaro Sungai Lolo, Tapus, Rao Mapat
Tunggul, Kubu Nan Duo, Sinurut, Talu, Cubadak, Simpang Tonang, Paraman
Ampalu, Aua Kuniang, Parik Batu, Sasak, Sungai Aua, Aia Balam dan Sikilang
Aia Bangih, merupakan perluasan dari Luhak Agam.
4Darek
atau luhak adalah daerah yang dianggap sebagai sumber dan pusat adat Minangkabau. Daerah inti Minanagkabau ini terletak di dataran tinggi. Daerah ini terdiri dari Luhak Tanah Data, Luhak Agam, Luhak Limo Puluah Koto, yang biasanya disebut dengan "Luhak Nan Tigo". Di daerah inilah mula-mula orang Minangkabau mendirikan koto, dusun, nagari
sampai menjadi luhak
5Rantau
Mandailing memutuskan untuk bermigrasi ke daerah Pasaman. Selain itu, adat
Minangkabau di daerah rantau tidak sekuat adat Minangkabau di daerah darek
(luhak).
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa daerah Pasaman
merupakan daerah rantau bersama bagi etnis Minangkabau dan Mandailing. Di
daerah yang telah mendapat pengaruh dari dua kerajaan ini sering terjadi saling
pinjam-meminjam kebudayaan, sehingga budaya dan tradisi yang terdapat di sana
tidak sepenuhnya seperti tradisi Minangkabau dan juga tidak sepenuhnya seperti
tradisi Mandailing di Tapanuli Selatan. Meskipun dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat Pasaman terlihat bahwa mereka lebih banyak mengacu pada
adat-istiadat serta tradisi Minangkabau, akan tetapi juga terlihat ada pengaruh tradisi
Mandailing. Salah satunya terlihat dari tata cara perkawinan yang tetap memakai
tata cara Minangkabau (tradisi meminang, pakaian adat, serta tradisi mengikuti
garis keturunan ibu), namun sebenarnya tradisi tersebut tidak sepenuhnya seperti
tradisi Minangkabau.
Pada masyarakat Simpang Tonang tradisi adat perkawinan ini disebut
dengan istilah sumondo. Adat perkawinan sumondo ini merupakan suatu realitas sosial budaya yang lahir sebagai suatu bentuk kompromi dalam menjembatani
perbedaan, serta mengatur perkawinan campuran di antara etnis Minangkabau
dengan etnis Mandailing.
Perkawinan sumondo ini merupakan kebudayaan pasar yang berlaku di
Simpang Tonang. Setiap anggota masyarakat yang hendak melakukan perkawinan
masyarakat lainnya masih ada yang tetap mempertahankan adat manjujur yang
dahulu dibawa oleh nenek moyang mereka dari Tapanuli Selatan. Adat manjujur
ini seolah kehilangan eksistensinya dalam beberapa kurun waktu terakhir
dikarenakan masyarakat sudah tidak paham akan adat tersebut di samping
biayanya yang relative lebih mahal. Sebenarnya adat manjujur boleh saja
dilakukan di daerah ini karena tidak ada yang melarangnya. Sistem manjujur
biasanya berlaku mutlak bagi laki-laki setempat yang kawin dengan perempuan
luar beretnis Mandailing yang memang menggunakan adat manjujur. Misalnya
perkawinan dengan perempuan yang berasal dari Ujung Gading, Panti, atau
Tapanuli. Namun jika yang terjadi sebaliknya, laki-laki luar dengan adat manjujur
kawin dengan perempuan setempat, maka bisa saja mereka menggunakan adat
ranto yakni perpaduan keudanya atau hanya sebatas syara’ dan undang-undang
yang berlaku. Hal di atas tidak berlaku mutlak karena di lapangan penulis
menemukan faktor-faktor lain yang mempengaruhi pemilihan adat apa yang akan
digunakan dalam suatu pernikahan.
Perkawinan campuran antara etnis Minangkabau dengan etnis Mandailing
di Kanagarian Simpang Tonang merupakan hal yang lumrah terjadi. Faktor
agama menjadi syarat utama terjadinya perkawinan tersebut. Dalam setiap
segi-segi kehidupan mereka selalu diwarnai dengan nilai-nilai Islam. Etnis Mandailing
mengistilahkannya dengan ombar do adat dohot ugamo6
6
Ungkapan “ombar do adat dohot ugamo”, yang secara harafiah artinya adat dan agama seiring-sejalan. Munculnya ungkapan ini melalui suatu proses dalam masa yang cukup panjang, dan di dalam masa yang panjang itulah terjadi benturan antara adat-istiadat dan agama Islam. Benturan tersebut terjadi karena adat-istiadat orang Mandailing sudah memiliki tatanan kehidupan, baik itu secara individu maupun secara bermasyarakat. Sementara agama Islam yang datang
Minangkabau mengistilahkannya dengan adat basandi syarak, syarak basandi
khitabullah7
Pada masyarakat Simpang Tonang berlaku beberapa hukum perkawinan.
Selain hukum adat sumondo, manjujur, dan adat ranto juga terdapat hukum
negara sebagaimana yang terdapat dalam UU No 1 Tahun 1974 dan hukum agama
Islam, dimana dalam prakteknya saling berhubungan satu sama lain. Situasi . Sebagaimana yang dikatakan oleh Benda-Backmann (2000:4),
bahwa kehidupan sosial masyarakat di Minangkabau telah diwarnai oleh
pluralisme hukum semenjak Islam masuk di daerah pada abad ke-16 dan
kemudian digabungkannya Minangkabau dalam Negara Klonial Hindia Belanda
pada awal abad ke-19. Orang Minangkabau termasuk etnis pertama yang
diislamkan di Indonesia telah menyerap konsep-konsep hukum Islam, seperti
hibah, wasiat dan wakaf dalam aturan hukum adatnya. Sebagian hukum Islam
juga telah menggantikan atau telah ditambahkan pada adat, misalnya hukum
perkawinan dan perceraian yang akhirnya digantikan oleh UU Perkawinan tahun
1974. Penerapan hukum Islam dalam proses perkawinan di Nagari Simpang
Tonang terlihat dari proses akad nikah (ijab qabul), meskipun penerapannya
diwarnai dengan adat masyarakat setempat.
para pemeluknya. Dengan kedatangan Islam itu maka bertemulah dua tatanan kehidupan di dalam masyarakat Mandailing yang masing-masing menuntut kepatuhan dari penganut/pendukungnya, yang membuat adanya persentuhan intens yang saling tarik-menarik antara kepentingan adat-istiadat dan agama, sehingga pada akhirnya lahirlah ungkapan ”ombar do adat dohot ugamo” di dalam masyarakat Mandailing.
7ABS-SBK artinya
kemajemukan hukum di daerah perbatasan ini merupakan hal yang sangat
menarik untuk dikaji. Hal inilah yang mendasari peneliti untuk meneliti mengenai
proses pemilihan adat sumondo, manjujur, dan adat ranto dalam sistem
perkawinan campuran antara etnis Minangkabau dengan etnis Mandailing di
Kanagarian Simpang Tonang, Kecamatan Duo Koto, Kabupaten Pasaman,
Provinsi Sumatera Barat.
