• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi kebijakan pengisian jabatan pimpinan tinggi di lingkungan birokrasi berdasarkan Undang-undang aparatur sipil negara: studi di Pemerintah Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Implementasi kebijakan pengisian jabatan pimpinan tinggi di lingkungan birokrasi berdasarkan Undang-undang aparatur sipil negara: studi di Pemerintah Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PENELITIAN

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGISIAN JABATAN PIMPINAN TINGGI DI LINGKUNGAN BIROKRASI BERDASARKAN

UNDANG-UNDANG APARATUR SIPIL NEGARA

(Studi Di Pemerintah Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat)

Oleh:

Khairy Juanda, M.Si

NIP. 19770527 200901 1 005

LP2M – UIN MATARAM

2022

(2)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN………. 1

I. Latar Belakang………...…….……….. 1

II. Rumusan Masalah………..…………. 8

III. Tujuan Penelitian………..……… 8

IV. Manfaat Penelitian………...……. 8

BAB II KERANGKA TEORI………….……….……...…….. 10

I. Penelitian Terdahulu………..……….…. 10

II. Birokrasi ……….……….……….… III. Implementasi Kebijakan Publik………. IV. Jabatan Pimpinan Tinggi……….………….. 11 12 13 BAB III METODE PENELITIAN………..…… 15

I. Pendekatan Penelitian……….…... 15

II. Lokasi dan Situs Penelitian……….… 15

III. Metode Pengumpulan Data...……….… 16

IV. Sumber Data………... 17 V. Keabsahan Data……….……..

VI. Analisis Data ……….…...

18 19 DAFTAR PUSTAKA

(3)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Kelancaran tugas umum Pemerintahan dalam pembangunan nasional sangat dipengaruhi oleh kesempurnaan pengabdian dan kinerja birokrasi pemerintah yang merupakan unsur aparatur negara yang bertugas memberikan pelayanan terbaik, adil dan merata kepada masyarakat. Untuk menjamin tercapainya tujuan pembangunan nasional diperlukan kinerja birokrasi yang mampu menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, profersional dan bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas serta penuh ketaatan pada pancasila, undang undang dasar 1945, Negara dan Pemerintah Republik Indonesia.

Kelancaran penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan nasional sangat tergantung pada kesempurnaan aparatur negara khususnya Pegawai Negeri. Karena itu, dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional yakni mewujudkan masyarakat madani yang taat hukum, berperadaban modern, demokratis, makmur, adil, dan bermoral tinggi, diperlukan Pegawai Negeri yang merupakan unsur aparatur negara yang bertugas sebagai abdi masyarakat yang harus rnenyelenggarakan pelayanan secara adil dan merata kepada masyarakat dengan dilandasi kesetiaan, dan ketaatan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Di samping itu dalam pelaksanaan desentralisasi kewenangan pemerintahan kepada Daerah, Pegawai Negeri berkewajiban untuk tetap menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dan harus melaksanakan tugasnya secara profesional dan bertanggungjawab dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan, serta bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.

Pemerintah dengan birokrasinya yang diharapkan menjadi jalan pemecahan masalah tetapi malah menjadi sumber masalah dari permasalahan yang dihadapi bangsa. Berbagai bentuk penyakit birokrasi (bureau pathologies) (lihat Caiden, 1991; Siagian, 1994; Hariandja, 1999) adalah merupakan hasil dari kepongahan dan salah urusnya (mis-management) para penyelenggara negara

(4)

2

disemua tingkatan dan pada semua sektor kehidupan.

Selama ini birokrasi di Indonesia dikenal luas sebagai birokrasi yang memiliki karakteristik ekonomi biaya tinggi. Penuh dengan arrogant dan technocratic power, yang diwujudkan dengan simbol pembangunan melalui penggusuran, perencanaan yang kurang matang, lack of initiative, yang terlihat dari ketergantungan pada petunjuk atasan atau petunjuk teknis, rigid, routine, cumbersone, swollen, red tape, inflexsible in operation, dan sebagainya.

Kesemuanya menjadikan birokrasi di Indonesia dari pusat sampai ke daerah lamban, tidak responsif dan tidak memiliki inovasi dalam penyelenggaraan fungsinya (Suryawikarta, 1997).

Konsep tersebut bisa dikatakan sebagai ciri dari old management dalam birokrasi kita, sehingga perlu diterapkan satu konsep baru tentang birokrasi yang sangat gencar dilakukan atau diterapkan oleh negara-negara maju didunia. Konsep ini biasa disebut sebagai new public management (NPM) yang mengedepankan pengaturan dan pengendalian pemerintahan dengan cara yang tidak jauh berbeda dengan pengaturan dan pengendalian sektor privat atau bisnis.

Pendekatan manajemen baru yang bertujuan untuk memperbaiki kinerja birokrasi ini, diperkenalkan oleh para teorisi Eropa dan Amerika dengan label yang berbeda beda, “ managerialism “( Pollit, 1990 : 55), “Marked based public administration “ ( Lan, Ziniyong and Rosenbloom, 1992:99) atau

“enterpreneurial government” (Osborne and Gaebler, 1992:58) yang sangat monumental. Pemerintah dengan birokrasinya yang diharapkan menjadi jalan pemecahan masalah tetapi malah menjadi sumber masalah dari permasalahan yang dihadapi bangsa.

Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah merubah paradigma baru bagi penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Pergeseran paradigma tersebut mengarah pada asas desentralisasi dengan pemberian otonomi daerah yang nyata, luas dan bertanggung jawab, dimana prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, penerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan karakteristik daerah menjadi titik sentral pelaksanaan penyelenggaraan otonomi

(5)

3

daerah. Perubahan paradigma tersebut merupakan momen bagi pemerintahan daerah untuk lebih berperan aktif dalam melaksanakan urusan urusan penyelenggaraan pemerintahan di daerah sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat setempat, sehingga mampu menepis anggapan selama ini tentang ketidaksiapan dan ketidakmampuan daerah serta membuktikan kemandiriannya dalam mengurus rumah tangga daerah dan memberikan pelayanan kepada masyarakat. Jika dilihat secara substansial, Undang-Undang ini mengatur tentang kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam wujud otonomi daerah. Pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke daerah memungkinkan terjadinya penyelenggaraan pelayanan dengan jalur birokrasi yang lebih ringkas dan membuka peluang bagi pemerintah daerah untuk melakukan inovasi dalam pemberian kualitas pelayanan pada masyarakat.

Dari perspektif teoritis, pemerintah yang didekatkan dengan yang diperintah (desentralized), akan dapat mengenali apa yang menjadi kebutuhan, permasalahan, keinginan dan kepentingan serta aspirasi rakyat secara baik dan benar. Karena kebijakan yang dibuat akan dapat mencerminkan apa yang menjadi kepentingan dan aspirasi rakyat yang dilayaninya. Hal ini dikemukakan Sharp dalam Joko Widodo (2001:50) “Local government is better able than centre government to respond to changes in demand, to experiment and to anticipate future changes. It provides a form of government in which people from non producer groups can more easly participate” (Pemerintah lokal lebih mampu dari pada pemerintah pusat dalam merespon perubahan tuntutan, melakukan eksprimen dan mengantisipasi perubahan perubahan pada masa mendatang. Pemerintah dalam mana rakyat dari kelompok kelompok non produser dapat lebih mudah berpartisipasi).

Tuntutan dan aspirasi masyarakat yang semakin mengedepan dalam era reformasi terhadap penyelenggaraan pemerintahan setidaknya meliputi beberapa hal :

1. Reformasi sistem politik yang merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat dinafikan untuk menuju kehidupan politik yang lebih demokratis melalui keterlibatan dan partisipasi rakyat dalam proses

(6)

4

politik yang menyangkut kepentingan publik (Lihat Gaffar, 2000, 145-173);

2. Tuntutan untuk mewujudkan good governance and clean government dalam penyelenggaraan negara yang didukung dengan prinsip dasar kepastian hukum, akuntabilitas, transparansi, keadilan, profesionalisme dan demokratis seperti yang dikumandangkan oleh World Bank, UNDP, United Nation dan beberapa lembaga international lainnya (lihat Edralin, 1997 : 55).

Untuk mendesain dan menentukan model birokrasi yang tepat maka perlu dilakukan perubahan yang mendasar terhadap 'anatomi' dan 'kode genetika' birokrasi publik di Indonesia agar dapat terwujud birokrasi yang mampu beradaptasi dengan dinamika perubahan lingkungan strategis yang terjadi.

Osborne dan Plastrik (2000,48) mengatakan dengan tegas dan menjadikannya sebagai...the first rule of reinvention : No new DNA, No Transformation.

