i
SKRIPSI
PENGARUH EKSTRAK RENDANG IRADIASI DOSIS TINGGI TERHADAP KAPASITAS ANTIOKSIDAN, PROLIFERASI LIMFOSIT
DAN HEMOLISIS ERITROSIT MANUSIA
Oleh:
KAMALITA PERTIWI F24052300
2009
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ii
PENGARUH EKSTRAK RENDANG IRADIASI DOSIS TINGGI TERHADAP KAPASITAS ANTIOKSIDAN, PROLIFERASI LIMFOSIT
DAN HEMOLISIS ERITROSIT MANUSIA
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh
KAMALITA PERTIWI F24052300
2009
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
iii
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PENGARUH EKSTRAK RENDANG IRADIASI DOSIS TINGGI TERHADAP KAPASITAS ANTIOKSIDAN, PROLIFERASI LIMFOSIT
DAN HEMOLISIS ERITROSIT MANUSIA
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh
KAMALITA PERTIWI F24052300
Dilahirkan pada tanggal 21 Agustus 1987 di Jakarta
Tanggal lulus: 10 Agustus 2009
Menyetujui, Bogor, 20 Agustus 2009
Prof. Dr. Ir. Fransiska R. Zakaria, M.Sc. Dr. Zubaidah Irawati Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Ketua Departemen ITP
iv
Kamalita Pertiwi. F24052300. Effect of High-Dose Irradiated Rendang Extract on Antioxidant Capacity, Human Lymphocytes Proliferation, and Erythrocytes Hemolysis. Under guidance of Prof. Dr. Ir. Fransiska Rungkat-Zakaria, M.Sc. and Dr. Zubaidah Irawati. 2009.
ABSTRACT
Until today, the safety of irradiated food is still questioned and recognized as one of big obstacles in the development of commercial food irradiation. People are worried that food treated with irradiation would have radioactivity because free radical and its complex derivatives were formed in the irradiation process. Therefore, this study was needed to assay the effect of irradiated food on biological system to understand the possible effect to human body. This study used blood from human peripheral blood system.
This study was aimed to help determining the safety of irradiated food by conducting a toxicity assay using lymphocytes and erythrocytes, and to determine antioxidant capacity of high-dose irradiated rendang. To understand the effect of high-dose irradiated rendang on lymphocytes proliferation and erythrocytes hemolysis, this study was conducted in 6 stages. These stages were extraction and preparation, culture medium preparation, lymphocytes isolation, lymphocytes proliferation assay, erythrocytes hemolysis assay, antioxidant capacity assay, and malonaldehyde assay.
The samples being tested were irradiated rendang from PATIR BATAN dated 11th November 2006, DIPA 14th June 2007, No Label 14th June 2007 and non-irradiated control rendang. The results of proliferation assay showed that in extract without dilution, stimulation index of control rendang was 1,255; 11th November 2006 was 1,452; DIPA 14th June 2007 was 1,742; and No Label 14th June 2007 was 2,078. In twice and four times dilution, the trend was decreasing with increasing dilution, except for control sample. Both of irradiated and non-irradiated samples were not significantly different in 95% and 99% confidence intervals. This result indicated that irradiated samples did neither inhibit nor induce proliferation.
In hemolysis assay, control sample without dilution gave percentage of hemolysis of 109,627%, while two irradiated samples gave lower percentages: 11th November 2006 of 100,971%, DIPA 14th June 2007 of 99,016% and No Label 14th June 2007 gave the highest percentage, which was 116,551%.
Generally, hemolysis rate of all samples showed increasing rate with increasing concentration or inversely correlated with dilution. No significant difference was observed in the confidence interval of both 95% and 99%. This result indicated that samples being tested neither caused an increase in erythrocytes hemolysis rate nor inhibition in erythrocytes hemolysis significantly. Antioxidant capacity assay of irradiated rendang showed that in samples without dilution, control had antioxidant capacity of 26,26%, 11th November 2006 of 11,74%; DIPA 14th June 2007 of 22,19%; and No label 14th June 2007 of 21,48%. In lower extract concentration, the increasing dilution showed higher antioxidant capacity, except for control sample. Antioxidant capacity equivalent to vitamin C was also counted. The results for control sample, 11th November 2006,
v
DIPA 14th June 2007, and No Label 14th June 2007 were 306,55 ppm; 128,36 ppm; 256,55 ppm; and 247,91 ppm, respectively.
Malonaldehyde assay measured total malonaldehyde content in rendang extract. In samples without dilution, control had malonaldehyde content as much as 173,92 pmol/ml, 11th November 2006 as much as 131,20 pmol/ml, No Label 14th June 2007 as much as 119, 92 pmol/ml, and No Label 14th June 2007 as much as 153,12 pmol/ml. In higher dilution, all samples showed lower malonaldehyde content. All of the samples were not statistically different in 95% confidence interval. This result showed that malonaldehyde content in rendang weren’t influenced by irradiation.
vi
Kamalita Pertiwi. F24052300. Pengaruh Ekstrak Rendang Iradiasi Dosis Tinggi terhadap Kapasitas Antioksidan, Proliferasi Limfosit dan Hemolisis Eritrosit Manusia. Di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Fransiska Rungkat-Zakaria, M.Sc. dan Dr. Zubaidah Irawati. 2009.
RINGKASAN
Hingga saat ini pertanyaan mengenai keamanan pangan iradiasi untuk konsumsi manusia masih menjadi perdebatan besar dan hal ini disadari merupakan hambatan besar dalam penggunaan proses iradiasi pangan secara komersial. Masyarakat mengkhawatirkan pangan yang telah mengalami proses iradiasi untuk memperpanjang umur simpannya akan memiliki sifat radioaktif karena adanya pembentukan radikal bebas dan molekul-molekul turunannya yang bersifat kompleks. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu pengujian terhadap pengaruh pangan iradiasi terhadap sistem biologis tubuh untuk memberikan gambaran mengenai bagaimana pangan iradiasi akan memberikan efek bagi tubuh manusia. Penelitian ini menggunakan darah yang berasal dari sistem perifer manusia.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan keamanan rendang iradiasi dengan melakukan uji toksisitas pada sel limfosit dan eritrosit serta mengetahui adanya aktivitas antioksidan pada ekstrak rendang iradiasi.
Penelitian untuk mengetahui pengaruh ekstrak rendang iradiasi dosis tinggi terhadap proliferasi limfosit dan hemolisis eritrosit ini dilakukan dalam 7 tahap meliputi ekstraksi dan persiapan ekstrak, persiapan media kultur sel, isolasi sel limfosit, pengujian ekstrak terhadap proliferasi limfosit manusia, pengujian ekstrak terhadap hemolisis eritrosit, pengujian kapasitas antioksidan menggunakan spektrofotometer, dan pengujian kandungan MDA dalam pangan iradiasi.
Sampel yang diuji adalah sampel rendang iradiasi dari PATIR BATAN 11 November 2006, sampel rendang iradiasi DIPA 14 Juni 2007, sampel rendang iradiasi No label 14 Juni 2007 dan sampel kontrol non-iradiasi sebagai pembanding. Hasil pengujian pengaruh ekstrak terhadap sel limfosit manusia menunjukkan bahwa pada pengenceran 1x (tanpa pengenceran) menunjukkan hasil sebagai berikut: sampel rendang kontrol memiliki nilai indeks stimulasi (I.S.) sebesar 1,255; sampel rendang 11 November 2006 memiliki I.S sebesar 1,452; sampel DIPA 14 Juni 2007 sebesar 1,742; dan sampel rendang No Label 14 Juni 2007 sebesar 2,078. Pada pengenceran 2x dan 4x, nilai indeks stimulasi pada berbagai sampel umumnya menurun kecuali pada sampel kontrol. Sampel rendang iradiasi maupun sampel rendang kontrol menunjukkan nilai indeks stimulasi yang tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% maupun 99%. Hal ini menyatakan bahwa sampel rendang iradiasi tidak menghambat proliferasi, tidak menurunkan jumlah sel limfosit maupun menaikkan secara signifikan dan tidak menginduksi terjadinya proliferasi limfosit.
Pada pengujian pengaruh ekstrak sampel iradiasi maupun non-iradiasi pada pengenceran 1x terhadap hemolisis eritrosit menunjukkan hasil sebagai berikut: pada pengenceran 1x, persen hemolisis pada jam ke-5 pada sampel kontrol adalah 109,627%, pada sampel rendang iradiasi 11 November 2006 sebesar 100,971%,
vii
pada sampel DIPA 14 Juni 2007 sebesar 99,016% dan sampel No Label 14 Juni 2007 memiliki nilai persen hemolisis sebesar 116,551% yaitu yang tertinggi.
Sementara pada pengamatan laju hemolisis yang diwakili oleh absorbansi tiap sampel umumnya menunjukkan bahwa laju hemolisis berbanding lurus dengan konsentrasi sampel atau berbanding terbalik dengan pengenceran. Semakin diencerkan, umumnya eritrosit akan memiliki laju hemolisis yang semakin rendah. Analisis statistik yang dilakukan terhadap pengaruh ekstrak sampel terhadap hemolisis eritrosit manusia memperlihatkan bahwa tidak ada perbedaan nyata pada selang kepercayaan 95% maupun 99%. Hal ini menyatakan bahwa penambahan sampel yang diuji tidak menyebabkan kenaikan hemolisis maupun penghambatan hemolisis secara nyata pada eritrosit.
