• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Ekstrak Tulang Ikan Pepes Iradiasi Dosis Tinggi terhadap Hemolisis Eritrosit dan Proliferasi Limfosit Manusia secara In Vitro.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Ekstrak Tulang Ikan Pepes Iradiasi Dosis Tinggi terhadap Hemolisis Eritrosit dan Proliferasi Limfosit Manusia secara In Vitro."

Copied!
157
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Metode pengawetan pangan konvensional yang dikenal selama ini menggunakan proses pengolahan dengan suhu tinggi, misalnya saja dalam proses sterilisasi, pasteurisasi, dan pengalengan. Penggunaan suhu tinggi ini dapat menyebabkan terjadinya denaturasi nutrisi-nutrisi penting yang terkandung dalam bahan pangan. Selain itu juga dapat menyebabkan perubahan kualitas organoleptik pada bahan pangan, seperti timbulnya perubahan warna, rasa, dan aroma. Kelemahan proses yang melibatkan suhu tinggi ini dapat diatasi dengan proses pengawetan nontermal.

Salah satu metode pengawetan nontermal yang dapat digunakan adalah metode iradiasi pangan. Iradiasi merupakan suatu proses alternatif untuk mengurangi kerusakan bahan pangan akibat pemaparan terhadap suhu tinggi dalam usaha pengawetan. Iradiasi pangan ini sudah banyak diterapkan untuk mengawetkan produk rempah-rempah, biji-bijian, dan ikan kering dengan dosis maksimal sebesar 10 kGy. Proses iradiasi dilakukan dengan mengekspos bahan pangan baik yang dikemas maupun yang tidak terhadap sejumlah radiasi ionisasi yang terkontrol dalam waktu tertentu untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Iradiasi merupakan salah satu jenis pengolahan bahan pangan yang menerapkan gelombang elektromagnetik. Prinsip pengolahan, dosis, teknik dan peralatan, persyaratan keselamatan dan pengaruh iradiasi terhadap pangan harus diperhatikan.

(2)

tersebut dapat bertahan selama 1.5 tahun tanpa mengalami penurunan kualitas dan nilai gizi yang berarti.

Salah satu pangan yang diiradiasi dengan metode ini adalah ikan pepes. Ikan pepes ini dapat langsung dikonsumsi karena steril dan tetap bergizi. Akan tetapi belum diketahui efek secara kimia dan biologi terhadap tubuh, sehingga perlu adanya kajian toksikologi sebelum teknologi ini dapat diterapkan secara komersial.

Salah satu metode uji yang dapat digunakan adalah dengan melihat pengaruh produk terhadap perubahan pada sel manusia. Pengaruh tersebut dapat diamati dengan uji terhadap sel eritrosit. Apabila produk memicu terjadinya hemolisis eritrosit maka kemungkinannya produk tersebut memiliki efek negatif terhadap tubuh. Selain itu juga dapat dilakukan uji untuk melihat pengaruh produk terhadap sistem imun manusia. Pada uji dilakukan pengamatan efek produk terhadap proliferasi limfosit manusia karena limfosit merupakan bagian dari sistem imun.

Pada umumnya, bagian ikan yang dikonsumsi adalah bagian dagingnya saja dan tulang tidak dimakan. Akan tetapi bagian tulang pada produk ikan tulang lunak menjadi bagian yang dapat dimakan, oleh karena itu perlu dilakukan uji pada tulang. Senyawa-senyawa radikal yang labil dan terbentuk karena proses iradiasi dapat menjadi stabil pada tulang dan daging. Senyawa-senyawa radikal inilah yang dapat membuat kerusakan pada sel tubuh atau perubahan pada sistem imun karena sifatnya yang sangat reaktif. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh dari tulang ikan iradiasi dosis tinggi terhadap hemolisis eritrosit dan proliferasi limfosit manusia.

B. Tujuan

(3)

C. Manfaat Penelitian

(4)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tulang

1. Komposisi tulang

Menurut terminologi biologi, tulang didefinisikan sebagai jaringan penghubung yang menyokong struktur tubuh. Secara makroskopis terdapat dua bentuk utama dari jaringan tulang, yaitu tulang kompak atau kortikal dan tulang cancellous atau trabecular. Tulang kompak adalah tulang yang tebal, sedangkan tulang cancellous tersusun atas materi tulang yang bernama trabeculae. Jalinan trabeculae memberikan penampakan tulang cancellous terlihat kenyal. Secara fisik, komponen penyusun tulang terdiri atas kombinasi antara kolagen yang visko-elastis dan kaku dan fase anorganik hidroksiapatit (Kubisz, 2007). Sifat psikokimia dan biologi tulang berbeda dengan masing-masing komponen penyusunnya dalam keadaan tunggal. Kolagen memiliki struktur yang fibrous dan didukung oleh beberapa kristal mineral yang memperkuat struktur. Meskipun keberadaan komponen yang fibrous dan kristal mineral ini saling mempengaruhi, akan tetapi tidak dipahami dengan jelas peranan masing-masing komponen (Landis, 1995).

Sekitar 70% tulang dewasa tersusun atas fase anorganik, yang berada dalam keseimbangan dengan fase organik dan air. Fraksi mineral tulang mirip dengan hidroksiapatit [Ca10(PO4) CO3]3. Hidroksiapatit adalah materi yang heterogen dan tidak dapat dideskripsikan sebagai materi tunggal (Landis, 1995). Hidroksiapatit (HAP) merupakan mineral yang paling stabil di dalam tulang (Kubisz, 2007). Mineral-mineral lain seperti fluorin, klorida, dan magnesium dapat juga menyatu dengan kisi-kisi kristal. Subtitusi gugus OH -dan gugus PO43-oleh ion karbonat – CO3menghasilkan karbonat apatit yang juga dikenal dengan dahllite (Ca5(PO4CO3). Komponen lain penyusun tulang sebanyak 10% adalah glikosoaminogikan, glikoprotein, lipid, peptida, dan enzim.

(5)

Struktur helik kolagen umumnya tersusun atas urutan asam amino (X-Y-Glisin)n, dengan prolin dan hidroksiprolin sering ada pada posisi X dan Y. Asam amino lain yang sering ada pada tulang adalah alanin, lisin, arginin, leusin, valin, serin, phenylalanin, dan threonin. Urutan asam amino pada rantai polipeptida pada kolagen dinamakan struktur primer. Satu rantai yang memiliki struktur helik dikenal dengan α-heliks yang tidak stabil dalam keadaan tunggal. Adanya asam amino glisin di setiap residu ketiga sangat dibutuhkan untuk membentuk triple heliks karena glisin adalah asam amino yang paling kecil, selain itu, glisin juga merupakan satu-satunya asam amino yang tidak memiliki gugus samping. Triple heliks membentuk struktur tersier kolagen. Superheliks distabilkan oleh ikatan hidrogen di antara rantai (Kubisz, 2007).

Kandungan hidroksiprolin yang tinggi juga melibatkan interaksi dengan air yang memberikan karakteristik pada kolagen. Hidroksiprolin berperan pada stabilisasi konformasi triple heliks pada kolagen karena hidroksiprolin terlibat dalam ikatan hidrogen antar rantai polipeptida. Molekul triple heliks berbentuk silinder dengan diameter 1.5 nm dan panjang 300 nm. Posisi dari molekul tripel heliks adalah paralel, tetapi dipisahkan oleh lubang sekitar 35 nm di ujungnya dan molekul berdekatan dengan jarak sekitar 68 nm. Struktur kuartener berupa mikrofibril yang terbentuk oleh sekitar lima unit tropokolagen. Mikrofibril dikemas dalam bentuk tetragonal. Diameter fibril hanya beberapa angstroms, setiap fibril tersusun atas tiga rantai polipeptida dengan jumlah asam amino sebanyak 1000 asam amino (Kubisz, 2007).

(6)

dikarenakan oleh struktur fibrous dan komposisi kimia yang mengandung gugus hidrofilik seperti gugus C=O, N-H, COOH, dan OH (Kubisz, 2007).

2. Dampak iradiasi pada tulang

Tulang yang diiradiasi kehilangan resistensi mekanis yang berarti kehilangan kapasitas untuk menyerap energi dan menghasilkan tulang yang rapuh. Kehilangan resistensi ini dipengaruhi oleh kondisi penyinaran dan sebelum penyinaran. Sebagai contoh, tulang yang diiradiasi tanpa perlakuan pembekuan akan menghasilkan tulang yang lebih rapuh dibandingkan dengan tulang yang diiradiasi dalam keadaan beku. Kajian mengenai sifat mekanis tulang telah dipelajari pada dosis 30+5 kGy, yang cukup untuk mengurangi jumlah mikroba sampai 109. Radiasi dapat membuat tulang menjadi rapuh karena terjadinya denaturasi pada komponen kolagen. Menurut Currey et al. (1997), iradiasi dengan dosis sekitar 90 kGy menghasilkan integritas mekanis tulang yang tidak dapat diterima.

Dari sudut pandang mikroskopis, perubahan makroskopis disebabkan oleh radikal bebas yang terbentuk selama iradiasi. Sebagai contoh, perubahan kimia pada protein yang melibatkan radikal bebas. Radiasi ionisasi dapat menghasilkan radikal bebas yang bersifat stabil dalam sistem biologi makhluk hidup. Kerusakan yang terjadi selama iradiasi tulang disebabkan oleh radikal bebas hasil radiasi seperti radikal hidroksi, ion superoksida, radikal turunan asam amino, dan radikal anorganik CO33- dan CO21-. Radikal bebas turunan dari mineral tulang mempunyai umur simpan yang panjang sekitar 107tahun pada suhu 250C, sebagai akibatnya tulang biasa digunakan sebagai dosimeter alami (Kubisz, 2007).

(7)

yang tidak dipanaskan memicu kerusakan. Radikal anorganik yang paling stabil CO21-memiliki waktu paruh 107tahun pada 250C. Berlawanan dengan radikal anorganik, radikal organik dapat dengan mudah direkombinasi. Alasan dari sifat ini kemungkinan karena terjadi ikatan hidrogen yang lemah dan fleksibel di kolagen dan struktur kristalin yang padat dari hidroksiapatit (Kubisz, 2007).