Konsep perubahan birokrasi publik pada dasarnya sudah lama (1980-an) dikenalkan oleh para teorisi seperti Hood dan Pollitt, sebagai kritik terhadap kinerja birokrasi lama (model Weberian) yang sudah tidak mampu memenuhi harapan masyarakat seiring dengan perubahan lingkungan strategis. Sebagaimana tesis yang dikemukan David Osborne dan Ted Gaebler (1992, 13) bahwa :

“Bentuk pemerintahan yang berkembang selama era industri, dengan birokrasi yang lamban dan terpusat, pemenuhan terhadap ketentuan dan peraturan serta rantai komando, tidak lagi berjalan dengan baik...Mereka (birokrasi pemerintahan) menjadi bengkak, boros dan tidak efektif. Dan ketika dunia mulai berubah, mereka gagal menyesuaikan diri dengan perubahan itu...sama sekali tidak berfungsi dengan baik dalam masyarakat dan perekonomian tahun 1990- an yang cepat berubah,kaya informasi dan padat pengetahuan”.

Perubahan birokrasi publik yang diperkenalkan para teorisi tersebut merupakan perubahan birokrasi publik melalui pendekatan NPM (New Public Management) sebagai paradigma baru dalam upaya 'mentransformasi birokrasi yang kaku, hirarkis, birokratis bentuk adminsitrasi publiknya menjadi suatu birokrasi yang fleksibel dan berorientasi pasar/ pengguna jasa / pelanggan sebagai

(7)

5

bentuk manajemen publiknya (Hughes, 1994, 1). Pendekatan NPM ini bila ditarik benang merahnya (Hughes, 1994, Ferlie, et.al, 1996, Osborne dan Gaebler, 1992) menghendaki suatu birokrasi publik yang memiliki kriteria Good Governance dan Enterpreneurial Government dengan kemampuan memacu kompetisi, akuntabilitas, responsif terhadap perubahan, transparan, berpegang pada aturan hukum, mendorong adanya partisipasi pengguna jasa, mementingkan kualitas, efektif dan efisien, mempertimbangkan rasa keadilan bagi seluruh pengguna jasa, dan terbangunnya suatu orientasi pada nilai-nilai untuk mewujudkan Good Governance dan Enterpreneurial Government itu sendiri.

Bertitik tolak dari latar belakang tersebut, betapa penting dan urgennya kesadaran dan pemahaman yang harus dimiliki oleh setiap birokrat untuk mengetahui dan memahami berbagai paradigma penyelenggaraan pemerintah modern dan menjadikannya sebagai landasan berpijak untuk mengadakan reformasi birokrasi pemerintahan disemua tingkatan. Pada tahun 2004 Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara mengeluarkan Edaran Nomor : SE/ 28/ M.PAN/

10/ 2004, tanggal 10 Oktober 2004 tentang Penataan Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang isinya adalah bahwa setiap instansi baik pusat maupun daerah wajib melaksanakan hal-hal sebagai berikut : pertama, melakukan penataan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan unit kerja dengan mengacu pada Keputusan MENPAN nomor : Kep/ 23.2/ M.PAN/ 2004, tanggal 16 Februari 2004 tentang pedoman penataan pegawai, kedua, setiap instansi wajib melaksanakan analisis jabatan yang mengacu pada Keputusan MENPAN nomor : Kep/ 61/ M.PAN/6/

2004, tanggal 21 Juni 2004 tentang pedoman pelaksanaan analisis jabatan, ketiga, setiap instansi pemerintah harus melaksanakan analisis beban kerja berdasarkan pada Keputusan MENPAN nomor : Kep/ 75/ M.PAN/ 7/ 2004 tanggal 23 Juli 2004 tentang Pedoman perhitungan kebutuhan pegawai berdasarkan beban kerja dalam rangka penyusunan formasi PNS.

Kota Mataram merupakan salah satu dari 10 kabupaten/ kota yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Setelah secara resmi Nusa Tenggara Barat lahir menjadi salah satu daerah Swatantra Tingkat I dari pemekaran provinsi Sunda Kecil, selain Dati 1 Bali dan Nusa Tenggara Timur. Pada tanggal 17

(8)

6

Desember 1958 ditetapkanlah Mataram sebagai pusat Pemerintahan dan sekaligus sebagai ibu kotanya. Saat itu Mataram juga menjadi ibu kota Dati II Lombok Barat. Kota Mataram sebagai sebuah ibu kota Nusa tenggara Barat dan Lombok Barat. Kota madya Mataram dibentuk berdasarkan Undang-Undang No 4 tahun 1993 tentang pembentukan daerah kotamadya tingkat II Mataram.

Secara administratif Kota Mataram terdiri dari enam kecamatan yakni, (1).

Kecamatan Mataram, (2). Kecamatan Cakranegara, (3) Kecamatan Sandubaya, (4). Kecamatan Ampenan, (5). Kecamatan Selaparang, (6). Kecamatan Sekarbela.

Kota Mataram yang juga sekaligus sebagai ibukota Provinsi NTB, tentunya harus menjadi barometer kinerja birokrasi yang baik bagi kabupaten/ kota yang lain yang ada di provinsi NTB.

Sebagai kota yang berada di ibukota provinsi, kinerja pemerintah kota Mataram senantiasa lebih disorot oleh media massa dan masyarakat, hal ini terlihat dengan banyaknya pemberitaan dan opini yang muncul di media massa terkait dengan kinerja pemerintah kota Mataram. Hal paling sering (banyak) di sorot adalah kinerja satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang sebagian besar tidak bisa menjalankan tujuan, tugas pokok dan fungsinya, selain itu yang juga banyak menjadi sorotan adalah banyaknya aparatur birokrasi terutama kepala SKPD yang sudah pensiun, tapi masih dipertahankan (diperpanjang) masa pensiunnya.

Selain itu juga banyak terjadi promosi jabatan yang lebih cenderung berdasarkan kedekatan dengan pejabat tertentu dengan mengesampingkan DUK (daftar urut kepangkatan), hal ini dapat dilihat pada beberapa kelurahan, seorang yang mempunyai pangkat III b sudah menduduki jabatan kepala seksi, sementara yang sudah mempunyai pangkat III d hanya menjadi staf pada kelurahan/ instansi yang sama, hal ini menggambarkan bahwa BAPERJAKAT (badab pertimbangan jabatan dan kepangkatan) tidak betul-betul melaksanakan tugasnya dengan baik.

Dalam pengisian jabatan (mutasi) biasanya sering diwarnai dengan isu nepotisme, dimana orang yang dekat dengan pengambil kebijakanlah yang biasanya akan menduduki jabatan-jabatan yang ada (lowong) pada suatu instansi (SKPD), walaupun hal tersebut selalu ditepis oleh pemangku kebijakan, bahwa

(9)

7

mutasi yang dilakukan sudah sesuai dengan prosedur dan berdasarkan masukan dan saran dari BAPERJAKAT (Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan), akan tetapi isu nepotisme nyaris tidak bisa dihilangkan dari anggapan/ pendapat para pegawai/ aparatur yang ada.

Untuk menghindari terjadinya pendapat negatif tersebut, dalam pengisian formasi jabatan karir, pemkab/ pemkot hendaknya mengedepankan profesionalisme sehingga tidak terjebak pada fanatisme sempit berupa kesukuan dan kedekatan. Strategi pengisian formasi jabatan yang baik dan valid, adil dan layak adalah dengan mengadakan fit and propert test kepada setiap/ semua calon yang sudah memenuhi syarat tanpa melihat kedekatan maupun kesukuan. Pejabat birokrasi karier pemerintah tidak mempunyai diskresi dalam menjalankan dan mewujudkan kebijakan politik yang telah dilakukan oleh kepala daerah. Promosi jabatan dan pembinaan PNS di pemerintah daerah masih dilakukan oleh kepala daerah yang seharusnya dilakukan oleh pejabat karier yang menjadi atasan PNS.

Tidak jarang pula anggota dewan (DPRD) ikut campur pula menentukan promosi dan rekrutmen PNS di daerah.

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) secara lebih tegas dan lebih rinci tentang tata cara dan persyaratan dalam hal penempatan, pengangkatan dan promosi bagi pegawai negeri sipil untuk menduduki suatu jabatan tertentu dalam instansi pemerintah.

Hal ini dapat di lihat dalam pasal 68 : Pasal 68

Pangkat dan Jabatan

1. PNS diangkat dalam pangkat dan jabatan tertentu pada Instansi Pemerintah.

2. Pengangkatan PNS dalam jabatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan perbandingan objektif antara kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang dibutuhkan oleh jabatan dengan kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang dimiliki oleh pegawai.

Jika melihat ketentuan peraturan perundangan sebagaimana tercantum

(10)

8

dalam pasal 68 tersebut sangat jelas dan gamblang disebutkan bahwa pola karier pegawai negeri sipil adalah berdasarkan kinerja dan standar kompetensi yang jelas (berdasarkan Merit System).

B. Rumusan Masalah

Penelitian ini berfokus pada kinerja birokrasi kepegawaian pemerintah, dengan studi di Pemerintah Kota Mataram, Provinsi NTB. Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka, masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut :

“Bagaimanakah Implementasi Kebijakan pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Dalam Lingkup Pemerintah Kota Mataram ?”

