SISTEM PAJAK INDONESIA
B. TANGGAPAN ATAS PERMOHONAN PARA PEMOHON
5. Perlindungan hukum
5.2. Pengampunan Pajak dalam Konteks Sistem Swanilai dan Administrasi Pajak yang Lemah
Pada bagian sebelumnya telah diuraikan kondisi objektif perpajakan Indonesia, termasuk kendala, tantangan, dan peluangnya. Dalam sistem swanilai, tanpa informasi rinci tentang transaksi yang dilakukan, tidak ada seorang pun ada yang dapat mengetahui apakah laporan perpajakan yang diserahkan kepada otoritas pajak tersebut adalah benar dan akurat. Jika informasi rinci tersebut dapat diperoleh secara tepat waktu dan dengan biaya yang murah, serta memiliki
akurasi yang baik, maka basis pajak mudah untuk diverifikasi. Akan tetapi, ketika
wajib pajak tersebut menjadi bagian dari sebuah transaksi yang berada di luar jangkauan otoritas pajak dan statistik resmi, basis pajak hampir tidak mungkin untuk diverifikasi.
Wajib pajak dapat menggunakan ketiadaan informasi yang simetris dari basis pajak untuk keuntungan dirinya dengan cara melaporkan angka parsial atau salah pada Surat Pemberitahuan Pajak (SPT)-nya. Pada saat yang bersamaan, otoritas pajak juga kesulitan untuk mengidentifikasi mana wajib pajak yang paling mungkin untuk tidak patuh dan melakukan pelanggaran. Jadi problem perpajakan yang
paling mendasar adalah asimetri informasi.
Ketika keuntungan dari penggelapan pajak lebih besar daripada yang harus dibayarkan, wajib pajak akan melakukan penyelewengan pajak, dan jika sebaliknya, maka dia akan mematuhi peraturan pajak. Dengan demikian, tingkat hukuman yang lebih tinggi atau probabilitas deteksi cenderung untuk mencegah penggelapan.
Di dalam skema regulasi yang menyertakan perilaku self-reporting (swalapor), wajib pajak dapat didorong untuk melakukan pembetulan laporan pajaknya secara sukarela jika sanksi yang harus ditanggungnya tidak lebih besar dibandingkan jika wajib pajak tersebut tertangkap melakukan kecurangan. Ada dua keuntungan langsung yang bisa didapatkan dari skema regulasi seperti ini: Pertama, biaya penegakan hukum yang lebih murah karena mereka yang melakukan pelanggaran didorong untuk melakukan pelaporan secara sukarela, yang artinya tidak ada sumberdaya yang perlu dihabiskan untuk mengidentifikasi wajib pajak yang melakukan penggelapan. Kedua, bagi para wajib pajak yang telah melakukan pelanggaran, mereka terhindar sanksi hukuman dari pelanggaran yang mereka telah lakukan dan cukup membayar pajak yang tertunggak.
Studi yang dilakukan Kaplow dan Shavell (1994) menyimpulkan bahwa cara terbaik untuk memaksimalkan keuntungan dari skema regulasi yang menyertakan
prilaku self-reporting adalah dengan menerapkan sanksi ex- ante dari wajib pajak
yang secara sukarela melakukan pembetulan laporan pajaknya tidak boleh
melebihi sanksi ex-post yang diharapakan akan diterimanya jika tertangkap
melakukan pelanggaran oleh otoritas pajak.
Ada berbagai cara yang dapat dilakukan oleh pemerintah ketika seorang wajib pajak mengakui pelanggaran pajaknya; pemerintah dapat menerapkan
pengampunan berupa Tax amnesty (Pengampunan Pajak) atau dengan
Voluntary Disclosure Program (VDP, Program Pengungkapan Sukarela). Secara
umum keduanya dibedakan oleh fasilitas yang diberikan. Tax amnesty
administrasi, dan sanksi pidana pajak, sedangkan VDP pada umumnya hanya menghapuskan sanksi administrasi.
Ada dua alasan penting mengapa program semacam Tax Amnesty atau VDP
perlu dilakukan. Pertama, program pengampunan ini terjadi karena kondisi
informasi yang tidak sempurna antara wajib pajak dan otoritas pajak. Jika otoritas memiliki informasi yang sempurna, otoritas pajak dapat memilah secara pasti
mana wajib pajak yang melakukan pelanggaran dan yang tidak. Kedua, setelah
seorang wajib pajak melakukan penggelapan pajak, sering kali wajib pajak tersebut menyesali tindakannya, oleh sebab itu penting bagi pemerintah untuk mempermudah bagi wajib pajak tersebut untuk melakukan pembetulan laporan perpajakannya, terlepas dari alasan mengapa dia menyesali pelanggaran yang telah dilakukannya. Pertanyaan terpenting yang harus dijawab adalah bagaimana membangun VDP tanpa mengurangi efek jera dari hukum pidana.
