• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. METODE ANALISIS

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. Pengaruh Bahan Pengawet Terhadap Umur Simpan Bakso

a). Pengamatan Visual

Pengamatan bakso secara visual tetap menjadi acuan dalam menentukan umur simpan bakso. Parameter utama yang mempengaruhi penilaian uji keawetan bakso adalah penampakan dan bau. Sampel yang telah terdeteksi adanya lendir, miselium kapang, dan bau basi dianggap tidak layak lagi untuk dikonsumsi sehingga nilai uji keawetannya nol.

Berikut ini adalah hasil uji keawetan sampel yang diamati pada penelitian utama di hari penyimpanan pertama dan kedua.

Tabel 6. Hasil pengamatan uji keawetan bakso penelitian utama pada hari pertama

Perlakuan Penampakan Tekstur Rasa Aroma Warna

Kontrol 1 1 0 0 2 FTO 0.2% 1 1 0 0 2 COG 0.5% 2 2 2 2 2 Na-metabisulfit 450 ppm + tanin0.25% 2 2 2 2 2 Kitosan Adonan 5% 2 2 2 2 2 Kitosan Coating 2% 2 2 2 2 2

Tabel 7. Hasil pengamatan uji keawetan bakso penelitian utama pada hari kedua

Perlakuan Penampakan Tekstur Rasa Aroma Warna

Kontrol 0 0 0 0 0 FTO 0.2% 0 0 0 0 0 COG 0.5% 0 0 0 0 0 Na-metabisulfit 450 ppm + tanin0.25% 2 2 2 2 2 Kitosan Adonan 5% 0 0 0 0 0 Kitosan Coating 2% 2 2 2 2 2

Hasil pengamatan uji keawetan pada semua sampel pada hari ke-0 secara umum menunjukkan bahwa semua parameter yang diamati (penampakan, rasa, warna, bau, dan tekstur) memiliki nilai 2. Hal ini disebabkan oleh bakso tersebut baru matang sehingga semua atributnya normal. Pengamatan pada hari pertama terhadap keawetan bakso,

menunjukkan bahwa pada sampel dengan penambahan FTO 0.2% dan kontrol telah mengalami kerusakan berupa terbentuknya lendir pada permukaan bakso dan adanya bau basi, sedangkan pada sampel-sampel lain belum terdeteksi adanya kerusakan. Pengamatan pada hari kedua menunjukkan bahwa hanya sampel dengan penambahan Na-metabisulfit 450 ppm dan sulfit 0.25% serta kitosan 2% sebagai coating yang masih belum mengalami kerusakan, sedangkan pada sampel-sampel yang lain telah terbentuk lendir dan bau basi. Seluruh sampel telah mengalami kerusakan pada hari ketiga, yang ditunjukkan oleh bau basi yang sangat menyengat, tekstur yang lembek, dan adanya pembentukan lendir pada kontrol, sampel dengan FTO, COG, dan kitosan pada adonan, serta adanya miselium kapang yang berwarna putih pada sampel dengan penambahan Na-metabisulfit 450 ppm dan sulfit 0.25% serta kitosan 2% sebagai

coating.

b). Analisis Total Mikroba

SNI 01-3818-1995 mencantumkan salah satu standar berupa jumlah total mikroba untuk produk bakso maksimal sebesar 1.0 X 105 koloni/gram atau sebesar 5 log cfu/g. Sebagai produk dengan kadar air, pH, dan aw yang tinggi, bakso yang tidak menggunakan pengawet dan disimpan pada suhu ruang akan memiliki umur simpan yang sangat pendek, yaitu maksimum 1 hari. Hasil pengamatan total mikroba pada kontrol dan sampel selama tiga hari penyimpanan terdapat pada Gambar 8.

Berdasarkan hasil pengamatan tersebut, pada hari ke-0, semua sampel dan kontrol mempunyai beban mikroba pada kisaran 4 log cfu/g. Jumlah awal mikroba pada bakso yang cukup rendah ini disebabkan oleh adanya perebusan dalam proses pembuatan bakso, sehingga mikroba pembusuk yang tidak tahan panas mati. Namun, pemanasan pada proses perebusan tidak menjamin bahwa seluruh mikroba telah mati, beberapa spesies bakteri Gram positif yang relatif lebih tahan terhadap perlakuan fisik kemungkinan masih terdapat dalam sampel (Fardiaz, 1992). Contoh

bakteri tersebut adalah Staphylococcus, Leuconostoc, Micrococcus, dan

Streptococcus.