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan masalah penelitian yang dirumuskan di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan, menganalisa dan menginterpretasikan :

1. Implementasi Kebijakan Yang Dilaksanakan Oleh Badan Kepegawaian Daerah Pemerintah Kota Mataram dalam Pembinaan dan Pengembangan Karier Pegawai Negeri Sipil.

2. Implementasi Kebijakan Pembinaan dan Pengembangan Karier Pegawai Negeri Sipil dalam pengisian jabatan administrasi dan jabatan pimpinan tinggi pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Dalam Lingkup Pemerintah Kota Mataram.

(11)

9 D. Manfaat Penelitian

Dengan melakukan penelitian ini, diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai :

1. Secara akademis diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi teoritis dalam perkembangan teori administrasi publik khususnya yang berkaitan dengan New Public Management (NPM) dengan metode kualitatif untuk menggambarkan , menganalisis dan menginterpretasi berbagai fenomena yang terjadi di pemerintahan daerah yang saat ini sedang melakukan reformasi birokrasi, terutama yang berhubungan dengan penerapan ide-ide baru dalam penyelenggaraan pemerintahan.

2. Secara praktis diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu bahan masukan dan sumbangan pemikiran yang berarti bagi Pemerintah Kota Mataram dalam melaksanakan pembinaan dan pengembangan karier pegawai negeri sipil.

E. Penelitian Terdahulu

Dalam beberapa penelitian yang dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelum yang dimuat/ diterbitkan dalam beberapa jurnal, dapat dibuat/ ditarik beberapa kesimpulan dari penelitian-penelitian sebelumnya yang membedakan dengan penelitian yang akan dilakukan. Hasil dari penelitian-penelitian tersebut antara lain :

1. Ryaas Rasyid (1990) meneliti tentang birokrasi dan budaya politik lokal kasus Sulawesi Selatan, yang melihat proses penempatan orang dalam jabatan struktural belum sepenuhnya didasarkan pada pola karier yang jelas, pengaruh intensitas pribadi terhadap proses rekrutmen sangat menentukan seorang birokrat untuk memperoleh jabatan.

2. Jeremy Pope (dalam transparancy international, 2000) yang meneliti hubungan antara rekrutmen birokrasi dan pejabat politik, dimana nepotisme dari para pejabat politik dimulai dengan memasukkan orang- orang terdekatnya baik karena hubungan darah dan kekeluargaan maupun

(12)

10

karena hubungan koncoisme dan pertemanan (spoil system). Nepotisme dalam birokrasi merupakan pintu awal terjadi korupsi publik sekaligus menjadi landasan awal dari buruknya pelayanan publik di Negara tersebut.

Selanjutnya apabila nepotisme dalam rekrutmen calon birokrat telah berlangsung dengan marak, maka hal tersebut menjadi gambaran dari maraknya spoil system dalam promosi pada jabatan-jabatan birokrasi publik.

3. Yuni Woro Astuti (2009) yang meneliti Penggunaan ruang diskresi birokrasi dan sistem akuntabilitas yang menemukan bahwa birokrasi saat ini dipenuhi oleh maraknya rekrutrnen maupun promosi jabatan yang diwamai oleh nepotisme dan diperkuat oleh mental lokalitas dan etnisitas.

F. KAJIAN TEORITIK

I. Birokrasi.

Dari beberapa literatur diketahui bahwa sebenarnya istilah birokrasi muncul dari suatu keadaan dimana banyak kalangan merasa kecewa terhadap Pemerintahan yang ada. Pada perkembangan berikutnya pemerintahan tersebut dinamakan birokrasi. Sehingga pemerintahan yang buruk disebut birokrasi yang buruk. Gournay dalam Albrow, (1989:54) suatu ketika pernah menyatakan, di Perancis kita mendapati sebuah penyakit yang jelas-jelas merusak kita, penyakit ini disebut "bureaumania”. Pada tulisan berikutnya dapat dipahami bahwa yang dimaksud ‘penyakit’ pada tulisan Gournay, yaitu pejabat yang diangkat (birokrasi) ada bukannya untuk menguntungkan kepentingan umum, melainkan kepentingan umum itu tampak diadakan oleh pejabat yang diangkat (birokrasi).

Selanjutnya Albrow, (1989:54), menekankan bahwa pada gagasan awal konsep-konsep birokrasi tersebut terdapat makna ganda, yaitu birokrasi tidak hanya dipandang sebagai bentuk pemerintahan yang di dalamnya kekuasaan berada di tangan para pejabat, namun juga merupakan suatu pertanda bagi pejabat-pejabat tersebut. Jika diamati memang ada kehancuran makna birokrasi itu sendiri dimana birokrasi tidak hanya diidentikkan sebagai prosedur-prosedur

(13)

11

administrasi, melainkan juga digunakan untuk menyebutkan suatu badan dimana para birokrat ada. Menurut Max Weber, birokrasi berasal dari kata bureaucracy (bahasa Inggris bureau + cracy) diartikan sebagai suatu organisasi yang memiliki rantai komando dengan bentuk piramida, dimana lebih banyak orang berada di tingkat bawah daripada di tingkat atas, biasanya lebih banyak ditemui pada instansi yang sifatnya administratif maupun militer. Konsep birokrasi Max Weber terbagi tiga yaitu :(1). birokrasi tradisional atau patrimonial bureaucracy (traditional authority), (2). rasionalisme (rational legal authority), dan (3) kuasa kharismatik (charismatic authority).

Hingga saat ini para akademisi masih mencoba untuk membuat definisi birokrasi yang disepakati secara umum. Mufiz dalam Raharjo, (2003:23) memberikan pandangan mengenai birokrasi sebagai berikut :

"Intisari dari otorita legal rasional adalah birokrasi, jantung dari birokrasi adalah sistem hubungan yang dirumuskan secara rasional oleh aturan- aturan. Otorita legal rasional memang di dasarkan atas aturan-aturan yang pasti. Kesetiaan atau kepatuhan adalah pada saat seseorang melaksanakan otorita kantornya hanya dengan legalitas formal dari pemimpinnya dalam jangkauan otorita kantornya".

Sedangkan Palombara dalam Raharjo, (2003:23) memberikan pengertian birokrasi dalam artian birokrat, yaitu:

“The bureaucrats of major interest to use are general those occup managerial rules, who are in some, directive capacity either in central agencies rules, who are generally descrribed in the language of public administration as middle or top management" (Birokrasi adalah mereka yang pada umumnya menduduki peran manajerial yang mempunyai kapasitas memerintah baik badan-badan sentral maupun di lapangan, yang pada umumnya digambarkan dalam bahasa administrasi negara sebagaimana manajemen menengah atau atas)”

Selanjutnya, birokrasi merupakan pantulan negara yang secara riil dirasakan semua orang, Nasir dalam Hariandja, (1999:49) tidak selamanya pakar sependapat, Larson (1992 : 17), menganggap negara merupakan sebuah konsep inklusif yang meliputi semua aspek perbuatan kebijakan dan pelaksanaan sangsi hukum, sementara birokrasi (pemerintahan) hanya sekedar agen yang melaksanakan kebijakan negara dalam sebuah masyarakat politik. Negara yang

(14)

12

merupakan abstraksi sekumpulan nilai universal, memang sering mempersulit seseorang ketika diminta menunjukkan wujud materiil Negara. Jika posisi birokrasi dominan dalam struktur kelembagaan suatu Negara, ia menyetir arah kebijakan Negara sehingga birokrasi adalah Negara itu sendiri.

Sejalan dengan pendapat diatas, Downs, (1967:53) agaknya lebih mengembangkan pendekatan pengukuran mikro dalam upaya memberikan pemahaman terhadap makna birokrasi yang acapkali menjadi bahan perdebatan selama ini. Mereka memandang bahwa birokrasi paling tidak memiliki tiga makna dan pendekatan, yaitu; pertama menunjukkan pada kelompok pranata atau kelembagaan tertentu. Pengertian itu menyamakan birokrasi dengan biro. Kedua, menunjuk pada model dan metode khusus untuk pengalokasian sumber daya dalam suatu organisasi besar. Pengertian itu memberikan makna yang sepadan dengan istilah pengambilan keputusan birokrasi. Ketiga, menunjukkan pada kebiroan atau kualitas yang dapat membedakan antara berbagai biro dengan jenis organisasi yang lain. Down menganggap bahwa makna seperti itu tidak lain merupakan karakteristik statis organisasi.

Organisasi birokrasi bisa dikategorikan sebagai suatu biro apabila kemudian mereka memiliki unit karakteristik, seperti; (1) Memiliki ukuran yang besar yang para anggotanya mengenal tidak lebih dari separuh dari seluruh anggota organisasi yang ada, (2) Sebagian besar anggotanya adalah pekerja purna waktu yang sebagian besar pendapatan mereka amat bergantung pada kondisi pekerjaannya dalam organisasi, (3) penggajian, pengangkatan dalam jabatan, dan penilaian kinerja setidaknya lebih didasarkan karakteristik kinerja mereka jika dibandingkan dengan pengukuran berbasis kriteria individual.