B. Ikan Mas

Ikan Mas (Cyprinus carpio Linn) mempunyai ciri-ciri badan memanjang, sedikit pipih ke samping (compressed), mulut dapat disembulkan, dan terletak di ujung tengah (terminal), mempunyai dua pasang sungut, sisik yang relatif besar yang tergolong tipe cycloid, mempunyai garis rusuk yang lengkap dan berada pada pertengahan sirip ekor (Susanto, 1993). Hampir seluruh tubuh ikan mas ditutup sisik, sirip punggung (dorsal) berukuran relatif panjang dengan bagian belakang berjari keras, dan sirip ketiga dan keempat bergerigi. Letak permukaan sirip punggung berseberangan dengan letak permukaan sirip perut (ventral). Sirip dubur atau sirip anal yang terakhir bergerigi. Linea literalis terletak di pertengahan tubuh, melintang dari tutup insang sampai dengan ke ujung belakang pangkal ekor. Gigi kerongkongan (pharinreal teeth) terdiri dari tiga baris yang berbentuk gigi geraham (Suseno, 1994).

Menurut Okada (1990), berdasarkan komposisi kimia protein dan lemak, ikan dibagi dalam empat golongan, yaitu

1. Lemak rendah (< 5%) dan protein tinggi (> 15%) 2. Lemak sedang (5%-15%) dan protein tinggi (> 15%) 3. Lemak tinggi (> 15%) dan protein rendah (< 15%) 4. Lemak rendah (< 15%) dan protein rendah (< 15%)

Berdasarkan penggolongan di atas, ikan mas termasuk ke dalam ikan berlemak rendah dan berprotein tinggi.

(8)

kering untuk kadar protein antara 56.45-62.28%, kadar lemak antara 20.96-28.05%, dan kadar abu antara 9.0-11.52%.

C. Pepes Ikan

Pepes ikan merupakan salah satu makanan tradisional Indonesia. Pepes ini biasanya dibuat dengan menggunakan bahan dasar ikan mas di Jawa Barat. Sedangkan di wilayah lain, pepes juga dapat dibuat dengan bahan dasar ikan laut seperti ikan makarel. Pepes adalah produk olahan daging (unggas atau ikan) dengan menambahkan rempah bumbu pada daging dan dikemas dengan menggunakan daun pisang. Rempah atau bumbu yang digunakan dalam pembuatan pepes ikan mas adalah bawang putih, kunyit, jahe, daun sereh, lemon, dan daun salam.Cara membuat pepes ikan secara tradisional di daerah adalah bumbu dan rempah dihaluskan dan ditambah daun kemangi, tomat, dan cabai kemudian dibalutkan ke ikan mas yang sudah dibersihkan. Setelah itu, dibungkus dengan daun pisang dan disemat dengan 2 buah bambu kecil di setiap ujungnya. Bungkusan ini lalu diolah dengan perlakuan termal(Irawatiet al.,2000).

Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas pepes dengan menggunakan teknologi yang ada adalah dengan membuat produk pepes iradiasi. Menurut Irawati et al.(2000), pepes ikan mas iradiasi dibuat melalui tahap-tahap sebagai berikut: pertama, ikan mas dibersihkan dengan cara dikeluarkan isi perutnya, kemudian dicuci dengan menggunakan air yang telah dicampur lemon dan garam selama 15 menit. Ikan kemudian dicuci kembali menggunakan air dan segera diasinkan dengan menggunakan bumbu seperti bawang putih, kunyit, jahe, daun sereh, lemon, dan daun salam. Setelah itu, ikan dibungkus menggunakan daun pisang dan diproses panas menggunakan Inoxpran pressure cooker selama 45-60 menit pada suhu 120C. Pepes yang dihasilkan dibekukan pada suhu -13C. Pepes tersebut dikemas secara vakum menggunakan kemasan yang terdiri dari LDPE dan alumunium foil. Pepes yang telah dikemas kemudian disusun dalam styrofoam boxes yang telah dilapisi olehdry icedan dan disimpan selama semalam sebelum diiradiasi.

(9)

Cobalt 60 digunakan sebagai sumber radiasi ionisasi dengan dosis rata-rata 5.2 kGy/jam. Radiochromic FW-60 digunakan sebagai kalibrasi dosimeter, sedangkan perspex dosimeter digunakan untuk menentukan dosis minimum yang terserap. Pepes ikan mas diiradiasi dengan dosis minimum 45 kGy di dalamdry ice.Dosis sterilitas ditentukan dengan mengacu pada metode AAMI (Association for the Advancement of Medical Instrumentation) ISO/DIS 11137.2 berdasarkan bioburden. Setelah dosis sterilitas tercapai, pepes ikan mas iradiasi disimpan pada suhu ruang.

Gambar 1. Pepes ikan mas iradiasi dalam kemasan D. Prinsip Iradiasi Pangan

Pada pengawetan bahan pangan dengan iradiasi digunakan radiasi berenergi tinggi yang dikenal dengan nama radiasi pengion, karena dapat menimbulkan ionisasi pada materi yang dilaluinya (Maha, 1981). Prinsip pengawetan bahan pangan dengan iradiasi ditunjukkan pada Gambar 2.

Sumber iradiasi

Bahan pangan

Eksitasi, ionisasi, dan

perubahan komponen sumber iradiasi

Efek fisik, kimia, dan biologis bahan pangan

Pertumbuhan sel bahan terhambat, mikroorganisme patogen dan pembusuk mati

(10)

Gambar di atas menunjukkan bahwa eksitasi dan ionisasi elektron menyebabkan perubahan komponen pada bahan pangan tersebut. Apabila perubahan terjadi pada sel hidup, maka akan menghambat sintesis DNA yang menyebabkan proses terganggu dan terjadi efek biologis. Efek inilah yang digunakan sebagai dasar untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada bahan pangan (Maha, 1981).

Pemanfaatan praktis iradiasi bahan pangan banyak berkaitan dengan pengawetan. Radiasi menonaktifkan organisme perusak pangan, yaitu bakteri, kapang dan khamir. Iradiasi juga efektif untuk memperpanjang masa simpan sayur dan buah segar karena membatasi perubahan hayati yang berkaitan dengan pematangan, pertumbuhan, dan penuaan.

Jenis sinar yang memiliki kemampuan untuk mengionisasi diantaranya adalah sinar , , dan. Dari ketiga jenis sinar tersebut sinarmemiliki daya penetrasi yang paling tinggi dan dapat digunakan untuk radiasi ionisasi. Sinar  memiliki daya tembus yang amat kuat dan tidak terbelokkan oleh medan magnet atau medan listrik. Iradiasi dengan sinar  paling banyak digunakan untuk aplikasi iradiasi pangan (Winarno et al., 1980). Partikel lain yang

memiliki efek yang mirip dengan sinar  adalah neutron, akan tetapi penggunaan neutron tidak boleh digunakan untuk iradiasi pangan karena dapat menghasilkan radioaktivitas pada pangan (Diehl, 1990).

(11)

Dua jenis radiasi pengion yang umum digunakan untuk pengawetan makanan adalah :

a. Sinar gamma

Dipancarkan oleh radio nuklida 60Co dan 137Cs. Keduanya merupakan gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang pendek. b Berkas elektron

Dihasilkan oleh mesin pemercepat elektron yang terdiri dari partikel-partikel bermuatan listrik.

Dosis iradiasi adalah jumlah energi radiasi yang diserap bahan pangan dan merupakan faktor kritis pada iradiasi pangan. Untuk setiap jenis pangan dibutuhkan dosis khusus sehingga diperoleh hasil yang diinginkan. Besarnya dosis iradiasi yang digunakan dalam pengawetan pangan tergantung pada jenis bahan dan tujuan pengawetan yang ingin dicapai. Dosis iradiasi yang digunakan untuk bahan makanan berdasarkan tujuan pengawetan dikelompokkan sebagai berikut:

a. Dosis rendah,Radurisation(0-1 kGy)

Pemakaian dosis ini bertujuan untuk menghambat pertumbuhan tunas pada berbagai jenis umbi-umbian serta untuk membunuh serangga perusak makanan

b. Dosis sedang,Radicidation(1-10kGy)

Dosis ini ditujukan untuk menurunkan jumlah mikroba guna memperpanjang umur simpan.

c. Dosis tinggi,Radappertisation(10-50kGy)

(12)

Selain ditujukan untuk pengawetan makanan, dapat memperpanjang daya awet, dan juga tidak mengubah mutu fisik produk. Pemilihan dosis optimum dilakukan dengan memperhatikan tiga kriteria dasar, yaitu:

a. Dosis iradiasi tidak menyebabkan perubahan karateristik organoleptik. b. Daya awet makanan pada suhu penyimpanan tertentu.

c. Tingkat keamanan.

Pengembangan dan penggunaan iradiasi untuk stabilitasasi bahan pangan memberikan kemungkinan bahan pangan dapat diawetkan tanpa mengalami perubahan nyata sifat alaminya. Bidang ini dirintis oleh Dr. B.E. Proctor dan Dr. S.A. Goldblith pada akhir tahun 1940 dan sejak itu menjadi tantangan bagi banyak ilmuwan dan ahli teknologi bahan pangan (Desrosier, 1988).

Tanggal 29 Desember 1987 Departemen Kesehatan RI telah memberikan izin PERMENKES No. : 826/MENKES/PER/XII/1987 untuk beberapa jenis produk bahan pangan iradiasi dan telah diperbaharuhi pada tahun 1995 yaitu PERMENKES No. : 152/MENKES/SK/II/1995 untuk dosis maksimum 10 kGy). Adapun JECFI (Joint Expert Committee on Food Irradiation) pada tahun 1980 telah merekomendasi bahwa dosis sampai 10 kGy aman untuk dikonsumsi.

Tabel 1.Jenis komoditas yang telah diijinkan oleh Depkes untuk proses iradiasi

No. Komoditas Tujuan Iradiasi

Batas Dosis Maksimal (kGy) 1 Rempah-rempah, daun-daunan, dan bumbu kering Mencegah/menghambat pertumbuhan serangga dan mikroba

10

2 Umbi-umbian Menghambat pertunasan 0.15

3 Udang beku dan paha kodok beku

Menghilangkan bakteri

salmonella 7

4 Ikan kering Memperpanjang masa

simpan 5

5 Biji-bijian Menghilangkan serangga

(13)

E. UjiIn Vitrodan Kultur Sel

Kultur sel merupakan teknik yang biasa digunakan untuk mengembangbiakan sel di luar tubuh (in vitro). Kultur sel dapat digunakan untuk mengevaluasi dampak yang ditimbulkan dari kondisi abnormal atau dari keberadaan senyawa berbahaya pada sel. Untuk melakukan kultur sel secarain vitrodibutuhkan kondisi pertumbuhan yang mirip dengan kondisiin vivo seperti pengaturan temperatur, konsentrasi O2 dan CO2, pH, tekanan osmosis, dan kandungan nutrisi. Saat ini kultur sel telah banyak digunakan dalam laboratorium sitogenetik, biokimia, dan molekuler untuk melakukan diagnostik dan penelitian. Dalam bidang ilmu pangan, kultur sel seringkali digunakan untuk evaluasi fungsi dan keamanan bahan pangan secara in vitro(Davis, 1994).