Pengukuran kapasitas antioksidan ekstrak rendang iradiasi menunjukkan hasil sebagai berikut: tanpa pengenceran, kontrol rendang memiliki kapasitas antioksidan sebesar 26,26%; sampel 11 November 2006 sebesar 11,74%; sampel DIPA 14 Juni 2007 sebesar 22,19%; dan sampel No label 14 Juni 2007 memiliki nilai sebesar 21,48%. Sementara pada pengenceran 2x dan pengenceran 4x, kecenderungannya naik kecuali pada sampel kontrol rendang. Kapasitas antioksidan setara vitamin C yang dimiliki oleh sampel kontrol, sampel 11 Nov 2006, sampel DIPA 14 Juni 2007 dan sampel no label 14 Juni 2007 tanpa pengenceran berturut-turut adalah 306,55 ppm; 128,36 ppm; 256,55 ppm; dan 247,91 ppm.
Pengukuran kadar malonaldehida pada ekstrak tanpa pengenceran menunjukkan hasil sebagai berikut sampel rendang kontrol memiliki konsentrasi sebesar 173,92 pmol/ml, sampel 11 November 2006 sebesar 131,20 pmol/ml, sampel No Label 14 Juni 2007 sebesar 119, 92 pmol/ml, dan sampel No Label 14 Juni 2007 sebesar 153,12 pmol/ml. Pada pengenceran 2x dan 4x, sampel menunjukkan kecenderungan menurun, termasuk kontrol rendang. Sampel rendang iradiasi maupun sampel rendang kontrol menunjukkan konsentrasi malonaldehida yang tidak berbeda secara nyata pada selang kepercayaan 95%. Hal ini menyatakan bahwa konsentrasi malonaldehida sampel rendang tidak dipengaruhi oleh iradiasi.
viii
BIODATA PENULIS
Penulis merupakan putri pertama pasangan Dalle Daniel Sulekale dan Sutini, yang dilahirkan di Jakarta, 21 Agustus 1987. Penulis memiliki dua adik kembar bernama Malindo Wardana dan Pangambe Wardana yang lahir dua tahun kemudian. Penulis menempuh pendidikan formal di SD Pohon Kemuliaan (1993-1999), SLTP Strada Budi Luhur Bekasi (1999-2002), SMA Negeri 1 Bekasi (2002-2005) dan melalui jalur USMI, penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian IPB dengan minor Manajemen Fungsional (2005-2009). Penulis melakukan penelitian tugas akhir mengenai pangan iradiasi di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Fransiska R. Zakaria, M.Sc. dan Dr. Zubaidah Irawati.
Organisasi kemahasiswaan di kampus yang aktif diikuti penulis adalah Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan IPB (HIMITEPA), Food Chat
Club, Keluarga Mahasiswa Katolik IPB (KEMAKI), dan IAAS LC IPB. Penulis
juga berpartisipasi dalam berbagai konferensi dan seminar ilmiah, yaitu dalam the 5th ILSI ACFNS di Cebu, Filipina, November 2008, SEAFAST International
Conference di Jakarta, Oktober 2008, ISSAAS International Congress, Bangkok,
Thailand, Februari 2009 dan International Indonesian Students Conference di IIUM, Kuala Lumpur, Malaysia, Mei 2008.
Prestasi yang pernah diraih oleh penulis diantaranya adalah juara 1 3rd
National Scientific Paper Competition on Agriculture 2008, juara 2 6th National
Scientific Paper Competition FCC Himitepa IPB 2007, best presenter pada 8th National Student Conference 2008, mahasiswa berprestasi bidang ekstrakurikuler
IPB 2008 dan 2009, peringkat 3 mahasiswa berprestasi tingkat Departemen ITP 2009 dan juara 3 IFTSA Developing Solutions for Developing Countries
Competition di Anaheim, Amerika Serikat, Juni 2009.
Di waktu luangnya, penulis juga bekerja sebagai asisten praktikum Teknologi Pengolahan Pangan di Departemen ITP IPB, sebagai penerjemah
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala rahmat dan penyertaanNya dalam hidup penulis termasuk dalam menyelesaikan penelitian dan skripsi sehingga skripsi yang berjudul “Pengaruh Ekstrak Rendang Iradiasi terhadap Kapasitas Antioksidan, Proliferasi Limfosit dan Hemolisis Eritrosit Manusia” ini dapat penulis selesaikan dengan baik.
Skripsi ini merupakan laporan hasil penelitian yang dilakukan penulis di laboratorium Departemen ITP IPB mulai bulan Februari 2008 hingga April 2009. Penelitian ini didukung oleh dana dari Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN). Skripsi ini disusun sebagai syarat kelulusan di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fateta, Institut Pertanian Bogor.
Penulis ingin mengucapkan terima kasih atas segala bantuan, doa, dan dukungan yang diberikan selama masa kuliah, penelitian dan penulisan skripsi kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Fransiska Rungkat-Zakaria, MSc. sebagai dosen pembimbing akademik dan pembimbing I yang tanpa lelah memberikan bimbingan dan dukungan beliau kepada penulis selama studi dan pengerjaan tugas akhir. 2. Dr. Zubaidah Irawati sebagai pembimbing II yang telah memberikan
bimbingan dan bantuan selama penyelesaian tugas akhir.
3. Dr. Fahim M. Taqi, STP, DEA atas kesediaan menjadi dosen penguji dan atas kritik dan saran yang sangat berharga bagi penulis.
4. Badan Tenaga Nuklir Nasional yang telah memberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam penelitian mengenai pangan iradiasi.
5. Papa, Mama, Alin dan Abe atas kasih sayang, dukungan, doa, dan semangat yang tak henti-hentinya mengalir. Inilah finish pertama Lita. 6. Ibu Mizue Hara, Mr. Yasuo Hara, Ibu Mien, Mbak Rosa, dan St. Patrick’s
Society atas semua pembelajaran, semangat dan bantuan yang diberikan
selama penulis menjadi penerima Goodwill Leadership Scholarship. 7. Kallista, Kenchi, dan Khoirul Umam. Terima kasih atas kerjasama yang
x
8. Galih Nugroho, Ari Try Purbayanto, Catherine Haryasyah dan Riza Aris Apriady. Terima kasih telah menjadi sahabat dan teman seperjalanan yang baik. Mari tetap berbagi semangat, dukungan dan doa. Mari jadikan Indonesia lebih baik karena kita!
9. Sahabat-sahabatku di Himitepa: Fahmi N., Hestiana, Pratiwi, Aji, M. Subkhi, Wahyu P., Icha, Umam, Galih, Riza, Ari, Cath, Chacha, Adi woko (thanks untuk sharing statistiknya), Juanda, Nanda, Fera, Priyanka, Mellisa, Widi, Tito, Rina. Terima kasih atas segala sharing dan kerjasamanya.
10. Dita dan Kak Tuko. Terima kasih telah menjadi rekan satu tim yang baik. Terima kasih telah berbagi pengalaman dan nasihat.
11. Saudara-saudara senasib, sepenanggungan dan seperjuangan di ITP 42. Dengan cara kalian masing-masing, kalian telah memberi penulis banyak pelajaran berharga. Semoga tali silaturahmi kita tetap terjaga.
12. Teman-teman satu bimbingan: Mbak Novi, Kak Agnes, Kak Meiko, Ko Hans, Kak Ofa, Kak Wardi, Kallista, Kenchi, Anto, Rijali, Husna, Kenny. 13. Ananda-ers: Ci Ica, Maria, Rina, Debi, Agnes, Steffi, Pesta, Hila, Eleven,
Devi, Devina, Yessica, Tetty. Terima kasih telah meramaikan kosan dan membuat hari-hari penulis ceria.
14. Semua dosen dan staf di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan atas segala ilmu, wawasan dan dukungan kepada penulis selama menuntut ilmu di ITP, terutama Bu Heni, Pak Pur, Bu Ratih, Bu Wini, Bu Lilis, Pak Nugraha, Pak Feri, Pak Arif, Bu Endang, Bu Nuri dan Bu Dian.
15. Semua laboran ITP, petugas perpustakaan PAU, PITP dan LSI, staf TU Fateta, terutama Pak Wachid, Pak Rojak, Pak Sidik, Pak Adi dan Bu Novi. Terima kasih atas bantuan dan keramahannya.
16. Teman-teman Goodwillers: Ami, Endah, Vandra, Rifa, Rifi, Naily, Shafeeg, Yogie, Januar, Anto, Linda, Odi, Feri, dkk. We are the future
leaders. Terima kasih untuk sharing, dukungan dan kebersamaannya. In Goodwill, it always feels like home.
17. Tiyu, Fera, Umam, Beki, Wahyu: Terima kasih untuk hadiah Collins
xi
18. Sahabat-sahabat di pendamping: Dessy, Mariagnes, Sisi, Siena, Budi, Ko Herry, Icha, Gebol, Kodel, Adi, Lenny, Anton, Rina, Renta, Silver, Kak Anton, Kak Manto, Kak Dyo, Romo Dri. Mari tetap saling mendoakan. 19. Semua sponsor yang telah memungkinkan penulis mengikuti konferensi
dan lomba selama studi: Dirjen Dikti Depdiknas, PT Nutrifood, PT Antam, Tbk, PT Indofood (Pak Indrayana), Pak Ruslan, PT Ajinomoto (Pak Ozy), dan KJRI Los Angeles.
20. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dan mendukung penulis mewujudkan salah satu mimpi besarnya.
Penulis menyadari bahwa karya ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis terbuka terhadap kritik dan saran yang membangun. Akhir kata, penulis mengharapkan agar karya skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan berguna bagi kemajuan pangan dan bangsa Indonesia.
Bogor, Agustus 2009
12
DAFTAR ISI
BIODATA PENULIS ……….. i
KATA PENGANTAR ………. ii
DAFTAR ISI ………. v
DAFTAR TABEL ……… viii
DAFTAR GAMBAR ………... ix DAFTAR LAMPIRAN ………... xi I. PENDAHULUAN ………. 1 A. LATAR BELAKANG ……… 1 B. PERMASALAHAN ………... 2 C. TUJUAN PENELITIAN ……….. 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ………... 4
A. RENDANG ………... 4
B. TEKNIK IRADIASI PANGAN ………... 5
C. RENDANG IRADIASI ……… 9
D. RADIKAL BEBAS ………... 13
E. EFEK IRADIASI PADA KOMPONEN PANGAN ……… 16
F. KEAMANAN PANGAN ………. 18 G. TOKSIKOLOGI IRADIASI ………. 18 H. OKSIDASI LEMAK ………. 21 I. MALONALDEHIDA ………... 22 J. KULTUR SEL ………... 23 K. DARAH ………. 25 L. LIMFOSIT ………. 26 a. Limfosit T (sel T)……… 27 b. Limfosit B (sel B) ……….. 27
M. PROLIFERASI SEL LIMFOSIT ……….. 28
N. MTT ASSAY ………... 29
O. ERITROSIT ……….. 32
P. HEMOLISIS ERITROSIT ………... 33
13
R. KOMPONEN BIOAKTIF DALAM BUMBU RENDANG ………. 34
III. METODOLOGI ….………... 38
A. BAHAN DAN ALAT ………... 38
B. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN ………. 39
C. METODE PENELITIAN……….. 39
1. Ekstraksi ………. 39
2. Persiapan Media Kultur Sel ……… 40
3. Pengujian Ekstrak Rendang Iradiasi terhadap Proliferasi Limfosit Manusia ………. 40
3.1 Isolasi limfosit darah tepi ……….. 40
3.2 Serum darah AB ……… 41
3.3 Pengujian aktivitas proliferasi limfosit manusia menggunakan Spectrophotometer microplate reader (metode MTT)……… 42
4. Pengujian Ekstrak Rendang Iradiasi terhadap Hemolisis Eritrosit Manusia………. 43
4.1 Isolasi eritrosit darah tepi manusia………... 43
4.2 Pengujian pengaruh ekstrak terhadap hemolisis eritrosit manusia menggunakan Spectrophotometer microplate reader ……….... 44
5. Pengujian Kapasitas Antioksidan……… 45
6. Pengujian Kadar Malonaldehida ……… 45
7. Analisis Statistik……….. 46
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ………... 47
A. EKSTRAKSI ………... 47
B. PENGARUH EKSTRAK TERHADAP PROLIFERASI LIMFOSIT MANUSIA……….. 49
C. PENGARUH EKSTRAK TERHADAP HEMOLISIS ERITROSIT MANUSIA ……… 56
1. Pengaruh ekstrak sampel iradiasi terhadap hemolisis eritrosit………. 57
14
2. Perbandingan pengaruh ekstrak sampel iradiasi terhadap hemolisis
eritrosit ………... 62
D. KAPASITAS ANTIOKSIDAN TERSISA EKSTRAK RENDANG IRADIASI……….. 66
E. KADAR MALONALDEHIDA EKSTRAK RENDANG IRADIASI……….. 71
1. Pengukuran konsentrasi malonaldehida dengan metode spektrofotometri ………. 71
2. Pengukuran kadar malonaldehida sampel iradiasi…………... 74
V. KESIMPULAN DAN SARAN………... 80
A. KESIMPULAN ………. 80
B. SARAN……….. 83
15
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Bumbu yang dipakai dalam pembuatan rendang yang akan
diiradiasi………... 10
Tabel 2. Komposisi elemen seluler darah manusia (Ganong, 1990 ; Shier et al, 2002*)………. 26
Tabel 3. Perbandingan ekstrak sampel dan pelarut (akuades) ……….. 49
Tabel 4. Hasil pengukuran larutan standar asam askorbat ……… 67
16
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Spektrum elektromagnetik ……….. 6 Gambar 2. Diagram alir aplikasi radiasi pengion dari sumber radionuklida
kobalt-60 pada dosis 45 kGy terhadap pangan olahan siap saji (produk berbasis daging) (Irawati, 2009) ……... 11
Gambar 3. Tahapan peroksidasi lipida (Hatherill et al., 1911) ……… 14 Gambar 4. Reaksi pembentukan kompleks MDA-TBA (Anonim, 2009a) .. 18 Gambar 5. Reaksi reduksi pewarna MTT oleh enzim suksinat dehidrogenase
(The University of Queensland, 2009)………… 30
Gambar 6. Sampel rendang iradiasi dalam kemasan ………... 47 Gambar 7. Pemisahan darah manusia setelah disentrifugasi……… 50 Gambar 8. Pemisahan limfosit dengan ficoll (Histopaque) ………. 50 Gambar 9. Grafik perbandingan Indeks Stimulasi proliferasi limfosit……. 52 Gambar 10. Absorbansi eritrosit tiap waktu pengamatan akibat penambahan
ekstrak 11 Nov 06 berbagai pengenceran……….. 59
Gambar 11. Absorbansi eritrosit tiap waktu pengamatan akibat penambahan
ekstrak DIPA 14 Jun 07 berbagai pengenceran…. 59
Gambar 12. Absorbansi eritrosit tiap waktu pengamatan akibat penambahan ekstrak No Label 14 Jun 07 berbagai pengenceran 61 Gambar 13. Absorbansi eritrosit tiap waktu pengamatan akibat penambahan
ekstrak kontrol rendang berbagai pengenceran….. 62 Gambar 14. Hubungan absorbansi dan waktu pengamatan pada pengaruh ekstrak
sampel 1x terhadap hemolisis eritrosit……… 63
Gambar 15. Persentase hemolisis eritrosit pada berbagai jenis sampel rendang……… 64 Gambar 16. Kurva standar asam askorbat ……….. 67 Gambar 17. Grafik perbandingan kapasitas antioksidan sampel iradiasi dan
non-iradiasi ………. 68
Gambar 18. Grafik perbandingan kapasitas antioksidan sampel iradiasi setara
17
Gambar 19. Kurva standar larutan TEP………... 74 Gambar 20. Grafik perbandingan konsentrasi malonaldehida antara sampel
18
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Kandungan medium RPMI-1640 ………. 94 Lampiran 2. Kandungan medium PBS (Harrison dan Rae, 1997) ………... 96 Lampiran 3. Proses Produksi Pangan Iradiasi yang shelf-stable (IAEA, 1995)
………... 97
Lampiran 4. Tabel data hasil pembacaan absorbansi uji proliferasi limfosit 99 Lampiran 5. Contoh cara perhitungan untuk mendapatkan Indeks Stimulasi
(I.S.) proliferasi limfosit ……….. 100
Lampiran 6. Tabel data hasil pembacaan absorbansi uji hemolisis eritrosit pengenceran 1x ………. 101 Lampiran 7. Tabel data hasil pembacaan absorbansi uji hemolisis eritrosit
pengenceran 2x ………. 102 Lampiran 8. Tabel data hasil pembacaan absorbansi uji hemolisis eritrosit
pengenceran 4x ………. 103 Lampiran 9. Contoh cara perhitungan % hemolisis ……….. 104 Lampiran 10. Tabel data hasil pembacaan absorbansi pengukuran kapasitas
antioksidan (metode DPPH)………. 105 Lampiran 11. Contoh perhitungan untuk mendapatkan % kapasitas antioksidan
tersisa………. 106
Lampiran 12. Tabel data hasil pembacaan absorbansi pengukuran kadar malonaldehida………... 107 Lampiran 13. Contoh perhitungan untuk mendapatkan kadar malonaldehida 108 Lampiran 14. Hasil analisis statistik uji proliferasi limfosit semua sampel pada
selang kepercayaan 95% ……….. 109
Lampiran 15. Hasil analisis statistik uji proliferasi limfosit semua sampel pada
selang kepercayaan 99% ……….. 112
Lampiran 16. Hasil analisis statistik uji proliferasi limfosit sampel 11 Nov 06 pada berbagai pengenceran pada selang kepercayaan 95% 113 Lampiran 17. Hasil analisis statistik uji proliferasi limfosit sampel DIPA 14 Juni
07 pada berbagai pengenceran pada selang kepercayaan 95%
19
Lampiran 18. Hasil analisis statistik uji proliferasi limfosit sampel No Label 14 Juni 07 pada berbagai pengenceran pada selang kepercayaan 95%
………. 115
Lampiran 19. Hasil analisis statistik uji proliferasi limfosit sampel No Label 14 Juni 07 pada berbagai pengenceran pada selang kepercayaan 99%
………. 117
Lampiran 20. Hasil analisis statistik uji proliferasi limfosit sampel Kontrol Rendang pada berbagai pengenceran pada selang kepercayaan 95%
………. 118
Lampiran 21. Hasil analisis statistik uji hemolisis eritrosit sampel 11 Nov 06 pada
jam ke-5 pada selang kepercayaan 95% ………. 119
Lampiran 22. Hasil analisis statistik uji hemolisis eritrosit sampel DIPA 14 Juni 2007 pada jam ke-5 pada selang kepercayaan 95% ……. 120 Lampiran 23. Hasil analisis statistik uji hemolisis eritrosit sampel No Label 14