Barnard, dalarn Down, (1967:59) mengartikan bahwa organization adalah

"organization is a system of consciously coordinated activities or forces of two or more persons explicitly created to achieve specific end'. (Organisasi adalah suatu sistem koordinasi kegiatan-kegiatan atau kekuatan-kekuatan dua orang atau lebih yang secara sadar dibentuk untuk mencapai tujuan tertentu).

Sementara itu, biro (bureau) oleh Downs, (1967:59) diartikan sebagai bentuk organisasi yang memiliki empat macam karakteristik utama sebagai

(15)

13 berikut:

1. Organisasi berskala besar, memiliki jumlah anggota yang besar.

2. Mayoritas diantara anggota organisasi sebagai pekerja “full time”

yang menggantungkan pada pekerjaan organisasi untuk mendapatkan penghasilan (income), diantara mereka memiliki kompetisi yang tinggi dalam memberikan layanan dalam pasar.

3. Promosi dalam biro didasarkan atas penilaian kinerja mereka sesuai dengan peran yang dimainkan dalam organisasi. Bukan didasarkan pada faktor agama, ras, kelas sosial, dan hubungan keluarga yang secara periodik memilih pegawai dari orang yang berada di luar biro.

4. Hasil utama bukan dievaluasi secara langsung, atau tidak langsung dalam pasar tempat terjadinya transaksi secara sukarela.

Dilain pihak Almond dan Powel, (1996:95) menyatakan bahwa birokrasi adalah:

"The governmental bureaucracy is a group of formally organized offices and duties, linked in a complex grading subordinates to the formal ruler makers" (Birokrasi pemerintah adalah sekumpulan tugas dan jabatan yang terorganisasi secara formal, berkaitan dengan jenjang yang kompleks dan tunduk pada pembuat aturan yang formal).”

Pemahaman lain tentang birokrasi juga disampaikan oleh Batinggi, (1999:5) birokrasi adalah : “Tipe organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administratif yang besar dengan cara mengkoordinir secara sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang”. Perdebatan mengenai makna birokrasi juga terjadi antara Hegel dan Marx, walaupun Marx sedikit banyak mengkolaborasi tentang pemahaman birokrasi dari Hegel, sebagaimana di bawah ini :

“Analisis Hegelian menggambarkan bahwa administrasi negara atau birokrasi sebagai suatu jembatan antara negara dengan masyarakat rakyatnya (the civil society). Masyarakat rakyat ini terdiri atas para profesional dan pengusaha yang mewakili dari berbagai kepentingan khusus, sedangkan negara mewakili kepentingan-kepentingan umum. Di

(16)

14

antara kedua hal itu, birokrasi pemerintah merupakan perantara (medium) yang memungkinkan pesan-pesan dari kepentingan khusus tersebut tersalurkan ke kepentingan umum. Tiga susunan ini (negara, birokrasi, dan masyarakat rakyat) diterima oleh Marx, akan tetapi diubah isinya.

Birokrasi Hegel meletakkan pengertiannya dengan melawankan antara kepentingan khusus dan umum, maka Marx mengkritiknya bahwa meletakkan posisi birokrasi semacam itu 'tidak mempunyai arti apa-apa'.

Menurut Marx negara itu tidak mewakili kepentingan umum akan tetapi mewakili kepentingan khusus dari kelas dominan. Dalam perspektif ini makna birokrasi itu sebenarnya merupakan perwujudan kelompok sosial yang amat khusus. Lebih tepatnya birokrasi itu menurut Marx merupakan suatu instrumen dimana kelas dominan melaksanakan dominasi atas kelas sosial lainnya. Dalam hal ini, jelas masa depan dan kepentingan birokrasi menurut konsepsi Marx pada tingkat tertentu menjalin hubungan sangat intim dengan kelas yang dominan dalam suatu Negara (Batinggi, 1992 : 82)

Sedangkan menurut Henry, (2004:22) birokrasi mempunyai kekuasaan (power). Kekuasaan itu adalah kekuasaan untuk tetap tinggal hidup selamanya (staying power) dan kekuasaan untuk membuat keputusan (policy-making power).

Perdebatan mengenai definisi mengenai birokrasi juga disampaikan oleh Wilson dan diikuti oleh Goodnow, yang menjelaskan :

“Birokrasi pemerintah berfungsi melaksanakan kebijakan politik, sehingga birokrasi itu harus berada di luar kajian politik. Konsep dasar Wilson ini kemudian diikuti oleh Goodnow (1900) yang menyatakan bahwa ada dua fungsi pokok pemerintah yang amat berbeda satu sama lainnya yaitu fungsi pokok politik dan administrasi. Fungsi politik berarti pemerintah membuat dan merumuskan kebijakan-kebijakan, sementara fungsi administrasi berarti pemerintah tinggal melaksanakan kebijakan tersebut (Batinggi,1999:90).”

Konsep pemikiran mengenai birokrasi yang diuraikan oleh Weber memiliki ciri-ciri utama struktur birokrasi bertipe ideal. Birokrasi bertipe ideal menurut Weber sebagaimana dikutip oleh Henderson dan Parson, (1947:34) didefinisikan sebagai berikut :

1. Kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi dibagi di dalam cara tertentu sebagai tugas-tugas jabatan 2. Pengorganisasian jabatan-jabatan mengikuti prinsip hirarki, yaitu jabatan yang lebih rendah berada di bawah pengawasan atau pimpinan dari jabatan yang lebih atas.

3. Operasi-operasi atau pelaksanaan kegiatan, dikendalikan oleh suatu

(17)

15

sistem peraturan yang konsisten dan pelaksanaan dari peraturan- peraturan ini terhadap kejadian atau kasus-kasus tertentu

4. Pejabat yang ideal dalam suatu birokrasi melaksanakan kewajiban di dalam semangat formalistic impersonality (formil non pribadi) 5. Penempatan kerja di dalam organisasi birokrasi didasarkan pada

kualifikasi teknis dan dilindungi terhadap pemberhentian sewenang-wenang

6. Pengalaman menunjukkan bahwa tipe birokrasi yang murni dari suatu organisasi administrasi dilihat dari penglihatan teknis akan dapat memenuhi efisiensi tingkat tertinggi.

Lebih lanjut dijelaskannya beberapa sifat yang amat penting dari organisasi birokrasi adalah :

1. Adanya spesialisasi atau pembagian kerja 2. Adanya hirarki yang berkembang

3. Adanya suatu sistem dari suatu prosedur atau aturan-aturan

4. Adanya hubungan-hubungan kelompok yang bersifat impersonalitas

5. Adanya promosi dan jabatan yang berdasarkan atas kecakapan.

(Weber dalam Henderson dan Parson, 1947:34)

Dalam perkembangan maknanya birokrasi adalah tipe organisasi yang digunakan pemerintah modern untuk pelaksanaan berbagai tugas-tugas yang bersifat spesialisasi, dilaksanakan dalam sistem administrasi dan khususnya oleh aparatur pemerintah. Menurut Thomson dalam Henderson dan Parson, (1947:35), jika suatu kebijaksanaan telah diputuskan, sistem inilah yang dinamakan birokrasi. Birokrasi modern menurut Weber didefinisikan sebagai suatu badan administratif tentang pejabat yang diangkat. Weber juga memandang birokrasi sebagai hubungan kolektif bagi golongan pejabat, suatu kelompok tertentu dan berbeda yang pekerjaan dan pengaruhnya dapat dilihat dalam semua organisasi.

(18)

16 II. Implementasi Kebijakan Publik

Riant Nugroho Dalam bukunya Public Policy (2009) menyebutkan bahwa definisi implementasi kebijakan sebagai : cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya, tidak lebih dan tidak kurang'. Disebutkan pula, bahwa untuk mengimplementasikan kebijakan publik, terdapat dua pilihan langkah yakni : langsung mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan atau turunan dari kebijakan publik tesebut. Implementasi kebijakan merupakan hal yang paling berat, karena di sinilah masalah-masalah yang tidak dijumpai dalam konsep, muncul di lapangan. Selain itu, ancaman utama yang sering terjadi adalah konsistensi implementasi. Dalam kamus Webster (dalam Abdul Wahab, 1997) dirumuskan sendiri secara singkat bahwa ‘to implement' (mengimplementasikan) berarti to provide the means carrying out (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu), 'to give practical effect to' (menimbulkan dampak/ akibat terhadap sesuatu), dipandang sebagai suatu proses melaksanakan keputusan/ kebijakan, biasanya dalam bentuk undang-undang peraturan pemerintah, keputusan peradilan, perintah eksekutif atau dekrit presiden.