Keterangan : A = Syarat jumlah mikroba maksimal pada bakso (SNI 01- 3818-1995)

B = Jumlah mikroba dimana mulai terdeteksi lendir pada produk olahan daging (Frazier dan Westhoff, 1988) C = Jumlah mikroba dimana mulai terdeteksi bau basi pada

produk olahan daging dan tidak aman dikonsumsi (Frazier dan Westhoff, 1988)

Gambar 8. Grafik hasil analisis total mikroba rata-rata dari dua ulangan sampel bakso selama tiga hari penyimpanan pada suhu ruang

Hasil pengamatan hari pertama penyimpanan menunjukkan jumlah mikroba pada kontrol telah meningkat drastis menjadi 7.48 cfu/gram, nilai ini hampir sama dengan sampel dengan penambahan FTO yang beban mikrobanya mencapai 7.32 cfu/gram. Pada hari pertama ini juga telah

3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 H-0 H-1 H-2 H-3 Lama Penyimpanan Ju m lah Mikr o b a ( L o g C F U /g ram ) Kontrol FTO 0.2% Na-metabisulfit 450 ppm+Tanin 0.25% COG 0.5% Khitosan Adonan 5% Khitosan Coating 2% A C B

terbentuk lendir pada kontrol dan sampel dengan FTO. Lendir merupakan salah satu indikasi adanya mikroba dalam sampel, lendir ini dapat berfungsi sebagai komponen yang berperan dalam adhesi sel pada permukaan benda padat (Fardiaz, 1992). Lendir dibentuk oleh bakteri pembentuk kapsul yang jika tumbuh pada medium akan membentuk koloni yang bersifat mukoid, tetapi jika tumbuh pada makanan akan membentuk lendir (Fardiaz, 1992).

Hasil tersebut memperlihatkan bahwa pengawet FTO tidak efektif untuk digunakan dalam pengawetan bakso pada suhu ruang. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya bahan-bahan penyusun mix pengawet ini merupakan bahan yang mempunyai aktivitas yang maksimal untuk menghambat pertumbuhan mikroba jika kondisi lingkungannya memiliki pH yang rendah. Sedangkan pH pada bakso berada dalam kisaran pH netral yang sangat mendukung perkembangan mikroba, khususnya bakteri.

Sampel dengan penambahan COG, sulfit dan tanin, kitosan pada adonan, dan kitosan coating masih belum menunjukkan adanya lendir maupun bau yang menyimpang pada hari pertama penyimpanan. Jumlah mikroba pada sampel-sampel tersebut adalah sebesar 5.85, 5.27, 5.20, dan 4.90 log cfu/gram. Jumlah mikroba pada sampel COG, sulfit dan tanin, serta kitosan yang ditambahkan pada adonan telah melebihi standar yang ditetapkan dalam SNI yaitu 5 log cfu/g, tetapi pada sampel ini belum ditemui adanya tanda-tanda kerusakan mikrobiologis. Menurut Frazier dan Westhoff (1988), pada produk olahan daging lendir mulai terdeteksi ketika jumlah mikroba per satuan luas permukaannya adalah 107 hingga 108/cm2, sedangkan bau asam terdeteksi pada 1-1.3x108/cm2.

Pengamatan pada hari kedua dan ketiga penyimpanan menunjukkan bahwa jumlah mikroba pada kontrol, FTO, COG, dan kitosan di adonan telah mencapai 7 hingga 8 log cfu/gram. Lendir dan bau basi telah terbentuk pada sampel-sampel ini. Jumlah mikroba kontrol pada hari kedua dan ketiga penyimpanan adalah 8.13 dan 8.32 log cfu/gram, FTO 8.04 dan 8.31 log cfu/gram, COG 7.44 dan 8.23 log cfu/gram, sampel dengan penambahan kitosan di adonan 7.02 dan 7.29 cfu/gram. Sampel

dengan penambahan kitosan di adonan sebesar 5% dari berat daging ternyata telah mengalami kerusakan pada hari kedua dan jumlah mikrobanya juga sangat tinggi (7.02 log cfu/gram). Aktivitas kitosan sebagai pengawet berkaitan erat dengan sifatnya sebagai polikationik yang dapat berikatan dengan muatan negatif dari membran sel bakteri melalui interaksi elektrostatik, sehingga mempengaruhi permeabilitas membran sel dan menyebabkan kebocoran sel (Chen et al. dalam Meidina, 2005). Namun, di dalam adonan bakso yang merupakan sistem pangan yang heterogen dapat mempengaruhi efektivitas kitosan sebagai pengawet. Adanya komponen STPP (fosfat) yang berfungsi dalam meningkatkan efektifitas ekstraksi protein dan meningkatkan WHC mempunyai muatan yang negatif ketika terdisosiasi dalam adonan. Hal ini dapat mengakibatkan terikatnya kitosan oleh fosfat sehingga jumlah kitosan bebas yang terdapat dalam bakso yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan mikroba tidak cukup untuk melakukan aktivitasnya dengan maksimal.

