• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eritrosit dipilih karena sel eritrosit menggambarkan model sel yang sederhana. Walaupun tidak cukup mempunyai perlengkapan untuk sintesis protein dan mempunyai sedikit keistimewaan dibandingkan dengan sel-sel lainnya, membran sel ini mempunyai cukup fungsi, seperti transport aktif dan pasif, dan produksi gradien ionik dan elektrik. Pada penelitian ini diteliti ketahanan membran eritrosit terhadap peroksidasi, dimana radikal bebas dibentuk oleh sumber dari luar. Peroksidasi membran eritrosit dapat dipelajari dengan beberapa oksidator, seperti hidrogen peroksida, asam dialurik, xanthine oxidase, dan hidroperoksida organik (Zhu et al., 2002; Miki et al., 1987). Oksidator yang digunakan pada penelitian ini adalah hidrogen peroksida, H2O2 mampu mendegradasi Hb untuk melepaskan ion Fe (Halliwell dan Aruoma, 1991).

Pengaruh ekstrak tulang A terhadap hemolisis sel eritrosit

Ekstrak tulang A adalah ekstrak tulang ikan pepes iradiasi dosis tinggi yang diiradiasi pada tahun 2007 dan pengujian dilakukan pada tahun 2009 yang berarti telah memiliki masa simpan selama 2 tahun. Pengaruh ekstrak tulang A terhadap laju hemolisis eritrosit yang diamati pada tiga variasi pengenceran, yaitu pengenceran C1, C2, dan C3. Pengamatan dilakukan tiap jam selama lima jam pengamatan. Pada Gambar 5. Terlihat profil hemolisis yang diperlihatkan dengan

nilai absorbansi. Secara umum ekstrak tulang A dengan pengenceran C1 memiliki nilai absorbansi yang lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak dengan pengenceran C2 dan C3, tetapi pada jam ke-3 dan ke-4 absorbansi ekstrak C1 lebih rendah dibandingkan ekstrak C2. Sedangkan absorbansi yang terjadi pada kontrol negatif nilainya paling kecil sampai jam pengamatan ke-3 dan nilainya lebih besar dari ekstrak C3 pada jam k-4 dan jam ke-5. Hemolisis yang terjadi pada kontrol negatif dapat dikatakan sebagai hemolisis spontan, artinya hemolisis yang terjadi secara alami bukan karena pengaruh sampel. Suspensi pada kontrol negatif adalah suspensi antara sel eritrosit dan media PBS. Penggunaan kontrol negatif ini bertujuan untuk mengetahui laju hemolisis dari sel eritrosit tanpa adanya pengaruh dari lingkungan luar karena PBS didesain untuk menciptakan tekanan osmosis yang mirip dengan kondisi di dalam tubuh manusia. PBS ini termasuk jenis balanced salt solution, yaitu larutan kombinasi dari garam-garam yang dapat mempertahankan pH fisiologis dan tekanan osmotik. PBS mengandung bufer fosfat, potasium klorida, dan sodium klorida dengan pH 7.4, pH ini sesuai dengan kondisi optimal untuk kultur sel mamalia (Davis, 1994).

Pada jam ke-0 sampai jam ke-3 terlihat bahwa hemolisis spontan lebih kecil dibandingkan dengan hemolisis akibat pengaruh sampel, sedangkan pada jam ke-4 dan ke-5 hemolisis spontan lebih besar dibandingkan dengan hemolisis yang disebabkan sampel A pada pengenceran C3. Hal ini diduga karena pada konsentrasi C3 sudah tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap hemolisis dan sel eritrosit sendiri secara alami akan mengalami hemolisis. Menurut Diehl (1990), apabila jumlah pelarut lebih banyak maka komponen-komponen di dalam larutan tersebut akan sulit menemukan partner reaksinya sehingga cenderung tidak terjadi reaksi.