Dalam jangka pendek, baik tax amnesty maupun VDP dapat menambah
penerimaan pajak. Dan pada jangka panjang, dapat menarik wajib pajak yang sebelumnya tidak terdaftar dalam sistem perpajakan, memperluas basis data perpajakan, meningkatkan kepatuhan pajak, atau juga dapat digunakan sebagai langkah awal kebijakan rezim baru untuk menerapkan sanksi lebih besar. Pelaporan harta yang belum tercatat juga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Dana repatriasi dapat masuk ke berbagai instrumen investasi untuk pembiayaan berbagai proyek pembangunan dan mendorong peran swasta. Lebih lanjut, di sisi moneter, masuknya dana dari luar negeri juga berpotensi menguatkan nilai tukar mata uang domestik.
Urgensi penerapan pengampunan bagi wajib pajak yang melakukan repatriasi harta dari luar negeri juga didorong oleh momentum keterbukaan informasi yang mulai digalakkan berbagai negara di dunia. Di antaranya adalah
upaya multilateral juga digagas OECD dengan merancang Common Reporting
Standard (CRS) yang mengatur bahwa setiap yurisdiksi berkomitmen untuk mempertukarkan informasi keuangan nasabah asing setiap tahunnya secara otomatis mulai akhir tahun 2017. Seorang ahli pajak, Vokidjon Urinov, menyebut kebijakan pengampunan pajak sebagai jembatan antara menuju era keterbukaan informasi di 2018. Dari perspektif teori paradigma yang diperkenalkan ilmuwan
Thomas Kuhn, pengampunan pajak dapat menjadi paradigma antara (
dan problem perpajakan (micro-paradigm) ditransformasikan menuju reformasi
perpajakan yang ideal (macro- paradigm).
Dasar dari kerangka analisis mengenai kepatuhan terhadap hukum adalah hasil studi yang dilakukan oleh Becker (1968), di mana premis dasar dari studi tersebut
menggunakan konsep utilitarian—bahwa seseorang yang rasional akan berusaha
untuk memaksimalkan utilitas mereka diharapkan. Dalam konteks kepatuhan pajak, pilihan seorang wajib pajak untuk melakukan penggelapan pajak atau tidak tergantung pada pilihan mana memiliki prospek yang lebih baik untuk meningkatkan utilitas wajib pajak tersebut, apakah patuh atau tidak patuh.
Dengan kata lain, Becker kembali ke prinsip dasar dari utilitarian yang
menunjukkan bahwa seorang individu memutuskan apakah akan melakukan kejahatan atau mematuhi hukum berdasarkan pada perhitungan biaya dan manfaat dari masing-masing pilihan.
Fokus pada biaya dan manfaat yang terkait dengan perilaku manusia, "deterrence
hypothesis" muncul. Jika individu pengambil keputusan bersifat rasional dan berusaha untuk memaksimalkan utilitas yang diharapkannya, maka untuk mendorong individu tersebut patuh terhadap hukum adalah dengan cara memastikan bahwa utilitas yang akan didapatkan dari ketidakpatuhan akan lebih rendah daripada utilitas yang akan didapatkan jika patuh. Lebih lanjut, Becker menganjurkan agar sumber daya publik seharusnya dialokasikan dua jenis kegiatan: (1) kegiatan yang bertujuan mendeteksi wajib pajak yang tidak patuh; dan (2) kegiatan untuk merancang konsekuensi yang memberatkan bagi wajib pajak yang tidak patuh.
Allingham dan Sandmo (1972) mengembangkan hasil studi dari Becker (1968) dengan menggunakan teori pengambilan keputusan di dalam kondisi yang memiliki resiko. Model mereka mengeksplorasi keputusan untuk menghindari pajak ketika wajib pajak yang mengisi SPT-nya. Isu kepatuhan pajak disajikan sebagai masalah alokasi portofolio, dimana wajib pajak harus memutuskan berapa bagian dari sumber daya yang dimilikinya untuk dialokasikan pada berbagai kegiatan, seperti melaporkan pendapatan sebenarnya kepada otoritas pajak atau berusaha mengisi SPT secara tidak benar. Secara khusus, model Allingham dan Sandmo (A-S) bagaimana kepatuhan pajak dipengaruhi oleh langkah-langkah penegakan hukum, seperti probabilitas audit, tingkat keparahan sanksi, dan tarif pajak yang berlaku.