1.2. Tinjauan Pustaka
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas Pasaman merupakan suatu
wilayah perbatasan yang terletak di antara daerah dengan kebudayaan Mandailing
dan Minangkabau. Menurut Arios (2003), masyarakat perbatasan dapat diartikan
sebagai masyarakat yang tinggal dan bersinggungan secara budaya di antara dua
atau lebih daerah dengan kebudayaan yang berbeda sehingga memungkinkan
terjadinya interaksi antarbudaya yang berbeda. Pada tingkat yang lebih jauh,
persinggungan budaya ini dapat mengakibatkan terjadinya budaya baru sebagai
hasil pembauran unsur-unsur kebudayaan masing-masing. Lebih lanjut
Koentjaraningrat (1981:149) menyebutkan bahwa di dalam interaksi sosial
manusia yang berbeda latar belakang kebudayaannya, maka dapat terjadi suatu
pembauran di dalamnya yang disebut dengan asimilasi. Proses sosial tersebut
timbul bila ada: 1). Golongan-golongan manusia dengan latar belakang
kebudayaan yang berbeda, 2). Mereka saling bergaul langsung secara intensif
dalam jangka waktu yang lama, 3). Kebudayaan tersebut masing-masing berubah
Kebudayaan masyarakat di Pasaman sangatlah unik, ia tidak seperti
kebudayaan Minangkabau dan Mandailing pada umumnya, akan tetapi merupakan
perpaduan dari dua kebudayaan tersebut. Misalnya saja penggunaan adat sumondo
dalam sistem perkawinan, meskipun dalam keseharian mereka berkomunikasi
menggunakan bahasa Mandailing. Menurut Astuti dan Widiyanto (1998/1999:4),
budaya masyarakat perbatasan diartikan sebagai budaya masyarakat yang tinggal
di daerah perbatasan budaya. Oleh karena itu, daerah ini merupakan pertemuan
paling sedikit dua budaya atau lebih. Dengan adanya dua kebudayaan atau lebih
yang tinggal di daerah tersebut berarti mereka mempunyai suatu kebudayaan
umum lokal atau budaya pasar sebagai acuan guna berinteraksi atau menjalin
hubungan baik dalam rangka memenuhi kebutuhan di lingkungan daerah tersebut.
Kewujudan budaya di Pasaman tersebut tidak terlepas dari sejarah
interaksi yang panjang antara kedua etnis tersebut di masa silam. Menurut Arios
(2003), ada dua kemungkinan yang terjadi dalam interaksi dua kebudayaan yang
berbeda, yaitu saling mempertahankan etnisitasnya atau saling memberi dan
menerima unsur-unsur kebudayaan. Jika yang terjadi adalah saling
mempertahankan etnisitasnya, ada kemungkinan akan terjadinya konfik sosial.
Sedangkan jika yang terjadi adalah saling memberi dan menerima unsur-unsur
kebudayaan, maka akan melahirkan suatu variasi kebudayaan baru atau bahkan
menciptakan etnis baru sebagai gabungan dari unsur-unsur budaya yang
berinteraksi.
Pada awalnya masyarakat Simpang Tonang menegaskan diri mereka
Tapanuli Selatan di bawah pipimpinan Rajo Sontang, mereka tetap mengikuti
adat-istiadat Minangkabau yang berlaku di daerah setempat, hanya bahasa mereka
saja yang masih bertahan. Akan tetapi, belakangan ini beberapa dari mereka
kembali menegaskan diri sebagai etnis Mandailing dengan menggunakan marga
di belakang namanya. Hal ini sesuai dengan kebutuhan etnis tersebut. Terkadang
rasa keetnisitasan bisa mengembang atau mengempis. Bahkan terkadang
perbedaan antar etnis sengaja diciptakan demi mendapatkan suatu keuntungan.
Menurut Barth (1988), tidak ada masyarakat yang benar-benar berasimilasi,
batas-batas etnik ini tetap ada walaupun terjadi proses penetrasi dan pengaburan batas-batas
kebudayaan di antara kedua kelompok etnis yang berbeda. Ini berarti bahwa
perbedaan-perbedaan budaya dapat terus ada walaupun kontak-kontak sosial
antarkelompok etnik dan saling ketergantungan di antara mereka terjadi.
Walaupun terjadi perubahan identitas etnis Mandailing di Kanagarian
Simpang Tonang, akan tetapi hukum yang berlaku di nagari tersebut lebih banyak
dipengaruhi oleh adat Minangkabau. Masyarakat asli yang sudah hidup beberapa
generasi di daerah ini lebih memilih untuk menggunakan adat Minangkabau
daripada adat Mandailing. Mengikuti pendapat Brunner (Astuti, 1998), kondisi
hubungan sosial (majemuk) setempat dapat berwujud kekuatan-kekuatan sosial
yang dapat menjadi dominan atau tidak dominan dan dapat mempengaruhi wujud
dari corak hubungan sosial di antara suku-suku bangsa yang berbeda identitas
serta berdiam bersama di tempat tersebut.
Masyarakat Kanagarian Simpang Tonang merupakan salah satu contoh
Perbedaan latar belakang kebudayaan antara etnis Mandailing dan Minangkabau
diminimalisir dengan melakukan musyawarah yang melahirkan suatu kesepakatan
bersama. Salah satu bentuk sederhana dari proses pembauran tersebut adalah
perkawinan campuran antara etnis Minangkabau dan etnis Mandiling yang
melahirkan sistem perkawinan sumondo. Menurut Hadikusuma (2007:15),
perkawinan campuran menurut hukum adat ialah perkawinan antara adat yaitu
perkawinan antara suami dan isteri yang adat istiadatnya berlainan, baik dalam
kesatuan masyarakat hukum adat dari suatu daerah, maupun di antara anggota
masyarakat adat yang daerah asal/ suku bangsanya berlainan.
Perkawinan merupakan suatu peristiwa sakral dalam sejarah kehidupan
manusia. Di dalam tatacara dan ritual pernikahan terkandung nilai-nilai dan
norma-norma yang merupakan unsur kebudayaan yang mengatur serta
mengukuhkan suatu hubungan yang sangat sensial antara manusia yang berlainan
jenis. Perkawinan bukan hanya menyatukan dua insan manusia, akan tetapi
menyatukan dua keluarga besar yang berbeda. Perkawinan selalu melibatkan
pihak lain, terutama karib-kerabat di setiap tahapaannya, mulai dari pencarian
pasangan, persetujuan, pertunangan, upacara perkawinan, bahkan sampai ke
akibat perkawinan.
Menurut Koentjaraningrat (1967:84-85), perkawinan merupakan salah satu
tahap yang terpenting dalam siklus kehidupan manusia (stage a long the
life-cycle)8
8Stage along the life cycle
yaitu berupa fase tingkat kehidupan seperti masa bayi, masa penyapihan, masa anak-anak, masa remaja, masa pubertet, masa sesudah nikah, masa tua, dan sebagainya.
. Perkawinan merupakan masa peralihan dari tingkat hidup remaja ke
memiliki status sosial yang lebih di tengah masyarakat. Perkawinan tidak hanya
berfungsi sebagai pengatur tingkah laku manusia yang berkaitan dengan
kehidupan seksnya saja, akan tetapi juga berfungsi sebagai pemberi kejelasan
akan hak dan kewajiban serta perlindungan pada hasil persetubuhan (anak-anak);
memenuhi kebutuhan akan teman hidup; memenuhi kebutuhan akan harta; akan
gengsi dan naik kelas dalam masyarakat; dan perkawinan juga berfungsi untuk
memelihara hubungan baik antara kelompok-kelompok kerabat tertentu.
Berbicara mengenai perkawinan di Indonesia, sebenarnya telah diatur di
dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974. Dalam Undang-Undang tersebut
dinyatakan bahwa: “perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”. Suatu perkawinan dianggap sah di mata hukum negara Republik Indonesia
apabila perkawinan tersebut telah memenuhi aturan-aturan yang terdapat dalam
Undang-Undang dan telah mendapat pengesahan di mata agama atau kepercayaan
masing-masing. Selain itu, perkawinan tersebut harus dicatatatkan di Lembaga
Urusan Perkawinan agar memiliki legalitas hukum.
Selain hukum perkawinan negara di atas, perkawinan di Nagari Simpang
Tonang diatur oleh hukum adat (sumondo, manjujur, dan adat ranto) serta hukum
Islam. Perkawinan menurut hukum adat bukan saja sebagai perikatan perdata,
tetapi juga merupakan perikatan adat dan sekaligus merupakan perikatan
kekerabatan dan ketetanggaan. Jadi terjadinya suatu ikatan perkawinan bukan
hak dan kewajiban suami isteri, harta bersama, kedudukan anak, hak dan
kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut hubungan-hubungan adat istiadat
kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan dan ketetanggaan serta menyangkut
upacara-upacara adat keagamaan (Hadikusuma, 2007:8).