Gambar 5.Absorbansi akibat pengaruh tulang A dengan tiga perlakuan pengenceran dibandingkan dengan kontrol negatif

Hasil tersebut menunjukkan bahwa terjadinya peningkatan konsentrasi sampel akan memberikan dampak terhadap hemolisis yang lebih tinggi. Hal ini diduga karena jumlah radikal bebas yang terdapat pada C1 lebih besar dibandingkan pada konsetrasi C2 dan C3. Radikal bebas tersebut kemungkinan terbentuk pada proses iradiasi dan selama penyimpanan. Menurut Urbain (1986), pada saat proses iradiasi terjadi peningkatan energi pada partikel-partikel yang menyebabkan terjadinya ionisasi dan eksitasi, proses ini dapat menghasilkan radikal bebas. Selama penyimpanan, radikal bebas ini akan mengalami beberapa kemungkinan, diantaranya adalah reaksi pembentukan radikal baru dan reaksi saling menetralkan antar radikal. Radikal bebas inilah yang menyerang komponen membran sehingga sel pecah dan terjadi hemolisis.

Nilai absorbansi yang diperoleh dapat digunakan untuk mengetahui nilai persentase hemolisis eritrosit. Persen hemolisis ini dihitung dengan membandingkan absorbansi sampel dengan absorbansi kontrol positif. Kontrol positif yang digunakan dalam penelitian ini adalah hidrogen peroksida (H2O2). Sifat-sifat hidrogen peroksida diantaranya adalah bening, agak lebih kental dari air, dan merupakan oksidator kuat. Senyawa ini larut dalam air dan berdifusi dengan cepat di dalam dan di antara sel. Hidrogen peroksida merupakan senyawa yang relatif stabil sehingga dapat menembus membran nukleus atau membran sel. Hidrogen peroksida yang masuk ke dalam membran akan bereaksi dengan ion Fe dan Cu dan membentuk molekul yang lebih

reaktif seperti OH. Hidroksil radikal banyak merusak protein dan lemak di dalam sel, selain itu juga dapat mendegradasi hemoglobin untuk melepaskan ion Fe (Halliwell dan Aruoma, 1991).

Penggunaan eritrosit sebagai model pada penelitian sudah banyak dilakukan, seperti yang dilakukan oleh Mrowczynska (2001) yang menggunakan eritrosit sebagai model untuk membandingkan dan menghubungkan aktivitas hemolitik terhadap sifat sitotoksik garam empedu, Zhu et al. (2005) yang mengukur pengaruh flavonoid kakao terhadap ketahanan membran eritrosit yang dioksidasi dengan AAPH, Suwalsky (2007) yang mengukur sifat antioksidan tumbuhan Ugni molinae dan pengaruhnya pada eritrosit manusia dalam menanggulangi stress oksidatif yang dipicu dengan HClO, dan Karimi et al. (2008) yang mengukur efek perlindungan eritrosit oleh silimarin. Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan tersebut, kontrol positif yang sering digunakan adalah H2O2dan AAPH.

Gambar 6menunjukkan persentase hemolisis eritrosit pada tulang A pada jam ke-5. Persentase hemolisis pada C1, C2, dan C3 berturut-turut sebesar 84.94 %, 72.89 %, dan 62.25 %. Sedangkan kontrol negatif memiliki nilai persentase hemolisis sebesar 67.17 %. Penurunan konsentrasi sampel mengakibatkan penurunan persentase hemolisis eritrosit. Persentase hemolisis kontrol negatif lebih besar dibandingkan dengan hemolisis akibat tulang A pada konsentrasi C3. Hal ini dikarenakan nilai persentase hemolisis tersebut adalah nilai persentase hemolisis pada jam pengamatan ke-5 dimana nilai absorbansi kontrol negatif lebih besar dari nilai absorbansi tulang A dengan pengenceran C3.

