• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI DUKHUL SEBAGAI ALASAN PEMBATALAN IKRAR TALAK Studi Komparasi Antara Kitab Fathkul Mu’in Dan Putusan Pengadilan Agama Salatiga No. 0880Pdt.G2012PA.SAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "SKRIPSI DUKHUL SEBAGAI ALASAN PEMBATALAN IKRAR TALAK Studi Komparasi Antara Kitab Fathkul Mu’in Dan Putusan Pengadilan Agama Salatiga No. 0880Pdt.G2012PA.SAL"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

DUKHUL SEBAGAI ALASAN PEMBATALAN IKRAR TALAK

Studi Komparasi

Antara Kitab Fathkul Mu’in Dan Putusan

Pengadilan Agama Salatiga No. 0880/Pdt.G/2012/PA.SAL

Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah

Oleh

SITI AFAH

21109025

JURUSAN

SYARI’AH

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

SALATIGA

(2)
(3)

SKRIPSI

DUKHUL SEBAGAI ALASAN PEMBATALAN IKRAR TALAK STUDI KOMPARASI ANTARA KITAB FATKHUL MU’IN DENGAN PUTUSAN

PENGADILAN AGAMA NO.0880/P.dt.G/PA.SAL

DI SUSUN OLEH

SITI AFAH

NIM: 21109025

Telah dipertahankan di depan Dewan Panitia Penguji Skripsi Jurusan Hukum Islam Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga, pada tanggal 5 Maret 2014 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar

Sarjana Hukum Islam Susunan Panitia Penguji

Ketua Penguji : Dra. Siti Zumrotun, M.ag __________________

Sekretaris Penguji : Ilyya, S.Hi., M.Si __________________

Penguji I : Badwan, M.ag __________________

Penguji II : Evi Ariani, M.H __________________

Penguji III : Farkhani, S.Hi., S.H., M.H __________________

Salatiga, 11 Maret 2014 Ketua STAIN Salatiga

(4)

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Setelah dikoreksi dan diperbaiki, maka skripsi saudara :

Nama : Siti Afah

NIM : 21109025

Jurusan : Syari‟ah

Program Studi : Ahwal al-Syakhsiyyah

Judul :DUKHUL SEBAGAI ALASAN PEMBATALAN IKRAR

TALAK STUDI KOMPARASI ANTARA KITAB

FATKHUL MU‟IN DENGAN PUTUSAN

PENGADILAN AGAMA NO 0880/P.dtG/2012/PA.SAL Telah kami setujui untuk dimunaqosyahkan

Salatiga, 7 Januari 2014

(5)

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Siti Afah

NIM : 21109025

Jurusan : Syari‟ah

Program Studi : Ahwal Al-Syakhsiyyah

Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Salatiga, 7 Januari 2014 Yang menyatakan

(6)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

...SEGALA SESUATU ADALAH MEYAKINI DAN BERPASRAH

DIRI KEPADA ALLAH LALU BERSYUKUR DAN

MENCINTAINYA,,,INSYAALLAH KEBERHASILAN DUNIA AKAN

MENGIKUTI...

PERSEMBAHAN

1. Untuk orang tuaku Rita Cahyani dan Sutiman Ahmad Basri yang senatiasa

mendoakan dan membimbingku dengan kasih sayangnya.

2. Untuk Abahku, Abah Haris As‟ad Nasution Fatkhurrohman, Ibunda Nyai

Fatikhah Ulfah Imam Fauzi, dan Ibunda Nyai Khusnul Khalimah

terimakasih atas segenap do‟a yang selalu tercurahkan dalam setiap

permohonan.

3. Untuk Dosen pembimbingku Bapak Farkhani yang memberikan

masukan-masukan yang bermanfaat sehingga membantu penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini dengan mudah dan membahagiakan.

4. Untuk segenap Dosen Syari‟ah yang memberikan pemahaman dan

(7)

5. Untuk guru-guruku yang mengajar dari aku kecil, terimakasih atas do‟anya sehingga bisa seperti ini.

6. Untuk adikku (Siti Hasimah) yang selalu “menganggu” . Walaupun kamu sebandel-bandelnya orang dan sengejengkelinnya, terimakasih untuk kasih

sayangmu yang tulus.

7. Untuk temen-temenku AHS angkatan 2009 yang tentunya tidak bisa disebutkan satu persatu, terimakasih atas keceriaan dan kebahagiaan

selama kita belajar bersama.

8. Untuk ustadz-ustadzahku dan temen-temenku di Pon-Pes Al-Manar terima

kasih yang tak terkira, kalian mengajarkanku tentang arti kebersamaan dan tanggung jawab.

9. Untuk temen-temenku seangkatan di Pon-Pes yang mewarnai hari-hariku

di Pondok, Mbak Jariati (No‟e), Mbak Atik Zakiah (Jakiyem), Mbak

Muntahanik (Hoonek), Mbak Sa‟diyah (Yamna‟u), dan temen-temen

lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu namanya terimakasih atas warna kebahagiaan dan keceriaan serta kebaikan yang kalian berikan

kepadaku dengan tulus.

10.Untuk Kang Gunawan, terimakasih telah menolong dan membantu dalam

mangartikan serta menjelaskan Kitab Fatkhul Mu‟in. Terimakasih telah

meluangkan waktunya.

11.Untuk orang-orang yang mengasihiku dan mencintaiku dengan tulusnya,

(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayahnya sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Sahalawat dan salam semoga tetap tercurhkan pada Nabi Muhammad SAW yang

senantiasa sinantikan syafa‟atnya di Yaumul Qiyamah nanti.

Penyusunan skripai degan judul “DUKHUL SEBAGAI ALASAN

PEMBATALAN IKRAR TALAK STUDI KOMPARASI ANATARA KITAB

FATKHUL MU‟IN DENGAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA NO

0880/P.dtG/2012/PA.SAL” adalah untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh

gelar akademik Sarjana Syari‟ah di Sekolah Tinggi Agama Islam Negri (STAIN)

Salatiga.

Penyusun menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penyusun mengucapkan

terima kasih kepada:

1. Dr. Imam Sutomo, M.Ag. selaku Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negri (STAIN) Salatiga.

2. Drs. Mubasirun, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Syari‟ah.

(9)

4. Farkhani, S.HI., S.H., M.H selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya guna memberikan bimbingan

dan arahan.

5. Dr. H. Machmud, SH selaku Hakim Pengadilan Agama Salatiga.

6. Segenap Staf Pengadilan Agama Salatiga yang telah bersedia membantu dan berpartisipasi selama proses penelitian.

7. Bapak Ibu Dosen STAIN, khususnya Dosen Jurusan Syari‟ah.

8. Orang tuaku, Guru-guruku serta sahabat-sahabatku tercinta yang selalu mendoakan dan memotifasi dengan ikhlas.

9. Semua pihak yang tidak bisa penyusun sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dan dukungan hingga penyusun dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

Selanjutnya penyusun sangat menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penyusun menerima kritik dan saran

yanng bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhhirnya penyusun hanya bisa berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi

pembaca pada umumnya dan penyusun khususnya.

Salatiga, 4 Januari 2014

(10)

ABSTRAK

Afah, Siti. 2014. Dukhul Sebagai Alasan Pembatalan Ikrar Talak Studi Komparasi Antara Kitab Fatkhul Mu‟in dengan Putusan Pengadilan Agama Salatiga No 0880/P.dtG/2012/PA.SAL. Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Farkhani, S.Hi., S.H., M.H.

Kata kunci: Komparasi, Putusan Pengadilan Agama, Fatkhul Mu‟in, dukhul Penelitian ini merupakan sebuah upaya untuk mengetahui sejauh mana pemikiran hakim dalam memutuskan perkara No 0880/P.dtG/2012/PA.SAL serta

membandingkan pemikiran tersebut dengan kitab Fatkhul Mu‟in. Pertanyaan

utama yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana kajian teori kitab

Fatkhul Mu‟in dalam pembatalan ikrar talak karena ba‟dha dukhul dan dasar Pengadilan Agama Salatiga dalam perkara No 0880/P.dtG/2012/PA.SAL tentang

dukhul sebagai alasan pembatan ikrar talak?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian ini menggunakan metode pendekatan komparasi.

