• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PENUTUP

A. IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGISIAN JABATAN PIMPINAN TINGGI DI KOTA MATARAM

II. Pengalaman Pendidikan dan Pelatihan (Diklat)

Salah satu persyaratan bagi PNS yang akan dipromosikan maupun dimutasikan pada jabatan struktural adalah pengalaman mengikuti pendidikan dan pelatihan (Diklat) yang pernah diikuti PNS Pemerintah Kota Mataram. Selain itu keikutsertaan dalam Diklat merupakan bagian dalam menilai PNS yang profesional yang bisa digunakan untuk mengisi promosi dan mutasi jabatan struktural.

Menurut Caiden (1998) menjelaskan bahwa profesionalisme dapat dilihat dari empat indikator, yaitu: expertice, judgment, standart, dan commitment. PNS yang profesional harus mencerminkan keempat hal tersebut dengan selalu memperbarui keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki untuk bisa menyesuaikan dengan perkembangan jaman, memiliki komitmen terhadap bidang tugasnya, mengikuti aturan main yang sudah ditetapkan termasuk aturan-aturan yang tidak tertulis dan bertanggung jawab terhadap apa yang sudah dilakukan.

Akan tetapi, masalah profesionalisme pada organisasi publik merupakan masalah yang kompleks dan rumit karena organisasi publik terdiri dari berbagai macam

profesi sehingga sulit untuk menetapkan standar umum di sektor ini (Caiden, 1998).

Dalam upaya mewujudkan PNS yang profesional telah diatur dalamPeraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan PNS. Tujuan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) diantaranya meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap melakukan tugas jabatan secara profesional dengan dilandasi kepribadian dan etika PNS sesuai dengan kebutuhan instansi, memantapkan sikap dan semangat pengabdian yang berorientasi pada pelayanan, pengayoman dan pemberdayaan masyarakat. Diklat PNS merupakan salah satu unsur dalam upaya mewujudkan PNS yang profesional. Namun hasil penelitian ini, mengkritisi hasil kajian Purwanto (2007).

bahwa PP Nomor 101 tahun 2000, mengenai peranan Diklat dalam menciptakan profesionalisme PNS yang mengemukakan sebagai berikut :

1. Pelaksanaan Diklat dalam organisasi birokrasi sering tidak dianggap sebagai suatu prioritas yang penting. Dalam banyak kasus, Diklat hanya dianggap sebagai formalitas belaka untuk memenuhi penempatan para PNS pada jenjang jabatan struktural tertentu, bukan sebagai instrumen untuk meningkatkan kapasitas anggota organisasi birokrasi. Oleh karena itu tidak mengejutkan apabila sering ditemui kenyataan bahwa anggota organisasi birokrasi yang telah mengikuti Diklat tidak ditempatkan pada posisi yang semestinya sehingga dapat meningkatkan produktivitas kerja birokrasi.

2. Seringkali terjadi para PNS yang telah mengikuti suatu Diklat dengan keterampilan tertentu di pindah ke bagian lain yang justru tidak membutuhkan keterampilan yang dimilikinya tersebut. Hal ini karena pelaksanaan Diklat dalam organisasi birokrasi tidak diketahui dengan analisis kebutuhan Diktat.

Hasil penelitian ini juga mengkritisi, hasil kajian yang dilakukan Puslitbang BKN (2000) yang mensinyalir adanya berbagai kelemahan Diklat sebagai berikut:

1. Program Diklat yang diselenggarakan sering kurang sesuai dengan

sasaran, dilihat dari pangkat dan golongan, jabatan atau beban tugas yang diemban dan dasar analisis kebutuhannya.

2. Implementasi hasil pelatihan oleh para alumni belum maksimal, baik untuk peningkatan kinerja organisasi maupun pengembangan karier PNS.

Sebagai pedoman yang dijadikan penilaian terhadap profesionalisme aparatur yang dapat dipromosikan dan dimutasikan dalam jabatan struktural di ingkungan pemerintah Kota Mataram yakni terdiri dari (1). Pengalaman Diklat yang pernah diikuti, (2). penilaian terhadap rekam jejak PNS. Apabila kedua persyaratan itu sudah dipenuhi, maka PNS dapat dikategorikan sebagai PNS yang profesional dan dinilai Iayak untuk dipromosikan maupun dimutasikan dalam jabatan struktural. Konsep profesional ini bersifat khusus, hanya sebagai syarat dalam promosi dan mutasi jabatan struktural. Sehingga indikator yang dijadikan persyaratan PNS yang profesional, selain dinilai dari hasil Diklat yang telah diikuti PNS, juga penilaian terhadap rekam jejak PNS.