Adat pernikahan yang terdapat di Indonesia sangat beranekaragam
jenisnya. Hal ini sesuai dengan adat kebiasaan yang terdapat pada suatu kelompok
masyarakat. Keberanekargamaan adat pernikahan ini sangat unik dan mempunyai
ciri khasnya masing-masing. Hukum perkawinan ini sangat erat hubungannya
dengan sifat susunan kekeluargaan. Menurut Hadikusuma (2007:9), setidaknya
ada tiga jenis perkawinan bila dilihat dari sifat susunan kekeluargaan, yaitu:
a. Perkawinan jujur pada tertib keluarga patrilineal
Pada perkawinan jenis ini, pelamaran dilakukan oleh pihak pria kepada
pihak wanita dan setelah perkawinan isteri mengikuti tempat kedudukan dan
kediaman suami. Lebih lanjut Yaswirman (2011:130), mengatakan pada tertib
masyarakat patrilineal atau tertib sanak bertali satu seperti Tapanuli, perkawinan
juga menjadi urusan keluarga, keturunan dan klan. Anak ikut marga ayah
kandungnya. Sedangkan isteri kendati tetap memakai marga ayahnya, tetapi ia
masuk ke dalam kerabat suami, diikuti pula oleh anak-anaknya.
Perkawinan ini diawali dengan penyerahan sejumlah jujuran atau belis
kepada pihak wanita. Ada banyak istilah jujur atau belis di Indonesia, namun
semuanya mengandung arti beli. Misalnya: beuli niha di Nias, tuhor/boli/sinamot
di Batak, onjog di Gayo, weli di Ambon, patuku di Bali, dan lain sebagainya.
melepaskan gadis dari golongan sanak patrilinealnya dan memasukkannya ke
dalam golongan sanak dari famili suami.
Koentjaraningrat (1967:94-97) mengistilahkannya dengan bride-price,
yaitu sejumlah harta yang diberikan oleh si pemuda kepada si gadis dan kaum
kerabat si gadis. merupakan salah satu syarat perkawinan Maknanya adalah
sebagai pengganti kerugian karna anak gadis tersebut dianggap memiliki potensi
tenaga dalam keluarga tersebut. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa besar kecilnya
bride-price itu berbeda-beda, bahkan terkadang harus ditetapkan melalui
perundingan antara kedua pihak yang bersangkutan. Pada etnis tertentu bisa saja
yang dijadikan sebagai bride-price adalah benda yang bertuah seperti genderang
perungggu atau moko di Timor, uang setalen (25 sen) di Jawa. Menurut Rato
(2011:22), belis berbeda dengan mas kawin sebagaimana diajarkan dalam fiqih
Islam. Belis berkenaan dengan kewajiban seorang suami terhadap keluarga isteri,
sedangkan mas kawin berkenaan dengan keabsahan perkawinan.
Bagi etnis Rejang ketidakmampuan pihak laki-laki membayar uang jujur
atau hadiah-hadiah tertentu kepada keluarga calon isterinya akan mempengaruhi
garis keturunan anak-anak mereka kelak. Anak-anak dari perkawinan tersebut
tidak berhak menarik garis keturunan bapaknya, anak-anak tersebut termasuk
garis keturunan kakek dari ibu mereka (Ihromi, 2000:20). Namun pada etnis
lainnya terdapat beberapa jalan keluar yang ditawarkan apabila seorang laki-laki
tidak sanggup memberikan jujuran/belis, baik sebagian maupun
1. Kawin lari
Menurut Yaswirman (2011:130), perkawinan ini adalah perkawinan yang
mana seorang laki-laki melarikan seorang gadis atau melarikan diri berdua
sebagai pendahuluan perkawinan. Ini bisa dilakukan apabila calon suami tidak
mampu menyediakan uang jujuran. Tapi akhirnya juga sama, karena uang itu
harus dibayarkan oleh suami setelah ia mempunyai kelapangan.
2. Kawin mengabdi
Dalam perkawinan ini suami bekerja untuk keluarga calon isteri,
seolah-olah tidak dibeli dengan uang tetapi dengan tenaga. Di Bali dikenal dengan
santana dan di Lampung dikenal dengan ambil anak.
b. Perkawinan sumenda pada tertib keluarga matrilineal
Pada perkawinan jenis ini, pelamaran dilakukan oleh pihak wanita kepada
pihak pria dan setelah perkawinan suami mengikuti tempat kedudukan dan
kediaman isteri. Pada perkawinan ini tidak ada istilah belis, yang ada hanyalah
pembayaran-pembayaran lain seperti: pembayaran kepada orang tua gadis berupa
ongkos-ongkos peralatan perkawinan (antaran, tukon). Ada pula uang panjemput
yang diberikan kepada laki-laki yang dijadikan menantu (Ngani, 2012:39)
Salah satu contoh dari perkawinan ini adalah sistem perkawinan yang
berlaku di Minangkabau. Pada perkawinan ini tidak ada pembayaran jujur.
Seorang yang telah berumah tangga tetap menjadi kerabat asalnya. Suami di
rumah isteri disebut dengan urang sumando (semenda) dan tidak masuk ke dalam
perempuan dengan upacara adat untuk kemudian dibawa ke rumah isteri (alek
malapeh marapulai) (Yaswirman, 2011:134)
c. Perkawinan bebas pada tertib keluarga parental
Pada perkawinan jenis ini, pelamaran dilakukan oleh pihak pria dan
setelah perkawinan suami isteri bebas menentukan tempat kedudukan dan
kediaman mereka. Mengikuti pendapat Prodjodikoro (Yaswirman, 2011:131),
tertib hukum bilateral paling merata di Indonesia, yaitu semua etnis Jawa (mencar
atau mentas), Madura, Sumatera Timur, Riau, Aceh, Sumatera Selatan,
Kalimantan, Sulawesi, Ternate dan Lombok. Pada tertib hukum ini tidak ada
perbedaan antara suami dan isteri, baik dalam rumah tangga maupun dalam
keluarga masing-masing. Suami menjadi anggota keluarga isteri dan isteri juga
demikian. Status kerabat anak laki-laki dengan anak perempuan juga sama.
Setelah dewasa, mereka diberi kebebasan untuk ikut ayah atau ibu. Pemberian
sesuatu oleh suami untuk isteri ketika melangsungkan perkawinan bukan berarti
untuk pembelian isteri, melainkan sekedar pembelian kebutuhan rumah tangga
atau semata-mata hibah dari suami terhadap isteri.
Di samping sifat susunan kekeluargaan seperti: genealogi patrilineal (garis
bapak), genealogi matrilineal (garis ibu), genealogi parental (garis bapak dan
ibu), keberagamanan hukum adat juga ditentutakan oleh genealogi teritorial
(wilayah). Hal tersebut berpengaruh dalam penentuan adat menetap setelah kawin.
Setidaknya ada tujuh kemungkinan adat menetap setelah kawin menurut
a. Adat utrolokal, yang memberi kemerdekaan kepada tiap pengantin baru untuk
menetap sekitar pusat kediaman kaum kerabat si suami ataupun di sekitar
pusat kediaman kaum kerabat si isteri;
b. Adat virilokal, yang menentukan bahwa pengantin baru menetap sekitar pusat
kediaman kaum kerabat si suami;
c. Adat uxorilokal, yang menentukan bahwa pengantin baru menetap sekitar
pusat kediaman kaum kerabat isteri;
d. Adat bilokal, yang menentukan bahwa pengantin baru tinggal berganti-ganti,
pada satu masa tertentu sekitar pusat kediaman kerabat si suami, pada lain
masa tertentu sekitar pusat kediaman kaum kerabat si isteri;
e. Adat neolokal, yang menentukan bahwa pengantin baru tinggal sendiri di
tempat kediaman yang baru, tidak mengelompok sekitar tempat kediaman
kaum kerabat si suami ataupun kaum kerabat si isteri;
f. Adat avunkulokal, yang menentukan bahwa pengantin baru tinggal menetap
sekitar tempat kediaman saudara laki-laki ibu (avunculus) dari si suami;
g. Adat natolokal, yang menentukan bahwa pengantin baru tinggal terpisah, si
suami sekitar pusat kediaman kaum kerabatnya sendiri dan si isteri di sekitar
pusat kediaman kaum kerabatnya sendiri juga.