Juni 2007 pada jam ke-5 pada selang kepercayaan 95% … 121 Lampiran 24. Hasil analisis statistik uji hemolisis eritrosit sampel kontrol pada
jam ke-5 pada selang kepercayaan 95% ……….. 122 Lampiran 25. Hasil analisis statistik persen hemolisis eritrosit semua sampel pada
jam ke-5 pada selang kepercayaan 95% ……….. 123
Lampiran 26. Hasil analisis statistik uji kapasitas antioksidan DPPH semua sampel pada pengenceran 1x dan selang kepercayaan 95% … 124 Lampiran 27. Hasil analisis statistik uji kapasitas antioksidan DPPH semua
sampel pada pengenceran 1x dan selang kepercayaan 99% … 126 Lampiran 28. Hasil analisis statistik pengukuran kadar MDA semua sampel pada
pengenceran 1x dan selang kepercayaan 95% ………… 128 Lampiran 29. Hasil analisis statistik pengukuran kadar MDA sampel 11 Nov
2006 pada berbagai pengenceran dan selang kepercayaan 95%
………. 129
Lampiran 30. Hasil analisis statistik pengukuran kadar MDA sampel 11 Nov 2006 pada berbagai pengenceran dan selang kepercayaan 99%
20
Lampiran 31. Hasil analisis statistik pengukuran kadar MDA sampel DIPA 14 Juni 2007 pada berbagai pengenceran dan selang kepercayaan 95%
………. 133
Lampiran 32. Hasil analisis statistik pengukuran kadar MDA sampel DIPA 14 Juni 2007 pada berbagai pengenceran dan selang kepercayaan 99%
………. 135
Lampiran 33. Hasil analisis statistik pengukuran kadar MDA sampel No Label 14 Juni 2007 pada berbagai pengenceran dan selang kepercayaan 95%
………. 137
Lampiran 34. Hasil analisis statistik pengukuran kadar MDA sampel No Label 14 Juni 2007 pada berbagai pengenceran dan selang kepercayaan 99%
………. 139
21
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Teknologi iradiasi merupakan teknologi yang tidak dapat dikatakan sangat baru karena penelitian mengenai iradiasi untuk pangan telah dilakukan sejak tahun 1950. Pada awalnya, iradiasi pangan dosis tinggi telah digunakan untuk mensterilisasi makanan bagi para astronot yang tinggal di luar angkasa. Penelitian di bidang iradiasi kemudian diarahkan untuk mendapatkan kondisi optimal penyinaran yang mencakup dosis iradiasi, kematangan produk, pengemasan, kondisi atmosfer dan suhu selama iradiasi untuk digunakan dalam penghambatan pertunasan kentang dan bawang, disinfestasi serangga, pasteurisasi, dan sterilisasi.
Minat akan pemanfaatan iradiasi semakin meningkat karena banyaknya kehilangan produk pangan yang terjadi akibat infestasi, kontaminasi dan pencemaran. Kepedulian terhadap penyakit yang ditularkan melalui pangan
(food-borne disease) dan persyaratan perdagangan internasional produk
pangan yang ketat juga semakin meningkat. Iradiasi pangan telah menunjukkan keuntungan praktis dalam semua area tersebut ketika diintegrasikan dalam sebuah sistem yang telah dibuat untuk penanganan dan distribusi yang aman. Peraturan dan larangan yang semakin ketat mengenai penggunaan sejumlah fumigan kimia untuk serangga dan kontrol mikroba pada pangan menyebabkan iradiasi menjadi sebuah alternatif teknologi yang efektif untuk melindungi pangan dari kerusakan akibat serangga dan sebagai perlakuan karantina untuk produk pangan segar.
Pada tahun 1980, Joint FAO/IAEA/WHO Expert Committee on the
Wholesomeness of Irradiated Food (JECFI) menyimpulkan bahwa iradiasi
terhadap komoditas pangan sampai dosis rata-rata 10 kGy tidak memberikan bahaya toksikologi dan tidak ada masalah dalam kandungan nutrisi maupun mikrobiologis (WHO, 1981). Sementara itu, iradiasi dosis tinggi (di atas 10 kGy) digunakan untuk menghasilkan daging steril, daging unggas, hasil laut, makanan siap hidang dan makanan steril. Hingga saat ini lebih dari 40 negara telah menyetujui penggunaan iradiasi untuk lebih dari 60 jenis pangan dan
22
lebih dari 30 negara telah melakukan iradiasi pangan secara komersial. Di Indonesia pangan yang telah diiradiasi adalah rempah-rempah dan makanan siap saji seperti ikan pepes, rendang, sup dan arem-arem.
Studi yang berkaitan dengan aspek keamanan pangan pada bermacam-macam komoditas bahan pangan segar, kering dan olahan yang diiradiasi dengan dosis diatas 10 kGy telah dilakukan secara intensif oleh negara-negara yang bergabung di dalam Joint FAO/IAEA/WHO Study Group on High-Dose
Irradiation. Studi tersebut menyimpulkan bahwa iradiasi dosis tinggi pada
bahan pangan dinyatakan aman sebagaimana halnya proses sterilisasi termal yang berlangsung sampai saat ini (WHO, 1999). Berdasarkan hal tersebut di Indonesia telah dikembangkan iradiasi pangan olahan siap saji berbasis resep tradisional dosis tinggi 45 kGy. Akan tetapi, data pendukungnya masih sangat terbatas, sehingga masih diperlukan kajian teknis untuk produk tersebut.
B. PERMASALAHAN
Hingga saat ini, keamanan pangan iradiasi untuk konsumsi manusia masih menjadi perdebatan besar dan hal ini disadari merupakan hambatan besar dalam penggunaan proses iradiasi pangan secara komersial. Meskipun produk pangan siap saji (RTE/ready-to-eat meal) yang diiradiasi dosis tinggi telah dicantumkan di dalam Codex Alimentarius Commision Rev 1. 2003, namun Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI masih mensyaratkan pengujian keamanan lebih lanjut pada jenis pangan olahan siap saji. Legalisasi mutlak diperlukan agar jenis makanan tersebut layak diproduksi dan dapat dikonsumsi secara aman oleh masyarakat pengguna akhir. Masyarakat pengguna akhir antara lain pasien yang memiliki daya imun rendah dan memerlukan asupan gizi melalui makanan yang berkualitas, masyarakat yang berada di daerah terisolasi baik karena tugas (off-shore) maupun korban bencana alam. Dalam industri pangan, proses ini akan menekan biaya fasilitas pendingin selama distribusi dan penyimpanan. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu pengujian terhadap pengaruh pangan iradiasi, yaitu rendang, terhadap sistem biologis tubuh untuk memberikan gambaran
23
mengenai bagaimana pangan iradiasi akan memberikan efek bagi tubuh manusia. Maka, penelitian dilakukan untuk mengetahui pengaruh rendang iradiasi terhadap proliferasi sel limfosit dan hemolisis eritrosit secara in vitro.
C. TUJUAN PENELITIAN
Salah satu faktor yang mempengaruhi kecepatan adopsi teknologi iradiasi adalah pemahaman publik dan penerimaan proses. Penelitian ini bertujuan untuk meninjau keamanan dan menambah data mengenai keamanan rendang iradiasi dengan melakukan uji toksisitas pada sel limfosit dan eritrosit, mengetahui adanya aktivitas antioksidan pada ekstrak rendang iradiasi, serta mengukur kadar malonaldehida ekstrak sampel rendang iradiasi. Pada akhirnya, penelitian ini diharapkan mampu berkontribusi pada peningkatan pemahaman dan penerimaan publik mengenai pangan iradiasi dan berguna bagi pihak terkait.
24
II. TINJAUAN PUSTAKA
S. RENDANG
Rendang adalah masakan yang berasal dari suku Minangkabau tetapi saat ini umum disajikan di seluruh Indonesia. Rendang merupakan salah satu makanan khas dari kebudayaan Minangkabau yang disajikan pada saat-saat penting seperti upacara atau untuk menghormati tamu. Rendang dibuat dari daging sapi (atau dapat juga dari daging ayam, kerbau dan bebek, atau nangka dan ubi kayu) yang dimasak dengan santan dan rempah-rempah selama beberapa jam sampai airnya habis dan daging menyerap bumbu rempah-rempah. Proses memasak berubah dari merebus menjadi menggoreng saat airnya menguap. Rempah-rempah yang digunakan yaitu jahe, kunyit, lengkuas, daun jeruk, dan cabai. Rendang ayam atau bebek juga biasa ditambahkan dengan asam jawa dan waktu pemasakannya tidak selama rendang daging sapi (Anonim, 2009b).