Beberapa kelemahan dari teknik kultur sel, yaitu kultur sel harus dilakukan dalam kondisi steril, butuh keahlian dan ketrampilan khusus untuk mengkultur, dan biaya relatif mahal. Keuntungan penggunaan kultur sel adalah lingkungan tempat hidup sel dapat dikontrol, seperti pH, tekanan osmosis, tekanan CO2 dan O2, sehingga kondisi fisiologis dari kultur relatif konstan (Malole, 1990).

Menurut Malole (1990), faktor yang mendukung pertumbuhan sel dalam kultur adalah media pertumbuhan. Fungsi media kultur sel adalah mempertahankan pH, menyediakan lingkungan yang baik dimana sel dapat bertahan hidup, dan juga menyediakan sunbstansi-substansi yang tidak dapat disintesis oleh sel itu sendiri. Nutrisi yang biasanya terkandung dalam plasma adalah asam amino, vitamin, glukosa atau gula lain, garam, dan protein tertentu.

Pemilihan media pertumbuhan didasarkan pada kandungan zat gizi yang disesuaikan dengan jenis sel yang ditumbuhkan (Davis, 1994). Media yang sering digunakan untuk mengkultur sel limfosit manusia adalah RPMI-1640. RPMI dikembangkan oleh Roswell Park Memorial Institute. Selain RPMI-1640, terdapat juga RPMI-1630 dan RPMI-1629 ( Davis, 1994 ).

(14)

dan tumbuh pada konsentrasi sel yang rendah (kurang dari 105 sel/ml). Jumlah sel limfosit yang akan dikultur sebaiknya sekitar 1-4 x 106 sel/ml. Saat dikulturkan, sel ditambahkan serum sebesar 10%. Serum merupakan suplemen peningkat pertumbuhan yang efektif untuk semua jenis sel karena kompleksitas dan banyak faktor pertumbuhan, perlindungan sel, dan faktor nutrisi di dalamnya. Jenis serum yang biasa digunakan dalam kultur sel adalah serum hewan. Fetal Bovine Serum telah digunakan sebagai suplemen standar. Pada umumnya, serum ditambahkan dengan konsentrasi 5-20 % (Walumet al., 1990).

Pada pembuatan medium untuk kultur sel, dilakukan penambahan buffer dan antibiotik. Buffer ditambahkan dengan tujuan menjaga keseimbangan pH agar tetap memiliki nilai 7.4. Menurut Freshney (1992), pertumbuhan sel memerlukan pH 7.4. Bila pada proses pertumbuhan, pH lingkungan sekitar lebih rendah dari 7, maka pertumbuhan sel akan terhambat. Buffer yang biasa digunakan adalah NaHCO3. Penambahan antibiotik pada medium bertujuan mencegah kontaminasi pada medium. Faktor utama untuk memilih jenis antibiotik adalah tidak bersifat toksik, memiliki spektrum antimikroba yang luas, ekonomis, dan kecenderungan minimum untuk menginduksi pembentukan mikroba yang kebal.

Sel limfosit membutuhkan O2 untuk bertahan hidup. Kondisi rendah O2 dapat mendorong proses proliferasi, tetapi pertumbuhan tidak berlangsung lama dalam kondisi anaerob. Suhu kultur dipertahankan 370C dengan konsentrasi CO2 5% dan O295% untuk menyamakan dengan kondisi di dalam tubuh. Selain memberikan pengaruh langsung terhadap pertumbuhan sel, temperatur juga mempengaruhi pH melalui peningkatan kelarutan CO2 dan melalui perubahan ionisasi dan dari pH buffer (Freshney, 1994).

F. Eritrosit dan Hemolisis Eritrosit

(15)

dalam jumlah besar. Hemoglobin dapat berikatan dengan oksigen sehingga oksigen dapat didistribusikan ke seluruh sel. Konsentrasi rata-rata dari hemoglobin di dalam darah adalah 14g/100ml darah pada wanita dan 16g/100ml darah pada pria dewasa (Vanderet al.,2004).

Eritrosit atau sel darah merah adalah suatu sel yang berisi hemoglobin dan membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh. Sel ini berbentuk lempeng bikonkaf yang meningkatkan area permukaan sel sehingga memudahkan difusi oksigen dan karbondioksida. Bentuk ini dipertahankan oleh suatu sitoskeleton yang terdiri atas berberapa protein. Diameter eritrosit ini kira-kira 7.8 µm, dengan ketebalan 2.5 µm pada bagian paling tebal dan kurang kebih 1 mikrometer pada bagian tengah. Volume rata-rata eritrosit adalah 90 sampai 95 µm3(Guyton dan Hall, 1997). Persentase jumlah eritrosit di dalam volume darah dikenal dengan istilah hematocrit. Dalam keadaan normal kadarnya sekitar 45% yang dapat diukur dengan teknik sentrifugasi dengan mengendapkan eritrosit dan diukur volumenya (Vanderet al.,2004).

Eritrosit merupakan sel yang sangat terdiferensiasi, berupa kantung-kantung dikelilingi oleh membran plasma yang mengandung hemoglobin. Sebesar 33% berat sel eritrosit manusia merupakan hemoglobin. Eritrosit yang telah dewasa, selain tidak mengandung nukleus, ribosom, dan mitokondria, juga telah kehilangan kemamupan untuk mensintesis protein dan metabolisme aerobik. Selain itu eritrosit yang telah dewasa juga telah kehilangan kemampuannya untuk mensintesis membran yang baru (Weiss et al., 1977).

Eritrosit yang tidak memiliki nukleus, membuat lebih banyak ruang bagi hemoglobin. Selain itu, bentuknya yang bikonkaf meningkatkan rasio volume permukaan dan sitoplasma. Karakteristik ini membuat difusi oksigen lebih mudah pada eritrosit. Dengan menggunakan mikroskop elektron, eritrosit dapat memiliki bermacam-macam bentuk, yaitu normal (disciocyte), crenated, echinochyte, codocyte, oat, bulan sabit, helmet, pinched, pointed,

berlekuk, poikilocyte, dan sebagainya. Paruh hidup eritrosit sendiri adalah sekitar 120 hari.

(16)

manusia, kurang lebih 3 % bocor melalui membran kapiler masuk ke dalam ruang jaringan atau membran glomerolus pada ginjal terus masuk ke dalam saringan glomerolus setiap kali darah melewati kapiler. Oleh karena itu, agar hemoglobin tetap berada dalam aliran darah, hemoglobin tersebut harus tetap berada dalam eritrosit. Selain mengangkut hemoglobin, eritrosit juga mempunyai fungsi lain. Eritrosit banyak sekali mengandung karbonik anhidrase, yang mengkatalis reasksi antara karbondioksida dan air sehingga meningkatkan kecepatan reaksi bolak-balik ini berberapa ribu kali lipat. Kecepatan reaksi ini yang tinggi ini membuat air dalam darah dapat bereaksi dengan banyak sekali karbon dioksida, dan dengan demikian mengangkutnya dari jaringan menuju paru-paru dalam bentuk ion bikarbonat (HCO3-). Hemoglobin yang terdapat dalam sel juga merupakan dapar asam basa (seperti kebanyakan protein), sehingga eritrosit bertanggung jawab untuk sebagian daya pendaparan sel darah (Guyton dan Hall, 1997).

Hemoglobin, pigmen merah yang membawa oksigen dalam eritrosit, merupakan suatu protein yang mempunyai berat molekul 64.450 dan terdiri dari empat subunit, di mana masing-masing sub unit mengandung satu bagian heme yang berkonjugasi dengan suatu polipeptida. Heme adalah suatu derifat porifirin yang mengandung Fe2+ yang dapat mengikat oksigen. Eritrosit mengandung sekitar 270 juta molekul hemoglobin di mana tiap sel mengandung tepat 29 pg hemoglobin dengan masing-masing membawa empat kelompok heme. Dengan demikian, didapatkan sekitar 3x1013sel darah merah dan sekitar 900 g hemoglobin di dalam darah seorang laki-laki dewasa (Ganong, 1990).

Eritrosit memiliki berberapa sistem membran yang dapat melindungi dirinya dari kerusakan oksidatif dan hemolisis, antara lain superoksida dismutase (SOD), glutation peroksidase, dan katalase. Juga terdapat asam askorbat dan asam urat yang berfungsi sebagai penangkap radikal bebas larut air (berada di plasma) dan tokoferol yang berfungsi sebagai penangkap radikal bebas larut lemak yang terdapat di membran eritrosit (Zhuet al., 2002).

(17)

dapat disebabkan oleh antara lain penambahan larutan hipotonis, hipertonis ke dalam darah, penurunan tekanan permukaan membran eritrosit, zat/unsur kimia tertentu, pemanasan dan pendinginan, rapuh karena ketuaan dalam sirkulasi darah serta adanya radikal bebas yang berinteraksi dengan membran. Membran eritrosit tersusun atas polisakarida dan protein spesifik yang berbeda antara satu orang dengan orang lainnya.

Penggunaan eritrosit sebagai model pada penelitian sudah banyak dilakukan, seperti yang dilakukan oleh Mrowczynska (2001) yang menggunakan eritrosit sebagai model untuk membandingkan dan menghubungkan aktivitas hemolitik terhadap sifat sitotoksik garam empedu, Zhu et al. (2005) yang mengukur pengaruh flavonoid kakao terhadap ketahanan membran eritrosit yang dioksidasi dengan AAPH, Suwalsky (2007) yang mengukur sifat antioksidan tumbuhan Ugni molinae dan pengaruhnya pada eritrosit manusia dalam menanggulangi stress oksidatif yang dipicu dengan HClO, dan Karimi (2008) yang mengukur efek perlindungan eritrosit oleh silimarin.