Selain sistem kekerabatan dan adat menetap setelah kawin, yang sangat
berpengaruh dalam bentuk perkawinan adalah sifat pemilihan jodoh. Dalam
masyarakat sederhana soal memilih jodoh tidaklah semata-mata bergantung pada
kehendak dari mereka yang menikah saja. Soal perkawinan ditentukan oleh
anggota keluarga terikat pada ketentuan-ketentuan kawin yang diharuskan dan
dihalalkan golongannya secara khusus melalui sebuah norma hukum adat (Rato,
2011:14). Mengikuti pendapat Wignjodipoe (Yaswirman, 2011:132-133), ada tiga
sistem perkawinan yang terdapat di Indonesia, yaitu:
a. Sistem endogami, yang mengharuskan seseorang mencari jodoh di lingkungan
sosial, kerabat, kelas sosial atau lingkungan pemukiman. Sistem ini hanya
ditemukan di Tanah Toraja. Sistem ini bersifat relatif karena perlu
ditambahkan dengan endogami apa, misalnya endogami ras, endogami
agama, endogami pelapisan masyarakat, atau endogami desa (Rato, 2011:14;
Ngani, 2012:36-37).
b. Sistem eksogami, yang mengharuskan seseorang mencari jodoh di luar
lingkungan sosial, kerabat, golongan sosial atau lingkungan sosial, seperti di
daerah Gayo, Alas, Tapanuli, Minangkabau, Sumatera Selatan, Boru, Seram,
dan lain-lain. Sistem ini juga bersifat relatif dan juga perlu dijelaskan
eksogami apa, misalnya eksogami desa, eksogami klan, eksogami marga, dan
sebagainya. (Rato, 2011:14; Ngani, 2012:36-37)
c. Sistem eleutherogami, yang tidak menganal larangan-larangan seperti dua
sistem di atas. Larangan terjadi jika ada ikatan keluarga senasab dan hubungan
keluarga (mushaharah) seperti yang terdapat dalam Islam. Sistem hukum ini
terdapat di Aceh, Sumatera Timur, Bangka Belitung, Kalimantan, Minahasa,
Sulawesi Selatan, Ternate, Irian, Timor, Bali, Lombok, seluruh Jawa dan
Dari jenis-jenis sistem perkawinan yang telah diuraikan di atas, maka
sistem perkawinan yang berlaku di masyarakat Kanagarian Simpang Tonang
adalah sistem perkawinan sumenda dengan sifat eksogami dan adat menetap
matrilokal. Akan tetapi di sini adat sumondo tidak sepenuhnya sama dengan adat
perkawinan Minangkabau. Pada adat sumondo pelamaran dilakukan oleh pihak
laki-laki. Di samping itu, sifat perkawinan eksogami marga bukanlah menjadi
sesuatu yang dianggap penting lagi. Perkawinan semarga, Lubis dengan Lubis
atau Nasution dengan Nasution, kerap terjadi di sini. Perkawinan eksogami
daerah pun kerap terjadi di daerah ini. Mengenai adat menetap setelah
perkawinan pun tidak hanya matrilokal, adakalanya bersifat neolokal dimana
mereka tinggal jauh dari kediaman kerabat isteri maupun suami di perantauan
karena alasan mencari nafkah, dan lain sebagainya.
Mengikuti pendapat Van den Berg (Yaswirman, 2011:63-72), hukum adat
adalah hukum agama, dimana suatu masyarakat menerima hukum tersebut secara
utuh (reception in complexu). Dengan kata lain, kalau suatu masyarakat itu
memeluk suatu agama tertentu, maka hukum adat masyarakat yang bersangkutan
adalah hukum agama yang dipeluknya itu. Mereka menerima hukum tersebut
secara utuh. Berdasarkan teori tersebut, maka hukum adat yang berlaku dalam
perkawinan pada masyarakat Minangkabau dan Mandailing di Kanagarian
Simpang Tonang adalah hukum Islam, sehingga perkawinan pun harus
berdasarkan hukum Islam.
Menurut Islam, perkawinan adalah akad (perikatan) antara wali wanita
si wanita dengan jelas berupa ijab (serah) dan qabul (diterima) oleh si calon suami
yang dilaksanakan di hadapan dua orang saksi yang memenuhi syarat. Hal ini
sesuai dengan hadist Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Ahmad:
“Tidak sah nikah kecuali dengan dua wali atau yang adil” (Hadikusuma,
2007:10-11). Perintah kawin di dalam Islam terdapat di dalam kitab suci
Al-Qur’an, Allah berfirman: ”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir”(Q.S. Ar-Ruum:21). Lebih lanjut, ketika hendak
melakukan suatu perkawinan, maka pihak laki-laki wajib memberikan maskawin
kepada wanita yang dinikahinya. Akan tetapi tidak ada ketentuan berapa besarnya
maskawin tersebut. Sebagaimana firman Allah SWT: “Berikanlah mahar (mas
kawin) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh
kerelaan” (Q.S.An Nisaa:4).
Tatacara dan adab pernikahan tidak hanya terdapat di dalam Al-Qur’an
saja, akan tetapi juga diatur oleh sunnah atau hadist Nabi Muhammad SAW.
Adapun rukun pernikahan tersebut yaitu:
a. Ada calon mempelai pengantin pria dan wanita
b. Ada maskawin/ mahar
c. Ada wali pengantin perempuan
e. Ada ijab (penyerahan wali pengantin wanita) dan ada qabul (penerimaan dari
pengantin pria)
Dalam prakteknya hukum Islam di Kanagarian Simpang Tonang tidaklah
sepenuhnya diterapkan sebagaimana yang diungkapkan oleh Van den Berg di
atas. Pertentangan antara hukum Islam dan adat terutama dalam hal kekerabatan.
Masyarakat Simpang Tonang menganut sistem matrilineal, dimana setelah
perkawinan suami tinggal bersama di rumah keluarga isteri. Sementara menurut
hukum Islam garis keturunan diambil dari ayah (patrilineal) dan isteri tinggal di
rumah yang telah disediakan oleh isteri.
Dari penjelasan di atas maka dapat dilihat bahwa hukum perkawinan
bukan hanya diatur oleh hukum negara semata. Di samping hukum negara,
perkawinan juga diatur oleh hukum-hukum lainnya seperti hukum adat dan
agama. Situasi seperti ini dalam antropologi dikenal dengan istilah “pluralisme
hukum”. Pluralisme hukum merupakan suatu situasi dimana ada dua atau lebih
hukum, saling berinteraksi atau saling mempengaruhi, dan berlaku di suatu
kelompok masyarakat.
Menurut Griffith (Irianto dalam Ihromi, 1993), pluralisme hukum adalah
suatu situasi dimana terdapat lebih dari satu tatanan hukum yang berlaku dalam
suatu arena sosial (masyarakat). Dalam arena pluralisme hukum itu terdapat
hukum negara di satu sisi, dan di sisi lain adalah hukum rakyat yang terdiri hukum
adat, agama, kebiasaan-kebiasaan atau konvensi-konvensi sosial lain yang
dipandang sebagai hukum. Hukum-hukum itu dapat dijadikan sebagai pegangan
Hal ini sejalan dengan pendapat Sally Eagle Merry yang mengatakan
bahwa pluralisme hukum “... is generally defined as a situation in which two or
more legal systems coexist in the same social field” (... secara umum didefinisikan
sebagai suatu situasi dimana dua atau lebih sistem hukum hidup berdampingan
dalam bidang sosial yang sama) (Irianto dalam Masinambow, 2000:66). Lebih
lanjut Sally F. Moore menyebutkan bahwa dalam suatu lapangan tidak ada hukum
yang dominan. Suatu aturan umum akan terpengaruh oleh hukum-hukum lain
yang ada di sekitarnya (Semi Otonomus Social Field) (Irianto dalam Ihromi,
1993).
Pandangan pluralisme hukum dapat menjelaskan bagaimanakah hukum
yang beranekaragam secara bersama-sama mengatur suatu perkara. Melalui
pandangan pluralisme hukum, dapat diamati bagaimanakah semua sistem hukum
tersebut beroperasi bersama-sama dalam kehidupan sehari-hari, artinya dalam
konteks apa ia memilih aturan dan sistem peradilan yang lain.