Ada dua jenis rendang yaitu rendang kering dan basah. Rendang kering dapat disimpan selama 3-4 bulan dan biasanya dimasak dalam acara-acara penting untuk menjamu tamu. Rendang basah, atau biasa disebut kalio, dapat ditemui di rumah makan Minangkabau tanpa dibekukan, dan masih dapat dikonsumsi dalam jangka waktu sebulan (Lipoeto et al., 2001). Rendang sering disajikan dengan nasi di Indonesia, tapi di Malaysia, pangan ini juga disajikan dengan ketupat dan lemang.
Rendang, empal dan semur yang dimasak secara tradisional diolah dengan cara mencampurkan daging potong dengan bumbu atau campuran rempah-rempah, kemudian dimasak sampai matang dengan santan untuk rendang atau dengan minyak kelapa sawit untuk empal. Bumbu yang biasanya dipakai dalam memasak rendang adalah cabai, bawang putih, bawang merah, dan rempah-rempah lainnya. Karena masing-masing produk memiliki kadar air yang tinggi, yaitu 60-70%, produk-produk tersebut cenderung untuk cepat rusak pada suhu ruang (Irawati et al., 2000).
25
T. TEKNIK IRADIASI PANGAN
Menemukan cara untuk menghambat perusakan pangan dan mengendalikan serangan mikroorganisme telah menjadi fokus manusia selama berabad-abad. Cara-cara pengendalian seperti pembekuan atau pasteurisasi telah menjadi teknik yang biasa digunakan, dan diharapkan suatu saat teknik iradiasi pangan dapat dikembangkan dan diimplementasikan di masyarakat.
Beberapa bakteri patogen merupakan penyebab penyakit yang ditimbulkan oleh bahan pangan (foodborne illness) dan menyebabkan 1800 kematian dan 60.000 orang sakit setiap tahunnya di Amerika Serikat (Mead et
al., 1999). Sumber kontaminasi bakteri patogen asal pangan berasal dari
produk yang tidak diolah dan disimpan dengan baik. Iradiasi pangan mendapatkan perhatian karena meningkatnya insiden penyakit asal pangan dalam beberapa dekade terakhir, sebab proses iradiasi secara efisien dapat mengurangi populasi patogen seperti Salmonella, Listeria, Campylobacter, E.
coli O157:H7, dan lainnya, seperti virus, parasit dan serangga. Proses ini telah
disetujui oleh World Health Organization (WHO), Food and Agriculture
Organization (FAO), Codex Alimentarius Commission, US Food and Drug Administration (FDA), US Department of Agriculture (USDA), American Medical Association, American Dietetic Association, American Institute of Food Technologists, dan otoritas kesehatan di 50 negara (Diehl, 1995). Daftar
produk yang diijinkan untuk diiradiasi berbeda-beda di tiap negara, tetapi seringnya terbatas hanya pada rempah-rempah, herba, bumbu, beberapa buah segar dan kering, sayuran, makanan laut, daging sapi giling, dan daging unggas (Marchioni, 2008).
Jenis sumber radiasi yang digunakan terbatas pada radiasi yang berasal dari sumber radionuklida yang menghasilkan sinar gamma berenergi tinggi, sinar X dan elektron yang diakselerasi. Sumber-sumber radiasi ini juga dikenal dengan radiasi pengion karena energi yang dikeluarkan cukup tinggi untuk mendislokasi elektron dari atom dan molekul dan mengubahnya
26
menjadi partikel bermuatan listrik yang disebut ion. Sinar gamma dan sinar X, seperti gelombang radio, gelombang mikro, ultraviolet dan spektrum sinar tampak, merupakan bagian dari spektrum elektromagnetik dan ada dalam daerah gelombang pendek, berenergi tinggi yang memiliki kekuatan berpenetrasi yang paling besar. Letak sinar gamma dan sinar X pada spektrum elektromagnetik diperlihatkan di gambar 1.
Gambar 1. Spektrum elektromagnetik
Sinar gamma dan sinar X memiliki sifat yang sama dan efek yang sama pada bahan, perbedaan utamanya hanya pada sumber. Sinar X dengan energi yang bervariasi dihasilkan dari mesin. Sinar gamma dengan energi yang spesifik dihasilkan dari disintegrasi spontan dari radionuklida. Radionuklida yang ada secara alami dan buatan manusia, yang dikenal dengan nama isotop radiaoktif atau radioisotop, menghasilkan radiasi saat bahan-bahan ini secara spontan kembali ke keadaan stabil. Waktu yang dibutuhkan oleh sebuah radionuklida untuk mencapai setengah level radioaktivitas yang ada di awal disebut waktu paruh, dan spesifik untuk tiap radionuklida dari elemen tertentu. Becquerel (Bq) merupakan unit radioaktivitas dan setara dengan satu disintegrasi per detik (ICGFI, 1999).
Radiasi pengion merupakan energi yang ditransmisikan melalui udara dalam bentuk gelombang elektromagnetik atau sinar berkas elektron. Iradiasi
27
pangan melibatkan penggunaan sinar gamma yang dihasilkan oleh radionuklida, baik itu kobalt-60 [1.17 dan 1.33 MeV (1 MeV = 1.6 × 10−13 J)] atau sesium-137 (0.66 MeV), sinar berkas elektron yang dihasilkan dari sumber mesin listrik yang dioperasikan pada atau di bawah tingkat energi 10 MeV atau sinar X yang dihasilkan dari tumbukan berkas elektron (tingkat energi 5 MeV atau di bawahnya) pada sebuah target logam yang memiliki densitas elektronik yang tinggi (WHO, 1999) Dosis iradiasi diukur dengan unit gray (Gy) atau kilogray (kGy). Satu gray setara dengan penyerapan 1 J energi dalam 1 kg bahan pangan.
Sementara itu, menurut ICGFI (1999), hanya sumber radiasi tertentu yang dapat digunakan dalam iradiasi pangan. Sumber-sumber tersebut diantaranya adalah radionuklida kobalt-60 (Co-60) atau sesium-137 (Cs-137); mesin sinar X yang memiliki energi maksimum 5 juta elektron volt (MeV) (satu elektron volt adalah jumlah energi yang diperoleh oleh sebuah elektron ketika diakselerasi dengan daya sebesar satu volt dalam keadaan vakum); atau akselerator elektron yang memiliki energi maksimum 10 MeV. Energi dari sumber-sumber radiasi ini terlalu rendah untuk dapat menginduksi radioaktivitas pada bahan apapun, termasuk pangan.
Radioisotop yang dipakai dalam penyinaran rendang iradiasi adalah kobalt-60. Radioisotop ini memiliki aktivitas spesifik 1,1 x 103 Ci/g dan waktu paruh 5,23 tahun. Seperti radioisotop sesium-137, radioisotop ini memancarkan sinar beta dan gamma.
Ada tiga aplikasi dan kategori dosis yang biasa digunakan: 1) iradiasi dosis rendah (sampai 1 kGy), dengan tujuan untuk menunda kematangan, menghambat pertunasan, disinfetasi serangga, dan inaktivasi parasit; 2) iradiasi dosis sedang (1-10 kGy) dengan tujuan untuk mengurangi jumlah mikroba pencemar, mengurangi atau mengeliminasi patogen yang tidak membentuk spora, misalnya mikroorganisme penyebab penyakit; 3) iradiasi dosis tinggi (di atas 10 kGy) yang bertujuan untuk mengurangi jumlah mikroorganisme sampai mencapai keadaan steril (ICGFI, 1999). Dosis di atas 10 kGy dibutuhkan untuk sterilisasi pangan yang siap makan (ready-to-eat
28
mempertahankan penyimpanan jangka lama tanpa refrigerasi (WHO, 1999), misalnya pangan untuk rumah sakit, pangan untuk pasien dengan kekebalan tubuh rendah, astronot, tentara, pendaki gunung, atau orang-orang yang memiliki hobi berkemah (Marchioni, 2008).
Proses pendinginan merupakan proses yang dianggap mahal khususnya di bagian tropis dan subtropis dunia. Perlakuan kimia relatif lebih murah dan efektif, tetapi perlakuan ini meninggalkan residu, dan banyak negara telah melarang penggunaannya karena alasan-alasan kesehatan. Oleh karena itu, iradiasi dapat menjadi alternatif teknologi yang lebih baik (Miller, 2005).
Banyak pangan, khususnya buah-buahan dan sayuran segar, cukup mendapatkan perlakuan dosis rendah tanpa mengalami penurunan kualitas. Bagaimanapun, beberapa pangan, seperti daging ternak, unggas, dan beberapa jenis hasil laut perlu mendapatkan dosis sedang (radurisasi) sampai tinggi (radapertisasi), jika ada persyaratan tertentu dalam kualitas. Sterilitas komersial, yang didefinisikan sebagai tidak terdapatnya bakteri, khamir, dan kapang hidup, dapat dicapai dengan dosis antara 25-45 kGy. Enzim autolisis yang ada pada semua pangan mentah memiliki sifat resisten terhadap dosis radiasi ini dan harus diinaktivasi dengan perlakuan panas sedang (misalnya blansir pada suhu 70°C) jika ingin dicapai stabilitas masa simpan dalam jangka panjang tanpa refrigerasi. Untuk mencegah off-flavor, oksigen harus dikeluarkan dengan cara pengemasan vakum dalam kaleng logam atau kantong fleksibel yang dilaminasi (laminated flexible pouch). Kemudian, proses iradiasi akan dilakukan pada suhu -20° - (-40°) C (Diehl, 1990).