Selain itu, penelitian ini juga mengkritisi hasil kajian yang dikemukakan oleh Purwanto dan Ely (2010) bahwa kurang berhasilnya upaya pemerintah untuk mendongkrak profesionalisme PNS, terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab rendahnya profesionalisme PNS di Indonesia yang dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Sistem rekrutmen PNS yang masih sarat dengan muatan kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Dalam banyak kasus, para pejabat yang menduduki posisi strategis di birokrasi selalu memanfaatkan peluang tersebut untuk memasukan anak, saudara, kerabat, atau mereka yang memiliki koneksi politik tertentu untuk masuk dalam struktur birokrasi. KKN dalam proses rekrutmen jelas akan berimplikasi serius terhadap upaya membangun profesionalisme PNS. Tidak hanya berakibat dihasilkannya birokrat-birokrat yang kurang profesional, karena kandidat yang dipilih bukan berdasarkan kompetensi, namun juga menutup akses bagi calon-calon yang mempunyai kompetensi untuk menduduki posisi-posisi yang dibutuhkan dalam birokrasi.

2. Pola pembinaan karier yang belum sepenuhnya dikaitkan dengan prestasi kerja, melainkan Iebih pada pertimbangan senioritas PNS. Kondisi ini menyebabkan motivasi PNS untuk meningkatkan profesionalitas mereka menjadi rendah karena untuk mendapatkan promosi seorang PNS harus memiliki masa kerja yang panjang lebih dahulu, bukan prestasi atau kinerja yang mereka raih. Realitas ini menyebabkan dorongan untuk meningkatkan profesionalitas mereka menjadi rendah.

3. Training PNS belum didasarkan pada kebutuhan dan asas manfaat namun masih mengedepankan asas rutinitas, politis, dan proyek. Akibatnya, berbagai bentuk pendidikan dan pelatihan PNS yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (diklat struktural, fungsional, dan teknis) masih jauh dari harapan sebagai wahana untuk mengembangkan profesionalisme PNS. Kelemahan diklat yang lain, seringkali pengiriman PNS dengan lingkaran kekuasaan sehingga asas pemerataan, kebutuhan dan kompetensi menjadi terabaikan. Lebih memperihatinkan lagi, manfaat pasca diklat juga jauh dari memuaskan.

Sering terjadi para PNS yang baru selesai mengikuti diklat justru dimutasi dan ditempatkan pada posisi baru yang jauh dari kompetensi yang baru saja mereka pelajari selama mengikuti diklat

4. Penilaian kinerja yang digunakan selama ini belum mengapresiasi kompetensi PNS. Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3) PNS yang digunakan sebagai instrumen penilaian kinerja PNS memang masih mempunyai banyak kelemahan. Salah satunya instrumen tersebut belum dapat menilai tingkat profesionalisme yang dimiliki oleh seorang PNS secara akurat. DP3 cenderung hanya rnenghasilkan penilaian kinerja seorang PNS secara prosedural sehingga DP3 belum mampu menjadi instrumen untuk dapat mendorong motivasi PNS untuk meningkatkan prestasi dan profesionalitasnya.

5. Gaji yang dianggap kurang layak. Menurut expectancy-value motivation theory bahwa gaji yang rendah biasanya menurunkan motivasi PNS untuk bekerja secara profesional karena profesionalisme belum mencerminkan

peran instrumentatifnya. Dalam hal ini belum ada kesesuaian antara tingkat profesionalisme dengan gaji yang diterima. Seseorang yang profesional dan tidak profesional memperoleh gaji yang sama. Kondisi ini akan memunculkan perasaan tidak adil yang selanjutnya bisa menurunkan motivasi untuk bekerja secara profesional.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa peran Diklat dalam pembinaan dan pengembangan karier PNS masih dipertanyakan kemanfaatannya dalam pengembangan karier PNS. Namun, dari sisi Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan PNS, merupakan keharusan bagi PNS untuk mengikuti Diklat sebagai syarat melengkapi kompetensinya sekaligus sebagai penunjang dalam pengembangan kariernya.

Dokumen terkait