Gambar 6.Persentase hemolisis eritrosit akibat pengaruh tulang A pada berbagai perlakuan pengenceran dibandingkan dengan kontrol negatif

Berdasarkan analisis statistik, menggunakan uji ANOVA, tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) pada hemolisis eritrosit antara kontrol negatif dan tiga perlakuan pengenceran (C1, C2, dan C3) akibat pengaruh tulang A. Jadi, antara kontrol negatif dan perlakuan pengenceran 1x, 2x, dan 4x terhadap tulang A tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase hemolisis eritrosit.

Pengaruh ekstrak tulang B terhadap hemolisis sel eritrosit

Ekstrak tulang B adalah ekstrak tulang ikan pepes iradiasi yang diiriadiasi pada tahun 2008 dan diuji pada tahun 2009, sehingga memiliki masa simpan selama satu tahun pada saat diuji. Pengukuran hemolisis eritrosit dilakukan tiap jam selama lima jam pengamatan. Absorbansi yang diperoleh pada pengamatan hemolisis akibat pengaruh tulang B pada konsentrasi C1, C2, C3, dan kontrol negatif tersaji pada Gambar 7. Kontrol negatif yang digunakan pada pembandingan sampel B ini sama dengan kontrol negatif yang digunakan pada sampel A.

Pada pengamatan jam ke-4 dan ke-5, nilai absorbansi pada pengenceran C3 jauh lebih kecil dibandingkan dengan absorbansi pada kontrol negatif. Kecenderungan ini sama dengan yang terjadi pada sampel A. Sama halnya dengan sampel A, sampel B dengan pengenceran yang lebih tinggi memiliki komponen

yang lebih sedikit, sehingga kemungkinan terjadi reaksi juga lebihkecil. Akan tetapi pada sampel B terlihat perbedaan nilai absorbansi yang lebih tinggi antara kontrol negatif dan sampel dengan pengenceran C3. Hal ini diduga karena pada pengenceran yang sama sampel A memiliki komponen terlarut yang lebih besar dibandingkan sampel B.

Gambar 7.Absorbansi akibat pengaruh ekstrak tulang B dengan tiga perlakuan pengenceran

Hasil pengamatan menunjukkan nilai absorbansi pada pengenceran C1 selalu lebih tinggi dibandingkan dengan pengenceran C2 dan C3 pada semua jam pengamatan dari jam ke-0 sampai jam ke-5, sedangkan untuk ekstrak pada pengenceran C2 dan C3 terjadi fluktuasi pada jam ke-2, nilai absorbansi ekstrak pada pengenceran C2 lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak dengan pengenceran C3, sedangkan pada jam-jam pengamatan lainnya pengenceran C3 memberikan nilai absorbansi yang lebih kecil dibandingkan dengan pengenceran C2.

Hal ini diduga karena konsentrasi radikal bebas pada C1 yang tinggi, sehingga antioksidan endogen yang ada pada eritrosit, seperti katalase dan glutation peroksidase tidak mampu lagi menjaga membran sel eritrosit dari kerusakan. Sedangkan pada konsentrasi C2 dan C3, antioksidan endogen masih berfungsi untuk menjaga sel dari kerusakan karena konsentrasi radikal bebas tidak

terlalu tinggi. Eritrosit dilengkapi dengan antioksidan yang berupa enzim CuZn- SOD yang dapat mencegah terhimpunnya senyawa oksidan yang berlebihan dan mencegah reaksi berantai lebih lanjut (Christyaningsih, 2003). Oksidasi dari membran eritrosit dapat digunakan sebagai model untuk kerusakan oksidasi biomembran yang dapat dilakukan secarain vitro.