Beberapa negara telah sukses menghasilkan pangan iradiasi dosis tinggi. Salah satunya adalah Ceko. Pangan iradiasi dengan dosis tinggi yang telah diproduksi adalah kari ayam, daging babi beku, ayam goreng dan ayam panggang dikemas vakum dengan dosis 35-65 kGy. Pangan tersebut diiradiasi dengan menggunakan elektron yang diakselerasi (Placek et al., 2004) Sebelumnya, pada awal penggunaannya, iradiasi pengion telah digunakan untuk menghasilkan pangan bagi astronot NASA dengan dosis iradiasi tinggi mulai tahun 1995.
29
U. RENDANG IRADIASI
Beberapa produsen pada skala rumah tangga maupun industri telah menunjukkan minat mengenai kemungkinan penggunaan iradiasi untuk memperpanjang umur simpan produk pangan seperti rendang. Sebuah studi yang dilakukan di sebuah pusat penelitian mengindikasikan bahwa rendang ikan mas yang diiradiasi pada 7,5 kGy dapat disimpan lebih dari 15 hari pada suhu ruang (Suswati, 1987). Iradiasi pada dosis yang lebih tinggi memiliki efek nyata pada sifat sensori produk rendang tersebut, karena rendang tersebut tidak dikemas vakum dan diiradiasi pada suhu ruang. Kombinasi perlakuan antara iradiasi dosis sterilisasi dengan kemasan vakum pada suhu rendah untuk menghasilkan pangan yang memiliki umur simpan stabil telah sukses dikembangkan oleh beberapa peneliti (IAEA, 1995).
Prosedur dasar untuk mempersiapkan pangan radapertisasi (iradiasi sterilisasi) adalah sebagai berikut (IAEA, 1995):
1. Proses termal: Untuk masa penyimpanan yang diperpanjang, enzim proteolitik harus diinaktivasi, yang dilakukan dengan cara memanaskan makanan sampai suhu internalnya di atas 75°C selama sedikitnya 10 menit.
2. Pengemasan vakum: Keadaan vakum dibutuhkan karena oksigen dapat menyebabkan kerusakan karena radiasi.
3. Pembekuan: Produk harus dibekukan sedikitnya mencapai suhu -30°C.
4. Iradiasi: Pangan yang dikemas diiradiasi pada keadaan beku sampai mencapai dosis minimum 25-45 kGy (tergantung pada produknya).
Rendang iradiasi yang menjadi sampel dalam penelitian ini diproduksi oleh Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi Badan Tenaga Nuklir Nasional (PATIR BATAN). Daging yang dibuat menjadi rendang dibeli dari pasar lokal. Jumlah daging yang digunakan untuk membuat rendang adalah 20 bagian/kg. Bahan pengemas yang digunakan untuk mengemas rendang adalah aluminium foil berlaminasi PET 12µ/LDPE, dengan adhesive
2µ/Al-30
foil, 7µ/LDPE, dan 50µ /LLDPE sebagai pengemas bagian luar. Ukuran masing-masing kantong pengemas adalah 21 × 17 cm2.
Bumbu yang dipakai dalam pembuatan rendang yang diiradiasi dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Bumbu yang dipakai dalam pembuatan rendang yang diiradiasi
Bumbu Jumlah
(g/kg daging)
Cabe merah 100
Bawang merah 100
Bawang putih 16
Daun sereh 3 helai
Daun kunyit 1 helai
Daun jeruk 6 helai
Asam kandis 1 buah
Garam 10
Lengkuas 35
Jahe 75
Santan kelapa 1,5 liter
Rendang dibuat dengan cara memotong-motong daging sapi menjadi berbentuk kubus-kubus kecil (20 kubus/kg), dicuci menggunakan air keran, kemudian dicampur dengan bumbu-bumbu seperti yang dicantumkan pada tabel 1 dan direndam selama 2 jam. Setelah direndam dengan bumbu, daging tersebut ditempatkan dalam wajan dan dimasak selama 20 menit sampai airnya habis. Santan dan asam kandis ditambahkan ke dalam campuran tersebut kemudian direbus kembali selama 20 menit. Setelah dimasak, daging diambil dan campuran bumbu tanpa rendang direbus kembali selama 30 menit dalam wajan sampai campuran bumbu mengental dan berwarna coklat. Daging yang telah masak kemudian ditaruh kembali dalam wajan dan ditumis selama 2 jam. Rendang kemudian dibiarkan turun suhunya menjadi suhu ruang sebelum dikemas vakum dalam kantong berlaminasi. Dua bagian
31
daging dimasukkan dalam tiap kantong dan disimpan dalam freezer semalam pada suhu -18°C (Irawati et al., 2000).
Pangan olahan siap saji berbasis daging sapi diiradiasi dengan dosis tinggi yaitu 45 kGy yang dilakukan di irradiator IRKA dengan kapasitas sumber 195 kCi pada laju dosis 5,2 kGy/jam. Dosimeter untuk kalibrasi menggunakan FW-60 film Radiochromic dan red Perspex. Kotak styrofoam dengan ukuran yang sama dipakai sebagai wadah seperti yang digunakan untuk iradiasi sup dan snack, berisi CO2 padat 10-15 kg untuk sekali proses
iradiasi.
Pada tahap pra-iradiasi, masing-masing bahan diolah ke dalam bentuk produk siap santap, termasuk tahap pemanasan guna mengaktivasi enzim autolitik, dilanjutkan dengan pengemasan, yaitu menggunakan kantung laminasi tersebut dengan teknik vakum untuk mengurangi oksidasi lemak. Iradiasi pangan siap saji dilakukan dengan suhu proses sekitar -50°C dengan cara menggunakan CO2 padat (-79°C) yang diletakkan di dalam kotak styrofoam berisi pangan siap saji. Teknik radiasi tersebut ditujukan untuk
mengeliminasi spora bakteri Clostridium botulinum dan bakteri pembentuk spora lain seperti Bacillus spp. yang bersifat patogen, tanpa menurunkan kualitas produk akhir. Diagram alir aplikasi radiasi pengion dari sumber radionuklida kobalt-60 pada dosis 45 kGy pada pangan olahan siap saji (produk berbasis ikan, daging sapi dan unggas) disajikan pada gambar 1.
32
Gambar 2. Diagram alir aplikasi radiasi pengion dari sumber radionuklida kobalt- 60 pada dosis 45 kGy terhadap pangan olahan siap saji (produk
berbasis daging) (Irawati, 2009).
Berdasarkan studi Irawati et al. (2000), hasil pengukuran kadar air, protein, lemak dan pH rendang iradiasi yang disimpan sampai dengan 18 bulan pada suhu ruang dapat dilihat pada tabel 2.
- Bahan baku yang digunakan: daging sapi
- Bumbu - Air
Tahap pembuatan pangan olahan sesuai resep masing-masing
Masing-masing dimasukkan dalam kondisi panas ke dalam kantong laminasi PET/Al-foil/LLDPE (@ kemasan 300g) kemudian divakum 80%
Dibekukan pada suhu -18°C selama 48 jam
Kotak styrofam + CO2 padat
Diiradiasi dengan dosis 45 kGy
Dikondisikan sampai sisa CO2 padat habis
kemudian produk dipindahkan dan disimpan pada suhu 28-30°C
33
Tabel 2. Hasil pengukuran kadar air, protein, lemak dan pH rendang iradiasi yang disimpan sampai dengan 18 bulan pada suhu ruang
Waktu penyimpanan (bulan) Kadar air (%) Kadar protein (%) Kadar lemak (%) pH 0 59,23 16,35 27,15 6,50 6 57,20 16,20 27,00 5,70 12 56,70 16,13 26,85 5,35 18 55,55 15,93 26,50 5,30 V. RADIKAL BEBAS
Radikal bebas adalah spesies kimia yang mengandung satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Definisi tersebut dapat secara luas diartikan dan tidak menunjukkan secara spesifik mengenai letak elektron yang tidak berpasangan. Definisi demikian lebih disukai sebab kebanyakan ion logam transisi dapat juga diklasifikasikan sebagai radikal bebas sehingga hubungan erat antara oksigen dan ion logam reaktif lebih mudah dimengerti (Gutteridge, 1995).
Baik anion superoksida dan radikal hidroksi merupakan radikal bebas yang memiliki potensi bereaksi dengan makromolekul biologis dan kemudian memicu kerusakan jaringan. Hidrogen peroksida (H2O2) itu sendiri merupakan
agen pengoksidasi yang lemah, tetapi dengan adanya ion logam transisi seperti besi, anion superoksida mengubah ferri menjadi ferro, yang kemudian dapat bereaksi dengan H2O2 untuk menghasilkan hidroksi radikal yang lebih reaktif.
Reaksi berantai radikal bebas pada sistem hidup adalah peroksidasi lipida yang diperantarai oleh radikal bebas oksigen dan dipercaya merupakan penyebab penting perusakan membran sel dan kerusakan sel (Yoshikawa et
al., 1997).