G. Limfosit dan Proliferasi Limfosit

Limfosit adalah sel darah putih (leukosit) yang mampu menghasilkan respon imun spesifik terhadap berbagai jenis antigen yang berbeda. Limfosit berukuran kecil, berbentuk bulat dengan diameter 7-15 µm, dan banyak terdapat pada organ limfoid seperti limfa dan timus. Leukosit dibagi ke dalam dua kelas, yaitu yang mengandung granula dalam sitoplasmanya (granulosit) dan agranulosit yang tidak mengandung granula (Ganong, 1990). Limfosit merupakan sel kunci dalam proses respon imun spesifik untuk mengenali antigen melalui reseptor antigen dan mampu membedakannya dari komponen tubuh (Kuby, 1992).

Terdapat tiga kelompok limfosit yang dibedakan berdasarkan fungsinya, yaitu :

1. Limfosit B

(18)

Jumlah sel B limfosit adalah 25% dari total keseluruhan limfosit tubuh. Limfosit B mampu menghasilkan berbagai jenis antibodi yang digunakan untuk melawan antigen. Sel ini memiliki reseptor-reseptor pada permukaannya untuk antigen tertentu.

2. Limfosit T

Sel ini terbentuk jika selstemdari sumsum tulang pindah ke kelenjar timus dan mengalami pembelahan dan dewasa di dalam kelenjar timus. Limfosit T dewasa meninggalkan kelenjar timus dan masuk ke dalam pembuluh getah bening dan berfungsi sebagai bagian dari sistem pengawasan kekebalan. Sel T diproduksi oleh kelenjar timus, jumlahnya mencapai 70% dari seluruh sel limfosit di dalam tubuh.

Di bawah mikroskop, morfologi Limfosit T dan B tidak dapat dibedakan. Ada tiga bentuk sel T, yaitu sel Thelper ( Th), Tsupresor( Ts ), dan T cytotoksik (Tc) (Baratawidjaja, 1991). Sel Thelperatau sel T penolong merupakan sel T yang berperan dalam stimulasi sintesis antibodi dan aktivasi makrofag dengan cara mengsekresikan molekul yang disebut sitokinin. Sel ini bekerja bersama dengan aktivitas antibodi sel B. Sel Tsupresor berperan menekan aktivitas sel T yang lain. Sel ini mempunyai aktivitas dapat menurunkan produksi antibodi. Sel Tcytotoksik (Tc) memiliki kemampuan untuk menghancurkan sel alogenik dan sel sasaran yang terinfeksi patogen intraseluler (Baratawidjaja, 1991).

3. Limfosit NK (Natural Killer)

Limfosit ini memiliki ukuran yang agak lebih besar daripada limfosit T dan B. Limfosit ini juga dikenal sebagai Large Granular Lymphocyte (LGL) karena merupakan sel dengan sejumlah besar sitoplasma dengan granula azurofilik (Kuby, 1992).

(19)

Uji aktivitas sel limfosit dapat dilakukan secara in vitro dan menggunakan indikator respon imun. Uji ketoksikan suatu senyawa dapat juga dilakukan dengan menggunakan limfosit. Limfosit digunakan dalam uji ketoksikan karena sel ini sangat rentan terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh senyawa atau benda asing. Proliferasi merupakan proses diferensiasi dan pembelahan sel secara mitosis. Respon proliferasi sel limfosit yang diuji pada sistem in vitro dapat digunakan untuk menggambarkan fungsi limfosit dan status imun individu. Proliferasi merupakan fungsi biologis mendasar pada sel limfosit, yaitu meliputi proses diferensiasi dan pembelahan sel. Aktivitas proliferasi limfosit merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk mengukur status imunitas karena proses proliferasi menunjukkan kemampuan dasar dari system imun (Roit dan Delves, 2001).

Proliferasi sel limfosit dapat diinduksi oleh suatu senyawa yang disebut mitogen. Tidak seperti immunogen yang hanya mengaktivasi reseptor spesifik pembawa limfosit, aktivitas mitogen adalah tidak spesifik. Beberapa mitogen hanya mampu menginduksi proliferasi sel limfosit B, sedangkan beberapa yang lain hanya mampu menginduksi sel limfosit T, tetapi ada juga sebagian kecil yang mampu menginduksi keduannya secara bersamaan. Pengujian terhadap kemampuan fungsional limfosit dapat dilihat dari kemampuan memberikan respon terhadap mitogen, kemampuan membentuk immunoglobulin atau limfokin, dan kemampuan sitotoksisitas sel NK (Tejasariet al., 2000).

(20)

bersama-sama. PWM mampu berikatan dengan di-N-asetyl kitobiose dan mampu menginduksi sel B dan sel T (Kuby, 1992).

Pengamatan jumlah sel yang mati dan tingkat proliferasi sel limfosit yang telah ditambahkan mitogen dapat diamati menggunakan pewarna MTT (3-[4,5-Dimethylthiazol-2-yl]-2,5-diphenyltetrazolium bromide) atau terazole. Prinsip dari metode ini adalah konversi dari garam tetrazolium (MTT) yang berwarna kuning menjadi senyawa formazan yang berwarna biru oleh aktivitas enzim suksinat dehidrogenase oleh mitokondria sel hidup (Kubota et al., 2003). Senyawa yang terbentuk kemudian dihitung absorbansinya menggunakan microplate reader. Enzim suksinat dehidrogenase merupakan enzim yang disintesis hanya pada sel hidup. Jumlah formazan yang dihasilkan proporsional dengan jumlah sel limfosit yang hidup sehingga dengan metode pewarnaan MTT dapat diketahui jumlah sel limfosit hidupnya. Metode MTT ini menggunakan enzim atau substrat yang spesifik (Davis, 1994).

H. Antioksidan

Kochhar dan Rossel (1990) mendefinisikan antioksidan sebagai senyawa berberat molekul rendah yang bereaksi dengan oksidan sehingga tidak menimbulkan reaksi yang membahayakan. Antioksidan bersifat dapat menunda, memperlambat, dan mencegah proses oksidasi sehingga antioksidan memiliki peranan yang sangat penting dalam memerangi radikal bebas.

Tubuh memiliki beberapa mekanisme untuk meminimalisasi kerusakan akibat radikal bebas sekaligus memperbaiki kerusakan yang ditimbulkannya. Enzim antioksidan yang dihasilkan tubuh contohnya glutation peroksidase, glutation reduktase, katalase, dan superoksida dismutase. Antioksidan kimiawi menetralkan radikal bebas dengan menerima atau menyumbangkan elektron untuk mengeliminasi elektron tak berpasangan (Muchtadi, 2000).

(21)

inisiasi serta memutus tahap propagasi. Antioksidan sekunder atau antioksidan preventif berfungsi untuk menekan atau menghambat pembentukan radikal bebas dengan cara mengkelat metal dalam cairan ekstraselular dan mendegradasi radikal dalam cairan intraselular oleh berbagai jenis enzim (Muchtadi, 2000).

(22)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biokimia Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor selama 3 bulan, terhitung dari bulan Februari hingga April 2009.

B. Alat dan Bahan

Bahan utama yang digunakan adalah tulang ikan pepes iradiasi yang memiliki umur simpan yang berbeda-beda, yaitu tulang ikan pepes iradiasi dengan masa simpan 2 tahun yang diiradiasi pada tahun 2007 (tulang A), tulang ikan pepes iradiasi dengan masa simpan 1 tahun yang diiradiasi pada tahun 2008 (tulang B), dan tulang noniradiasi. Sampel-sampel tersebut merupakan sampel yang diperoleh dari Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Iradiasi BATAN.

Bahan yang digunakan untuk ekstraksi adalah aquades. Serum darah, eritrosit, dan limfosit diisolasi dari darah manusia yang berasal dari donor yang sehat. Bahan yang digunakan pada pengujian terhadap hemolisis eritrosit adalah PBS (phosphate buffer saline), H2O2 0.5%, dan biru trifan. Bahan kimia yang digunakan pada pengujian terhadap proliferasi limfosit adalah histopaque (Sigma, USA), RPMI-1640 (Sigma, USA), MTT [3-(4,5-dimethilthiazol-2-yl)-2,5-diphenyl tetrazolium bromide] (Sigma, USA) dan

HCl-isopropanol 0.04 N, aquabides, larutan mitogen pokeweed, dan larutan mitogen LPS. Bahan yang digunakan pada pengukuran kapasitas antioksidan adalah buffer asetat, metanol, DPPH (diphenyl-β-picrylhidrazine), dan asam askorbat. Bahan yang digunakan pada pengukuran kadar malonaldehida adalah larutan HCl 0.25 N, TCA (trichloroacetic acid), TBA (thiobarbituric acid), BHT (butil hidroksi toluena), dan TEP (1,1,3,3 tetraetoksipropana).

(23)

lempeng mikrokultur (well plate) 96 well, kertas saring, membran steril 0.20 m (Sartorius), mikropipet, mikrotip 1000 µl, mikrotip 100 µl, vorteks,

hemasitometer (Bright-line),syringe,hand counter, termometer, penangas air, tabung eppendorf, tabung vacutainer steril, vacutainer needle, holder, torniquate, tabung sentrifuse steril 15 ml disposible (Nunc).

C. Metode Penelitian

Metode penelitian terdiri dari tujuh tahap meliputi ekstraksi sampel, persiapan ekstrak, persiapan media kultur sel, isolasi sel eritrosit dan pengujian pengaruh ekstrak terhadap hemolisis eritrosit, isolasi limfosit dan pengujian ekstrak terhadap proliferasi limfosit manusia, dan pengujian ekstrak terhadap aktivitas antioksidan serta pengukuran kadar malonaldehida.

1. Ekstraksi Tulang Ikan

Ikan pepes iradiasi yang masih berada dalam kemasan dibuka, dipisahkan antara tulang dan dagingnya. Bagian tulang yang diambil adalah tulang belakang dan tulang kepala. Bagian tulang diambil sebanyak 10 g dan dihancurkan dengan mortar sampai halus, ditambahkan dengan aquades dengan perbandingan berat 1:2. Kemudian disentrifuse dengan kecepatan 3000 rpm selama 5 menit untuk memisahkan padatan dan cairannya. selanjutnya disaring dengan kertas saring dan diteruskan dengan membran steril 0.20 µm.