Temuan dari penelitian ini menunjukan bahwa dukhul sebagai alasan pambatalan ikrar talak di tinjau dari pemikiran hakim adalah sesuai pendapat hukum atau aturan hukum yang berlaku, untuk penetapannya adalah dengan analisis pemikiran hakim tersebut. Sedangkan dalam kitab Fatkhul mu‟in, dukhul

sebagai alasan pembatalan ikrar talak adalah dilarang. namun di perbolehkan dengan memenuhi beberapa persyaratan. Pertama, bagi perempuan yang haid, maka dapat jatuh talaknya dengan syarat perempuan itu (isteri) yang meminta untuk bercerai (keinginan kuat/kukuh dari isteri) dan isteri harus memberikan

(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN BERLOGO ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN DEKLARASI ... v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... viii

HALAMAN ABSTRAK ... x

DAFTAR ISI ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Penegasan Istilah ... 7

C. Rumusan Masalah ... 8

D. Tujuan Penelitian ... 8

E. Kegunaan Penelitian... 9

F. Tinjauan Pustaka ... 10

G. Kerangka Teori ... 13

H. Metode Penelitian ... 15

I. Sistematika Penulisan ... 18

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DUKHUL A. Pengertian Dukhul ... 20

(12)

B. Tata Cara Dukhul ... 23

a. Membaca basmalah dan do‟a ... 23

b. Melakukan perangsangan ... 24

c. Dengan cara yang lembut dan suami tidak tergesa-gesa ... 25

d. Hanya berdua saja ... 26

e. Lepaskan semua pakaian yang menutupi ... 27

C. Posisi Dalam Bersenggama (Dukhul) ... 28

D. Waktu Yang Tepat Untuk Dukhul ... 31

E. Larangan-larangan Dalam Dukhul ... 35

F. Manfaan Dukhul ... 42

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG TALAK DALAM KITAB FATKHUL MU’IN A. Pengertian Talak ... 44

B. Hukum Talak ... 45

C. Macam-macam Talak ... 47

D. Syarat Dan Rukun Tala ... 56

E. Saksi Dalam Ikrar Talak ... 58

F. Sighat Talak ... 59

G. Bilangan Talak ... 60

H. Sebab-sebab Ikrar Talak Di Kategorikan Sah ... 61

I. Talak Yang Di Hukumi Tidak Sah ... 62

J. Penggantungan Talak ... 62

(13)

BAB IV KOMPARASI ANATARA DASAR PEMIKIRAN HAKIM NO 0880/P.dtG/2012/PA.SAL DENGAN KITAB FATKHUL MU’IN TENTANG PEMBATALAN TALAK BA’DHA DUKHUL

A. Dasar Pemikiran Hakim Dalam Putusan No 0880/P.dtG/2012/

PA.SAL ... 64 B. Dukhul Sebagai Alasan Pembatalan Talak Menurut Kitab

Fatkhul Mu‟in ... 68 C. Persamaan Putusan Pengadilan Agama No 0880/P.dtG/2012/

PA.SAL Dengan Kitab Fatkhul Mu‟in ... 75

D. Perbedaan Putusan Pengadilan Agama No 0880/P.dtG/2012/

PA.SAL Dengan Kitab Fatkhul Mu‟in ... 75

BAB V PENUTUP

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dukhul berasal dari kata bahasa arab yaitu (ًخد ) yang mempunyai

arti “masuk” (Alkalali,1995:338). Secara istilah dukhul mempunyai makna, yaitu bertemunya penis laki-laki ke dalam vagina perempuan

(Kan‟an, 2007: 97). Dukhul merupakan suatu hal yang bersifat alamiah yang ada pada diri manusia dan merupakan suatu kenikmatan yang diberikan Allah kepada mahluknya. Di dalam perkawinan kewajiban

seorang suami adalah memberi nafkah lahir dan batin kepada isteri dan itu merupakan suatu hal yang wajib di penuhi. Begitu pula isteri, isteri mempunyai kewajiban harus mentaati perintah suami dalam keadaan

apapun. selama perintah yang diberikan oleh suami tidak bertentangan

dengan syari‟at islam.

Aturan Islam bersifat jelas. Disebutkan bahwasannya seorang istreri tidak boleh menolak hubungan dukhul tanpa adanya alasan yang dibenarkan, ketika suaminya meminta. Karena ada sebuah hadis dari Ibnu

Umar: “seorang wanita datang kepada Nabi SAW., ia berkata “Ya

Rasullullah, apa kewajiban isteri terhadap suami?” Rasullullah menjawab:

jika seorang suami mengajak hubungan seksual, janganlah menolak meskipun seorang isteri tersebut di atas pelana (kendaraan) (Asymuni,

(15)

Dalam perkawinan dukhul dapat dikatakan sebagai suatu yang mempererat hubungan suami isteri baik secara batin maupun lahiriyah.

Hak-hak tersebut tidak hanya melekat pada diri isteri yang harus tunduk dan patuh terhadap suami namun hal tersebut juga merupakan tanggung

jawab suami. Dalam hal ini dapat diketahui bahwa bagaimanapun juga

dukhul diibaratkan seperti makanan pokok yang harus dilakukan oleh suami isteri.

Apabila dalam rumah tangga tersebut sewaktu-waktu menghadapi prahara rumah tangga dan di situ suami tidak mengambil sikap yang tegas,

maka dukhul bisa menjadi persoalan lain yang mengganggu suasana rumah tangga tersebut. Dan karena tidak dapat mengungkapkan hasrat keinginan keduanya sebab rasa gengsi yang berkepanjangan, tentu saja hal tersebut

berdampak pada kerukunan. Yang semula akur menjadi tidak akur, yang semula merasa nyaman menjadi tidak nyaman. Tentu saja sudah tidak ada

rasa kecocokan lagi diantara mereka. Sehingga kebanyakan mereka memilih jalur perceraian.

Pengadilan Agama merupakan salah satu lembaga yang mempunyai kewenangan mutlak dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi dalam rumah tangga masyarakat Indonesia yang beragama islam.

Di Indonesia ketentuan yang berkenaan dengan perkawinan telah diatur dalam peraturan perundang-undangan negara yang khusus berlaku bagi

(16)

peraturan pelaksanaannya dalam bentuk peraturan pemerintah No.9 tahun 1975. Undang-undang ini merupakan hukum materil dari perkawinan,

sedang hukum formalnya ditetapkan dalam UU No. 7 tahun 1989. Sedangkan sebagai aturan pelengkap yang akan menjadi pedoman bagi

hakim di Lembaga Peradilan Agama adalah Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang telah ditetapkan dan disebar luaskan melalui instruksi presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam ( Syarifuddin,

2006:1 ).

Dalam Alqur‟an dan Hadis, perkawinan disebut dengan an-nikh (

ذبىٌٕا) dan az-ziwj/az-zijah )ٗد٠ضٌا-جاٚضٌا-جاٚضٌا(. Secara harfiah, pernikahan

dalam literatul fiqh arab dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak

terdapat dalam Al-Quran dan Hadist Nabi. Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam al-Qu‟ran dengan arti kawin, seperti dalam surat an-Nisa‟ ayat : 3

َْٕٝثَِ ِءآَغٌِّٕا َِِّٓ ُُىٌَ َةبَغبَِ اُٛسِىٔبَف َِٝبَزَ١ٌْا ِٟف اُٛطِغْمُرَّ َلَّأ ُُْزْف ِخ ِْْإ َٚ

ًحَذ ِزا ََٛف اٌُِٛذْعَرَّلََأ ُُْزْف ِخ ِْْئَف َعبَثُسَٚ َسَلاُث َٚ

”Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap anak yatim, maka kawinilah perempuan-perempuan lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empat orang, dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil, cukup satu orang”.

(17)

yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati

perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.

Dalam kehidupan sehari-hari seeorang istri dan suami umumnya hidup tidak selalu penuh dengan ketentraman. Kadang kala terjadi prahara

dalam rumah tangga tersebut, terjadi suatu perbedaan prinsip yang tidak difahami oleh keduanya, jika kedua belah pihak tidak saling memahami dan bersikeras bahwa mereka masing-masing mempunyai pendapat yang

benar maka yang terjadi umumnya adalah mereka memilih jalan alternatif yaitu perceraian.

Meskipun tujuan dari perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (sakinah) yang kekal, namun perjalanan dan fakta sejarah menunjukkan bahwa tidak semua perkawinan berjalan sesuai dengan

tujuan yang ingin dicapainya; mengingat kenyataan menunjukkan bahwa

teramat banyak pasangan suami istri yang perkawinannya “terpaksa” harus

berakhir di tengah jalan (Summa, 2005:101). Dalam agama Islam itu,

dikenal istilah talak yang mempunyai arti “melepaskan tali”, sedang

menurut syara‟, melepaskan ikatan aqad nikah dengan lafadz seperti akan

dikemukakan (As‟ad, 1979:135). Dalam Hadis talak didefinisikan sebagai suatu perbuatan halal namun dibenci oleh Allah SWT. Seperti dalam

Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, bahwa Nabi SAW bersabda:

ُقَلاطٌَا َُٛ٘ ِالله َذِْٕع ِي َلاَسٌَْا ُطَغْثَأ ََْ ِ َْ َ ُ

َصَلى اللهُ عَلَيْه ِالله ُي ُْٛعَس َيبَل َيبَل ْشَُّع ِْٓثا َْٓع

-

(18)

“perbuatan halal namun di benci allah adalah talak” (H.R. Abu Dawud dan Ibnu Majah )

Meskipun tidak ada ayat Al-Qur‟an yang menyuruh atau melarang melakukan talakyang mengandung arti hukumnya mubah, namun talak itu termasuk perbuatan yang tidak disenangi oleh Nabi. Hal itu mengandung arti perceraian itu hukumnya makruh. (Syarifuddin, 2006:200)

Dengan melihat beberapa alasan-alasan yang mendasari jatuhnya

talak dan dilihat dari kemudharatannya maka hukum talak itu ada empat perkara:

1. Wajib, yaitu apabila terjadi perselisihan antara dua suami istri, sedang dua hakim yang mengurus perkara keduanya, sudah memandang perlu supaya keduanya bercerai.

2. Sunnat, apabila suami tidak sanggup lagi membayar kewajibannya (nafkahnya) dengan cukup, atau perempuan tidak menjaga kehormatan dirinya.