Gambar 8.Persentase hemolisis tulang B pada berbagai perlakuan pengenceran

Pada Gambar 8 terlihat, nilai persentase hemolisis tulang B pada pengenceran C1 sebesar 73.19 %, ekstrak pengenceran C2 sebesar 67.67%, dan ekstrak pengenceran C3 sebesar 59.34%, sedangkan nilai persentase hemolisis kontrol negatif sebesar 67.17 %. Dari hasil tersebut diketahui bahwa tren dari persentase hemolisis yang terjadi pada tulang B sama dengan tulang A. Berdasarkan analisis statistik dengan uji ANOVA, tidak terjadi perbedaan yang nyata (p>0.05) antara persentase hemolisis kontrol negatif dan perlakuan pengenceran C1, C2, dan C3 pada tulang B. Jadi, kontrol negatif dan perlakuan pengenceran 1x, 2x, dan 4x terhadap tulang B tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase hemolisis eritrosit.

Pengaruh ekstrak tulang pengenceran C1 terhadap hemolisis sel eritrosit

Gambar 9. Absorbansi akibat pengaruh ekstrak tulang iradiasi pada pengenceran C1

Pada Gambar 9 disajikan grafik absorbansi pada ekstrak sampel dengan pengenceran C1. Ekstrak tulang A dan tulang B pada pengenceran C1 dibandingkan dengan tulang noniradiasi, kontrol positif, dan kontrol negatif. Kontrol positif adalah suspensi sel eritrosit yang ditambahkan dengan H2O2yang dapat memicu terjadinya hemolisis eritrosit, sedangkan kontrol negatif merupakan suspensi sel eritrosit yang ditambahkan dengan PBS yang dapat mempertahankan tekanan osmosis sel. Kecenderungan terjadinya peningkatan nilai absorbansi terjadi pada semua sampel, akan tetapi masing-masing sampel memiliki kecenderungan yang berbeda pada profil hemolisisnya. Ekstrak tulang A memiliki kecenderungan hemolisis yang fluktuatif dan pada jam pengamatan ke-2 dengan nilai absorbansi lebih besar apabila dibandingkan dengan semua sampel dan kontrol positif. Hal ini diduga karena terjadi reaksi berantai antar radikal sehingga kandungan radikal bebas pada tulang A yang tinggi. Menurut Kubisz (2007), radikal bebas yang disebabkan oleh iradiasi tulang terjebak sangat lama, radikal bebas dihasilkan baik dalam matriks organ maupun kompoenen mineral dalam tulang.

Kecenderungan hemolisis pada tulang B cenderung mengalami peningkatan yang tidak terlalu besar dan tidak lebih besar daripada kontrol positif.

Hal ini diduga karena umur simpan tulang B lebih pendek dibandingkan tulang A, sehingga senyawa-senyawa radikal yang terbentuk tidak lebih besar dari tulang A. Pada tulang noniradiasi, profil hemolisisnya hampir sama dengan tulang B, akan tetapi nilai absorbansinya tidak sebesar sampel B. Laju hemolisis tulang noniradiasi cenderung mengalami peningkatan yang stabil dari jam ke-0 sampai jam ke-5.

Gambar 10.Persentase hemolisis pada tulang dengan perlakuan pengenceran C1

Nilai persentase hemolisis ini dihitung dengan membandingkan nilai absorbansi sampel dengan nilai absorbansi kontrol positif. PadaGambar 10dapat dilihat nilai persentase hemolisis dari masing-masing sampel pada pengenceran C1. Nilai persentase hemolisis tulang noniradiasi sebesar 68.67 %, tulang A sebesar 84.94 %, dan tulang B sebesar 73.19 %. Berdasarkan analisis statistik dengan uji ANOVA, tidak terjadi perbedaan yang nyata (p>0.05) antara persentase hemolisis pada tulang A, tulang B, dan tulang noniradiasi pada pengenceran C1. Jadi, perlakuan pengenceran 1x tidak memberikan pengaruh nyata terhadap persentase hemolisis eritrosit.