2. Persiapan ekstrak

(24)

Tabel 2. Pengenceran ekstrak sampel

Konsentrasi Jumlah stok sampel (ml)

Jumlah aquabides steril (ml)

C1 (pengenceran 0x) 2 0

C2 (pengenceran 2x) 1 1

C3 (pengenceran 4x) 0.5 1.5

3. Persiapan UjiIn Vitro

a. Persiapan Media Kultur Sel (Agustinisariet al., 1997)

Media yang dipergunakan untuk kultur sel adalah RPMI-1640 (telah mengandung L-glutamine). Bubuk RPMI sebanyak 10.42 g dilarutkan dalam aquabides, sehingga diperoleh 1 liter larutan RPMI-1640. Kemudian ditambahkan 2 g NaHCO3 (sebagai buffer). Campuran larutan tersebut disterilisasi dengan membran sterilissasi 0.20 µm.

b. Persiapan PBS (Phosphat Buffer Saline)

Dua buah tablet PBS dilarutkan di dalam aquabides sebanyak 500 ml. Kemudian disaring dengan membran steril 0.20 µm.

c. Persiapan Serum Darah AB (Nurrahmanet al., 1999)

(25)

4. Isolasi Sel Eritrosit dan Pengujian Pengaruh Ekstrak terhadap Hemolisis Eritrosit secaraIn Vitro

a. Isolasi Sel Eritrosit (Zhu, 2002)

Eritrosit diisolasi dari darah perifer donor dengan jenis kelamin laki-laki. Darah donor diambil sebanyak 7-15 ml secara aseptis oleh seorang perawat di Klinik Farfa, Darmaga. Darah kemudian dipindahkan ke dalam tabungvacutainersteril yang berisi heparin agar darah tidak menggumpal. Kemudian, darah dipindahkan ke dalam tabung sentrifuse di dalam laminar hood secara aseptis untuk menghindari terjadinya kontaminasi mikroba dan untuk menjaga keaseptisan proses.

Pemisahan eritrosit awal dilakukan dengan sentrifuse pada 1.500 rpm selama 10 menit, dan akan terlihat ada 3 lapisan di dalam tabung. Lapisan yang paling atas berwarna kuning adalah plasma darah, lapisanbuffycoatyang terdiri dari leukosit dan platelet berada di tengah, dan di bagian bawah terdapat eritrosit yang menyusun hampir 45 % dari total volume darah (Gambar 3). Lapisan plasma yang ada di bagian atas danbuffycoatkemudian dibuang.

Gambar 3.Pemisahan sel darah manusia

Sel eritrosit kemudian dicuci sebanyak 3 kali menggunakan larutan PBS. Sebanyak 1 ml sel eritrosit dicuci dengan 5 ml larutan PBS lalu disentrifuse dengan kecepatan 2000 rpm selama 10 menit. Eritrosit akan mengendap di dasar tabung dan larutan PBS akan

Plasma

Buffycoat

(26)

berwarna kemerahan. Pencucian dilakukan sebanyak 3 kali hingga larutan PBS menjadi hampir tidak berwarna dan jernih.

Jumlah sel eritrosit yang ada dalam suspensi dihitung menggunakan hemasitometer dengan pewarna biru trifan. Sebanyak 0.5 ml suspensi eritrosit diambil, lalu ditambah dengan PBS sebanyak 49.5 ml sehingga diperoleh volume total sebesar 50 ml. Dari suspensi ini sebanyak20 μ l suspensi eritrosit diambil danditambah dengan biru trifan sebanyak 20 μ l dan diaduk dengan mikropipet. Kemudian dilakukan penghitungan sel eritrosit dengan mikroskop pada perbesaran 400x. Kemudian dilakukan pengenceran sehingga diperoleh konsentrasi sel 2 x 108sel/ml. Jumlah sel eritrosit yang hidup harus di atas 95% agar dapat digunakan untuk uji.

Rumus perhitungan jumlah sel eritrosit menggunakan hemasitometer yaitu :

b. Pengaruh ekstrak tulang iradiasi terhadap hemolisis eritrosit Disiapkan sel eritrosit stok dengan konsentrasi 2 x 108 sel/ml dengan jumlah sel hidup lebih besar dari 95 %. Suspensi sel sebanyak 800 μ l dimasukkan ke dalam tabung eppendorf, kemudian ditambahkan ekstrak sebanyak 200 μ l. Untuk masing-masing sampel dilakukan dengan tiga macam konsentrasi dan masing-masing triplo. Disiapkan juga kontrol positif, yaitu 800 μ l eritrosit ditambah dengan

200 μl larutan H2O2 0.5 %. Sedangkan kontrol negatif dibuat dengan 800 μ l eritrosit yang ditambah dengan 200 μ l PBS.

Tabung eppendorf yang berisi sel dan ekstrak tersebut kemudian diinkubasi dalam inkubator bersuhu 370C dan kadar CO2 5%. Pengamatan dimulai dari jam ke-0 sampai jam ke-5 yang dilakukan tiap jam.

N = A x FP x 104sel/ml

Keterangan : N = Jumlah sel eritrosit FP = Faktor pengenceran

(27)

Pengamatan dilakukan dengan mengambil tabung eppendorf dan disentrifugasi dengan kecepatan 2000 rpm selama 5 menit untuk mengendapkan sel darah merah. Sebanyak 100 μ l supernatan diambil dan diplating pada 96-well plate lalu diukur absorbansinya menggunakan Spectrophotometer microplate reader pada panjang gelombang 450 nm. Setiap 1 jam dari jam ke-0 hingga jam ke 5, tabung eppendorf tersebut diambil dan diperlakukan seperti perlakuan tersebut di atas.

c. Perhitungan persentase hemolisis

Nilai absorbansi yang diperoleh dari pengukuran kemudian digunakan untuk menghitung nilai persentase hemolisis eritrosit. Rumus perhitungan persentase hemolisis eritrosit sebagai berikut:

% hemolisis eritrosit = Absorbansi sampel x 100% Absorbansi kontrol positif

d. Analisis statistik

Data yang diperoleh dari pengujian ekstrak tulang ikan pepes iradiasi dibandingkan dengan data dari ekstrak tulang ikan noniradiasi menggunakan analisis pengujian statistik. Analisis statistik yang digunakan adalah ANOVA dengan nilai selang kepercayaan 95%. Apabila terdapat perbedaan yang nyata maka dilanjutkan dengan uji Dunnet.

5. Isolasi Limfosit dan Pengujian Ekstrak Tulang Iradiasi terhadap Limfosit secaraIn Vitro.

a. Isolasi Limfosit (Nurrahmanet al., 1999)

(28)

Pemisahan limfosit awal dilakukan dengan sentrifuse darah dengan kecepatan 1500 rpm selama 10 menit. Darah akan terpisah menjadi tiga bagian, yaitu lapisan plasma, buffycoat, dan eritrosit. Setelah itu, diambil lapisan buffycoat menggunakan mikropipet dan dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse steril yang berisi histopaque. Buffycoat dilewatkan secara hati-hati di atas histopaque melalui dinding tabung (perbandingan buffycoat dan histopaque = 1:1). Dilakukan kembali sentrifuse 2500 rpm selama 30 menit. Diambil lapisan bagian atas dan dicuci dengan penambahan 5 ml larutan media RPMI. Campuran ini kemudian disentrifus 1500 rpm selama 10 menit dan dicuci sebanyak dua kali, sehingga didapatkan sel limfosit. Suspensi sel limfosit kemudian dihitung menggunakan hemasitometer dengan pewarnaan biru tripan dan ditepatkan menjadi 2 x 106sel / ml. Setelah itu ditambahkan serum darah AB sebanyak 10%.

Gambar 4.Hasil pemisahan sel darah manusia

Rumus perhitungan jumlah sel eritrosit menggunakan hemasitometer yaitu :

N = A x FP x 104sel/ml Keterangan :

N = jumlah sel limfosit / ml

A = Jumlah sel hidup dalam 1 kotak FP = Faktor Pengenceran

Lapisanbuffycoat

(29)

b. Pengujian terhadap Limfosit dengan Metode MTT (Meiriana, 2006)

Disiapkan suspensi sel limfosit dengan konsentrasi sel sebesar 2 x 106 sel/ml dan ditambah dengan serum AB sebanyak 10% dari volume suspensi sel. Ekstrak sampel dimasukkan ke dalam well plate

sebanyak 20 l dan ditambahkan dengan suspensi sel limfosit

sebanyak 80 l. Dibuat juga kontrol positif, yaitu LPS dan pokeweed

sebanyak 20l ditambah dengan 80l sel limfosit, sedangkan kontrol

negatif dibuat dengan 20 l larutan RPMI ditambah dengan 80 l sel limfosit. Kultur kemudian diinkubasi pada suhu 370C dan kadar CO2 5% selama 72 jam. Enam jam sebelum masa inkubasi berakhir, kultur sel ditambahkan 10 l larutan MTT 0.5 %. Setelah masa inkubasi berakhir, pada masing-masing sumur kultur sel, ditambahkan dengan

100 l HCL-Isopropanol 0.04 N untuk melarutkan kristal formazan yang terbentuk. Setelah itu dilakukan pengukuran absorbansi pada panjang gelombang 570 nm menggunakan Spectrophotometer microplate reader. Nilai absorbansi yang terbaca bersifat proporsional terhadap jumlah sel yang hidup. Indeks Stimulasi (I.S) dihitung menggunakan persamaan berikut :

IS = Absorbansi sampel Absorbansi kontrol negatif

e. Analisis statistik

(30)

6. Analisis Kapasitas Antioksidan (Kuboet al., 2002)

Analisis kapasitas antioksidan dilakukan dengan menggunakan metode DPPH. Larutan DPPH dibuat dengan melarutkan 30 mg serbuk DPPH ke dalam metanol sebanyak 25 ml. Kemudian diambil sebanyak

400 l larutan DPPH tersebut dan ditambahkan dengan 4 ml bufer asetat dan 7.50 ml metanol. Campuran kemudian divorteks. Setelah itu

ditambahkan 100 l sampel atau larutan standar. Larutan kemudian divorteks dan didiamkan selama 20 menit di ruang gelap. Absorbansi diukur pada panjang gelombang 517 nm. Kontrol negatif yang digunakan adalah metanol, sedangkan kontrol positif yang digunakan adalah asam askorbat dengan konsentrasi 0, 50, 100, 250, 500, dan 1000 ppm Kapasitas antioksidan diperoleh dengan menggunakan perhitungan sebagai berikut:

Kapasitas antioksidan (%) = Absorbansi kontrol negatif–Absorbansi sampel Absorbansi kontrol negatif

7. Pengukuran Kadar Malonaldehida (Seligmanet al., 1977)

Sebanyak 2 ml ekstrak sampel dan kontrol yang akan diukur ditambahkan dengan 2 ml larutan HCl 0.25 N yang mengandung 15% TCA, 0.38% TBA, dan 0.5% BHT. Campuran tersebut kemudian dipanaskan dalam waterbath suhu 80˚C selama 30 menit kemudian didinginkan pada suhu ruang. Setelah dingin, sampel kemudian disentrifuse pada 3000 rpm selama 15 menit. Bagian supernatan dari sampel diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 532 nm. Hasil pengukuran sampel kemudian dibandingkan dengan kurva standar TEP (1,1,3,3 tetraetoksipropana) yang memiliki variasi konsentrasi 0, 25, 50, 75, 100, 125, 150, 175, 200, dan 250 pmol/ml.