Implementasi menurut Horn (dalam Abdul Wahab, 1997) diartikan sebagai (those actions public or private individuals or group that are directed at the achievement of objectives set forth in prior policy decisions) (tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu/ pejabat-pejabat atau kelompok- kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada pencapaian tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan. Proses implementasi secara lebih rinci dikemukakan oleh Mazmanian dan Sabatier (1981) sebagai berikut:

“Implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula dibentuk perintah- perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasi masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan/ sasaran yang ingin dicapai dan berbagai cara untuk menstruktur/rnengatur proses implementasinya. Proses : ini berlangsung setelah melalui sejumlah tahapan tertentu, biasanya diawali dengan tahapan pengesahan undang- undang, kemudian output kebijakan dalam bentuk pelaksanaan keputusan oleh badan (instansi) pelaksanaan kesediaan dilaksanakannya keputusan- keputusan tersebut oleh kelompok kelompok sasaran, dampak nyata baik yang dikehendaki atau yang tidak dari output tersebut, dampak keputusan

(19)

17

sebagai dipersepsikan oleh badan-badan yang mengambil keputusan dan akhirnya perbaikan-perbaikan penting (atau upaya untuk melakukan perbaikan-perbaikan) terhadap undang-undang/ peraturan yang bersangkutan”.

Sedangkan, Lineberry (1978) menyatakan bahwa setidak-tidaknya proses implementasi kebijakan memiliki elemen-elemen antara lain :

a. Kreasi dan susunan pegawai/ agen baru guna mengimplementasikan kebijakan baru, atau menetapkan tanggungjawab implementasi kepada personal atau agen yang ada b. Menterjemahkan maksud dan tujuan legislatif ke dalam aturan-

aturan operasional yang baik, perlu pengembagan panduan bagi para pelaksana

c. Koordinasi sumber daya agen dan pembiayaan (expenditure) pada target group, pengembangan tanggung jawab divisi dalam agen dan antara agen dengan agen yang terkait

d. Alokasi sumber daya guna kesempurnaan dampak kebijakan.

I. Model-Model Implementasi Kebijakan Publik a. Model Top-Down Approach

Menurut Parsons (2006), model implementasi inilah yang pertama kali ada/ muncul. Pendekatan top down memiliki pandangan tentang hubungan kebijakan implementasi sebagaimana yang tertuang dalam Emile karya Rousseau:

"Segala sesuatu adalah baik jika diserahkan ke tangan Sang Pencipta. Segala sesuatu adalah buruk di tangan manusia". Mazmanian dan Sabatier (1983) dalam Ratmono (2008), berpendapat bahwa implementasi top-down adalah proses pelaksanaan keputusan kebijakan mendasar. Beberapa ahli yang mengembangkan model implementasi kebijakan dengan perspektif top-down adalah sebagai berikut :

b. Model Bottom-Up Approach

Model implementasi dengan pendekatan bottom-up muncul sebagai kritik terhadap model pendekatan rasional (lop-down). Parsons (2006), mengemukakan

(20)

18

bahwa yang benar-benar penting dalam implementasi adalah hubungan antara pembuat kebijakan dengan pelaksana kebijakan. Model bottom-up adalah model yang memandang proses sebagai sebuah negosiasi dan pembentukan konsensus.

Disamping itu Parsons (2006) juga mengatakan bahwa, model pendekatan bottom- up menekankan pada fakta bahwa implementasi di lapangan memberikan keleluasaan dalam penerapan kebijakan.

c. Model Policy Failure Approach

Kebijakan gagal (Policy fail) bukan hanya saat kebijakan menunjukkan ketidakefisienan, tetapi juga saat kebijakan tidak mencapai tujuan yang direncanakan dan tidak mampu menggunakan peraturan dan struktur penguasaan yang telah diatur selama tahap pemprograman. Kebijakan gagal pada tiga kondisi khusus: a). solusi penguasaan sangat tidak efisien, b). pengukuran kebijakan yang rendah model, c). dominasi koalisi (ekstraktif) pada tingkat lokal.

III. Jabatan Pimpinan Tinggi

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) tidak lagi mengenal istilah Eselon seperti yang berlaku sebelum adanya UU ASN, dimana sebelum adanya UU ASN untuk jabatan struktural dalam birokrasi pemerintahan diatur hierarki jabatan dalam bentuk eselonisasi. Adapun tingkatan eselon yang berlaku sebelumnya yakni :

1. Eselon I, terdiri atas Eselon I.A dan Eselon I.B (eselon ini adalah hanya untuk pejabat di tingkat pusat)

2. Eselon II, terdiri atas Eselon II.A dan Eselon II.B (eselon ini adalah untuk pejabat di tingkat pusat maupun daerah, baik provinsi maupun kabupaten/

kota)

3. Eselon III, terdiri atas Eselon III.A dan Eselon III.B (eselon ini adalah untuk pejabat di tingkat pusat maupun daerah, baik provinsi maupun kabupaten/ kota)

4. Eselon IV, terdiri atas Eselon IV.A dan Eselon IV.B (eselon ini adalah untuk pejabat di tingkat pusat maupun daerah, baik provinsi maupun

(21)

19 kabupaten/ kota)

5. Eselon V.A (eselon ini adalah untuk pejabat di tingkat pusat maupun daerah, baik provinsi maupun kabupaten/ kota)

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, maka tidak ada eselonisasi dalam jabatan struktural birokrasi Pokok-Pokok Kepegawaian. Istilah eselon kemudian diganti menjadi jabatan pimpinan tinggi, menurut UU ASN jabatan pimpinan tinggi terdiri dari :

1. Jabatan Pimpinan Tinggi Utama (kepala lembaga pemerintah non kementerian)

2. Jabatan Pimpinan Tinggi Madya (sekretaris jenderal kementerian, sekretaris kementerian, sekretaris utama, sekretaris jenderal kesekretariatan lembaga Negara, sekretaris jenderal lembaga non struktural, direktur jenderal, deputi, inspektur jenderal, inspektur utama, kepala badan, staf ahli menteri, Kepala Sekretariat Presiden, Kepala Sekretariat Wakil Presiden, Sekretaris Militer Presiden, Kepala Sekretariat Dewan Pertimbangan Presiden, sekretaris daerah provinsi, dan jabatan lain yang setara).

3. Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama (direktur, kepala biro, asisten deputi, sekretaris direktorat jenderal, sekretaris inspektorat jenderal, sekretaris kepala badan, kepala pusat, inspektur, kepala balai besar, asisten sekretariat daerah provinsi, sekretaris daerah kabupaten/kota, kepala dinas/kepala badan provinsi, sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kepala dinas kabupaten/kota dan jabatan lain yang setara).

Berdasarkan UU ASN pengisian jabatan pimpinan tinggi, baik jabatan pimpinan tinggi utama, madya maupun pratama tidak bisa lagi dilakukan dengan hanya berdasarkan kepentingan-kepentingan dari pejabat-pejabat tertentu (menteri, gubernur, bupati/ walikota) akan tetapi harus melalui proses seleksi secara terbuka (lelang jabatan). Hal ini juga sebagaimana diatur dalam peraturan menteri pendayagunaan aparatur Negara dan reformasi birokrasi (menpan RB)

(22)

20

nomor 13 tahun 2014 tentang tata cara pengisian jabatan pimpinan tinggi secara terbuka dilingkungan instansi pemerintah. Permenpan RB nomor 13 tahun 2014 mengatur secara tegas dan jelas tata cara pengisian jabatan pimpinan tinggi di lingkungan instansi pemerintah.

G. METODE PENELITIAN

I. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian yang berbasis pada pendekatan kualitatif.

Melalui penggunaan pendekatan kualitatif diharapkan peneliti mampu menggambarkan secara utuh dan komprehensif fenomena yang akan diteliti sebagaimana yang telah dijabarkan dalam fokus penelitian, sehingga pada akhirnya dapat menjawab masalah yang telah dirumuskan dan dengan demikian tujuan penelitian dapat tercapai. Beberapa pertimbangan lain yang mendasari penggunaan pendekatan kualitatif, adalah sebagaimana dinyatakan oleh Alwasilah (2002:56), yaitu: (1) penelitian kualitatif menyajikan bentuk yang menyeluruh (holistik) dalam menganalisis suatu fenomena; (2) penelitian jenis ini lebih peka menangkap informasi kualitatif deskriptif, dengan cara relatif tetap berusaha mempertahankan keutuhan (wholeness) dari obyek, artinya data yang dikumpulkan dalam rangka studi kasus dipelajari sebagai keseluruhan yang terintegrasi. Penelitian dengan pendekatan kualitatif berupaya mengembangkan ranah penelitian dengan terus-menerus memperluas pertanyaan penelitian, dan bahkan memunculkan pemikiran dan hipotesis baru serta isu baru bagi penelitian terkait dengan penelitian selanjutnya (Alwasilah, 2002:48). Hal ini dikarenakan prinsip dasar pada pendekatan ini adalah penelitian naturalistik yang mengejar keteraturan dan konsistensi.

(23)

21 II. Lokasi dan Situs Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Pemerintah Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Situs penelitian adalah SKPD yang ada pada pemerintah Kota Mataram. Alasan dilakukannnya penelitian di Pemerintah Kota Mataram adalah : Kota Mataram (Pemerintah Kota Mataram) oleh Pemerintah Pusat ditunjuk menjadi “Pilot Project“ reformasi birokrasi.

III. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui obervasi (pengamatan), wawancara dan dokumentasi (penelusuran dokumen). Pada proses pengumpulan data, pendekatan manusiawi antara peneliti dan sumber data (informan) menjadi instrumen utama dalam penelitian ini. Dengan menggunakan informan sebagai fokus subyek penelitian maka dalam pengumpulan data mengacu pada anggapan bahwa sumber data dapat memberikan respon berupa tanda, penyesuaian, dan respon terhadap lingkungan. Untuk keperluan pengumpulan data selama penelitian di lapangan, teknik pengumpulan data yang akan digunakan adalah :

1. Observasi (Pengamatan)

Menurut Rock (dikutip Atkinson, et.al, (eds.); 2001:32) penelitian kualitatif dalam upaya memperoleh data bergantung pada observasi partisipan.

Melalui observasi partisipan, peneliti berusaha memasuki dunia kehidupan sehingga dapat memastikan logika subyektif pada apa yang dirasakan, didengar, dan dilihat tentang kehidupan sosial dari subyek penelitian. Sebagai seorang pengamat, peneliti berusaha berada di "luar" subyek penelitian sambil sesekali mengajukan pertanyaan yang relevan, dan menganalisisnya. Salim (2006), menyebut dua prinsip pokok yang menjadi ciri teknik observasi dalam tradisi kualitatif : 1). Observer kualitatif tidak boleh mencampuri urusan subyek penelitian; 2). Observer kualitatif harus menjaga sisi alamiah dari subyek penelitian.

(24)

22 2. Wawancara

Merupakan usaha mengumpulkan data dan informasi dengan cara mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan dan untuk dijawab secara lisan pula melalui tanya jawab secara mendalam dan terarah. Peneliti berpedoman kepada pertanyaan-pertanyaan wawancara (interview guide) yang telah disiapkan serta tidak menutup kemungkinan mengembangkan pertanyaan-pertanyaan baru.

Validitas penelitian terletak pada kedalaman menggali informasi yang mencakup beberapa hal, yaitu: pertanyaan deskriptif, pertanyaan komparatif dan pertanyaan analisis. Proses ini dilakukan untuk mendapatkan data lapangan yang tidak bisa diakses melalui kegiatan observasi.

3. Dokumentasi

Merupakan teknik pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan, meneliti dokumen-dokumen, catatan-catatan, arsip-arsip serta laporan penelitian yang sudah ada sehingga dapat menunjang pelaksanaan penelitian ini dari sumber- sumber resmi yang dapat dipertanggungjawabkan. Data dokumentasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah data-data sekunder yang digali dari dokumen-dokumen, monografi, arsip, kliping, data stastistik, dan bahan-bahan lain dari sumber yang relevan selama penelitian berlangsung.

IV. Sumber Data

Sumber data utama yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah berupa : informan, peristiwa, dan data-data dokumentasi.

1. Informan

Informan adalah orang-orang yang dianggap mengetahui dengan benar suatu fenomena yang menjadi obyek penelitian, sehingga dapat membantu peneliti dalam menggali informasi yang dibutuhkan dalam penelitian dengan pendekatan kualitatif (Miles and Huberman, 1992). Informan awal dipilih secara purposif (purposif sampling), yang ditentukan oleh peneliti sendiri sesuai dengan tujuan penelitian. Informan awal penelitian ini adalah Kepala Badan Kepegawaian Daerah Kota Mataram , kemudian secara snowball diteruskan kepada kepala-

(25)

23

kepala bidang dan kepala-kepala sub bidang di lingkungan Badan Kepegawaian Daerah Pemerintah Kota Mataram.

2. Dokumentasi

Dokumentasi yang digunakan sebagai bahan kajian adalah beberapa sumber yang berhubungan langsung seperti pustaka, arsip daerah, arsip kegiatan, laporan-laporan yang telah didokumentasikan, proposal-proposal yang diajukan untuk kegiatan pembinaan dan pengembangan karier dan dokumen-dokumen lainnya yang relevan dengan masalah penelitian ini.

3. Peristiwa

Peristiwa merupakan sumber data tambahan yang diperoleh dengan cara mengamati secara langsung kegiatan-kegiatan yang berkaitan dan relevan dengan situs dan fokus penelitian.

V. Keabsahan Data

Menurut Lincoln & Guba (1985) terdapat empat kriteria yang dapat digunakan dalam mengukur keabsahan data pada sebuah penelitian kualitatif yakni :

a. Derajat kepercayaan (credibility). Dalam rangka memenuhi derajat kepercayaan terhadap hasil penelitian terdapat beberapa tindakan yang dilakukan sebagai berikut : 1). Prolonged Engagement : Tujuan tahapan ini adalah agar peneliti mendapat kepercayaan dari subjek penelitian dan menghindari distorsi (kebiasaan) terhadap kehadiran peneliti di lapangan, 2). Persistent Observation : Tahapan penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan pengamatan secara terus-menerus terhadap fenomena penelitian yang ada di lapangan, 3). Triangulation : Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data dengan cara mengkonfirmasikan data tersebut kepada informan lain (triangulasi sumber). Teknik triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini meliputi sumber data dan teknik pengumpulan data, 4). Peer Debriefing : Tahapan ini adalah sebuah

(26)

24

kondisi dimana peneliti membicarakan, mendistribusikan dan melakukan sharing knowledge dengan teman sejawat. Hal ini dimaksudkan agar diperoleh keakuratan penelitian termasuk dengan mempertanyakan berbagai hal seperti metode penelitian, kesimpulan sementara, dan kemungkinan bias-bias lain, 5). Referential Adeguacy Checks : Tahapan ini dilakukan dengan cara melacak kesesuaian hasil penelitian secara keseluruhan termasuk di dalamnya pengecekan arsip data, bahan referensi dan data-data dokumentasi yang ada. Tujuannya adalah untuk memastikan apakah ada kesesuaian antara data dan informasi penelitian terhadap kesimpulan-kesimpulan yang telah dirumuskan, 6). Member Checks : Tahapan ini adalah tahapan yang dilakukan pada akhir penelitian khususnya pada saat wawancara dengan informan telah selesai dilakukan.

Tindakan yang dilakukan adalah mengevaluasi ulang garis besar temuan penelitian yang berhubungan dengan informasi yang disampaikan oleh informan.

b. Ketergantungan (dependability), adalah kriteria untuk menilai apakah proses penelitian bermutu atau tidak. Untuk memastikan hal tersebut diperlukan audit atau pemeriksaan yang cermat terhadap seluruh komponen dan proses penelitian serta hasil penelitiannya

c. Kepastian (Confirmability), adalah kriteria untuk menilai kualitas hasil penelitian dengan penekanan pada pelacakan data dan informasi serta interprestasi yang didukung oleh materi yang ada pada penelusuran dan pelacakan audit (audit trail).

d. Keteralihan (Transferability), adalah tingkat keteralihan persoalan empiris penelitian yang didasarkan pada konteks pengirim dan penerima. Adapun mekanisme yang dilakukan antara lain dengan menyandingkan data yang diperoleh sehingga secermat mungkin mampu menggambarkan masalah penelitian dan mengantarkan pembaca untuk memahami betul substansi penelitian.

(27)

25 VI. Analisis Data

Proses analisis data tersebut mengikuti model analisis data interaktif dari Miles dan Huberman (1984) sebagaimana disajikan dalam gambar di bawah ini :

Analisis data dilakukan selama maupun sesudah kegiatan lapangan, artinya selama peneliti berada di lapangan tidak hanya mengumpulan data, tetapi juga melakukan analisis, mengolah dan menulis laporan penelitian sementara. Analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang berhasil dikumpulkan dari berbagai sumber. Setelah itu langkah berikutnya membuat reduksi data yang dilakukan dengan jalan menyusun abstraksi yang berisi intisari dari setiap fokus yang diteliti. Langkah selanjutnya adalah menyusunnya dalam bentuk satuan- satuan untuk kemudian dibuat kategorisasi. Tahap berikutnya adalah memeriksa keabsahan data. Setelah selesai tahap ini, peneliti kemudian melangkah ke tahap interpretasi data dan mengolahnya menjadi laporan penelitian.

Berdasarkan Gambar 3.1 maka langkah-langkah dalam analisis data adalah sebagai berikut :

a. Reduksi Data. Dalam proses ini data dipilah-pilah dan disederhanakan, sedangkan data yang tidak diperlukan disortir agar memberi kemudahan dalam menampilkan, menyajikannya dan menarik kesimpulan sementara.

b. Penyajian Data, merupakan proses penyusunan kembali data yang telah diperoleh dengan kecenderungan kognitifnya adalah menyederhanakan informasi yang kompleks kedalam satuan bentuk (gestalt) yang disederhanakan secara selektif atau konfigurasi yang mudah untuk

(28)

26

dipahami sehingga dapat diperoleh tingkat validitas serta obyektifitas hasil penelitian.

c. Penarikan Kesimpulan, merupakan proses penyusunan kesimpulan dan pembuatan keputusan dari hasil analisis yang sebelumnya disesuaikan dengan pertanyaan penelitian. Kecenderungan hasil yang muncul diidentifikasi kembali, diperjelas pola konfigurasi-konfigurasi yang timbul agar penarikan kesimpulan akhir dapat dipertanggungjawabkan.