3. Haram (bid‟ah), dalam dua keadaan: pertama menjatuhkan talak dalam

keadaan istri sedang haidh, kedua; menjatuhkan talak sewaktu suci yang telah di campurinya dalam waktu suci tersebut.

4. Makruh, hukum asal dari pada talak yang telah dijelaskan diatas (Rasjid, 1954:380).

Dari penjelasan diatas mengenai beberapa hukum talak yang

(19)

kepada istri sewaktu suci yang telah dicampurinya (istri) waktu suci tersebut. Kronologi kasusnya Menjelaskan bahwa selama proses

persidangan baik pihak pemohon (suami) dan termohon (istri) sudah menjelasakan beberapa alasan-alasan yang menyebabkan retaknya

hubungan keduanya. Setelah itu hakim memutuskan jatuhnya ikrar talak yang diucapkan oleh suami setelah melihat beberapa pertimbangan yang mendasari kasus ini. Namun, dalam kasus ini yang terjadi adalah

manakala pihak pemohon (suami) dikabulkan permohonan untuk menjatuhkan ikrar thalak, pada saat itu pihak termohon (istri)

mengatakan, bahwa tadi pagi sebelum acara persidangan berlangsung pihak pemohon sebelum menghadiri persidangan mengajak termohon untuk melakukan hubungan suami istri. Maka dari itu melihat situasi

yang terjadi hakim memutuskan bahwa gugatan yang diajukan termohon untuk menjatuhkan izin untuk menjatuhkan talak di batalkan.

Dari persoalan tersebut, penulis termotifasi untuk menganalisis dari pemikiran hakim tersebut, dan membandingkan persoalan tersebut

dengan kajian kitab fiqh Fatkhul Mu‟in. Dan menjadikannya sebagai

judul dalam penulisan ini. Dengan judul : “DUKHUL SEBAGAI

ALASAN PEMBATALAN IKRAR TALAK” (Studi Komparasi antara

Kitab Fatkhul Mu‟in dengan Putusan Pengadilan Agama Salatiga Nomor

(20)

B. Penegasan Istilah

Untuk menghindari kemungkinan terjadinya penafsiran yang berbeda

dengan maksud utama penulis dalam penggunaan kata pada judul, maka perlu penjelasan beberapa kata pokok yang menjadi inti penelitian.

Adapun yang perlu penulis jelaskan adalah sebagai berikut:

1. Dukhul secara bahasa adalah “masuk” (ًخد) (Alkalali, 1995:338). Secara istilah dukhul mempunyai pengertian yaitu bertemunya penis laki-laki ke dalam vagina perempuan

(Kan‟an, 2007:97)

2. Alasan adalah dasar bukti (keterangan) yang dipakai untuk

menguatkan pendapat (sangkalan, tuduhan dsb)

(Poerwadarminta, 1982:29)

3. Pembatalan adalah adalah pernyataan batal (urung, tak jadi)

(Poerwadarminta,1982:95).

4. Ikrar adalah ucapan yang mempunyai tulisan dan jelas.

5. Talak menurut arti bahasa adalah melepaskan tali, sedang menurut syara‟ adalah melepaskan ikatan pernikah dengan

lafad seperi akan dikemukakan (As‟ad, 1979:135).

Jadi pembatalan talak adalah dibatalkannya ikrar talak yang akan diucapakan oleh suami kepada istri dengan alasan dan

(21)

C. Rumusan Masalah

Dari tema di atas, penulis menulis beberapa pertanyaan mengenai

permasalahan-permasalahan yang akan menjadi inti dari pembahasan pada penulisan ini, yaitu:

1. Bagaimana kajian teori kitab fiqh Fatkhul Mu‟in dalam pembatalan ikrar talak karena ba‟dha dukhul dan dasar Pengadilan Agama Salatiga dalam putusan Nomor 0880/Pdt.G/2012/PA.Sal tentang

dukhul sebagai alasan pembatalan ikrar talak?

2. Bagaimana perbedaan dan persamaan antara pendapat kitab fiqh

Fatkhul Mu‟in dan Putusan Pengadilan Agama Salatiga No 0880/Pdt.G/2012/PA.SAL tentang dukhul dalam proses ikrar talak ? D. Tujuan Penelitian

Adapun hal-hal yang menjadi tujuan pokok dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui kajian kitab fiqh Fatkhul Mu‟in mengenai dukhul dalam proses ikrar talak (perceraian).

2. Untuk mengetahui kajian teori kitab fiqh Fatkhul Mu‟in dalam ikrar

talak dan dasar Pengadilan Agama Salatiga dalam putusan Nomor 0880/Pdt.G/2012/PA.SAL tentang dukhul sebagai alasan pembatalan ikrar talak.

(22)

E. Kegunaan penelitian

Kegunaan penelitian yang penulis harapkan dari penelitian ini

adalah:

1. Kegunaan teoritis

a. Menambah pengetahuan penulis di bidang hukum islam khususnya yang menyangkut pekawinan.

b. Hasil penelitian dapat menambah khasanah baru dalam ilmu

pengetahuan khususnya yang menyangkut tentang perceraian. 2. Kegunaan praktis

a. Bagi masyarakat

Memberi pengetahuan dan wawasan kepada masyarakat mengenai permasalahan pembatalan talak sehingga dalam proses

berperkara di Pengadilan Agama, masyarakat lebih memahami khususnya, mengenai pembatalan talak.

b. Bagi STAIN Salatiga

Memberi masukan kepada akademik tentang masalah

hukum keluarga (ahwal al-syakhsiyyah) khusunya menyangkut tentang talak yang masih dirasa banyak masyarakat yang belum memahami sepenuhnya mengenai masalah tersebut. Sehingga

(23)

c. Bagi penulis

Menambah ilmu pengetahuan dan sebagai bentuk apresiasi

penulis dalam menyumbangkan ilmu yang telah dipelajari di STAIN Salatiga ini. Dan sebagai pra-syarat dalam menyelesaikan

pembelajaran ilmu hukum islam dalam bidang hukum keluarga (ahwal al-syakhshiyyah) pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negri (STAIN) Salatiga.

F. Tinjauan Pustaka

Untuk penelitian yang lebih lanjut penulis mempelajari beberapa

buku yang hampir sama yaitu buku yang membahas tentang masalah talak, yaitu:

Husni, Thamrin. 2005. Talak Suami Ketika Marah (Studi Analisis Pemikiran Yusuf Qordhowi) buku ini membahas tentang pandangan pemikiran Ahmad Qardhawi mengenai ikrar talak yang diucapkan oleh

suami dalam keadaan marah hukumnya adalah tidak sah. Pandangan Ahmad Qardhawi banyak digunakan oleh para pengambil kebijakan

sebagai landasan dalam memutuskankan perkara talak.

Uswatun, Hasanah. 2009. Talak Tanpa Putusan Pengadilan (Studi Kasus di Dusun Jambe Dusun. Dadapayam Kecamatan Suruh Kabupaten

Semarang) buku ini membahas tentang ikrar talak yang di ucapkan oleh sebagian masyarakat Jambe adalah tidak sesuai dengan prosedur

(24)

mengenai Undang-undang Perkawinan. Sehingga dalam pelaksanaanya, masyarakat Dusun Jambe tidak menggunakan kewenangan Pengadilan

ketika memutuskan bercerai dengan istri mereka. Kebanyakan masyarakat jambe yang telah bercerai (sesuai dengan ajaran islam) rata-rata mereka

tidak mempunyai akta Perceraian yang dikeluarkan oleh Pengadilan. Jadi mereka hanya mengucapkan ikrar talak dengan lesan bahkan tanpa saksi-saksi.

Malik, R Abdul. 2012. Ketidak Hadiran Pemohon Dalam Pelaksanaan Ikrar Talak (Studi Kasus di Pengadilan Agama Ambarawa) buku ini membahas tentang ketidak hadiran pihak pemohon dalam membacakan ikrar talak di Pengadilan Agama Ambarawa. Dalam kasus ini ketika pihak pemohon tidak menghadiri sidang ikrar talak yang telah

dijadwalakan. Maka Peradilan Agama memutuskan, bahwa talak yang diajukan dianggap gugur dan pemohon juga tidak dapat mengajukan

permohonan cerai talak lagi dengan alasan yang sama sesuai dengan yang diatur oleh Pasal 70 ayat (6) Undang-Undang Nomor 7 Tentang Peradilan

Agama.

Dengan beberapa penelusuran, penulis merasa bahwa tema dukhul

sebagai alasan Pembatalan ikrar talak belum pernah diakaji atau diteliti

orang lain sehingga penulis termotifasi untuk meneliti tema tersebut. Berbeda dari penelitian yang diteliti oleh Thamrin dalam skripsinya yang

(25)

mengungkapkan secara langsung bagaimana pendapat hakim itu sendiri dan bagaimana jika pemiikran itu di kaji lebih mendalam sesuai dengan

Kompilsi Hukum Islam dan Undang-undang perkawinan. Penelitian Hasanah sendiri hanya membahas tentang kekurang fahaman masyarakat

jambe dalam memahami Undang-undang tentang pelafalan ikrar talak dimana penelitian ini hanya memfokuskan pada penelitian akibat hukum yang diterima oleh masyarakat jambe akibat pengikraran talak yang tidak

diucapkan tanpa melalui sidang di Pengadilan Agama.