Pengaruh ekstrak tulang pengenceran C2 terhadap hemolisis sel eritrosit

Gambar 11.Absorbansi akibat pengaruh ekstrak tulang iradiasi pada pengenceran C2

Pada pengenceran C2, profil hemolisis pada tulang A pada jam-jam awal mengalami peningkatan hemolisis kemudian pada jam ke-2 cenderung stabil. Menurut Dewi (2008), pada pengujian hemolisis eritrosit in vitro terdapat kecenderungan profil hemolisis eritrosit yang fluktuatif pada jam-jam awal pengamatan. Setelah 2 atau 3 jam pengamatan profil hemolisis eritrosit menjadi stabil yang diamati berdasarkan intensitas warna merah yang terbentuk akibat hemolisis. Pada jam-jam awal pengamatan, sel masih beradaptasi dengan kondisi lingkungan. Meskipun kondisi media telah dibuat sedemikian rupa sehingga mirip dengan kondisi di dalam tubuh, akan tetapi kondisi sel berbeda apabila berada di dalam tubuh dengan kultur sel di luar tubuh. Nilai absorbansi pada tulang A paling besar dibandingkan dengan tulang B dan tulang noniradiasi. Tren ini sama dengan yang terjadi pada pengenceran C1.

Tulang B dan tulang noniradiasi memiliki profil hemolis yang hampir sama, yaitu mengalami kenaikan di awal pengamatan kemudian stabil setelah jam ke-2. Nilai absorbansi dari tulang noniradiasi dan tulang B pun tidak jauh berbeda, dimana nilai absorbansi jauh lebih rendah apabila dibandingkan dengan tulang A dan lebih tinggi apabila dibandingkan dengan kontrol negatif.

Gambar 12.Persentase hemolisis pada pengenceran C2

Pada Gambar 12 dapat dilihat nilai persentase hemolisis pada pengenceran C2, nilai persentase hemolisis tulang noniradiasi sebesar 67,07 %, tulang A sebesar 72,89 %, dan tulang B sebesar 67,67 %. Berdasarkan analisis statistik dengan uji ANOVA, tidak terjadi perbedaan yang nyata (p>0.05) antara persentase hemolisis pada tulang A, tulang B, dan tulang noniradiasi pada pengenceran C2. Jadi, perlakuan pengenceran 2x tidak memberikan pengaruh nyata terhadap persentase hemolisis eritrosit.

Pengaruh ekstrak tulang pengenceran C3 terhadap hemolisis sel eritrosit

Gambar 13.Absorbansi akibat pengaruh ekstrak tulang iradiasi pada pengenceran C3

Pada pengenceran C3, tulang A dan tulang B memiliki profil hemolisis yang cenderung stabil, sedangkan tulang noniradiasi memiliki profil hemolisis yang fluktuatif. Pada pengenceran C3 ini terlihat pada jam pengamatan ke-1 sampai jam ke-4 absorbansi tulang noniradiasi lebih besar dibandingkan dengan tulang A dan tulang B. Pada jam ke-0 sampai jam ke-3, nilai absorbansi tulang iradiasi dan tulang noniradiasi lebih tinggi dari kontrol negatif, akan tetapi pada jam ke-4 dan ke-5, absorbansi sampel lebih rendah dari kontrol negatif. Hal ini diduga karena terjadi reaksi yang saling menetralkan antar radikal, sehingga radikal tidak menyebabkan kerusakan yang lebih besar pada membran. Menurut Diehl (1990) radikal bebas yang berkurang dapat disebabkan oleh terjadinya reaksi saling menetralkan antar radikal.

Gambar 14.Persentase hemolisis pada pengenceran C3

Pada Gambar 14 dapat dilihat nilai persentase hemolisis tulang noniradiasi sebesar 60,79 %, tulang A sebesar 62,25%, dan tulang B sebesar 59,34%. Berdasarkan analisis statistik dengan uji ANOVA, tidak terjadi perbedaan yang nyata (p>0.05) antara persentase hemolisis pada tulang A, tulang B, dan tulang noniradiasi pada pengenceran C3. Jadi, perlakuan pengenceran 3x tidak memberikan pengaruh nyata terhadap persentase hemolisis eritrosit.

Dokumen terkait