(31)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Ekstraksi tulang

Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi adalah aquades sebagai pendekatan terhadap keadaan nyata konsumsi pepes sehari-hari secara umum. Bagian tulang dari ikan pepes iradiasi maupun pepes noniradiasi yang akan diekstrak mengalami proses penghalusan dengan menggunakan mortar dengan tujuan memperluas daya pelarutan sampel. Proses penghacuran tulang iradiasi lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan tulang noniradiasi karena tekstur tulang iradiasi lebih lunak dibandingkan dengan tekstur tulang noniradiasi. Tulang yang diiradiasi kehilangan resistensi mekanis dan menghasilkan tulang yang rapuh karena terjadinya denaturasi pada komponen kolagen (Kubisz, 2007).

Hancuran sampel lalu ditambahkan dengan pelarut aquades dengan perbandingan berat antara tulang dan aquades sebesar 1:2, kemudian disaring menggunakan kain saring. Filtrat yang diperoleh kemudian disentrifuse pada 3500 rpm selama 30 menit dengan tujuan mengendapkan padatan dan lemak yang masih tersisa pada filtrat. Setelah disentrifuse, bagian supernatan sampel dipisahkan dari lemak dan minyak yang berada pada bagian paling atas lalu supernatannya dilewatkan pada kertas saring. Pada tahap akhir, supernatan yang lolos kertas saring kemudian dilewatkan pada membran steril dengan ukuran pori 0.20 μ m.

(32)

Ekstrak yang akan digunakan dalam pengujian terdiri dari tiga jenis pengenceran, yaitu pengenceran 0x (C1), 2x (C2), dan 4x (C3). Pengenceran 0x (C1) adalah ekstrak sampel awal, pengenceran 2x (C2) adalah ekstrak yang diencerkan dengan perbandingan volume ekstrak awal dan air sebesar 1:1, dan pengenceran 4x (C3) adalah ekstrak yang diencerkan dengan perbandingan volume ekstrak awal dan air sebesar 1:3. Pengenceran ini dilakukan untuk mengetahui efek peningkatan ketersediaan air bebas terhadap pengujian, dimana radikal bebas yang terdapat pada sampel dapat menyerang molekul air dan menyebabkan reaksi berantai, serta membentuk senyawa radikal baru yang tentunya akan mempengaruhi pengujian, karena radikal bebas memiliki sifat yang sangat reaktif dan dapat menyerang senyawa lain (Winarsi, 2003).

B. Pengaruh ekstrak tulang iradiasi terhadap hemolisis eritrosit

Eritrosit dipilih karena sel eritrosit menggambarkan model sel yang sederhana. Walaupun tidak cukup mempunyai perlengkapan untuk sintesis protein dan mempunyai sedikit keistimewaan dibandingkan dengan sel-sel lainnya, membran sel ini mempunyai cukup fungsi, seperti transport aktif dan pasif, dan produksi gradien ionik dan elektrik. Pada penelitian ini diteliti ketahanan membran eritrosit terhadap peroksidasi, dimana radikal bebas dibentuk oleh sumber dari luar. Peroksidasi membran eritrosit dapat dipelajari dengan beberapa oksidator, seperti hidrogen peroksida, asam dialurik, xanthine oxidase, dan hidroperoksida organik (Zhu et al., 2002; Miki et al., 1987). Oksidator yang digunakan pada penelitian ini adalah hidrogen peroksida, H2O2 mampu mendegradasi Hb untuk melepaskan ion Fe (Halliwell dan Aruoma, 1991).

Pengaruh ekstrak tulang A terhadap hemolisis sel eritrosit

(33)

nilai absorbansi. Secara umum ekstrak tulang A dengan pengenceran C1 memiliki nilai absorbansi yang lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak dengan pengenceran C2 dan C3, tetapi pada jam ke-3 dan ke-4 absorbansi ekstrak C1 lebih rendah dibandingkan ekstrak C2. Sedangkan absorbansi yang terjadi pada kontrol negatif nilainya paling kecil sampai jam pengamatan ke-3 dan nilainya lebih besar dari ekstrak C3 pada jam k-4 dan jam ke-5. Hemolisis yang terjadi pada kontrol negatif dapat dikatakan sebagai hemolisis spontan, artinya hemolisis yang terjadi secara alami bukan karena pengaruh sampel. Suspensi pada kontrol negatif adalah suspensi antara sel eritrosit dan media PBS. Penggunaan kontrol negatif ini bertujuan untuk mengetahui laju hemolisis dari sel eritrosit tanpa adanya pengaruh dari lingkungan luar karena PBS didesain untuk menciptakan tekanan osmosis yang mirip dengan kondisi di dalam tubuh manusia. PBS ini termasuk jenis balanced salt solution, yaitu larutan kombinasi dari garam-garam yang dapat mempertahankan pH fisiologis dan tekanan osmotik. PBS mengandung bufer fosfat, potasium klorida, dan sodium klorida dengan pH 7.4, pH ini sesuai dengan kondisi optimal untuk kultur sel mamalia (Davis, 1994).

(34)
[image:34.612.149.515.73.289.2]

Gambar 5.Absorbansi akibat pengaruh tulang A dengan tiga perlakuan pengenceran dibandingkan dengan kontrol negatif

Hasil tersebut menunjukkan bahwa terjadinya peningkatan konsentrasi sampel akan memberikan dampak terhadap hemolisis yang lebih tinggi. Hal ini diduga karena jumlah radikal bebas yang terdapat pada C1 lebih besar dibandingkan pada konsetrasi C2 dan C3. Radikal bebas tersebut kemungkinan terbentuk pada proses iradiasi dan selama penyimpanan. Menurut Urbain (1986), pada saat proses iradiasi terjadi peningkatan energi pada partikel-partikel yang menyebabkan terjadinya ionisasi dan eksitasi, proses ini dapat menghasilkan radikal bebas. Selama penyimpanan, radikal bebas ini akan mengalami beberapa kemungkinan, diantaranya adalah reaksi pembentukan radikal baru dan reaksi saling menetralkan antar radikal. Radikal bebas inilah yang menyerang komponen membran sehingga sel pecah dan terjadi hemolisis.

(35)

reaktif seperti OH. Hidroksil radikal banyak merusak protein dan lemak di dalam sel, selain itu juga dapat mendegradasi hemoglobin untuk melepaskan ion Fe (Halliwell dan Aruoma, 1991).

Penggunaan eritrosit sebagai model pada penelitian sudah banyak dilakukan, seperti yang dilakukan oleh Mrowczynska (2001) yang menggunakan eritrosit sebagai model untuk membandingkan dan menghubungkan aktivitas hemolitik terhadap sifat sitotoksik garam empedu, Zhu et al. (2005) yang mengukur pengaruh flavonoid kakao terhadap ketahanan membran eritrosit yang dioksidasi dengan AAPH, Suwalsky (2007) yang mengukur sifat antioksidan tumbuhan Ugni molinae dan pengaruhnya pada eritrosit manusia dalam menanggulangi stress oksidatif yang dipicu dengan HClO, dan Karimi et al. (2008) yang mengukur efek perlindungan eritrosit oleh silimarin. Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan tersebut, kontrol positif yang sering digunakan adalah H2O2dan AAPH.

(36)
[image:36.612.158.514.77.282.2]

Gambar 6.Persentase hemolisis eritrosit akibat pengaruh tulang A pada berbagai perlakuan pengenceran dibandingkan dengan kontrol negatif

Berdasarkan analisis statistik, menggunakan uji ANOVA, tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) pada hemolisis eritrosit antara kontrol negatif dan tiga perlakuan pengenceran (C1, C2, dan C3) akibat pengaruh tulang A. Jadi, antara kontrol negatif dan perlakuan pengenceran 1x, 2x, dan 4x terhadap tulang A tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase hemolisis eritrosit.

Pengaruh ekstrak tulang B terhadap hemolisis sel eritrosit

Ekstrak tulang B adalah ekstrak tulang ikan pepes iradiasi yang diiriadiasi pada tahun 2008 dan diuji pada tahun 2009, sehingga memiliki masa simpan selama satu tahun pada saat diuji. Pengukuran hemolisis eritrosit dilakukan tiap jam selama lima jam pengamatan. Absorbansi yang diperoleh pada pengamatan hemolisis akibat pengaruh tulang B pada konsentrasi C1, C2, C3, dan kontrol negatif tersaji pada Gambar 7. Kontrol negatif yang digunakan pada pembandingan sampel B ini sama dengan kontrol negatif yang digunakan pada sampel A.

(37)
[image:37.612.137.514.158.413.2]

yang lebih sedikit, sehingga kemungkinan terjadi reaksi juga lebihkecil. Akan tetapi pada sampel B terlihat perbedaan nilai absorbansi yang lebih tinggi antara kontrol negatif dan sampel dengan pengenceran C3. Hal ini diduga karena pada pengenceran yang sama sampel A memiliki komponen terlarut yang lebih besar dibandingkan sampel B.

Gambar 7.Absorbansi akibat pengaruh ekstrak tulang B dengan tiga perlakuan pengenceran

Hasil pengamatan menunjukkan nilai absorbansi pada pengenceran C1 selalu lebih tinggi dibandingkan dengan pengenceran C2 dan C3 pada semua jam pengamatan dari jam ke-0 sampai jam ke-5, sedangkan untuk ekstrak pada pengenceran C2 dan C3 terjadi fluktuasi pada jam ke-2, nilai absorbansi ekstrak pada pengenceran C2 lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak dengan pengenceran C3, sedangkan pada jam-jam pengamatan lainnya pengenceran C3 memberikan nilai absorbansi yang lebih kecil dibandingkan dengan pengenceran C2.