Sedangkan dalam penelitian ini penulis lebih memfokuskannya

pada aspek putusan dan dasar pemikiran hakim yang berkekuatan hukum serta membandinkannya dengan pendapat ahli Fiqh di dalam kitab Fatkhul

mu‟in. Dan dalam buku Malik, R abdul yang membahas tentang ketidak

hadiran pemohon dalam sidang ikrar talak di Pengadilan Agama Ambarawa.Yang membahas mengenai akibat hukum yang diperoleh oleh

pemohon apabila dalam sidang ikrar talak, pemohon tidak hadir dalam sidang tanpa ada keterangan dan tidak adanya ganti atau perwakilan yang

menggantikan kehadirannya. Dalam penulisan tersebut, tidak tertera dengan jelas bagaimana akibat hukum atau pandangan hukum menurut

ulama‟ Fiqh mengenai permasalan itu. Pembahasan itu hanya

memfokuskan terhadap persoalan yang berkenaan dengan hukum perkawinan saja.

(26)

Sehingga, dalam penulisan skripsi ini penulis merasa harus mengkaji dan menganalisis pemikiran hakim dalam memutuskan perkara dukhul sebagai alasan batalnya ikrar talak dan mengkomparasikannya dengan pandangan

ulama‟ Fiqh dalam kitab Fathul mu‟in.

G. Kerangka Teori

Dukhul merupakan suatu yang menjadi kebutuhan pokok bagi suami isteri. Jadi terkadang banyak sekali proses ikrar talak yang

dibatalkan kareana kurang fahamnya suami dalam memahami Undang-undang perkawinan dan aturan agama Islam dalam hal talak. Menegenai

aturan ketentuan Undang-undang dalam persolan ini telah diatur dalam Pasal 122 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang membahas tentang persolan jatuhnya ikrar talak karena ba‟dha dukhul.

Pasal 122

Talak Bid‟iy adalah talak yang tidak dibolehkan yaitu talak yang

dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haid atau isteri dalam keadaan suci tapi dicampuri dalam waktu suci tersebut.

Jadi dapat difahami sesuai dengan ketentuan Undang-undang bahwa jenis talak tersebut adalah tidak diperbolehkan. Para ulama‟ juga sepakat menegenai talak tersebut adalah di hukumi haram, karena bertentangan

dengan syari‟at Islam. yang termasuk kategori talak bid‟iy adalah:

a. Apabila seorang suami menceraikan isterinya dalam keadaan

(27)

b. Ketika dalam keadaan suci, sedang ia telah menyetubuhinya dalam keadaan suci tersebut.

c. Seorang suami telah mentalak tiga isterinya dengan satu kalimat tiga kalimat dalam satu waktu. Seperti mengatakan, ia telah aku

talak, lalu aku talak dan selanjutnya aku talak.

Dalil yang menlandasinya adalah sabda Rasullullah, sebagaimana diberitakan, bahwasannya ada laki-laki yang mentalak tiga isterinya

dengan satu kalimat. Lalu beliau mengatakan kepadanya: “Apakah hukum

Allah hendak dipermainkan, sedang aku masih berada di tengah-tengah

kalian” (HR. An-nasa‟I dan Ibnu Katsir mengatakan, bahwa isnad Hadis ini mujayyid).

Dalil tersebut menyatakan bahwa talak yang seperti itu di hukumi

haram, karena bertentangan denga sunnah Nabi. Alasannya adalah dengan cara ini perhitungan iddah isteri menjadi memanjang, karena setelah terjatuh talak belum langsung dihitung iddahnya.

Dan diriwayatkan dari Abu Dawud dan Ibnu Majjah. Bahwa Nabi

Muhammad SAW bersabda:

ِالله َذِْٕع ِي َلاَسٌَْا ُطَغْثَأ ََْ ِ َْ َ ُ

َصَلى اللهُ عَلَيْه ِالله ُي ُْٛعَس َيبَل َيبَل ْشَُّع ِْٓثا َْٓع

ُقَلاطٌَا َُٛ٘

-

ٗخبِ ٓثاٚ دٚادٛثأ ٖاٚس

(28)

H. Metode penelitian

1. Pendekatan dan jenis penelitian

Dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah studi dokumen atau sumber pustaka, yaitu penelitian yang mencari

data atau dokumen yang merupakan data sekunder karena sudah tertulis atau diolah orang lain. Dengan kata lain datanya sudah jadi (Wirartha, 2006:36). Oleh karena itu, sebaiknya peneliti mengenali

perpustakaan yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan

melibatkan berbagai metode yang ada. 2. Sumber data

a. Sumber Primer

Sumber primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung oleh orang yang melakukan penelitian

atau yang bersangkutan yang memerlukannya. Data primer ini disebut juga data asli atau data baru (Hasan, 2006:19).

Dalam penelitian ini sumber primer yang digunakan adalah

Putusan Pengadilan Agama dan kitab fiqh Fathul Mu‟in.

b. Sumber sekunder

Sumber sekunder adalah data yang diperoleh atau data yang dikumpulkan oleh orang yang melakukan penelitian dari

(29)

perpustakaan atau dari laporan-laporan penelitian terdahulu (Hasan, 2006:19).

Pada umumnya terdiri dari data penunjang, diantaranya adalah:

a. Undang-undang yang mengulas masalah perkawinan b. Buku-buku yang mengulas tentang talak

c. Buku-buku yang mengulas tentang sumber hukum yang

berkenaan dengan talak

d. Suatu lembaga yaitu Pengadilan Agama Salatiga.

3. Prosedur pengumpulan data

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah:

a. Dokumentasi

Teknik pengumpulan data dengan cara dokumentasi

atau menggunakan sumber tertulis. Sumber tertulis dapat dibagi atas sumber buku dan majalah ilmiah, sumber dari arsip,

dokumen pribadi, dan dokumen resmi (Moleong, 2009:159) dalam penelitian ini dokumentasi yang digunakan oleh penulis adalah dengan mengumpulkan putusan Pengadilan Agama

Salatiga Nomor :0880/Pdt.G/2012/PA.SAL dan kitab fiqh

Fatkhuul mu‟in. serta berbagai literatur baik dari buku maupun

(30)

dalam menganalisis persoalan yang dibahas dalam penelitian ini.

b. Wawancara

Wawancara adalah percakapan dua orang dengan maksud

mempunyai tujuan khusus, yaitu memperoleh keterangan yang sesuai dengan penelitian, dan dipusatkan kepada isi yang dititik beratkan pada tujuan deskripsi, prediksi, dan penjelasan

sistematik mengenai penelitian tersebut (Sulistia, dkk.1991:121). Dalam hal ini, penulis melakukan wawancara dengan

ketua Pengadilan Agama Salatiga yaitu Bapak Dra. H. MACHMUD, SH. untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya sesuai dengan rumusan masalah.

4. Analisis data

Adapun metode analisis yang digunakan adalah studi komparatif

atau analisis komparasi atau analisis perbedaan, yaitu: bentuk analisis variable (data) untuk mengetahui perbedaan di antara dua

kelompok data (variabel) (Hasan, 2006:116). Metode ini menggunakan sistematika dengan cara mengkomparasikan antara

Putusan Pengadilan Agama dengan pendapat ulama‟ ahli Fiqh dalam

kitab Fatkhul Mu‟in. kemudian hal tersebut dianalisis secara

mendalam. Apakah dalam kajian kitab Fatkhul Mu‟in terdapat

persamaan dengan pandangan hakim dalam memutuskan perkara

(31)

dan cara pandang tersendiri dalam memutuskan perkara yang sama namun memiliki beberapa kajian dasar atau teori yang berbeda dalam

memahami persoalan tersebut. I. Sistematika Penulisan

Dalam menyelesaikan penelitian ini, maka penulis mencoba memberikan gambaran seluruh penelitian dengan sistematika penulisan, yakni:

BAB I : PENDAHULUAN

Terdiri atas Latar Belakang Masalah, Penegasan Istilah, Rumusan

Masalah,Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Telaah Pustaka, Kerangka Teoritik, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan.

BAB II: TINJAUAN UMUM MENGENAI DUKHUL

Pembahasan umum mengenai dukhul meliputi,: bagian pertama, Dukhul

dalam perspektif Fiqh, yang meliputi: Pengertian Dukhul, Tata Cara

Dukhul, Hal-hal yang di Larang dalam Dukhul, Posisi dalam Dukhul, Waktu Yang Tepat untuk Dukhul. Waktu yang Dilarang dalam Dukhul. Dan Hikmah Dukhhul dalam Hubungan Suami Isteri.