H. SISTEMATIKA

Sistematika laporan penelitian ini adalah sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN :

A. LATAR BELAKANG B. RUMUSAN MASALAH C. TUJUAN PENELITIAN D. MANFAAT PENELITIAN E. PENELITIAN TERDAHULU F. KAJIAN TEORITIK

G. METODE PENELITIAN H. SISTEMATIKA

BAB II PAPARAN DATA DAN TEMUAN :

Bab ini berisi tentang data lapangan tentang data penelitian yang telah dilakukan

BAB III PEMBAHASAN

Bab ini berisi tentang proses analisis terhadap temuan penelitian yang telah di paparkan pada Bab II dan menjawab rumusan masalah yang telah di buat pada Bab I

BAB IV PENUTUP

Bab ini berisi kesimpulan dan saran/ rekomendasi dari hasil penelitian yang telah di lakukan

(29)

BAB II

PAPARAN DATA DAN TEMUAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Profil Kota Mataram

Mataram se baga i sa lah sat u Kota di Propins i NTB, juga me njad i Ibukot a Pro vins i Nusa Tenggara Barat. Kot a Mat aram memiliki topografi wilayah yang berada pada ketinggian kurang dari 50 meter di atas permukaan laut, dengan rentang ketinggian sejauh 9 km, terletak pada 08° 33' - 08° 38' Lintang Selatan dan 116° 04' - 116° 10' Bujur Timur. Struktur geologi Kota Mataram sebagian besar adalah jenis tanah liat dan tanah endapan tuff yang merupakan endapan alluvial yang berasal dari kegiatan Gunung Rinjani secara visual terlihat seperti lempengan batu pecah, sedangkan di bawahnya terdapat lapisan pasir.

Gambar 2.1 Peta Kota Mataram

PETA KOTA MATARAM

(30)

B. Sejarah Kota Mataram

Setelah secara resmi Nusa Tenggara Barat lahir menjadi salah satu daerah Swatantra Tingkat I dari pemekaran provinsi Sunda Kecil, selain Dati 1 Bali dan Nusa Tenggara Timur. Pada tanggal 17 Desember 1958 ditetapkanlah Mataram sebagai pusat Pemerintahan dan sekaligus sebagai ibu kotanya. Saat itu Mataram juga menjadi ibu kota Dati II Lombok Barat. Kota Mataram sebagai sebuah ibu kota Nusa tenggara Barat dan Lombok Barat, terdiri dari 3 bagian kota yaitu Ampenan, Mataram, dan Cakranegara. Ampenan merupakan kota pelabuhan, Mataram menjadi pusat Pemerintahan dan pendidikan, sedangkan Cakranegara sebagai pusat perdagangan dan perekonomian. Mataram sebagai ibu kota dari dua buah Pemerintahan, perkembangan kota semakin bertambah maju. Kebutuhan sarana prasarana dan fasilitas umum menjadi semakin besar.

Demikian juga kebutuhan jaringan transportasi dan tempat pemukiman menjadi lebih luas, karena itu Pemerintah Dati NTB, yang saat itu Gubernurnya dijabat oleh Kolonel Raden Wasita Kusama, dan atas saran pertimbangan pembantu-pembantu gubernur, diusulkan ke Pemerintah pusat cq. Departemen Dalam Negeri, agar kota Mataram dimekarkan menjadi kota Administratif yang untuk sementara masih berada dalam kendali Dati II Lombok Barat. Setelah usulan pemda tingkat II NTB disetujui oleh Departemen Dalam Negeri, maka dilakukan persiapan-persiapan administratif untuk sementara dalam persiapan menuju Kota Administratif, ditunjukkan pejabat Sementara (PjS) Wali kota Administratif Mataram, yaitu Drs Iswarto, yang pada saat itu sedang memangku jabatan sebagai Kepala Urusan Pegawai (UP) Sekretariat Daerah Nusa Tenggara.

Sebagai pejabat sementara Drs. Iswarto ditugaskan mengurus dan menyelesaikan proses terwujudnya Kota Administratif Mataram. Dalam tugasnya sebagai PjS Wali Kota Adinistratif, dia dibantu oleh seorang sekretaris Wali Kota yang dijabat oleh Drs. Abu Bakar Achmad, setelah kurang lebih satu tahun melaksanakan tugas sebagai PjS Wali Kota, keluarlah surat keputusan resmi Kota Mataram pada tanggal 29 Agustus 1978. Keberhasilan terwujudnya Kota Mataram dalam waktu yang relatif singkat dan peran dari beberapa pejabat dan pembantu gubernur R.

Wasita Kusumah yaitu antara lain :

(31)

1. Sekretaris Daerah (sekda), Drs. Samiono

2. Kepala Direktorat Pemerintahan, Drs. Diro Suprobo 3. Kepala Inspektorat, Drs. Lalu Sri Gde

4. Kepala Administratif Pemerintahan, I Gusti Ngurah, BA 5. Gubernur Muda, Abidin Ishak

6. Bapak-bapak pembantu gubernur, yaitu: Messakh, Malada, Yusuf Tayib Nafis, Wenas, Drs. Iswarto, Drs. L. Azhar, Drs. L. syukri.

7. Pejabat-pejabat administratif sekretariat daerah yang lain, seperti: Drs.

H. Nanang Muhammad, Drs, Abdul Kadir, Kt. Ginantra, Drs. I. Wayan Langkir.

C. Kota Administratif (Kotif) Mataram

Usaha-usaha yang ditempuh dalam meningkatkan Pemerintahan Kota Administratif Mataram adalah :

1. Dengan surat Bupati Kepala Daerah TK.II Lombok Barat tanggal, 8 maret 1977. No. Pem I/3/56 dan dilampiri Surat Pernyataaan Pendapat DPRD Kabupaten Daerah TK. II Lombok Barat, Tanggal 9 Oktober 1976, No. 3/ Pernya/DPRD/1976 yang mengusulkan pembentukan Kota Administratif Mataram kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur Kepala Daerah Tk. I Nusa Tenggara Barat. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I NTB melanjutkan usul tersebut kepada Menteri dalam Negeri dengan surat tanggal, 10 Maret 1977. No. Pem. A/4.

2. Bupati membentuk Team Persiapan Kota Administratif Mataram dengan Surat Keputusan Tanggal, 1 Nopember 1975 No.

131/2/Pem.I/3/386 guna melengkapai data dan lain-lain dalam persiapan untuk bahan-bahan usul pembentukan Kota Administratif.

D. Perubahan Struktur Pemerintahan

Sejarah perkembangan Kota Mataram berlangsung dalam 6 periode.

Periode Pertama, berlangsung sebelum terbentuknya Negara Indoensia Timur dimana Lombok merupakan bagian dari Residensi Bali-Lombok.

(32)

Periode Kedua, berlangsung selama berdirinya Negara Indoensia Timur, daerah otonom terbagi dalam 3 wilayah administrasi Pemerintahan setempat. Wilayah Pemerintahan Lombok Barat sama seperti waktu sebelum terbentuknya Negara Indonesia Timur.

Periode Ketiga, berlangsung ketika terbentuknya Daerah Swatantra Tingkat I Nusa Tenggara Barat ( 17 Desember 1959) yang terdiri dari 6 Daerah Swatanra Tingkat II, diantaranya DASWATI II LOMBOK BARAT, terdiri dari 6 kedistrikan. (1. Kedistrikan Ampenan Barat di dasan Agung, 2. Kedistrikan Ampenan Timur di Narmada, 3. Kedistrikan Bayan di bayan Beleq, 4. Kedistrikan Tanjung di Tanjung, 5. Kedistrikan Gerung di Gerung, 6) Kedistrikan Gondang di Gondang) ditambah satu Wilayah Kepunggawaan yakni Kepunggawaan Cakranegara di Mayura.

Periode Keempat, sejak berlakunya Undang-undang No. 18 tahun 1965, dimana Daerah Tingkat II Lombok Barat dikembangkan menjadi beberapa kecamatan diantaraya Kecamatan Mataram, yang merupakan pemekaran Kecamatan Ampenan dan cakranegara.

Perode Kelima, sejak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1978 tentang pembentukan Kota Administratif Mataram, yang meliputi 3 kecamatan yaitu Kecamatan Ampenan, Kecamatan Mataram dan Kecamatan Cakranegara. Sejak Tanggal 29 Agustus 1978, ketiga kecamatan tersebut tergabung menjadi satu yaitu Kota Mataram.

Periode keenam, peningkatan status Kota Administratif Mataram menjadi Kotamadya Dati II Mataram, berdasarkan Undang-Undang No. 4 Thn. 1993.

Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia ( Moch. Yogi S Memet) meresmikan perubahan tersebut pada tanggal, 31 Agustus 1993, yang wilayahnya meliputi Kecamatan Mataram, Ampenan dan Kecamatan Cakranegara.