(38)

terlalu tinggi. Eritrosit dilengkapi dengan antioksidan yang berupa enzim CuZn-SOD yang dapat mencegah terhimpunnya senyawa oksidan yang berlebihan dan mencegah reaksi berantai lebih lanjut (Christyaningsih, 2003). Oksidasi dari membran eritrosit dapat digunakan sebagai model untuk kerusakan oksidasi biomembran yang dapat dilakukan secarain vitro.

Gambar 8.Persentase hemolisis tulang B pada berbagai perlakuan pengenceran

(39)
[image:39.612.144.510.89.342.2]

Pengaruh ekstrak tulang pengenceran C1 terhadap hemolisis sel eritrosit

Gambar 9. Absorbansi akibat pengaruh ekstrak tulang iradiasi pada pengenceran C1

Pada Gambar 9 disajikan grafik absorbansi pada ekstrak sampel dengan pengenceran C1. Ekstrak tulang A dan tulang B pada pengenceran C1 dibandingkan dengan tulang noniradiasi, kontrol positif, dan kontrol negatif. Kontrol positif adalah suspensi sel eritrosit yang ditambahkan dengan H2O2yang dapat memicu terjadinya hemolisis eritrosit, sedangkan kontrol negatif merupakan suspensi sel eritrosit yang ditambahkan dengan PBS yang dapat mempertahankan tekanan osmosis sel. Kecenderungan terjadinya peningkatan nilai absorbansi terjadi pada semua sampel, akan tetapi masing-masing sampel memiliki kecenderungan yang berbeda pada profil hemolisisnya. Ekstrak tulang A memiliki kecenderungan hemolisis yang fluktuatif dan pada jam pengamatan ke-2 dengan nilai absorbansi lebih besar apabila dibandingkan dengan semua sampel dan kontrol positif. Hal ini diduga karena terjadi reaksi berantai antar radikal sehingga kandungan radikal bebas pada tulang A yang tinggi. Menurut Kubisz (2007), radikal bebas yang disebabkan oleh iradiasi tulang terjebak sangat lama, radikal bebas dihasilkan baik dalam matriks organ maupun kompoenen mineral dalam tulang.

(40)
[image:40.612.146.505.192.406.2]

Hal ini diduga karena umur simpan tulang B lebih pendek dibandingkan tulang A, sehingga senyawa-senyawa radikal yang terbentuk tidak lebih besar dari tulang A. Pada tulang noniradiasi, profil hemolisisnya hampir sama dengan tulang B, akan tetapi nilai absorbansinya tidak sebesar sampel B. Laju hemolisis tulang noniradiasi cenderung mengalami peningkatan yang stabil dari jam ke-0 sampai jam ke-5.

Gambar 10.Persentase hemolisis pada tulang dengan perlakuan pengenceran C1

(41)
[image:41.612.130.507.91.324.2]

Pengaruh ekstrak tulang pengenceran C2 terhadap hemolisis sel eritrosit

Gambar 11.Absorbansi akibat pengaruh ekstrak tulang iradiasi pada pengenceran C2

Pada pengenceran C2, profil hemolisis pada tulang A pada jam-jam awal mengalami peningkatan hemolisis kemudian pada jam ke-2 cenderung stabil. Menurut Dewi (2008), pada pengujian hemolisis eritrosit in vitro terdapat kecenderungan profil hemolisis eritrosit yang fluktuatif pada jam-jam awal pengamatan. Setelah 2 atau 3 jam pengamatan profil hemolisis eritrosit menjadi stabil yang diamati berdasarkan intensitas warna merah yang terbentuk akibat hemolisis. Pada jam-jam awal pengamatan, sel masih beradaptasi dengan kondisi lingkungan. Meskipun kondisi media telah dibuat sedemikian rupa sehingga mirip dengan kondisi di dalam tubuh, akan tetapi kondisi sel berbeda apabila berada di dalam tubuh dengan kultur sel di luar tubuh. Nilai absorbansi pada tulang A paling besar dibandingkan dengan tulang B dan tulang noniradiasi. Tren ini sama dengan yang terjadi pada pengenceran C1.

(42)
[image:42.612.147.491.78.288.2]

Gambar 12.Persentase hemolisis pada pengenceran C2

Pada Gambar 12 dapat dilihat nilai persentase hemolisis pada pengenceran C2, nilai persentase hemolisis tulang noniradiasi sebesar 67,07 %, tulang A sebesar 72,89 %, dan tulang B sebesar 67,67 %. Berdasarkan analisis statistik dengan uji ANOVA, tidak terjadi perbedaan yang nyata (p>0.05) antara persentase hemolisis pada tulang A, tulang B, dan tulang noniradiasi pada pengenceran C2. Jadi, perlakuan pengenceran 2x tidak memberikan pengaruh nyata terhadap persentase hemolisis eritrosit.

[image:42.612.125.492.476.687.2]

Pengaruh ekstrak tulang pengenceran C3 terhadap hemolisis sel eritrosit

(43)
[image:43.612.143.492.292.501.2]

Pada pengenceran C3, tulang A dan tulang B memiliki profil hemolisis yang cenderung stabil, sedangkan tulang noniradiasi memiliki profil hemolisis yang fluktuatif. Pada pengenceran C3 ini terlihat pada jam pengamatan ke-1 sampai jam ke-4 absorbansi tulang noniradiasi lebih besar dibandingkan dengan tulang A dan tulang B. Pada jam ke-0 sampai jam ke-3, nilai absorbansi tulang iradiasi dan tulang noniradiasi lebih tinggi dari kontrol negatif, akan tetapi pada jam ke-4 dan ke-5, absorbansi sampel lebih rendah dari kontrol negatif. Hal ini diduga karena terjadi reaksi yang saling menetralkan antar radikal, sehingga radikal tidak menyebabkan kerusakan yang lebih besar pada membran. Menurut Diehl (1990) radikal bebas yang berkurang dapat disebabkan oleh terjadinya reaksi saling menetralkan antar radikal.

Gambar 14.Persentase hemolisis pada pengenceran C3

(44)

C. Pengaruh ekstrak tulang terhadap proliferasi limfosit

Sel limfosit merupakan sel yang erat hubungannya dengan status imun individu (Erniati, 2007) dan rentan terhadap senyawa asing, sehingga dapat digunakan sebagai model untuk uji ketoksikan pangan. Salah satu uji yang dapat dilakukan adalah uji in vitro dengan kultur sel. Kultur sel secara in vitro memerlukan kondisi lingkungan yang sama dengan keadaan lingkungan dalam tubuh sehingga proses biologis yang terjadi dalam kultur sel dapat berlangsung mendekati keadaan sebenarnya. Pendekatan terhadap kondisi lingkungan tubuh diperoleh dengan aplikasi media pertumbuhan dan fase gas yang sesuai untuk pertumbuhan sel. Media yang tepat untuk pertumbuhan sel limfosit adalah RPMI dengan kombinasi suhu sebesar 370C dan kadar karbondioksida sebesar 5%.

[image:44.612.141.493.319.524.2]

Pengaruh ekstrak tulang A terhadap proliferasi sel limfosit

Gambar 15.Absorbansi akibat pengaruh tulang A dibandingkan dengan tulang noniradiasi

PadaGambar 15 terlihat nilai absorbansi pada tulang A dengan berbagai perlakuan pengenceran dibandingkan dengan absorbansi tulang noniradiasi. Nilai absorbansi hasil pengukuran dengan spectrophotometer microplate reader menyatakan ukuran penyerapan sinar oleh kristal formazan yang terbentuk sebagai hasil konversi MTT dengan adanya enzim suksinat dehidrogenase. Enzim ini dihasilkan dari mitokondria sel hidup, dengan demikian kristal formazan hanya dapat terbentuk oleh sel hidup (Kubota et al., 2003). Hasil penelitian

(45)

menunjukkan nilai absorbansi tulang noniradiasi dan tulang A berada di antara kontrol negatif dan kontrol positif dengan kecenderungan nilai absorbansi semakin menurun pada konsentrasi yang lebih kecil.

[image:45.612.140.492.270.481.2]

Pada Gambar 16 dapat dilihat perbandingan indeks stimulasi proliferasi limfosit antara tulang noniradiasi dengan tulang A. Nilai indeks stimulasi tersebut diperoleh dengan membandingkan absorbansi sampel dengan absorbansi kontrol negatif. Indeks stimulasi tulang noniradiasi secara umum lebih besar dibandingkan dengan indeks stimulasi tulang A pada semua pengenceran. Hasil penelitian menunjukkan tulang A memiliki indeks stimulasi yang lebih besar dibandingkan dengan tulang noniradiasi pada setiap pengenceran.

Gambar 16.Indeks stimulasi proliferasi limfosit akibat pengaruh tulang A dibandingkan dengan tulang noniradiasi

Pada pengenceran C1 nilai indeks stimulasi tulang noniradiasi lebih tinggi dibandingkan dengan nilai indeks stimulasi tulang A, yaitu sebesar 1.50 pada tulang noniradiasi dan sebesar 1.26 pada tulang A. Berdasarkan analisis statistik dengan uji ANOVA, pada pengenceran C1 tidak terjadi perbedaan yang nyata (p>0.05) antara indeks stimulasi pada tulang A, dengan tulang noniradiasi.

Pada pengenceran C2, indeks stimulasi tulang noniradiasi lebih tinggi dibandingkan dengan nilai indeks stimulasi tulang A, yaitu sebesar 1.39 pada tulang noniradiasi dan sebesar 1.16 pada tulang A. Berdasarkan analisis statistik

(46)

dengan uji ANOVA, pada pengenceran C2 tidak terjadi perbedaan yang nyata (p>0.05) antara indeks stimulasi pada tulang A, dengan tulang noniradiasi.

Pada pengenceran C3, indeks stimulasi tulang noniradiasi lebih tinggi dibandingkan dengan nilai indeks stimulasi tulang A, yaitu sebesar 1.31 pada tulang noniradiasi dan sebesar 0.98 pada tulang A. Berdasarkan analisis statistik dengan uji ANOVA, pada pengenceran C3 tidak terjadi perbedaan yang nyata (p>0.05) antara indeks stimulasi pada tulang A, dengan tulang noniradiasi.