BAB III: TINJAUAN UMUM TENTANG TALAK DALAM KITAB

FATKHUL MU‟IN

Bagian Pertama adalah Pengertian Talak, Hukum Talak, Macam-macam Talak, Syarat dan Rukun Talak, Saksi Dalam Ikrar Talak, Sighat Talak,

(32)

BAB IV: KOMPARASI ANTARA FATKHUL MU‟IN DAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SALATIGA NO 0880/Pdt.G/2012/PA.SAL

Dalam bab ini membahas tentang pemikiran hakim dalam Putusan No 0880/P.dtG/2012/PA.SAL, dukhul sebagai alasan pembatalan ikrar talak menurut Kajian Kitab Fatkhul Mu‟in, persamaan dan perbedaan antara

kitab Fatkhul Mu‟in dan Putusan Pengadilan Agama No

0880/P.dtG/2012/PA.SAL

BAB V: PENUTUP

(33)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI DUKHUL

A. Pengertian Dukhul

Dukhul secara bahasa adalah “masuk” (ًخد) (Alkalali,1995:3338). Secara istilah dukhul mempunyai pengertian yaitu bertemunya penis

laki-laki ke dalam vagina perempuan (Kan‟an, 2007:97)

Dukhul atau jima‟ merupakan suatu pemuasan hasrat yang menjadi salah satu alasan utama perkawinan. Seseorang yang tidak memiliki dorongan seksual sama sekali, tidak patut untuk menikah, karena ia dapat

merugikan pasangannya. Sebegitu pentingnya fungsi dukhul dalam ikatan perkawinan. Sehingga apabila ia sudah mampu untuk menikah dan mempunyai harta yang cukup, sehat rohani maupun jasmani. Maka tidak

ada halangan baginya kecuali aturan yang menyatakan kewajiban baginya untuk menikah (Hathout, 2004:30).

Dalam agama islam dukhul dibagi menjadi dua macam:

a. Dukhul yang halal

Dukhul yang dikategorikan halal adalah yang dilakukan dengan pasangan yang sah atau suami isteri yang sah. Atau yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan amat (budak perempuan)-nya (dikala masih ada amat). Tetapi zaman sekarang sudah tidak ada amat lagi. Jadi bersenggama dengan isteri sendiri dihukumi halal, bahkan suami

(34)

pasangan suami isteri (Kan‟an, 2007:98). Seperti dalam firman Allah

SWT. Dalam surat al-Mu‟min ayat: 5-7 yang menggambarkan keadaan

orang mukmin. terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa.7. Barangsiapa mencari yang di balik itu Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.

Maksudnya: budak-budak belian yang didapat dalam peperangan dengan orang kafir, bukan budak belian yang didapat di luar peperangan. Dalam peperangan dengan orang-orang kafir itu,

wanita-wanita yang ditawan biasanya dibagi-bagikan kepada kaum muslimin yang ikut dalam peperangan itu, dan kebiasan ini bukanlah suatu yang diwajibkan. Imam boleh melarang kebiasaan ini.

Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa tidak ada dosa bagi seorang mukmin yang mendatangi (menyetubuhi) isterinya atau

amatnya yang ia miliki secara sah. Adapun dosa hanya diperuntukkan bagi mereka yang menolak kehalalan suatu ikatan perkawinan yang Allah sebenarnya ridho terhadap mereka. Mereka inilah orang-orang

(35)

b. Dukhul yang haram

Sedangkan yang dikategorikan haram adalah, yaitu bagi

mereka yang melakukannya dengan cara zina. Zina termasuk kategori dosa besar. Allah SWT sangat membenci orang yang melakukan

perbuatan zina. Banyak sekali keterangan dalam Al-Qur‟an dan Hadis yang menjelaskan tentang hukuman yang keras bagi orang yang melakukan perbuatan ini. Di mana mereka dicambuk seratus kali, dan

ada yang dihukum rajam (dilempari) dengan batu, yakni bagi muhshan

(Pezina yang sudah mempunyai isteri atau suami) hinga mereka mati.

Hal tersebut dijelaskan dalam firman Allah QS.an-Nur: 2

(36)

B. Tata Cara Dukhul

Persetubuhan yang baik dan sehat adalah yang tidak mengganggu

masing-masing pasangan, juga sehat secara mental maupun medis (Al Qasam, t.t :155). Para ulama‟ salaf sudah memperhatikan dan memikirkan bagaimana pentingnya tatakrama atau adab dalam jima‟ (persetubuhan). Mereka berpedoman terhadap apa yang ada dalam Hadis Nabi SAW. dan pendapat-pendapat yang disampaikan para salafus shaleh. Di antara kitab terpenting yang membahas tema ini adalah kitab Isyaratu al-Nisa‟ (menggauli wanita) karangan Imam Nasa‟I dalam kitab sunan-nya, juga apa yang disebutkan oleh Imam Ghazali dalam kitab al-Ihya‟ (Kan‟an,

2007: 111).

Adapun adab atau tata cara dukhul yang baik dan sesuai dengan

syari‟at Islam adalah:

a. Membaca basmallahdan do‟a

Hal ini berdasarkan Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, Ahmad dan para pemilik kitab sunan lainnya, dari Abdullah bin Abbas ra., sesungguhnya Rasullullah telah bersabda:

“Sesungguhnya jika salah seorang diantara kalian mau mendatangi

(menggauli) istrinya, maka bacalah do‟a: “Bissmillah (dengan

menyebut nama Allah). Ya Allah, jauhkanlah kami dari setan, dan jauhkan setan itu dari apa yang telah engkau anugrahkan kepada

(37)

keturunan maka setan tidak pernah akan dapat memberi madharat (bahaya) pada anak tersebut.”(Kan‟an, 2007:112)

b. Melakukan perangsangan (feroplay)

Rasullullah bersabda, “Jika salah soerang dari kalian

menyetubuhi istrinya janganlah tergesa-gesa” (Hathout, 2004:63). Persetubuhan (dukhul) tidak boleh dilakukan dengan tergesa-gesa. Kepekaan seksual perempuan dan laki-laki tentu saja berbeda.

Laki-laki lebih mudah bergairah dari pada wanita. Disinilah pentingnya perangsangan (feroplay). Hal yang sebaiknya dilakukan adalah dengan memanjakan isteri yaitu seperti mengelus-elus pipi, buah dada, sampil bercakap-cakap, sebentar-bentar mencium dan menetek payudara, sedangkan tangan merayap pada tubuh bagian lain, dan sebagainya.

Begitupula ciuman dan kecupan jangan sampai dilupakan (At-tihami, 2004: 103).

Hal ini perlu dilakukan karena sesungguhnya wanita cinta kepada pria, sebagaimana pria cinta kepada wanita. Maka jangan

sampai ia bersenggama dengan isterinya dengan melupakan semua perantara itu.

Rasullullah bersabda:

ََٝعَمَ٠ َلَ

.ًٌُع َس بََُّْٕٙ١َث ُْٓىَ١ٌ ُخََّٙجٌْا ُعَمَ٠ بََّو ٗرَأَشِْإ ٍََٝع ُُْو ُذَزَأ

َعَِبَخ َرإ :خَ٠ا َٚس ٟف َٚ :َُلآَىٌْا َٚ ُخٍَْجُمٌَْا َٚ يبل ؟ُي ُْٛعَشٌَا بَِ َٚ ًَْ١ل

. ِطَشَفٌْاَدُشَدَر َد َشَدَزَ٠ َلاَف ُُْو ُذَزَأ

(38)

oleh hewan. Sebaiknya di antara keduannya menggunakan perantara. Ditanyakan kepada Nabi.`Apa yang dimaksud dengan perantara itu?. Nabi menjawab, Yaitu mencium dan bercakap-cakap dengan bahasa yang indah-indah” (At-Tihami, 2004:103).

Dalam Hadis ini dapat difahami bahwa di dalam persetubuhan

itu terdapat ikatan yang kuat antara suami dan isteri. Jika mereka melakukannya sesuai dengan ketentuan sunnah yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW maka akan tidak mungkin terjadi

percekcokan atau permasalahan yang terjadi diantara keduanya. Karena suami telah memberikan nafkah batin yang secara tidak

langsung akan mempengaruhi fikiran naluriahnya seorang isteri. Sehingga setiap terjadi pertengkaran maka si isteri akan lebih mengedepankan cinta kasihnya kepada suami.

c. Dengan cara yang lembut dan suami tidak tergesa-gesa

Tujuan dari berhubungan badan (bersetubuh) adalah menjaga

kehormatan bagi setiap suami isteri agar menunaikan keinginan dan

syahwat terhadap pasangannya. Hal tersebut memerlukan keharmonisan antara pihak suami dan isteri supaya perasaan rileks

ketika bersenggama. Tentu saja keinginan tersebut akan terwujud jika suami melakukan atas dasar kelembutan dan tanpa adanya paksaan.

(39)

perasaan isteri sebelum melakukan hubungan suami isteri (dukhul)

agar suami mendapatkan kenikmatannya (Kan‟an, 2007:113).

Laki-laki biasanya lebih cepat mencapai klimaks (ejakulasi) dibanding wanita. Maka jika suami telah menunaikan hajatnya

(orgasme), hendaknya suami jangan tergesa-gesa berhenti menyetebuhi isteri (mencabut penis dari vagina) sampai sang isteri juga mencapai puncak kenikmatan (orgasme). Sebab jika suami menghentikan

persetubuhan maka hal tersebut akan menyakiti hati isteri. Jika ia sudah mencapai orgasme sebelum isterinya sebaiknya ditahan dulu,

sampai si isteri mencapai orgasme. Karena yang demikian itu adalah disunnahkan.

d. Hanya berduan saja

Bila suami ingin mengumpuli isterinya, maka hendaknya berduaan saja di dalam kamar. Tanpa ada orang lain bersama keduanya

walaupun itu anak kecil. Seorang ulama‟ bernama Muhammad al

-Abdari yang terkenal dengan sebutan al-Haj menceritakan dalam

kitabnya al-Makdhal: “Sesungguhnya Abdullah bin Umar ketika hendak menunaikan hajat atas isterinya, ia akan mengeluarkan bayi

(anak kecil) dari dalam kamar terlebih dahulu”. Dan sebagian sahabat

berkata, “Tidak sepantasnya laki-laki melakukan hal tersebut

(40)

Maksud dari keterangan sahabat yaitu, bahwa dalam melakukan hubungan suami isteri hendaknya memperhatikan keadaan

lingkungan rumah, yang bebas dari pandangan mata orang (makhluk) lain. Sebab persenggamaan itu adalah (perbuatan memebuka) aurat,

dan aurat harus ditutupi.