Menurut Morello et al. (2002), pembentukan dan reaksi radikal sangat berkaitan. Skema umum dari autoksidasi lipida – inisiasi, propagasi dan terminasi – menyediakan sebuah kerangka reaksi radikal pada umumnya.
34
Inisiasi : pembentukan sumber primer radikal biasanya terjadi akibat pembelahan homolitik (homolytic fission), foto-eksitasi dan reaksi redoks yang dibantu ion logam transisi.
Propagasi: reaksi radikal-molekul menghasilkan produk reaksi terkarakterisasi. Reaksi ini meliputi abstraksi, substitusi, adisi dan fragmentasi.
Terminasi: Reaksi radikal-radikal akan saling menetralkan. Reaksi meliputi penggabungan dan disproporsionasi.
Saat ini, telah banyak diketahui berbagai peran radikal bebas in vivo. Beberapa merupakan peran negatif dan lainnya adalah peran positif. Telah diketahui bahwa radikal superoksida anion memiliki peranan penting dalam fagositosis. Radikal bebas juga memiliki peranan penting dalam transduksi sinyal dan menginduksi apoptosis yang memicu kematian sel terprogram. Keterlibatan radikal bebas sering ditunjukkan dalam oksidasi enzimatis asam-asam lemak misalnya oleh lipoksigenase. Salah satu karakteristik reaksi radikal bebas adalah situs serangan radikal seringnya tidak bersifat selektif tetapi acak. Semakin reaktif suatu radikal, maka ia menjadi semakin tidak selektif. Sebagai contoh, radikal hidroksi menyerang hampir semua molekul secara acak. Di sisi lain, radikal peroksi lebih tidak reaktif dan menyerang molekul secara lebih selektif. Radikal bebas menyerang lipida, gula, protein dan DNA untuk menginduksi oksidasi dengan mekanisme berantai yang menyebabkan kerusakan membran, modifikasi protein, deaktivasi enzim, dan kerusakan DNA. Kerusakan-kerusakan tersebut pada akhirnya akan menyebabkan berbagai penyakit, kanker, dan penuaan (Niki, 1997).
Lipida, asam nukleat, enzim dan protein merupakan molekul target penting dari kerusakan biologis yang disebabkan oleh radikal bebas oksigen. Khususnya, asam lemak tidak jenuh yang berlokasi di bagian lipofilik pada membran sel cenderung diserang oleh radikal oksigen yang menghasilkan peroksida lemak melalui sebuah reaksi berantai dari peroksidasi lipida (Yoshikawa et al., 1997). Tahap-tahap dalam peroksidasi lipida dapat dilihat pada gambar 3.
35
Gambar 3. Tahapan peroksidasi lipida (Hatherill et al., 1911)
Protein dan penyusunnya rentan terhadap serangan OH• yang dihasilkan dari H2O2 atau alkoksi lipida dan radikal peroksi sebagai konsekuensi
pembentukan radikal intermediet peroksidasi lipida. Salah satunya adalah lisin, yang dapat dimodifikasi oleh produk stabil dari hasil peroksidasi lipida seperti malonaldehida atau 4-hidroksinonenal (Evans, 1990).
Menurut Supari (1996), membran plasma merupakan tempat utama reaksi radikal bebas, karena memiliki struktur yang terdiri dari asam lemak tidak jenuh yang sangat mudah teroksidasi (lipid peroksidasi). Rusaknya asam lemak tidak jenuh pada membran plasma akan mengganggu permeabilitas membran dan radikal bebas semakin mudah masuk ke dalam sel dan mempengaruhi atau bereaksi dengan organel yang terdapat di dalam sel. Misalnya merusak lisosom, merusak inti sel, mengakibatkan kerusakan DNA sehingga menimbulkan mutagenesis. Hal inilah yang mendasari patogenesis kanker. Radikal bebas juga merusak karbohidrat di dalam sel, sehingga merusak reseptor. Perusakan asam lemak tidak jenuh akan membentuk
36
aldehida (malonaldehida) dan hidroksinonenal, yang mengakibatkan terjadinya ikatan silang (cross linkage) pada lipida, protein, fosfolipida dan asam nukleat.
W. EFEK IRADIASI PADA KOMPONEN PANGAN
Iradiasi pada bahan apapun dapat menghasilkan deposisi energi pada bahan yang diiradiasi. Energi yang terdeposisi ini dapat menyebabkan reaksi kimia yang ditunjukkan oleh pembacaan pada dosimeter. Jika bahan yang diiradiasi merupakan pangan, perubahan kimia dalam pangan tersebut dapat diperkirakan kejadiannya akan terus meningkat berbanding lurus dengan naiknya dosis iradiasi (Diehl, 1995). Perubahan kimia yang diinduksi proses radiasi merupakan bagian yang penting dalam mengevaluasi keamanan konsumsi pangan iradiasi, karena perubahan-perubahan ini mampu menyebabkan radiolisis komponen penyusun bahan pangan.
Radiolisis air menghasilkan •OH, e
-aq dan •H yang merupakan spesies
reaktif serta hidrogen dan hidrogen peroksida yang merupakan produk akhir yang stabil. Hidrogen dan hidrogen peroksida dihasilkan dalam jumlah kecil, meskipun pangan diiradiasi dengan dosis tinggi. Pembentukan hidrogen peroksida, yang diketahui merupakan agen pengoksidasi, dianggap signifikan dalam keamanan pangan iradiasi, meskipun sebenarnya tidak begitu signifikan dibandingkan dengan pembentukan produk intermediet yang sangat reaktif. Radikal hidroksil merupakan agen pengoksidasi yang kuat, elektron terhidrasi merupakan agen pereduksi yang kuat, sementara atom hidrogen adalah agen pereduksi yang kurang efektif. Karena semua bahan pangan mengandung senyawa yang dapat dioksidasi maupun direduksi, reaksi-reaksi reduksi maupun oksidasi terhadap bahan pangan mungkin saja terjadi (Diehl, 1995).
Dengan keberadaan air, karbohidrat biasanya diserang oleh radikal •OH, sementara elektron terlarut dan atom H hanya berperan kecil. Radikal •OH memutus ikatan hydrogen C-H dan membentuk air. Bergantung pada posisi molekuler C=O yang dibentuk melalui disproporsionasi atau dehidrasi,
37
produk akhirnya dapat berupa asam, keton, atau aldehida. Sebagai contoh, produk radiolitik utama yang dihasilkan dari pati jagung yang diiradiasi adalah asam format, asetaldehida, formaldehida, maltosa, aseton, metanol, juga malonaldehida (Diehl, 1995).
Protein juga menjadi molekul target serangan radikal bebas. Sebagai contoh, semua residu asam amino protein merupakan target serangan radikal hidroksi yang diproduksi oleh radiasi pengion, meski beberapa residu dihasilkan karena sebab lain. Radikal protein dibentuk oleh sebuah serangan radikal yang menyebabkan pemotongan rantai polipeptida, ikatan silang (crosslinking), oksidasi dan modifikasi asam amino. Perubahan konformasional memicu meningkatnya kerentanan terhadap proteolisis dan denaturasi panas juga kehilangan fungsi biologis (Niki, 1997).
Bagian lemak dari pangan didominasi oleh trigliserida. Dengan adanya oksigen pada saat iradiasi, autooksidasi dipercepat dengan mekanisme yang sama seperti autooksidasi akibat cahaya atau keberadaan logam. Jika udara tidak dikeluarkan dari kemasan, maka peroksida dapat mencapai nilai tinggi. Akan tetapi hal ini tidak berlaku pada pangan yang terdiri dari hanya sedikit bagian lipida. Beberapa penelitian pada iradiasi daging menunjukkan bahwa protein atau kemungkinan produk hasil interaksi antara karbohidrat dan protein memberikan efek antioksidan yang meningkat dengan semakin tingginya dosis iradiasi, sehingga dapat melindungi lipida dari perubahan oksidatif (Diehl, 1995).
Beberapa penelitian lain pada iradiasi daging mentah menunjukkan bahwa setelah proses iradiasi, nilai peroksida dan kadar malonaldehida produk daging iradiasi lebih tinggi dibandingkan produk sejenis yang tidak diiradiasi. Menurut Ahn dan Jo (1999a), radiasi pengion menghasilkan radikal hidroksi dan dapat meningkatkan laju oksidasi lipida. Ketika molekul-molekul menyerap energi ionisasi, maka akan menjadi sangat reaktif dan membentuk ion atau radikal bebas. Ion dan radikal bebas ini kemudian akan bereaksi dan membentuk produk radiolitik stabil. Senyawa volatil yang menyebabkan off-odor pada daging iradiasi dihasilkan akibat iradiasi pada
38
molekul protein dan karbohidrat dan bukan merupakan hasil dari oksidasi lipida.