(33)

E. Menjelang Pembentukan Kodya

Sehubungan dengan kebijakan tersebut Direktorat Jendaral Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri dengan suratnya tanggal 26 Oktober 1981 Nomor: 135/3747/POUD yang maksudnya pemberitahuan tentang akan dikirimknya Team Evaluasi ke berapa Kota Administratip antara lain Kotip Mataram. Selanjutnya pada tanggal 15 Maret 1982 samapi dengan tanggal 17 Maret 1982 Team dimaksud di atas datang ke Mataram yaitu 2 orang staf Dirjen Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah Depdagri.

Dari team tersebut diperoleh penjelasan tentang maksud kunjungan kerja/tugas mereka adalah:

a. Evaluasi secara umum tentang perkembangan kota-kota administratif diseluruh Indonesia.

b. Penjajakan kemungkinan dan persiapan –persiapan untuk pengusulan peningkatan status beberapa Ibu Kota Provinsi yang berstatus Kota Administratif menjadi Kota Madya, termasuk didalamnya Kota Mataram.

Ditegaskan lebih lanjut bahwa sebagai syarat peningkatan status dari Kotip Mataram menjadi Kota Madya harus dipenuhi 3 (tiga) hal sebagai berikut:

1. Mengenai potensi dan perkembangan Pemerintah Kota Administrasi itu sendiri, mengenai hal ini sudah dipenuhi dengan pengisian quitionary.

2. Dukungan Administrasi berupa kesiapan dari Pemerintah Daerah sendiri untuk menyiapkan peningkatan status tersebut dalam bentuk penyerahan kewenengan dan bagian dari sumber pendapatan Daerah Tingkat II secara bertahap kepada Pemerintah Kota Administratif agar pada waktunya mampu untuk berdiri sendiri. Hal ini dinyatakan dalam bentuk surat usul dari Pemerintah Dati II Lombok Barat kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur Kepala Daerah Tingkat I NTB yang selanjutnya berdasarkan surat usul tersebut Gubernur Kdh. Tk. I NTB melanjutkan usul tersebut keepada Menteri Dalam Negeri.

3. Dukungan politis berupa keputusan dari DPRD TK.I dan Tk.II yang merupakan pernyataan kehendak rakyat yang bersangkutan untuk jelasnya

(34)

lihat Lampiran No, 3/D dan No. 4/D. Untuk mempercepat penyelesaian persyaratan itu telah datang pula team yang ke 2 dari beberapa Direktorat di Lingkungan Depdagri a.l. dari Dit. Keuangan Daerah

Dengan peningkatan status tersebut diharapkan fungsi kota itu dapat secara seimbang melayani keperluan pengembangan nya, baik yang bersifat internal maupun external, sehingga lebih mampu berfungsi sebagai Ibi Kota Propinsi sekaligus sebagai pusat pertumbuhan.

F. Profil Pemerintahan.

Secara administratif Kota Mataram memiliki luas daratan 61,30² km dan 56,80² km perairan laut, yang terbagi dalam 6 kecamatan. Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Mataram Nomor : 3 Tahun 2007, Tentang Pemekaran Kecamatan dan Kelurahan di Kota Mataram maka kecamatan yang sebelumnya berjumlah 3 (tiga) kecamatan dimekarkan menjadi 6 (enam) kecamatan. 6 kecamatan tersebut, yaitu Kecamatan Ampenan, Cakranegara, Mataram, Sandubaya, Selaparang dan Sekarbela dengan 50 Kelurahan dan 297 iingkungan. Kecamatan terluas adalah kecamatan Selaparang yaitu seluas 10,7653 Km², disusul Kecamatan Mataram dengan Iuas wilayah 10,7647 Km². Sedangkan wilayah terkecil adalah Kecamatan Ampenan dengan lugs 9,4600 Km². Berdasarkan data dari Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kota Mataram, saat ini jumlah keseluruhan pegawai negeri sipil (PNS) sebanyak, 6.671 orang, yang terdiri dari PNS non Guru sebanyak 3.691 orang, PNS Guru sebanyak 2.980 orang. Dari jumlah PNS tersebut masih terdapat PNS golongan 1 yang jumlahnya mencapai 134 orang.

Adapun visi dan misi kota Mataram adalah, Visi : "Terwujudnya Masyarakat Kota Mataram Yang Maju, Religius dan Berbudaya", sedangkan Misi nya adalah :

1. Mewujudkan masyarakat perkotaan yang "AMAN" ditunjukkan dengan stabilitas yang kondusif, saling berterima dalam suasana lingkungan yang bersih dan indah untuk mencapai masyarakat yang maju, religius dan berbudaya.

(35)

2. Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia agar memiliki pengetahuan, Keterampilan dan teknologi yang handal sehingga mampu meningkatkan daya saing daerah.

3. Memberdayakan ekonomi rakyat berbasis potensi lokal berdasarkan prinsip pembangunan yang berkelanjutan.

4. Meningkatkan Kualitas pelayanan publik dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat berorientasi pada SPM (Standar Pelayanan Minimal) dan SPP (Standar Pelayanan Publik) berdasarkan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (Good Governance).

5. Meningkatkan Kualitas dan Kuantitas sarana dan prasarana perkotaan.

Sedangkan program pembangunan pemerintah kota Mataram adalah :

1. Peningkatan keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) 2. Penataan dan pembinaan kependudukan

3. Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia

4. Pengembangan wilayah dalam rangka pemberdayaan ekonomi rakyat berbasis potensi lokal

5. Peningkatan pertumbuhan sektor perdagangan dan jasa 6. Perwujudan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik 7. Pembinaan dan penegakan kesadaran hukum masyarakat 8. Penyediaan dan peningkatan sarana dan prasarana perkotaan 9. Penataan suprastruktur dan infrastruktur pemerintahan

10. Penataan kawasan pemukiman dan pelestarian lingkungan hidup.

(36)

G. IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGISIAN JABATAN PIMPINAN TINGGI DI KOTA MATARAM

I. Pengalaman Pendidikan dan Pelatihan (Diktat)

Salah satu faktor yang berkaitan dengan pembinaan dan pengembangan karier PNS adalah pendidikan dan pelatihan (Diklat) yang pernah diikuti PNS. Mengenai peran Diklat ini telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan PNS. Diklat ini bertujuan untuk :

1. Meningkatkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, dan sikap untuk dapat melaksanakan tugas jabatan secara profesional dengan dilandasi kepribadian dan etika PNS sesuai dengan kebutuhan instansi;

2. Menciptakan aparatur yang mampu berperan sebagai pembaharu dan perekat persatuan dan kesatuan bangsa;

3. Memantapkan sikap semangat pengabdian yang berorientasi pada pelayanan, pengayoman, dan pemberdayaan masyarakat;

4. Menciptakan kesamaan visi dan dinamika pola pikir dalam melaksanakan tugas pemerintahan umum dan pembangunan demi terwujudnya pemerintahan yang baik.

Menurut PP tersebut, Diklat untuk PNS terdiri dari : (a). Diklat Prajabatan, (b).

Diklat dalam Jabatan. Berkaitan dengan Diklat dalam jabatan, dilaksanakan untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap PNS agar dapat melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan dengan sebaik-baiknya. Diklat dalam jabatan terdiri dari tiga (3) jenis diklat, yakni : (a). Diklat Kepemimpinan; (b). Diklat Fungsional;

dan (c). Diklat Teknis. Sebagai bahan penilaian bagi pengembangan karier PNS yang

Referensi

Dokumen terkait

HMSP  3600‐3850.  Harga saham emiten rokok, HM Sampoerna Tbk (HMSP), sepekan terakhir bergerak bearish seiring  memburuknya  kondisi  pasar  dikhawatirkan 

 Dengan prospek inflasi yang semakin menurun ditambah dengan kecenderungan defisit neraca transaksi berjalan yang semakin terjaga serta perlambatan pertumbuhan ekonomi

Dengan begitu anak akan diajarkan konsep membuat angka seperti yang dijelaskan Solahudin yang dikutip oleh (Risanti, 2013) menyatakan finger painting adalah teknik melukis

Dari hasil pemaparan dan kenyataan yang diperoleh dari penelitian ini bahwa berubahnya pemanfaatan lahan dipengaruhi oleh meningkatnya kebutuhan akan lahan dan harga

Karena berdasarkan lokasi Negara yang termasuk dalam Negara 4 ( empat ) musim, banyak barang-barang peralatan rumah tangga yang tidak kompatibel di musim yang satu, tapi

menunjukkan bahwa kecuali tanah podsolik merah kuning Jasinga, nilai sudut gesekan dalam relatif besar pada kadar air pemadatan rendah, dan akan menurun dengan

Berdasarkan model penampang kecepatan gelombang seismik 2-D, diduga setiap lapisan di semua lintasan pada penelitian ini merupakan lapisan lapuk, dimana lapisan ke

P yang sesuai dengan standar 5D adalah sebesar 15,5 menit , yang artinya bahwa agar tercapai nilai kecukupan panasnya maka proses pasteurisasi puree mangga sebaiknya