Abu Abdullah bin Al-Fakhar dalam persoalan ini mengatakan, bahwa larangan seorang di dalam rumah ketika ia sedang melakukan

hubungan adalah menunjukkan karahah (makruh). Karena hukum asal dari hubungan seksual adalah mubah. Adapun dimakruhkannya hubungan seksual ketika ada seseorang adalah disebabkan oleh Al-haya minaddin (malu adalah sebagian dari agama) (Asyumuni, 2005:121)

e. Lepaskan semua pakaian yang menutupi

بَ١ِثٌا ِْٟف عبَّ ِدٌْا َِِٓ ْسَزْزِا

#ِة

ِةبَ١ر ْسا َلأِث ًَِْٙدٌا َِِٓ ََُٛٙف َٚ

#ُع َضُْٕ٠ ِذبَص بَْٙ١ٍََع بَِ ًُُو ًَْث

ُع َضْفَر َلَ بٌََٙ بًجِعَلأُِ ُْٓو َٚ

“Hindarilah bersenggama dengan menggunakan pakaian,

Itu adalah pekerjaan tolol, hai kawan. Lepaskanlah semua pakaian isteri,

Telanjanglah kawan, dan bermain-main sesuka hati,”

(41)

melepas semua pakaian isteri, kemudian dia dan isterinya bersenggama dalam satu selimut. Karena ada Hadis yang menerangkan begitu, yaitu

menanggalkan pakaian dan menggunakan tikar. Akan tetapi, bukan berarti bahwa bersenggama dilakukan dalam keadaan terbuka tanpa

tutup sama sekali. Hal itu berdasarkan Hadis:

.ِْٓ٠َسبَّ ِسٌاَدُشَدَر ِْاَدَشَدَزَ٠ لآَف َُْوُذَزَأ َعَِبَخ َرِإ

“Apabila salah seorang diantara kalian melakukan senggama

dengan isterinya, maka janganlah telanjang seperti

telanjangnya keledai.”

Nabi SAW. sendiri ketika bersenggama beliau menggunakan tutup

kepala dan melirihkan suara serta berkata kepada isteri: “hendaklah

engkau tenang” (At-tihami, 2004:101).

C. Posisi Dalam Bersenggama (Dukhul)

Posisi dalam persetubuhan sungguhnya sangat banyak sekali.

Karena senggama dapat dilakukan disetiap keadaan dan dengan cara yang mungkin dapat dilakukan, maksudnya diperbolehkan menggunakan

berbagai posisi dalam bersenggama sesuai dengan kesenangan

masing-masing. Sahabat Ali bin Abi Thalib berkata: “Wanita laksana kendaraan

bagi pria, maka ia boleh menggendarainya kapan saja waktu dibutuhkan”

(At-tihami, 2004:153).

Akan tetapi cara-cara yang disunnahkan yaitu, sesuai dengan

(42)

pantat sang isteri diganjal dengan bantal terlebih dahulu, sehingga posisi kepalanya lebih rendah dari pada pantatnya. Kemudian suami memegang

penisnya lalu kepala penis tersebut digosok-gosokkan pada bibir farji isterinya sampai sang isteri menggeliat, karena rangsangan nafsu

birahinya. Setelah itu baru masukkan penis ke vagina. Jika saat itu suami terasa akan keluar mani, maka peganglah pantat si isteri dengan mengangkat ke atas. Pada saat itu juga dzakarnya harus ditekan masuk

lebih dalam lagi. Sedangkan sang isteri memeluk kuat-kuat tubuh suaminya, maka keduanya kan merasakan kelezatan yang luar biasa dalam

persetubuhan, yang tidak bisa dibayangkan besarnya kenikmatan itu (Al-Qasam, t.t :154).

Yang demikian ini merupakan juga termasuk sunnah dalam

persetubuhan. Yakni berusaha untuk saling memberi kepuasan lahir dan batin antara suami isteri.

Ibnu Qayyim menjelaskan, gaya yang paling baik dalam hubungan seksual ini adalah gaya iftirasy, sang isteri berlaku sebagai alas (di bawah), tentunya dilakukan setelah mengadakan main-mainan dan cium-ciuman. Dengan demikian seorang isteri disebut iftirasy (alas) (Asymuni, 2005:118), sebagaimana sabda Rasullullah:

(43)

Posisi demikian ini merupakan salah satu dari sifat kesempurnaan kepemimpinan seorang laki-laki pada isterinya, sebagaimana firman Allah dalam Surat An-Nisa‟ ayat 34:

Kaum laki-laki itu pemimpin bagi kaum wanita (QS.an-Nisa‟ : 34)

Adapun posisi yang dilakukan dari arah belakang (yang disetubuhi

tetap vagina, bukan anus), dianggap sebagian orang dapat menyempurnakan kadar kenikmatan, tapi bagi sebagian lain hal itu dianggap sungguh menyiksa dan menyakitkan. Sebab menurut sebagian

manusia yang kalau mereka bisa mempermainkan sebagian pantat akan menambah kenikmatan dan ada sebaliknya sebagian justru tersiksa. Maka

setiap pasangan perlu saling pengertian sesuai dengan kesepakatan dan kerelaan masing-masing dalam melakukan sentuhan-sentuhan ketika bersenggama. Allah SWT. Mengisyaratkan dalam firman-Nya mengenai

hal ini:

“Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu

bagaimana saja kamu kehendaki”(QS. al-Baqarah : 223)

Dari keterangan ayat tersebut bisa kita fahami bolehnya

menggunakan cara apa pun dalam menggauli isterinya tanpa ada ketentuan dan batasan dengan satu syarat yaitu menjauhi dubur isterinya, karena

memasukkan penis pada dubur itu jelas dilarang dalam hukum Islam

(Kan‟an, 2007:120).

(44)

a. Berhadapan dengan pria di atas b. Berhadapan dengan pria di bawah

c. Miring saling berhadapan

d. Pria menghadap punggung wanita

e. Duduk sepihak

f. Coitus melalui belakang

g. Duduk

h. Berdiri

Adapun tentang posisi duduk adalah sangat bervariasi. Ada yang

duduk saling berhadapan, duduk sefihak, di mana salah satu pasangan duduk di kursi atau dalam ranjang. Sedangkan posisi-posisi lain kirannya tidak perlu dijelaskan panjang dan lebar. Sebab setiap individu, baik

laki-laki maupun perempuan mempunyai insting sex yang tajam, sehingga mereka dengan cepat bisa menangkap isyarat-isyarat sex dari

masing-masing pasangannya (Al-Qasam, t.t :158). D. Waktu Yang Tepat Untuk Dukhul

Adapun mengenai waktu untuk bersetubuh, Syari‟ah memberikan kebebasan seluas-luasnya bagi pasangan suami isteri, baik diwaktu siang ataupun malam. Meskipun demikian ada waktu-waktu tertentu yang

disunnahkan untuk melakukan persetubuhan, karena ada hikmah yang terkandung di dalamnya.

(45)

melakukan persetubuhan setiap saat, baik diwaktu malam ataupun siang (Al-Qasam, t.t :189). Seperti firman Allah SWT:

“isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman”

Maksudnya, kapan saja suami boleh melakukan persetubuhan

dengan isteri, baik di waktu malam ataupun di waktu siang, dengan berbagai posisi yang di inginkan. Sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-Baqarah di atas.

Al-Imam Abu Abdullah bin AL-Hajji di dalam kitab Al-Madkhal

mengatakan, bahwa terserah diri sendiri menginginkan waktu yang pas

dalam senggama, baik di awal maupun akhir malam. Akan tetapi, di awal malam lebih utama. Sebab, waktu untuk mandi jinabat masih panjang dan cukup. Lain halnya kalau senggama dilakukan di akhir malam, terkadang waktu untuk mandi sangat sempit dan berjamaah shalat subuh terpaksa harus tertinggal, atau bahkan mengerjakan shalat subuh sudah keluar dari

(46)

malam adalah makhruh, karena orang (sesudah bersenggama) akan tidur dalam keadaan tidak suci.

Yang paling baik untuk berhubungan badan terkait kondisi dan situasi adalah setelah makanan di perut melumat dan ketika kondisi badan

stabil, baik mengenai temperatur suhu badan dan kelembapannya maupun kondisi perutnya. Tingkatan sebawahnya ketika perut kosong, yang paling jelek/bahaya ketika perut sangat kenyang, karena dapat menimbulkan

penyakit. Sebaiknya melakukan hubungan seksual pada saat-saat gairah seks memuncak, ketegangannya sangat tinggi, tidak terpaksa dan

bangkitnya gairah bukan karena melihat gambar-gambar dan mengkhayal terus menerus. Tidaklah baik melakukan sesuatu (seperti mengkhayal dan melihat gambar) untuk membangkitkan gairah seks dan memaksakannya,

atau terburu-buru melakukannya (Asymuni, 2005:124).