Dalam pandangan pluralisme hukum tidak ada istilah sentralisme hukum
(legal centralism) yang menganggap hukum negara merupakan satu-satunya
hukum yang berlaku di suatu negara. Menurut Griffiths: “Legal pluralism is the
fact. Legal centralism is a myth,an ideal, a claim, an illusion. Legal pluralism is
the name of a social state of affairs and it is a characteristic which can be
predicted of a social group.” (Pluralisme hukum adalah fakta. Sentralisme hukum
adalah mitos, ideal, klaim, ilusi. Pluralisme hukum adalah nama dari keadaan
sosial urusan dan itu adalah karakteristik yang dapat diprediksi dari kelompok
interpretasi yang berbeda terhadap suatu aturan hukum. Hal ini terjadi karena
adanya dasar pengetahuan, harapan-harapan, dan kepentingan-kepentingan yang
berbeda-beda. Hal itu dapat dilihat ketika seseorang dihadapkan pada beberapa
pilihan pranata hukum, ia akan memilih suatu pranata hukum tertentu atau
kombinasi lebih dari satu aturan hukum demi pemenuhan kepentingannya.
Benda-Backman (2000:64-66) mengistilahkannya dengan forum shopping, dimana
orang-orang yang terlibat dalam suatu sengketa/masalah hukum lainnya dapat
memilih berbagai lembaga hukum untuk menyelesaikan kasusnya atas dasar
orientasi kepentingan.
Sistem hukum yang berbeda-beda ini terjadi karena beragamnya latar
belakang kebudayaan suatu kelompok masyarakat tertentu. Dalam antropologi,
hukum merupakan bagian dari kebudayaan. Secara umum hukum dapat dijadikan
sebagai pedoman dalam bertindak (apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan) di
dalam suatu kelompok masyarakat. Nilai-nilai budaya tersebut diajarkan kepada
setiap warga masyarakat supaya dapat menjadi pedoman berlaku pada waktu
melakukan berbagai peranan dalam situasi sosial. Salah satu cara untuk
mendorong para anggota masyarakat supaya melestarikan kebudayaan itu adalah
hukum (Ihromi, 2000:4).
Oleh karena itulah suatu perkawinan tidak hanya disahkan berdasarkan
pada satu pilihan hukum saja (hukum negara melalui undang-undang), akan tetapi
suatu perkawinan dapat disahkan berdasarkan pilihan hukum yang menurut
masyarakat itu sangat mempengaruhi dalam kehidupan seharinya, misalnya saja
sejumlah rangkaian upacara adat yang dipertahankan dan dilestarikan oleh
masyarakatnya.
Prinsip dan aturan perkawinan yang dijalankan pada masyarakat Simpang
Tonang, selain menerapkan hukum adat (sumondo, manjujur, dan adat ranto),
hukum Islam (akad nikah) serta hukum nasional (pencatatan sipil), dimana dalam
prakteknya saling berhubungan satu sama lain. Situasi kemajemukan ini
mencerminkan bahwa studi mengenai masyarakat perbatasan, terkait dengan
pemberlakuan aturan hukum yang ada menarik untuk dikaji, di samping juga
adanya faktor kompleksitas dalam budaya masyarakatnya itu sendiri. Meskipun
hukum negara yang dianggap legal mulai menggeser keberadaanya, namun dalam
kehidupan sehari-hari hukum adat dan agama masih digunakan. Hal ini
menunjukkan bahwa lingkup hukum adat dan agama tidak hanya terbatas pada
penyelesaian sengketa saja, perkawinan juga merupakan salah satu aktifitas yang
bisa diamati dalam melihat keberagaman hukum.
Kajian mengenai perkawinan campuran antara etnis Minangkabau dengan
Mandailing di tanah perbatasan Pasaman sebenarnya bukanlah hal yang baru.
Sebelumnya sudah pernah dikaji oleh orang lain, baik dari background
antropologi maupun hukum. Beberapa di antaranya adalah penelitian yang
dilakukan oleh Asri tahun 2011 di Jorong Pasar Rao dan penelitian Edishan tahun
1994 di Kecamatan Talamau.
Dari hasil penelitian Asri tahun 2011 di Jorong Pasar Rao, ditemukan
bahwa tidak ada larangan perkawinan campur antara etnis Minangkabau dengan
dirasakan oleh anak atau keturunan buah dari hasil perkawinan tersebut. Anak
sering tidak mendapatkan status sosial dan hak waris sebagai keturunan orang
tuanya. Pada masyarakat Jorong Pasar Rao Pasaman terjadi suatu fenomena
saling mempertahankan ketentuan atau norma-norma adat masing-masing,
terutama sekali yang menyangkut dengan penentuan status anak dan menyangkut
harta warisan. Menurut adat Minangkabau anak seorang laki-laki Minangkabau
yang kawin dengan seorang perempuan Batak, maka ia tidak memiliki hak atas
kaumnya karena si anak tidak mempunyai suku (kaum) yang jelas. Akan tetapi,
biasanya si anak akan diberikan pinjaman seumur hidup berupa oleh pihak
keluarga ayahnya dan warisan yang didapat hanya dari harta pencaharian orang
tua.
Menurut hasil penelitian Edishan tahun 1994, pelaksanaan hukum adat
Mandailing di Kecamatan Talamau telah disesuaikan dengan adat Minangkabau,
misalnya pengambilan suku untuk anak bisa berasal dari pihak ibu ataupun pihak
bapak, warisan diberikan kepada anak dan kemenakan, serta pemegang
kedudukan kerajaan (penguasa rumah) dalam keluarga Mandailing, boleh
ditempati oleh anak maupun kemenakan.
Dari kedua hasil studi tersebut, hanya dibahas mengenai pelaksanaan
hukum waris dan kedudukan anak saja, tidak ada pembahasan rinci mengenai
bagaimana proses pemilihan adat pada perkawinan campur tersebut. Menurut
hemat penulis, proses pemilihan adat perkawinan (sumondo, manjujur, dan adat
ranto) di tanah perbatasan Pasaman merupakan suatu topik yang menarik untuk
apa yang cenderung digunakan oleh suatu keluarga, baik mengenai masalah
kedudukan suami-isteri, hubungan orang tua dengan anak dan harta benda dalam
perkawinan. Pada proses pemilihan adat ini juga terdapat aktor-aktor yang
berpengaruh dalam kehidupan sosial masyarakat tersebut. Di samping itu dalam
perkawinan campuran pluralisme hukum seringkali bertumpah tindih dalam hal
pengambilan keputusannya.
Mempelajari proses pemilihan adat pada kasus perkawinan campuran dari
perspektif pluralisme hukum bukanlah sesuatu hal yang kaku dan ketinggalan
zaman. Hal ini terjadi apabila proses pemilihan adat tesebut dikaitkan dengan
“hukum yang bergerak” dalam ranah globalisasi. Menurut Irianto (2009:29-40),
peneliti tidak dapat lagi membuat pemetaan terhadap keanekaragaman hukum
dalam lapangan kajian tertentu (maping of legal universe), menarik garis batas
tegas untuk membedakan suatu entitas hukum tertentu dari yang lain. Berbagai
sistem hukum yang berasal dari tataran yang berbeda-beda akan saling
bersentuhan, berkontestasi, saling memproduksi dan mengadopsi satu sama lain
secara luas. Untuk itu maka perlu dilihat para aktor yang menyebabkan hukum
tersebut bergerak dan kontekstualisasi sejarah globalisasi hukum. Kanagarian
Duo Koto bukanlah sebuah maping of legal universe. Ia hanya suatu wilayah
perbatasan dimana sering terjadinya migrasi dan perkawinan campuran antara dua
wilayah yang memiliki dua kebudayaan yang berbeda. Hal inilah yang
menyebabkan lahirnya suatu hukum baru sebagai akibat dari pembauran berbagai
hukum yang ada (nasional, adat agama, dan lain sebagainya). Hukum tersebut
dalam konsep berfikir (mind) masyarakatnya. Apabila keadaan memungkinkan,
maka mereka akan menerapkan hukum tersebut di lingkungan yang baru. Jika
tidak memungkinkan, maka akan lahir varian hukum baru sebagai akibat dari
persentuhan dengan hukum lainnya.
Pluralisme hukum tidak hanya dikaitkan dengan ko-eksistensi antara
berbagai sistem hukum yang berlaku dalam suatu arena tertentu. Batasnya
semakin kabur karena banyak adopsi, adaptasi, saling pengaruh di antara sistem
hukum yang saling bertemu. Hal ini menyebabkan hukum berubah dinamis
mengikuti perubahan yang terjadi di dalam masyarakat tersebut. Salah satu
penyebabnya adalah adanya migrasi dan perkawinan campuran (Irianto, 2009)
1.3. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah bagaimana proses pemilihan adat perkawinan di
Kanagarian Simpang Tonang Kabupaten Pasaman Provinsi Sumatera Barat?