Pengamatan pada sampel dengan sulfit dan tanin serta kitosan dengan metode coating di hari kedua masih belum terlihat adanya lendir maupun bau basi. Sampel ini pada hari kedua memiliki jumlah mikroba sebesar 6.55 dan 5.77 log cfu/gram.. Namun, pada hari ketiga telah terbentuk miselium kapang pada kedua sampel ini walaupun belum terbentuk lendir pada permukaan bakso. Jumlah mikroba pada sampel dengan sulfit dan tanin serta kitosan dengan metode coating adalah sebesar 7.53 dan 7.20 log cfu/gram.

Metode pelapisan pada bakso ini terlihat lebih efektif dalam pengawetan dibandingkan dengan penambahan pengawet dalam adonan bakso. Hal ini disebabkan oleh sumber kontaminasi mikroba paling besar adalah berasal dari udara atau kontak antara bahan pengemas maupun manusia dengan permukaan bakso. Adanya lapisan yang mempunyai aktivitas antimikroba dapat mencegah pertumbuhan mikroba kontaminan tersebut.

Kitosan yang memiliki gugus amin yang reaktif, adanya sifat polikationik dan kemampuannya membentuk gel membuat kitosan ini lebih sesuai digunakan sebagai pelapis (coating). Mekanisme kitosan sebagai coating dalam menghambat pertumbuhan mikroba ini juga tidak terganggu oleh adanya STPP dalam bakso, karena kitosan hanya terbentuk di bagian luar bakso. Menurut Chung et al. yang dikutip oleh Meidina (2005), bakteri gram negatif yang permukaan selnya memiliki muatan negatif dan komponen peptidoglikannya lebih tipis dibandingkan dengan gram positif mempunyai kecenderungan lebih sensitif terhadap kitosan.

Menurut Frazier dan Westhoff (1988), kerusakan pada daging secara aerobik umumnya berupa terbentuknya lendir pada permukaan yang disebabkan oleh Pseudomonas, Alcaligenes, Streptococcus, Leuconostoc, Bacillus, Micrococcus dan beberapa spesies dari Lactobacillus. Beberapa bakteri utama pembentuk lendir tersebut merupakan bakteri gram negatif, sehingga kitosan secara coating lebih sesuai digunakan untuk menghambat pertumbuhan bakteri-bakteri tersebut.

c). Analisis Total Kapang-Khamir

Kapang dan khamir umumnya memiliki ketahanan untuk tumbuh pada lingkungan yang lebih ekstrim dibandingkan dengan bakteri. Namun, pada kondisi yang ideal seperti pH substrat yang netral, kadar air yang tinggi, dan adanya nutrisi yang ideal, kapang dan khamir pertumbuhannya justru cenderung lebih lambat dibandingkan dengan bakteri karena kalah dalam kompetisi pertumbuhan. Menurut Fardiaz (1992), suhu pertumbuhan optimum bagi pertumbuhan kapang dan khamir adalah 25- 30oC. Sehingga bahan pangan yang disimpan pada kisaran suhu ini, selain rentan terhadap kerusakan akibat bakteri, juga rentan terhadap kapang dan khamir.

Menurut Frazier dan Westhoff (1988), pada kondisi aerob khamir dapat tumbuh pada permukaan daging dan menyebabkan lendir, lipolisis, penyimpangan bau dan rasa, serta perubahan warna. Selain itu, pertumbuhan kapang juga dapat menyebabkan permukaan daging menjadi

lengket, adanya spot hitam akibat pertumbuhan Cladosporium herbarum,

spot putih yang dibentuk oleh Sporotrichum carnis dan Geotrichum

(Frazier dan Westhoff, 1988). Gambar 9 menunjukkan hasil pengamatan jumlah kapang dan khamir selama penyimpanan pada sampel dan kontrol.