Adapun waktu-waktu yang di sunnahkan untuk dukhul (Hathout, 2004:67) yaitu:

a. Malam pertama bulan Ramadhan. Imam Ali bin Abi Thalib berkata:

disunnahkan bagi seorang suami untuk menggauli isterinya pada malam pertama bulan ramadhan.

b. Pada akhir malam. Karena dapat menyehatkan badan.

c. Malam senin. Karena sesuai dengan sabda Rasullullah, karena jika Allah menakdirkan seoarang anak, maka ia akan menjadi penghafal

(47)

d. Malam selasa, Rasullullah bersabda,”jika engkau menggauli isterimu pada malam selasa, dan dari persetubuhan itu lahir seorang anak, maka

ia akan menjadi syahadah (kesaksian) setelah kesaksiannya. Allah tidak akan menyiksanya bersama orang kafir, mulutnya senantiasa

mengeluarkan bau harum, dan mempunyai sifat-sifat yang terpuji.

e. Malam kamis, Rasullullah bersabda: bahwa jika dari persetubuhan tersebut Allah mentakdirkan seorang anak, maka ia akan menjadi

seorang pemimpin dan berilmu.

f. Hari kamis, waktu dzuhur setelah matahari tergelincir dari tengah

langit. Rasullullah bersabda: bahwa jika dari persetubuhan tersebut Allah menjadikannya seorang anak, maka setan tidak bisa mendekati anak tersebut sampai anak tersebut beruban, dan Allah akan

menjadikannya sebagai orang yang faham ilmu agama. Dan Allah juga akan memberikannya keselamatan dunia akhirat.

g. Malam jum‟at. Rasullullah bersabda: bahwa jika sorang laki-laki

menggauli isterinya pada malam jum‟at, dan dari persetubuhan itu

Allah menghendaki seorang anak, maka ia akan menjadi orang yang fasih (pandai) bicaranya.

h. Malam jum‟at pada waktu akhir Isya‟ (sekitar tenga malam).

Rasullullah bersabda jika seorang laki-laki menggauli isterinya pada waktu tersebt. Jika Allah menghendaki seorang anak, maka ia dapat

(48)

i. Hari Jum‟at setelah Ashar. Rasullullah bersabda: barang siapa yang

menggauli isterinya pada waktu hari Jum‟at setelah Ashar. Jika Allah

menghendaki seorang anak, maka ia akan menjadi orang terkenal, termasyhur, dan berilmu.

E. Larangan-larangan Dalam Dukhul

Persetubuhan memang merupakan nafkah lahir batin yang wajib diberikan seorang suami kepada isterinya, namun persetubuhan bukanlah

hal-hal yang bisa dibuat senang-senang tanpa aturan. Islam telah

mensyari‟atkan agar persetubuhan itu sebagai pelepas lelah suami isteri

dalam menikmati pahit manisnya hubungan sebuah keluarga itu. Namun Islam juga melarang beberapa peraturan atau hukum yang mengatur tentang larangan tertentu ketika sedang melakukan hubungan dukhul

dengan suami isteri.

Aturan tersebut tidak bersifat mendiskriminasi ataupun menyiksa

perasaan masing-masing. Malah dari aturan tersebut terdapat tujuan dan hikmah-hikmah tertentu yang menunjukkan tentang keutamaanya manusia

diciptakan di dunia ini. Sehingga tidak terfokus dengan hal-hal yang berbau negatif saja.

Hal-hal yang dilarang dalam hubungan suami isteri (Dukhul) adalah: a. Persetubuhan lewat dubur

Bahwasannya bersenggama dengan melalui dubur itu di

(49)

duburnya, maka ia benar-benar kafir atas apa yang diturunkan Allah

kepada Muhammad SAW”.

Orang yang membolehkan bersenggama melalui dubur ini

me-nisbat-kan pendapatnya kepada Imam Malik. Tetapi kemudian Imam Malik sendiri cuci tangan dengan nisbat itu. Beliau membaca firman Allah yang artinya: “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok

tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki”(QS. al-Baqarah : 223).

Imam Malik juga berkata, “Tidak ada orang yang menanam

kecuali pada tempatnya. Hanya saja masalah dubur ini memang besar perkaranya, karena bersenggama melalui dubur itu bertentangan dengan himah dan melawan sifat ketuhanan, dengan menjadikan tempat untuk keluar sebagai tempat masuk (At-tahimi, 2004:157). Kemudian bersetubuh dengan dubur itu juga terdapat bahaya yang

mengancam baik dari segi kesehatan maupun kebiasaan. b. Persetubuhan pada waktu haid

Para ulama‟ telah sepakat, bahwasannya menyetubuhi wanita

dalam kondisi Haid adalah dihukumi Haram. Karena apabila lahir seorang anak dari persetubuhan itu maka anak tersebut akan terkena

penyakit kusta. Jika orang tua tersebut tidak memahami kondisi yang dialami anak tersebut adalah, maka yang pantas disalahkan adalah

(50)





janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci, apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”

Dalam Hadis juga diterangkan bahwa, akibat dari hubungan

badan yang dilakukan ketika Haid dan Allah menghendaki atas mereka seorang anak. maka, anak yang lahir akan mempunyai penyakit penyakit kusta.

c. Hukum melihat kemaluan

Dalam nadzam kitab Qurratul „Uyun diterangkan, bahwa

hukum melihat kemaluan isteri adalah makruh. Demikian pula hukum melihat vagina dan zakar, karena hal itu akan menyebabkan timbulnya

sakit mata dan hilangnya rasa malu. Kadang-kadang melihat sesuatu yang dihukumi makruh itu dapat mendatangkan rasa saling benci (At-tihami, 2004:165), sebagaimana keterangan dalam kitab An-Nasihah.

(51)

bin Khalif, dari Buqyah, dari Ibnu Juraij, dari Atha‟, dari Ibnu Abbas r.a. Begitu Syaikh Muhammad Nashirud-din Al-Albani menerangkan.

“Apabila seorang dari kalian menjima‟ istri atau budak

wanitanya, maka jangan melihat kemaluannya, karena yang

demikian dapat menyebabkan kebutaan.”

Dalam pendapat Hadis ini, Al-Albani menyatakan bahwa hadis ini maudhu‟/palsu. Artinya, Nabi tidak pernah mengatakan yang demikian

ini, sehingga tidak bisa dipakai untuk istidlal (pengambilan dalil) hukum

haram atau makruhnya memandang aurat istri. d. Sadisme seks

Tujuan pernikahan adalah untuk mencapai kebahagian bersama dan sangat mulia. Namun alangkah tragisnya jika ada suami yang tega

menyakiti dan melukai tubuh istrerinya dengan kenestapaan. Bentuk sadisme seks yang dilakukan oleh suami sebagai suatu penyimpangan

adalah seperti halnya suami menelanjangi isteri dengan paksa, kemudian memukulinya dengan ikat pinggang, atau membentur benturkan kepala isteri ke ranjang tidur dan berbagai bentuk

penyiksaan lainnya (Al-Qasam, t.t :181).

Bahwasannya dalam suatu riwayatnya seorang sahabat pernah

bertanya:

ِج َْٚص َّكَز بَِ الله َي ُْٛعَس َب٠

اَرِا بَُِّٙعْطُٔ : ًََل ؟ ِْٗ١ٍََع بَِٔذَزَا

َلَ َٚ ْرِّجَمُر َلَ َٚ َْٗخ ٌََْٛا ُة ِشْعَر َلَ َٚ َذَ١َغَزْوا َرِا بَ٘ ُْٛغْىَٔ َٚ َذٍَْوَا

ِذْ١ِجٌَّْا ِٟف َّلَِا ُشََٙدَر

(52)

makan, memberinya pakaian tatkala kamu berpakaian, janganlah kamu pukul wajahnya, janganlah kamu hinakan dia, dan janganlah kamu pisahkan dia, kecuali dari tempat tidur (tatkala dia nusyus) !.

Jika menjunjung mereka adalah perintah, maka menyakiti hati

seorang isteri tentunya suatu perbuatan yang dilarang, apalagi ketika berhubungan seksual. Maka bagi suami yang menjungjung budi pekerti

yang tinggi haruslah faham dan mengetahui hak-hak isteri dan janganlah menyakiti hati ataua bahkan menghina mereka karena

mereka adalah kekasih jiwamu dan isteri yang sanngat kamu cintai.

e. Membuka rahasia dukhul

Diharamkan bagi pasangan suami isteri menceritakan

bagaimana hubungan dukhul mereka kepada orang lain. Hal ini berdasarkan riwayat Hadis dari Abu Hurairah ra. bahwa ketika

Rasullullah selesai mengucapkan salam kepada penghujung shalatnya, lalu beliau menghadapkan wajahnya kepada para jama‟ah (makmum)

seraya bertanya: “Majelis yang bahagia, apakah ada diantara kalian

yang mencampuri isteri dengan menutup pintu dan merapatkan tabir, akan tetapi, kemudian membicarakan hal itu kepada orang lain dengan

mengucapkan, bahwa ku telah begini dan begitu terhadap isteriku?.