Rumusan masalah tersebut diuraikan melalui lima pertanyaan penelitian, yakni:
1. Adat perkawinan apa saja yang berlaku di Simpang Tonang?
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pemilihan adat perkawinan
tersebut?
3. Siapa saja tokoh-tokoh yang terlibat dalam proses pemilihan adat tersebut?
4. Proses-proses apa saja yang harus dilalui seseorang apabila hendak kawin baik
5. Bagaimana penerapan hukum lainnya seperti Undang-Undang Perkawinan
dan agama Islam di daerah tersebut?
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara mendalam (thick
description) mengenai budaya masyarakat perbatasan, khususnya mengenai gejala
pluralisme hukum dalam proses pemilihan adat perkawinan di Kanagarian
Simpang Tonang, Kecamatan Duo Koto, Kabupaten Pasaman, Provinsi Sumatera
Barat.
Secara akademis penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan
keilmuan dalam kaitannya dengan ilmu sosial seperti antropologi hukum yang
memperkaya literatur mengenai gejala pluralisme hukum pada masyarakat
perbatasan. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan
kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam hal pengembangan pariwisata,
serta sebagai bahan pertimbangan dalam pembuatan kebijakan
perundang-undangan yang sesuai dengan kondisi latar belakang budaya masyarakat
perbatasan.
1.5. Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif yang bertipekan deskriptif dalam suatu kajian etnografis. Penelitian
deskriptif kualitatif lebih tepat apabila digunakan untuk meneliti masalah-masalah
memberi gambaran mendalam mengenai gejala pluralisme hukum di tanah
perbatasan yaitu mengenai pemilihan adat sumondo, manjujur, dan adat ranto
dalam sistem perkawinan campuran antara etnis Minangkabau dan Mandailing di
Kanagarian Simpang Tonang Kecamatan Duo Koto, Kabupaten Pasaman,
Provinsi Sumatera Barat.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian antropologi hukum ini
bersifat holistik9
a. Wawancara Mendalam
, yaitu dengan mempelajari semua budaya yang terkait dan
melatarbelakangi peristiwa hukum yang terjadi (Hadikusuma, 2004:22).
Penelitian ini tidak hanya mempelajari mengenai hukum yang berlaku di suatu
masyarakat saja, akan tetapi juga mempelajari mengenai budaya perilaku
manusianya yang berbuat terhadap suatu masalah hukum, dikarenakan adanya
faktor-faktor budaya yang mempengaruhinya.
Dalam penelitian ini ada dua jenis data yang digunakan, yaitu: data primer
dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari lapangan melalui
observasi dan wawancara. Untuk melengkapinya maka digunakan data sekunder
yang diperoleh dari berbagai buku ilmiah, jurnal, media massa serta internet.
Untuk mendapatkan data-data primer maka digunakan metode pengumpulan
sebagai berikut:
Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara
mendalam (depth interview). Wawancara mendalam adalah proses memperoleh
9
Pendekatan holistik dalam
keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka
antara pewawancara dengan informan dengan atau tanpa menggunakan pedoman
wawancara, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial
yang relatif lama (Bungin, 2007:108).
Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah masyarakat
Kanagarian Simpang Tonang Kecamatan Duo Koto Kabupaten Pasaman Propinsi
Sumatera Barat yang mengetahui akan adat perkawinan yang berlaku tersebut.
Masyarakat Simpang Tonang yang peneliti maksud di sini bukan saja mereka
yang tinggal di kampung halaman, mereka yang tinggal di rantau pun tidak
menutup kemungkinan untuk menjadi informan dalam penelitian ini. Jumlah
informan dalam penelitian ini adalah sebanyak sembilan orang. Peneliti
membatasi jumlah informan sebanyak sembilan orang karena data yang
dibutuhkan dalam penelitian ini dirasa telah cukup. Informan-informan tersebut
ialah mereka yang telah melakukan perkawinan atau orang yang pernah terlibat
dalam suatu perkawinan. Alasannya ialah karena menurut hemat peneliti mereka
sudah mempunyai pengalaman bagaimana dahulu dihadapi oleh berbagai variasi
pilihan adat perkawinan. Di samping itu peneliti juga mewawancarai niniak
mamak atau tetua adat setempat guna mengetahui sejarah Nagari Simpang
Tonang serta adat-istiadat yang berlaku di nagari tersebut. Dalam penelitian ini,
peneliti tidak mengkategorisasikan informan ke dalam kategori informan pangkal,
informan biasa maupun informan kunci, karena semua orang yang memberikan
Dalam proses wawancara, maka rapport10
10Rapport
adalah keterampilan dalam membina hubungan baik antara peneliti dengan informan.
merupakan suatu hal yang perlu
diperhatikan. Hal ini akan mengurangi kecurigaan informan terhadap peneliti,
sehingga dengan keterbukaan tersebut diharapkan informan dapat memberikan
informasi berupa data terkait dengan masalah penelitian. Di sini peneliti
memposisikan diri sebagai orang yang tidak mengetahui mengenai masalah
pemilihan adat dalam perkawinan campur tersebut dan menunjukkan rasa
ketertarikan akan hal tersebut, sehingga mereka menjadi bersemangat untuk
menceritakan apa saja pengetahuan yang dimiliki tanpa adanya rasa takut
pendapat tersebut benar atau salah. Untuk menjalin rapport ini merupakan suatu
keterampilan yang perlu dilatih. Cara-cara yang peneliti lakukan dalam menjalin
hubungan baik dengan informan ini yaitu dengan terlebih dahulu
memperkenalkan diri dan sering-sering berkunjung. Setelah kehadiran peneliti
mulai dapat diterima oleh informan, maka dilakukanlah tahap penjajakan dengan
cara melontarkan beberapa pertanyaan yang ringan. Pertanyaan-pertanyaan yang
dilontarkan pun semakin mendalam dan menjurus pada inti masalah dalam
penelitian ini, sehingga terjadilah jalinan kerja sama dengan informan. Pada
tahapan berikut akan terjadi suatu partisipasi, dimana informan memberikan
informasi penting yang belum peneliti sadari sebelumnya untuk melengkapi
data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Perlu ditekankan di sini, bahwa dalam
menjalin rapport ini terkadang harus dilakukan pertemanuan secara intens
(berkali-kali). Hal ini bertujuan agar data yang didapatkan benar-benar mendalam
Dalam proses wawancara tersebut peneliti membutuhkan tape recorder.
Penggunaan alat perekam ini terkait dengan terbatasnya kemampuan daya ingat
penulis dalam mengingat setiap kata yang diucapkan oleh informan dan kecepatan
tangan yang belum terlatih dalam mecatat kata-kata yang diucapkan informan
secara rinci. Hasil wawancara tersebut kemudian dibuatkan transkripnya.
b. Observasi Partisipasi
Obeservasi atau pengamatan adalah suatu metode pengumpulan data yang
digunakan untuk menghimpun data penelitian yang melibatkan pancaindra
(Bungin, 2007:115). Observasi yang digunakan adalah observasi partisipasi.
Observasi partisipasi adalah pengumpulan data melalui observasi terhadap objek
pengamatan dengan langsung hidup bersama, merasakan, serta berada dalam
aktivitas kehidupan objek pengamatan (Bungin, 2007:116).
Peneliti tinggal dan hidup bersama masyarakat Kanagarian Simpang
Tonang Kecamatan Duo Koto Kabupaten Pasaman Provinsi Sumatera Barat
selama sebulan untuk mengungkapkan kebudayaan dari sudut pandang mayarakat
setempat (native point of vieuw). Selama tinggal dan hidup bersama dengan
mereka, peneliti melakukan pengamatan mengenai kegiatan-kegiatan yang
dilakukan dalam proses perkawinan campuran tersebut, pihak-pihak siapa saja
yang terlibat, alat-alat kelengkapan apa saja yang dibutuhkan, bagaimana
hubungan kekerabatan yang terjadi akibat perkawinan tersebut, serta bagaimana
interaksi atau hubungan sosial yang dijalin dalam berbagai bidang kehidupan.