Gambar 9. Grafik hasil analisis kapang-khamir rata-rata dari dua ulangan sampel bakso selama tiga hari penyimpanan pada suhu ruang

Hari ke-0 pada semua sampel dan kontrol belum terlihat adanya pertumbuhan dari kapang dan khamir. Tahap ini juga merupakan tahap lag phase bagi pertumbuhan kapang dan khamir. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan kapang dan khamir yang lebih lambat dibandingkan dengan bakteri dan juga adanya proses perebusan pada bakso sehingga tidak terdapat kapang ataupun khamir yang tumbuh pada bakso di hari ke-0.

Pengamatan jumlah kapang-khamir pada kontrol di hari ke-1 menunjukkan bahwa telah terdapat total kapang dan khamir sebanyak 4.34 log cfu/gram. Sedangkan pada sampel dengan FTO, COG, dan sulfit dan tanin masing-masing memiliki beban total kapang dan khamir sebanyak

2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 H-0 H-1 H-2 H-3

Lama Penyimpanan (Hari)

J u m la h K a pa ng -K ha m ir ( L og C F U /gr a m ) Kontrol FTO 0.2% Na-metabisulfit 450 ppm+Tanin 0.25% COG 0.5% Khitosan Adonan 5% Khitosan Coating 2%

3.60, 3.53, 3.43 log cfu/gram. Sampel dengan kitosan pada adonan dan

coating juga telah ditumbuhi kapang-khamir yang jumlahnya 3.28 dan 2.72 log cfu/gram.

Sampel dengan FTO dan COG pada penyimpanan hari kedua dan ketiga juga telah mempunyai beban total kapang dan khamir sebesar 5.18 dan 6.18 serta 5.43 dan 6.27 log cfu/gram. Secara kualitatif, pertumbuhan kapang pada kontrol dan sampel dengan FTO dan COG dapat diketahui dari terbentuknya miselium kapang yang berwarna putih pada hari kedua penyimpanan. Kapang yang memiliki ciri pembentukan spot putih adalah

Sporotrichum carnis dan Geotrichum (Frazier dan Westhoff, 1988). Selain itu, menurut Jay et al. (2005), kapang yang paling sering ditemui pada kerusakan daging adalah Aspergillus, dan Penicillium, sedangkan khamir adalah Debaryomyces.

Sampel dengan penambahan sulfit dan tanin belum menunjukkan adanya pembentukan miselium kapang pada hari kedua penyimpanan, seperti halnya sampel dengan penambahan kitosan pada adonan dan juga

coating. Ketiga sampel ini baru menunjukkan adanya miselium kapang pada hari ketiga penyimpanan. Jumlah total kapang dan khamir pada sampel-sampel tersebut pada hari ketiga sebesar 6.19, 6.28, dan 6.08 log cfu/gram. Pesatnya pertumbuhan kapang dan khamir ini disebabkan oleh telah beradaptasinya mikroba tersebut dengan kondisi substrat sehingga dapat bersaing dengan bakteri yang juga terdapat pada substrat yang sama.

Berdasarkan analisis keawetan secara visual, bakso dengan penambahan COG dan kitosan 5% pada adonan masih memiliki atribut rasa dan aroma yang dapat diterima serta belum terbentuk lendir pada permukaannya, walaupun telah melebihi batas total mikroba SNI bakso sejumlah 5 log cfu/gram (5.85 dan 5.20 log cfu/gram). Menurut Frazier dan Westhoff (1988), pada produk olahan daging lendir mulai terdeteksi ketika jumlah mikroba per satuan luas permukaannya adalah pada kisaran 7 hingga 8 log cfu/cm2, sedangkan bau asam terdeteksi pada 8 log cfu/cm2. Hal ini diperkuat dengan telah terbentuknya lendir pada kontrol dan sampel dengan FTO pada hari pertama dengan jumlah mikroba total 7.48

dan 7.32 log cfu/gram, sehingga telah tidak layak dikonsumsi dan nilai uji keawetannya nol. Analisis total mikroba pada hari kedua menunjukkan bahwa sampel dengan penambahan sulfit dan tanin serta kitosan sebagai

coating memiliki kandungan total mikrobanya sebesar 6.55 dan 5.77 log cfu/gram, tetapi berdasarkan uji keawetan sampel-sampel tersebut masih memiliki penampakan yang baik dan masih layak dikonsumsi. Namun, pada hari ketiga, seluruh sampel telah mengalami kerusakan dan tidak layak lagi untuk dikonsumsi.

Dokumen terkait