Para jama‟ah laki-laki berdiam diri. Lalu beliau menghadap jama‟ah

wanita seraya menanyakan, apakah ada dari kalian yang menceritakan?

Kemudian ada seorang wanita muda yang duduk di atas lututnya sembari mengangkat kepalanya agar terlihat dan terdengar suaranya

(53)

dan juga perempuan) membicarakannya. Kemudian belia bertanya, apakah kalian mengetahui perempumaan orang yang melakukan hal

itu?. Sesungguhnya perumpamaan orang semacam itu seperti setan laki-laki dan perempuan, dimana salah satu dari mereka bertemu

dengan pasangannya di tengah jalan, lalu buang besar di sana, sedang orang-orang tengah melihat kepadanya ( „Uwaidah, 2008:445)

Dari keterangan tersebut dapat difahami bahwa melakukan

hubungan suami isteri adalah bentuk prifasi diantara keduanya. Jadi orang yang melakukan perbuatan tersebut yaitu membicarakan

hubungan seksualnya dengan orang lain maka diumpamakan oleh Rasullullah seperti setan wanita atau setan laki-laki yang buang air besar di tengah jalan. Sungguh kelakuan tersebut harus dihindari

karena merendahkan martabat manusia. Akan tetapi jika ini menyangkut kesehatan maka diperbolehan untuk membicarakannya

dengan dokter, jika hal ini menyangkut tentang penyakit yang diderita oleh suami atau isteri.

f. Menyetubuhi isteri yang tersumpah

Kebijaksanan hukum Islam dalam menerapkan posisi suami dalam peranan rumah tangga adalah karena suami di pandang sebgai

orang arif dan bijaksana. Namun masih ada sebagian suami yang sifatnya sembrono yaitu, ketika ia marah-marah kepada isterinya yang

(54)

waktu tertentu. Jika seumpama sumpah tersebut menyatakan bahwa si suami tidak akan berhubungan dengan isterinya selama kurun waktu

empat bulan, maka suami dilarang bahkan dihukumi haram melakukan hubungan seksual.

Meskipun talaknya sendiri belum jatuh, ia tetap tidak boleh berhubungan dengan isterinya dalam kurun waktu empat bulan. Dia boleh bersetubuh dengan isterinya setelah empat bulan, jika ia mampu

membayar kafarat/denda (AL-Qasam, t.t :185).

Berkaitan dengan sumpah tersebut, terdapat firman Allah yang

menjelaskan dalam QS. Al-Baqarah, 226-227.

“kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 227. dan jika mereka ber'azam (bertetap hati untuk) talak, Maka Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”

Hal ini sangat penting untuk difahami, mengingat bahwa watak

seksualitas suami adalah bersifat sepontan. Hal ini tentu saja sangat merugikan suami karena dalam kurun waktu empat bulan suami belum

(55)

sisinya. Bila birahi sudah memuncak tentu saja tidak mustakhil terjadi hubungan yang dilarang ini.

F. Manfaat Dukhul

Dalam kitab Fatkhul Izzar karangan Yasin Asyumuni menjelaskan tentang beberapa manfaat dan hikmah bersetubuh, diantaranya adalah

Pertama, untuk menjaga keturunan, menjaga makhluk spesies manusia, sampai waktu yang telah dijanjikan oleh Allah, yaitu sampai datangnya

hari kiamat. Bahwasnya tujuan pernikahan itu sendiri adalah menghalalkan hubungan seksulal antara laki-laki dan perempuan. Dan tujuan utamanya

dari itu semua adalah mempunyai keturunan. Karena Beliau Nabi Muhammad SAW. akan merasa sangat bangga sekali jika kelak umatnya itu lebih banyak keturunannya.

Kedua, untuk mengeluarkan air yang bisa menimbulkan bahaya, manakala selalu tersimpan dalam tubuh dan tidak bisa dikeluarkan. Air

mani yang tersimpan lama dalam tubuh seorang laki-laki akan mengakibatkan bahaya yang sangat besar, tidak hanya bahaya secara

jasmani namun juga bahaya secara rohani. Dalam kitab Qurrotul „Uyun dijelaskan tentang bahaya yang mengancam jiwa laki-laki jika ia tidak melakukan senggama dengan isterinya maka ia bisa terkena beberapa

penyakit yang sangat membahayakan bagi tubuhnya bahkan bisa juga mengakibatkan kegilaan. Itu merupakan balasan bagi mereka yang tidak

(56)

Ketiga, untuk memenuhi kebutuhan biologis dan memperoleh kenikmatan. Yang ketiga inilah yang disbut sebagai kenikmatan syurga.

Karena disyurga tidak ada akan ada keturunan dan keletihan dalam melakukan hubungan seksual.

Pernikahan adalah sarana bagi pasangan laki-laki dan perempuan untuk memenuhi kebutuhan seks mereka, memenuhi kebutuhan tersebut di luar ikatan perkawinan adalah dosa besar.

Allah menggambarkan keadaan pasangan suami isteri dengan gamabaran yang mendalam dan mengumpulkannya dalam makna yang

sempurna akan maksud sebuah rahahsia perkawinan. Allah berfirman dalam QS.al-Baqarah, 187:

(57)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG TALAK DALAM KITAB

FATKHUL MU’IN

A. Pengertian Talak

Talak adalah berasal dari kata “Ithlaq” artinya melepaskan atau meninggalkan. Dalam istilah agama “Talak artinya melepaskan ikatan

perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan” (Sabiq, 1980:9). Al Jarizi

dalam kitabnya Al Fiqh alal madzahibil arba‟ah memberikan devinisi talak sebagai berikut:

ٌا ُخٌَا َصإ ُق َلاَطٌَا

عٌفٍَث ٍَٗز ُْبَصْمَُٔٚأ ذبَىًٕ

ص ُْٛصْسَِ

Talak ialah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata-kata tertentu”

Sedangkan menurut kitab Fatkhul mu‟in pengertian Talak adalah

،ًخَغٌُ؛ َُٛ٘ َٚ

ِٝر َلَا ِعْفٌَّبِث ِرَىٌِّٕا ِذْمَعٌْا ًَُّز ، بًع ْشَشَٚ؛ ِذْ١َمٌْا ًَُّز

Yang artinya: “melepaskan tali” (secara bahasa), sedangkan menurut syara‟ adalah melepaskan ikatan akad Nikah dengan lafadz seperti yang akan

dikemukakan (As‟ad, t.t:135).

Jadi talak adalah suatu ucapan yang dapat menjadikan batalnya ikatan

suami istri yang pada awalnya bersatu menjadi terlepas karena terdapat ketidak cocokan dalam visi dan misi untuk mewujudkan keluarga yang

sakinah, ma waddah dan rahmah. Dalam suatu hadis diriwatkan dari Urwah

(58)

bilangan”. Seseorang yang menalak istri, ketika mendekati habis masa menunggu, ia kembali kemudian mentalak lagi begitu seterusnya, kemudian

kembali lagi dengan maksud menyakiti wanita tersebut (Azzam, Abdul Hawwas, 2009: 225). Maka dari itu Allah SWT berfirman dalam QS.

Al-Artinya : talak (yang dapat dirujuk) dua kali. (QS. Al-Baqarah (2): 229 )

Dari penjelasan surat tersebut, maka dapat diketahui bahwa makna talak

sebenarnya ialah tidak dijadikan permainan, karena dibatasi waktun kapan bolehnya seorang suami merujuk kembali kepada isterinya. Karena itu

janganlah kaum lelaki suka semena-mena dalam melafadzkan ikrar talak. Jika menginginkan suatu perceraian haruslah didasari pada alasan yang tepat.

B. Hukum Talak

Hukum talak adakalanya wajib, sebagaimana suami bersumpah ila‟ yang

Referensi

Dokumen terkait

Dan diantara amalan shalih yang telah Allah  anjurkan kepada segenap hambanya adalah berpuasa pada hari-hari yang mulia ini (sepuluh hari pertama dari bulan dzul hijjah),

Telah dilakukan penelitian tentang pemetaan spektrum absorpsi zat warna alam pada daerah uv-vis berdasarkan taksonomi, jenis bagian tanaman dan variasi pH..

Balai Besar Penelitan dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) Bogor.. 08.00 10.30 GS1.1 MMR Ahmad Taufik Misbah PTPN XII

cottonii terhadap bakteri Escherchia coli, Staphylococcus aureus, Salmonella typhosa dan Vibrio cholera , serta mengetahui nilai konsentrasi hambat minimum yang

Ditinjau dari analisis uji F two way dengan interaksi maka didapatkan

Segala puji bagi Allah Tuahan yang maha pemilik segala sesuatu, yang telah memberikan taufik dan hidayah, berikut kemudahan dan kesehatan pada penulis sehingga Tugas Akhir

Tabel 4.26 Hasil Jawaban Responden Untuk Pernyataan “Pimpinan berhak memberikan teguran maupun hukuman bagi karyawan yang terlalu lamban dalam bekerja”

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa adanya meningkatkan kompetensi tutor/pendidik paud dalam merancang model pembelajaran yang inovatif berbasis kearifan