Lebih detailnya, model A-S menggunakan kerangka sequential game theory, di mana otoritas pajak terlebih dahulu memutuskan aturan perpajakan dan mekanisme penegakan aturan tersebut. Wajib pajak diasumsikan memiliki pemahaman yang cukup mengenai undang-undang pajak, probabilitas audit, pajak yang harus dibayarkannya, dan sanksi yang dia terima jika dia tidak patuh terhadap aturan perpajakan dan tertangkap melakukan hal tersebut. Selain itu, wajib pajak juga diasumsikan sebagai individu yang selalu berusaha
menghindari/meminimalkan risiko (risk-averse individual) [Dari sudut pandangan
teoritis, risk-averse individual memiliki arti bahwa wajib pajak bertindak sesuai dengan aksioma Von Neumann- Morgenstern ketika dihadapkan pada kondisi yang tidak pasti (memiliki risiko). Jika wajib pajak tersebut bertindak sesuai dengan aksioma Von Neumann-Morgenstern, maka ada di satu waktu dimana wajib pajak tersebut tidak akan memilih sebuah pilihan yang punya hasil tidak pasti karena risiko yang harus dibayarkannya terlalu besar]. Pajak yang dibahas didalam model A-S adalah pajak penghasilan dan penghasilan tersebut bersifat eksogen. Otoritas pajak tidak mengetahui berapa besarnya penghasilan dari seorang wajib pajak, hanya wajib pajak seorang yang mengetahui secara pasti penghasilan yang dia terima. Pajak penghasilan bersifat proporsional atas penghasilan yang dilaporkan oleh wajib pajak kepada otoritas pajak. Dengan probabilitas konstan, otoritas pajak akan menyelidiki laporan penghasilan yang masuk, jika ditemukan penggelapan laporan pajak, maka wajib pajak yang tertangkap harus membayarkan pajak dari penghasilan yang digelapkan dengan menggunakan tarif sanksi pajak yang tarifnya jauh lebih mahal dari tarif pajak yang normal. Wajib pajak dihadapkan pada keputusan apakah menghindari atau mematuhi aturan perpajakan yang sudah ditentukan.
Kerangka berpikir dari model A-S menyiratkan bahwa wajib pajak tergoda untuk melakukan penggelapan pajak jika hasil yang diterima dari penggelapan tersebut layak untuk didapatkan walaupun ada kemungkinan tertangkap dan mendapatkan hukuman dari otoritas pajak. Dengan kata lain, wajib pajak membandingkan keuntungan dari penggelapan pajak yang telah terdiskonto dengan probabilitas tidak terdeteksi oleh otoritas pajak dengan hukuman yang telah terdiskonto dengan probabilitas tertangkap, dimana hukuman yang diterima oleh wajib pajak jika tertangkap membayar penalti untuk menghindari pajak dan ditambah dengan kekurangan pajak yang belum
dibayarkan. Ketika keuntungan dari penggelapan pajak lebih besar daripada yang harus dibayarkan, wajib pajak akan melakukan penyelewengan pajak, dan jika sebaliknya, maka dia akan mematuhi peraturan pajak. Model A-S menegaskan analisis Becker bahwa tingkat hukuman yang lebih tinggi atau probabilitas deteksi cenderung untuk mencegah penggelapan.
Walaupun model A-S mampu menjelaskan dampak dari hukuman dan probabilitas tertangkap terhadap kepatuhan pajak, akan tetapi data pajak menunjukan bahwa perbaikan di kedua faktor tersebut masih belum mampu mengurangi perbedaan antara pajak yang terutang dan pajak yang dikumpulkan. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah langkah yang diambil sejauh ini cukup
untuk meringankan masalah ketidakpatuhan pajak. Braithwaite (1985)
menunjukkan bahwa perluasan analisis kepatuhan pajak tradisional dengan memasukkan unsur regulasi yang bersifat responsif dapat menghasilkan metode yang lebih efektif untuk meningkatkan kepatuhan pajak. Salah satu fenomena yang tidak tersentuh dari model A-S adalah prilaku self-reporting.
Perilaku self-reporting ini adalah fitur yang biasa ditemukan di dalam konteks
penegakan hukum, contohnya, perusahan yang melaporkan pelanggaran di bidang pelestarian lingkungan dan keselamatan kerja, atau perilaku menyerahkan diri ketika melakukan pelanggaran kepada pihak yang berwenang. Salah bentuk regulasi yang bersifat responsif adalah penerapan VDP, di mana program
tersebut bisa digunakan sebagai media untuk memfasilitasi perilaku self-reporting.
Pada bagian berikut akan menjelaskan dasar teori mengapa program yang memungkinkan seorang wajib pajak untuk melakukan pembetulan laporan pajaknya tanpa terkena hukuman sangat diperlukan untuk meningkatkan penerimaan pajak. Perlu diingat bahwa kerangka berpikir dari sub-bagian berikut adalah perluasan dari kerangka berpikir model A-S.