Karena keterbatasan kemampuan daya ingat, maka perlu dilakukan
samping itu, juga akan dihasilkan karya-karya visual etnogarafi dalam bentuk
rekaman video dan foto. Data-data ini nantinya dapat membantu penulis untuk
memperjelas data-data yang didapatkan melalui wawancara, serta sebagai bukti
otentik keberadaan penulis di lapangan. Penggunaan alat-alat tersebut terlebih
dahulu telah mendapat persetujuan dari informan.
Untuk melengkapi data primer tersebut, maka dibutuhkan data sekunder.
Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan yaitu dari berbagai buku ilmiah,
jurnal, artikel, internet, dan hasil penelitian yang berhubungan dengan masalah
penelitian.
Data-data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis. Proses analisis
data dalam penelitian ini dapat dilakukan dengan on going analysis (analisis
berkelanjutan). Dengan kata lain, analisis tersebut telah dilakukan sebelum terjun
ke lapangan (analisis hasil studi terdahulu untuk menentukan fokus penelitian
sementara dan akan berkembang setelah peneliti terjun ke lapangan), saat
melakukan pengumpulan data di lapangan (analisis terhadap jawaban dari
informan), dan kemudian dilanjutkan setelah pengumpulan data selesai. Analisis
data dalam tersebut dilakukan secara kualitatif. Data-data yang telah terkumpul
dianalis menggunakan kebudayaan masyarakat itu sendiri dan kemudian baru
dianalisis menggunakan teori-teori yang objektif.
1.6. Pengalaman Lapangan: Suatu Refleksi
Experience is the best teacher. Dari pengalaman dapat dipelajari makna
kedewasaan. Karena itu penulis merasa perlu berbagi sedikit pengalaman selama
hidup bersama masyarakat lokal Nagari Simpang Tonang demi mengungkapkan
kebudayaan dari sudut pandang mereka. Pengalaman berburu data penelitian
sembari mempelajari makna kehidupan bersama informan-informan yang luar
biasa. Semoga dengan uraian pengalaman yang penulis sampaikan ini bisa
menjadi pembelajaran bagi semua orang.
Penelitian ini dilakukan pada pertengahan Juni 2013 di suatu nagari yang
unik di Sumatera Barat bernama Simpang Tonang. Unik karena masyarakat
setempat mayoritas adalah etnis Mandailing, namun dalam kesehariannya
kebudayaan Minangkabau lebih mendominasi kehidupan mereka. Rancangan
proposal penelitian pun sudah diseminarkan. Berbekal surat penelitian lapangan
dari kampus, penulis melangkah dengan pasti melakukan perjalanan melintasi
Sumatera.
Penulis menumpang bus patas Antar Lintas Sumatera (ALS) jurusan
Medan-Padang. Perjalanan selama kurang lebih 22 jam itu mengantarkan penulis
pada sebuah kota kecil di Sumatera Barat bernama Bukittinggi. Di sini lah penulis
dilahirkan. Kota kecil nan sejuk dan penuh kenangan. Beristirahat beberapa hari
sambil melepas rindu dan mempersiapkan segala sesuatu keperluan berburu data
di lapangan nantiknya.
Penulis tidak mau mengulur waktu lebih lama lagi. Semakin cepat
dikerjakan, maka semakin cepat pula selesainya. Minggu, 9 Juni 2013 akhirnya
peneliti bertolak dari Kota Bukittinggi menuju Pasaman. Ditemani adik
oleh ayah ke Terminal Aur Kuning setelah membuat janji dengan Uda Boy,
supirnya. Sejam sudah kami di bus menunggu penumpang lain yang memang
sudah berniat untuk pulang kampung pada hari itu. Bus kami pun akhirnya melaju
meninggalkan Kota Bukittinggi menuju Pasaman. Rute yang ditempuh adalah
Bukittinggi-Panti-Talu. Jalanan berbelok menuruni bukit dengan jurang di sisi
kirinya. Bagi pemain lama di jalan lintas Sumatera tentu mereka sudah lihai dan
hafal dengan kondisi jalanan seperti ini. Medan itu terus berliku hingga memasuki
Lubuk Sikaping, ibukota Kabupaten Pasaman dua jam kemudian.
Di Simpang Panti bus kami berhenti sejenak. Dua orang remaja putri
berseragam pramuka menaiki bus kami. Suasana pun sontak berubah dengan
bahasa Mandailing yang kental. Suara binatang malam pun ikut menyambut
pergantian petang itu. Kawasan Cagar Alam Rimbo Panti merupakan surga
tempat berdiamnya flora dan fauna endemik Pasaman. Hutan inilah yang
menghubungkan kami dengan Kecamatan Duo Koto, tempat penelitian ini akan
dilakukan.
Aroma kopi yang sedang direndang dari salah satu rumah warga
memanggil sang penikmat malam untuk mencobanya. Di sisi-sisi jalan terlihat
puluhan bangunan tempat masyarakat setempat menempa besi untuk dijadikan
alat-alat keperluan rumah tangga. Beberapa orang etek pun menaiki bus kami dan
mereka juga berbahasa Mandailing. Rasanya sudah tidak sabar menunggu esok
hari. Bus kami meninggalkan Kecamatan Duo Koto memasuki Kecamatan
Talamau Kabupaten Pasaman Barat. Sampailah kami di Talu, kampung ayahanda
Senin, 10 Juni 2013 jam 10.00 WIB kami bertolak dari Talu menuju Duo
Koto. Saya dan adik perempuan saya dibonceng oleh kemenakan ayah naik sepeda motor. Kami langsung mengunjungi Kantor Camat Duo Koto di Andilan untuk
memberikan surat izin penelitian dari kampus. Namun petugas di sini menolak
kehadiran kami dengan halus. Rupanya mereka punya tata cara tersendiri dalam
mengurus hal mengenai surat-menyurat izin penelitian. Atas rekomendasi mereka
kami harus mengurus terlebih dahulu surat ke Kantor Kesatuan Bangsa dan
Politik (KESBANGPOL) yang ada di Lubuk Sikaping. Kali ini adik perempuanku
harus tinggal karena tidak mungkin kami tarik tiga menuju kota. Dia kami
tinggalkan di rumah kakak rantangan penulis selama kuliah di Kota Medan.
Rumahnya tidaklah jauh dari kantor camat tersebut.
Jam di telepon genggam penulis menunjukkan pukul 13.20 WIB. Kantor
Kesatuan Bangsa dan Politik Jln. Ahmad Yani No. 19 begitulah papan yang
terpampang di depan bangunan tersebut. Kantor tersebut tampak sepi dan ternyata
benar-benar tidak ada penghuninya sama sekali karena tidak ada yang menyahuti
beberapa salam yang kami ucapkan. Dari Kantor Diknas, kami dapat info kalau
ini adalah jam istirahat makan siang. Kami pun kembali setelah makan siang.
Awalnya penulis merasa grogi, apalagi ketika ditanya mengenai pengetahuan
empat pilar kehidudapan berbangsa dan bernegara oleh petugas. Suasana pun
semakin mencair mereka mulai bertanya tentang keluarga dan alasan ketertarikan
penulis terhadap judul penelitian yang membuat penulis terdampar di sana. Dari
alasan-alasan yang penulis sampaikan sepertinya membuat mereka pun menjadi
hasil penelitian dikemudian hari. Penulis menyanggupinya sembari bertanya
kenapa kami harus mengurus surat izin penelitian ke sini terlebih dahulu, padahal
teman-teman saya bisa langsung ke Kantor Camat. Rupanya inilah peraturan di
sini, semuanya dilakukan agar terkoordinir; tau siapa saja yang meniliti dan apa
hasil yang telah diteliti.
Diguyur hujan kami pun pulang. Sudah hampir mangrib ketika kami
sampai di tempat kakak untuk menyemput adik perempuanku. Kami menolak
halus tawaran jamuan makan malam dari mereka karena alasan perjalanan masih
jauh. Kakak dan abang itu bilang kalau adik saya orangnya sangat pemalu dan dia
dari tadi menunggu dengan cemas kepulangan kami. Setelah beramah-tamah
akhirnya kami pamit pulang ke Talu.