[image:46.612.140.491.244.447.2]

Pengaruh ekstrak tulang B terhadap proliferasi sel limfosit

Gambar 17.Absorbansi akibat pengaruh ekstrak tulang B dibandingkan dengan Tulang noniradiasi

Pada Gambar 17 di atas diperlihatkan data absorbansi sampel 2008 dibandingkan dengan tulang noniradiasi, kontrol positif dan kontrol negatif. Nilai absorbansi tulang B pada semua pengenceran lebih kecil dibandingkan dengan tulang noniradiasi dan pada tingkat pengenceran yang lebih tinggi nilai absorbansi semakin turun. Nilai absorbansi yang lebih tinggi berarti terdapat sel limfosit yang lebih banyak. Karena prinsip dari metode ini adalah dengan mewarnai sel limfosit, semakin banyak sel limfosit maka akan semakin banyak sel yang menyerap zat warna, sehingga meningkatkan nilai absorbansi apabila diukur dengan spektrofotometer mikroplate reader.

(47)
[image:47.612.144.493.211.420.2]

Nilai absorbansi yang diperoleh kemudian digunakan untuk menghitung nilai indeks stimulasi proliferasi limfosit yang dapat dilihat pada Gambar 18. Profil dari indeks stimulasi proliferasi limfosit pada tulang B sama dengan profil dari indeks stimulasi proliferasi limfosit pada tulang A, yaitu pada pengenceran yang lebih besar memiliki indeks stimulasi yang lebih rendah. Indeks stimulasi tulang B pada pengenceran C1 sebesar 1.42, pengenceran C2 sebesar 1.23, dan pengenceran C3 sebesar 1.16.

Gambar 18.Indeks stimulasi proliferasi limfosit akibat pengaruh ekstrak tulang B

Indeks stimulasi sampel yang diperoleh pada tulang B lebih kecil dibandingkan dengan tulang noniradiasi pada masing-masing pengenceran dan nilainya lebih besar dari kontrol negatif. Artinya ekstrak tulang B dapat memicu terjadinya proliferasi limfosit akan tetapi kemampuan untuk memicu terjadinya hemolisis tidak lebih besar dari tulang noniradiasi. Hal ini diduga karena radikal bebas yang terdapat pada tulang lebih besar dibandingkan yang terdapat pada tulang noniradiasi, akan tetapi jumlah radikal tersebut belum mampu untuk membuat kerusakan sel, sehingga proliferasi limfosit masih dapat terjadi.

(48)

D. Pengukuran kapasitas antioksidan dengan metode DPPH

DPPH digunakan secara luas untuk menguji kemampuan senyawa untuk bereaksi sebagai penghambat radikal atau donor hidrogen. DPPH akan bereaksi dengan atom hidrogen yang berasal dari suatu antioksidan membentuk DPPH tereduksi (DPPH-H). DPPH tereduksi tidak memiliki absorpsi maksimum pada kisaran gelombang sinar tampak, sedangkan DPPH itu sendiri berwarna ungu. Menurut Benabadji et al. (2004), reaksi yang terjadi adalah pembentukan α,α-diphenyl-β-picrylhidrazine, melalui kemampuan antioksidan untuk menyumbang hidrogen.

[image:48.612.125.518.389.623.2]

Pada Gambar 19 dapat dilihat kapasitas antioksidan dari masing-masing sampel pada berbagai macam pengenceran dibandingkan dengan tulang noniradiasi. Hasil pengukuran kapasitas antioksidan memberikan data yang unik untuk masing-masing sampel pada berbagai perlakuan pengenceran. Hasil pengukuran kapasitas antiokasidan pada konsentrasi C1 berkisar antara 7.98-20.85 %, pada konsentrasi C2 sebesar 10.64-37.23 %, dan pada konsentrasi C3 sebesar 4.79-33.19 %.

Gambar 19.Kapasitas antioksidan ekstrak tulang iradiasi dibandingkan dengan tulang noniradiasi

(49)

ini diduga karena pada proses iradiasi menyebabkan pelunakan jaringan sehingga antioksidan yang terdapat pada rempah-rempah dapat menetralkan radikal yang terbentuk secara optimal, sedangkan pada tulang yang tidak diiradiasi tidak terjadi. Matriks sampel yang diiradiasi akan lunak (Kubisz, 2007), sehingga antioksidan dapat terekstraksi dengan lebih baik dibandingkan sampel yang tidak diiradiasi. Antioksidan yang terdeteksi merupakan antioksidan yang berasal dari tulang dan berasal dari rempah-rempah.

Perlakuan pengenceran C1 pada semua sampel menunjukkan nilai yang lebih kecil dibandingkan pada perlakuan pengenceran C2. Hal ini berkebalikan dengan hasil penelitian dari Rao et al. (2005) yang meneliti pengaruh iradiasi pada chitosan. Menurut Raoet al.(2005), perlakuan iradiasi pada chitosan dengan semakin meningkatnya konsentrasi maka persentase penangkapan radikal oleh DPPH semakin meningkat. Hal ini diduga karena karakteristik dari chitosan dan tulang berbeda dalam hal komponen penyusunnya. Iradiasi pada chitosan membentuk kitooligosakarida dengan bobot molekul yang rendah dan terjadi penurunan viskositas dengan meningkatnya dosis iradiasi. Kitooligosakarida ini dapat menangkap radikal DPPH, artinya dengan meningkatnya dosis maka konsentrasi kitoligosakarida yang terbentuk akan semakin rendah dan dari hasil penelitian tersebut diketahui kapasitas antioksidan semakin tinggi.

E. Pengukuran kadar malonaldehida

(50)

Hasil pengukuran kadar malonaldehida pada konsentrasi C1 berkisar antara 108.5-141.25 pmol/ml, pada konsentrasi C2 berkisar antara 40.5-59.75 pmol/ml, dan pada konsentrasi C3 berkisar antara 10.5-31.5 pmol/ml.Gambar 20 merupakan hasil pengukuran kadar malonaldehida sampel pada tiga tingkat konsentrasi. Tren yang terjadi pada pengukuran kadar malonaldehida adalah dengan meningkatnya tingkat pengenceran maka kadar malonaldehida akan turun.

Gambar 20.Kadar malonaldehida pada ekstrak tulang

Berdasarkan hasil penelitian, dapat dilihat bahwa kisaran kadar malonaldehida tertinggi terdapat pada tulang B, yaitu 31.5 pmol/ml pada konsentrasi C3 dan 141.25 pmol/ml pada konsentrasi C1, sedangkan kisaran kadar malonaldehida terendah terdapat pada tulang A dengan kadar malonaldehida sebesar 10.5 pmol/ml pada konsentrasi C3 dan 108.5 pada konsentrasi C1.

Berdasarkan analisis statistik menggunakan uji ANOVA, tidak terjadi perbedaan yang nyata (p>0.05) antara kadar malonaldehida tulang A dengan tulang noniradiasi maupun tulang B dengan tulang noniradiasi.

Data mengenai pengukuran kadar malonaldehida pada produk ikan siap saji yang mengalami proses γ-iradiasi pada dosis tinggi sangat terbatas. Namun

(51)

malonaldehida (mg/kg) pada sampel ikan Sea Bream yang mengalami perlakuan γ-iradiasi pada dosis rendah yaitu 1 kGy dan 3 kGy. Penelitian ini dilakukan oleh Chouliaraet al. (2005), menunjukkan bahwa selama masa simpan selama 21 hari, kadar malonaldehida sampel meningkat. Pada awal masa penyimpanan, rata-rata sampel memiliki kadar malonaldehida sebesar 0.5-0.6 mg/kg sampel dan di akhir masa penyimpanan tulang noniradiasi memiliki konsentrasi sebesar 4.9 mg/kg, sampel iradiasi 1 kGy memiliki konsentrasi sebesar 5.2 mg/kg, dan sampel iradiasi 3 kGy memiliki konsentrasi sebesar 6.8 mg/kg (Chouliaraet al., 2005).

Rao et al. (2005) menyatakan bahwa sampel kabab dan bacon yang mengalami perlakuan non iradiasi memilliki bilangan TBA yang lebih rendah dari sampel kabab danbacon yang diiradiasi. Berdasarkan pernyataan tersebut secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa reaksi peroksidasi lemak yang terjadi pada bahan yang diiradiasi lebih besar dibandingkan dengan bahan yang tidak diiradiasi. Hal ini sesuai dengan tulang B apabila

Gambar

Gambar 5. Absorbansi akibat pengaruh tulang A dengan tiga perlakuanpengenceran dibandingkan dengan kontrol negatif
Gambar 6. Persentase hemolisis eritrosit akibat pengaruh tulang A pada berbagaiperlakuan pengenceran dibandingkan dengan kontrol negatif
Gambar 7. Absorbansi akibat pengaruh ekstrak tulang B dengan tiga
Gambar 9. Absorbansi akibat pengaruh ekstrak tulang iradiasi pada
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tugas akhir ini merupakan penelitian terkait tingkatan partisipasi warga Baluwarti dalam melestarikan bangunan dan struktur cagar budaya di kawasan tempat tinggalnya,

Hasil penelitian yang dilakukan Novius dan Sabeni (2010) yang berjudul ‛‛Perbedaan Persepsi Intensitas Moral Mahasiswa Akuntansi Dalam Proses Pembuatan Keputusan

Dalam hal pembelian Unit Penyertaan REKSA DANA BNP PARIBAS EKUITASdilakukan oleh Pemegang Unit Penyertaan melalui media elektronik, maka Formulir Pemesanan Pembelian Unit

Berdasarkan data pada Tabel 5diperoleh informasi bahwa perlakuan substitusi tepung labu kuning pada kue bolu mangkok terhadappenilaian organoleptik rasa tertinggi diperoleh

Jerman memiliki fakta empiris atas keberhasilan konsep ekonominya, fakta empiris tersebut sulit ditemukan dalam penerapan sistem ekonomi di Indonesia selama ini, karena moralitas

Identifikasi 12 isolat IB lapangan pada inokulum yang menyebabkan lesi embrio pada pasase lima atau lebih, pada pemeriksaan secara AGP yang memperlihatkan garis presipitasi

Untuk dia&amp;nostik DM# dian&#34;urkan pemeriksaan &amp;lukosa den&amp;an 2ara en7imatik den&amp;an bahan plasma +ena# namun bila kondisi tidak memun&amp;kinkan#

Dengan merujuk kepada catatan perawat yang menjalankan terapi ruqyah, kita akan dapat memahami dengan lebih mendalam mengenai perkara yang tidak dapat dilihat