Hari berikutnya adalah hari pertama penulis bertandang di Kanagarian
Simpang Tonang, tempat penelitian ini dilakukan. Surat tembusan dari
KESBANGPOL semalam kami berikan kepada Camat Duo Koto, Wali Nagari,
dan kepala KAN (Kerapatan Adat Nagari). Setelah itu penulis diantarkan oleh Da
Ringga, kemenakan ayah ke rumah mertuanya di Ampung Parik. Disini lah kelak
penulis akan tinggal selama melakukan penelitian.
Rumah-rumah tampak berjejar rapat, seperti tidak ada sedikit jarak untuk
bernafas. Seperti rapatnya rumah kami di perumnas Kota Bukittinggi, namun
rumah-rumah di sini terbuat dari kayu tua dengan warna hitam mendominasi.
Salam kami dijawab si-empu rumah seraya membukakan pintu depan.
Kedatangan kami disambut oleh rasa bahagia dan tidak disangka-sangka oleh
bapak-bapak pun datang dari ruangan sebelah bersama seorang nenek dan anak
balita. Ibu itu meninggalkan kami untuk membuatkan minuman dengan membawa
oleh-oleh titipan amei dari Talu. Seperti kebiasaan di sini, percakapan tersebut
dimulai dengan mencari hubungan tali persaudaraan terlebih dahulu. Hal ini
membuat kami menjadi semakin dekat. Saya kurang begitu paham mengkonversi
istilah panggilan kekerabatan Minangkabau ke istilah panggilan kekerabatan
Mandailing Simpang Tonang. Da Ringga adalah kemenakan kandung ayah, dalam
tutur Mandailing kami mar-lae. Mertuanya tersebut dipanggil pak etek dan etek
oleh Da Ringga, begitu jugalah seharusnya penulis memanggil mereka. Dari sini
lah jembatan perkauman itu dibangun. Ini membuat kami menjadi semakin dekat.
Dari raut muka Pak etek sepertinya beliau masih trauma dengan
kehilangan putri mereka beberapa minggu yang lalu. Dia lebih banyak merenung
dengan tatapan kosong. Kedatangan penulis bersama menantunya mungkin hanya
mengungkap luka lama. Apalagi disini penulis bertanya mengenai perkawinan
mendiang puteri mereka dengan Da Ringga beberapa waktu yang lalu. Masih
segar diingatan mereka rentetan prosesi perkawinan tersebut. Tapi tidak ada
anggota keluarga yang mengetahui bagaimana adat perkawinan manjujur di
rumah ini.
Di Rumah Bang Erman, abangnya mendiang kami mendapatkan informasi
mengenai adat perkawinan lainnya tersebut. Nonok Sahlido (75) dengan
pengetahuannya memaparkan perbedaan antara adat perkawinan sumondo
Simpang Tonang dengan manjujur lengkap dengan jenis-jenisnya. Keterbatasan
akhirnya kami direkomendasikan untuk menemui orang yang pernah menjalani
adat manjujur bernama Karman Lubis di Aia Angek Talu. Kami pun bertolak ke
Talu meninggalkan kegelapan kampung karna pemadaman listrik. Ya di Pasaman
mati lampu ibaratnya sudah seperti makan obat sehari-hari.
Sesampainya di Talu, listrik masih padam. Penggalian data dari Pak
Karman Lubis (60) dengan isterinya Buk Nursaida boru Hasibuan harus dilakukan
dalam suasana temaran malam ditemani lampu dinding yang terbuat dari botol
minuman berenergi dan sumbu. Dari penuturan mereka penulis menangkap
adanya persamaan dan perbedaan antara manjujur yang lazim digunakan oleh
orang Mandailing dengan manjujur yang berlaku di Simpang Tonang.
Penelitian dilanjutkan hari berikutnya di Simpang Tonang. Di Ampung
Parik peneliti menemui Pak Pen, ketua KAN (Kerapatan Adat Nagari). Isteri
beliau bilang kalau Pak Pen sehari-hari menghabiskan waktu memelihara hewan
ternak di Ampung Parik. Sampailah kami di tempat tersebut dengan bantuan
masyarakat setempat dan petunjuk yang diberikan ibuk itu. Tempat itu terletak di
tengah areal persawahan sehingga kami harus berhati-hati meniti pematang sawah
yang licin. Kami hanya menggunakan senter dan hp untuk menerangi jalan. Ada
sebuah rumah kecil diantara kolam-kolam ikan dan kandang ayam dan di
sekeliling arealnya dipagari oleh kayu dan jaring yang tinggi. Pak Pen, beliau
tidak memberikan informasi apa-apa karna alasan kurang sehat. Beliau malah
menyuruh kami menemui Pak Melan, ketua Bamus. Pak Melan direkomendasikan
oleh Pak Pen karena beliau menyimpan arsip sejarah asal-usul Simpang Tonang.
saya disambut oleh seorang ibu yang duduk di atas kursi roda, beliau sudah tidak
bisa lagi berbicara seperti orang normal. Beliau kemudian menyalinkan sejarah
tersebut kedalam beberapa lembar kertas dengan tulisan tangannya sendiri.
Beberapa hari kemudian penulis datang untuk menjemputnya sesuai dengan
perjanjian. Penulis beberapa kali melakukan wawancara secara berulang-ulang.
Hal ini penulis lakukan agar benar-benar paham. Pak Melan orangnya ramah.
Beliau mengajari penulis dengan rasa sabar dan beberapa petuah dalam menjalani
kehidupan ini.
Tidak puas rasanya kalau mendapatkan informasi berulang-ulang seperti
yang disampaikan oleh para informan di desa ini. Mungkin penulis kurang lihai
dalam mengolah pertanyaan. Di kampung ini hampir tidak ada lagi yang
menggunakan adat perkawinan manjujur. Berbekal informasi dari beberapa
informan dan media jejaring facebook, penulis akhirnya berpetualang di Nagari
Simpang Tonang agar bisa langsung mewawancarai mereka. Langka memang
menemukan orang yang masih menggunakan adat manjujur di sini, tapi mereka
ada dan masih mempertahankannya. Mereka turut memberi warna kepluralismean
hukum di daerah perbatasan tersebut.
Sebulan sudah penulis hidup bersama mereka. Memakan apa yang mereka
makan dan bertingkah laku seperti mereka. Ingkayu Siahapor adalah makanan
baru bagi lidahku dan mungkin bagi sebagian orang hal ini terdengar sedikit
ekstream. Makanan itu diolah dari belalang kecil dengan parutan anyang kelapa.
Mandi pagi di pancur atau batang aek dan yang parahnya harus menahan hasrat
bisa bertahan dan penulis akhirnya mencoba beradaptasi dengan menggunakan
jamban tanpa penutup di atasnya. Mungkin anak-anak muda disana merasa aneh
dengan tingkah laku penulis karena mereka sepertinya tertawa ketika penulis tidak
nyaman dan selalu waspada melihat keadaan sekitar. Di lain hari penduduk
tampak sibuk maloming atau memasak lemang. Hampir setiap rumah sedari pagi
menyiapkan bulu (bambu), soban (kayu bakar), bulung ni pisang (daun pisang),
dan bahan-bahan yang dipelukan dalam membuat lemang. Penulis juga
menghadiri beberapa undangan mando’a dalam rangka menyambuat bulan puasa.
Hingga suatu hari kami dikejutkan dengan adanya berita orang yang manyingkot
atau gantung diri yang membuat penulis sadar akan kepercayaan mistis yang
masih kental di sini. Penulis juga merasa tersanjung ketika menyaksikan gadis
tuna rungu dengan segala keterbatasannya itu mencoba menunjukkan rasa
ketertarikannya kepada penulis layaknya remaja normal pada umumnya. Hanya
dia yang menghadiahkan senyuman, sementara yang lain menghadiahkan tangisan
haru di hari terakhir itu. Saya akan benar-benar merindukan tidur di tikar anyaman
pandan dihembus tiupan angin Gunung Kulabu, menyeruput teh panas dan
santapan budu atau ingkayu sihapor sebelum mandi di pancur. Penduduk yang
ramah dan memperlakukan penulis layaknya bukan orang asing. Beruntung
rasanya dapat berkomunikasi dengan bahasa mereka sehingga bisa belajar makna