X. KEAMANAN PANGAN
Dalam situasi praktis, yang menjadi faktor kritis bukanlah toksisitas intrinsik dari suatu senyawa kimia, tetapi lebih kepada resiko bahaya yang berhubungan dengan penggunaan senyawa tersebut. Dalam ilmu pangan dan gizi, sangat penting untuk memahami konsep resiko dan keamanan relatif, bahaya, dan toksisitas yang dihubungkan dengan konsumsi pangan. Resiko merupakan adanya kemungkinan (probabilitas) bahwa suatu senyawa akan menghasilkan bahaya dalam kondisi tertentu yang spesifik. Keamanan absolut, di sisi lain, merupakan jaminan bahwa kerusakan atau cedera akibat penggunaan suatu senyawa adalah tidak mungkin terjadi. Bagaimanapun, keamanan mutlak tidak mungkin dapat dicapai, sehingga, konsep keamanan relatif pun diperkenalkan (Hall, 1991). Keamanan pangan relatif kemudian dapat didefinisikan sebagai kepastian praktis bahwa cedera atau kerusakan tidak akan dihasilkan akibat konsumsi pangan atau ingredien yang digunakan dalam pengolahan pangan dengan cara dan dalam jumlah yang dapat dipertanggungjawabkan (Deshpande, 2002).
Keamanan pangan tidak hanya merujuk kepada pangan itu sendiri, tetapi juga kepada orang yang mengonsumsi. Sebagai contoh, pangan yang dianggap aman bagi sebagian besar orang ketika digunakan dengan cara dan dalam jumlah yang dapat dipertanggungjawabkan dapat menjadi sangat toksik, bahkan letal, bagi individu tertentu yang sensitif atau mempunyai alergi (Deshpande, 2002).
Y. TOKSIKOLOGI IRADIASI
Pengertian keamanan pangan ditingkatkan dengan mendefinisikan dua konsep dasar, toksisitas dan bahaya. Toksisitas dapat diartikan sebagai kapasitas sebuah senyawa untuk menyebabkan bahaya atau cedera, baik kronis
39
maupun akut dalam kondisi apapun. Hal ini temasuk kapasitas untuk merusak fetus yang sedang berkembang (teratogenisitas), mengubah kode genetik (mutagenisitas), atau untuk menginduksi kanker (karsinogenisitas). Lebih jauh, adanya penyimpangan apapun dari normal dilihat sebagai kemungkinan efek negatif, meskipun perubahannya mungkin terlihat positif, misalnya kenaikan laju pertumbuhan atau peningkatan penyerapan nutrien. Perubahan diasumsikan negatif sampai dibuktikan menguntungkan (Deshpande, 2002).
Di sisi lain, bahaya merupakan probabilitas relatif bahwa kerusakan atau cedera akan terjadi ketika senyawa yang digunakan dalam jumlah dan cara yang disarankan. Pengujian keamanan suatu pangan atau ingredien harus tidak didasarkan pada apakah pangan atau ingredien tersebut memiliki toksisitas alami tapi berdasar pada apakah menghasilkan suatu bahaya atau tidak (Deshpande, 2002).
Toksisitas suatu bahan dapat diartikan sebagai kapasitas bahan untuk memicu terjadinya reaksi berkebalikan pada makhluk hidup. Dalam hal ini berhubungan dengan timbulnya efek yang tidak diharapkan oleh tubuh (Vries, 1997).
Teknik pengujian toksisitas dapat diklasifikasikan menjadi 3 kategori umum: teknik biologis atau bioassay, teknik yang didasarkan pada metode kimia dan/atau fisik, dan teknik yang berdasar pada pengikatan nonkovalen antara satu reaktan dengan reaktan yang lain. Teknik yang ketiga juga disebut dengan binding assay. Teknik biologis atau bioassay mengukur respon yang mengikuti pengaplikasian stimulus pada suatu sistem biologis. Stimulus yang diaplikasikan direpresentasikan oleh standar atau sampel uji yang mengandung senyawa yang aktif secara biologis atau analit. Sistem biologis yang menerima stimulus mungkin merupakan organisme multiseluler, utuh, seperti binatang atau tumbuhan; organ yang diisolasi atau jaringan dari organisme multiseluler; atau sel utuh atau mikroorganisme. Keuntungan teknik biologis adalah spesifitas umumnya untuk bentuk-bentuk analit yang aktif secara biologis. Bioassay adalah metode analisis yang lebih disukai ketika bahan uji mengandung campuran bentuk analit yang aktif maupun inaktif yang tidak dapat dipisahkan secara efektif. Di sisi lain, analit mungkin
40
berada dalam berbagai bentuk aktif yang memengaruhi situs target yang sama tetapi dengan aktivitas biologis yang berbeda dan ada dalam jumlah yang tidak diketahui. Selain spesifisitas yang tinggi, uji biologis (bioassay) juga sangat sensitif. Maka, uji biologis digunakan jika tidak ada metode alternatif lain yang cocok dan tersedia (Deshpande, 2002).
Menurut Vries (1997), Pengujian toksisitas suatu senyawa dapat dilakukan secara in vitro yaitu dengan menggunakan sel limfosit manusia. Keuntungan pengujian secara in vitro adalah uji yang digunakan sangat sensitif dan dampak yang ditimbulkan dapat dilihat langsung. Efek dari ketoksikan suatu bahan dapat diamati dari seberapa banyak jumlah sel limfosit yang mati bila dibandingkan dengan keadaan awal dan dengan mengamati tingkat proliferasi sel limfosit.
Pada tahun 1980, Food and Agriculture Organization, International
Atomic Energy Agency dan World Health Organization (FAO/IAEA/WHO)
menyatakan bahwa iradiasi terhadap pangan dengan dosis rata-rata sampai dengan 1 Mrad (10 kGy) tidak menunjukkan bahaya toksikologi dan tidak menghasilkan perubahan nutrisi dan mikrobiologi khusus; sehingga pengujian toksikologi bagi pangan yang demikian tidak diperlukan (WHO, 1981). Selanjutnya, FDA mengusulkan bahwa pangan yang secara khusus diiradiasi pada dosis tidak melebihi 100 krad dapat dianggap aman. Berdasarkan Amandemen Bahan Tambahan Pangan (Food Additives Amendment) tahun 1958 terhadap Undang-Undang Federal Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (Federal Food, Drug, and Cosmetic Act) tahun 1938, iradiasi diatur sebagai bahan tambahan pangan. Industri yang menggunakan proses iradiasi harus menggunakan sumber-sumber iradiasi yang disetujui oleh FDA, dijelaskan dalam Code of Federal Regulations CFR (21 CFR 179.26): sinar gamma dari unit kobalt-60 atau sesium-137 yang disegel, elektron yang diakselerasi dari sumber mesin (<10 MeV), atau sinar X yang dihasilkan dari sumber mesin (<5 MeV). Karena pengurangan patogen yang diinduksi iradiasi paling efektif jika diterapkan setelah proses pengemasan, bahan pengemas juga harus disetujui oleh FDA sebagai bahan pengemas yang aman selama kondisi proses (Brewer, 2009).
41
Dosis maksimum yang diijinkan untuk daging tergantung pada jenis dagingnya, daging unggas ataukah daging merah, dan apakah daging tersebut hanya didinginkan atau dibekukan. Penggunaan iradiasi pada daging unggas segar maupun beku disetujui pada tahun 1992 sementara untuk daging merah disetujui pada tahun 1997 (FSIS, 1999). Untuk pengurangan patogen, penggunaan dosis maksimum 4,5 kGy diperbolehkan untuk daging mentah yang dibekukan; 3,0 kGy diperbolehkan untuk daging unggas segar atau beku (Brewer, 2009).
Sementara itu, iradiasi dengan dosis di atas 10 kGy (iradiasi dosis tinggi) pada bahan pangan dinyatakan aman sebagaimana halnya proses sterilisasi termal yang berlangsung sampai saat ini (WHO, 1999). Meskipun demikian, data pendukung keamanan pangan khususnya hasil uji toksisitas makanan siap saji iradiasi berbasis resep tradisional masih sangat terbatas khususnya di negara-negara berkembang.
Z. OKSIDASI LEMAK
Komposisi asam lemak yang menyusun membran dan lipoprotein awalnya ditentukan oleh jenis pangan yang dikonsumsi. Diketahui bahwa rata-rata vegetarian memiliki asam-asam lemak tidak jenuh, orang yang banyak memakan daging-dagingan memiliki asam arakidonat tinggi, dan orang yang banyak mengonsumsi ikan memiliki asam lemak tidak jenuh lebih tinggi seperti asam eikosapentaenoat (EPA) dan asam dokosahenoat (DHA) (Niki, 1997).
Asam lemak tidak jenuh yang memiliki dua atau lebih ikatan lebih rentan terhadap serangan radikal bebas dan autooksidasi. Kemudahan relatif dioksidasi dari asam lemak tidak jenuh meningkat seiring dengan jumlah ikatan rangkap. Telah diamati bahwa asam arakidonat dioksidasi lebih cepat daripada asam linoleat pada oksidasi yang diamati pada membran eritrosit dan lipoprotein densitas rendah (Niki, 1997).
42
AA. MALONALDEHIDA
Menurut Bird dan Draper (1984), malonaldehida (MDA) merupakan produk hasil peroksidasi lipid dalam tubuh dan sebagai indeks ketengikan oksidatif dalam makanan. Di dalam bahan biologi, malonaldehida terdapat dalam bentuk bebas dan sebagai kompleks dengan unsur pokok lainnya di dalam jaringan. Malonaldehida juga merupakan produk yang dihasilkan oleh radikal bebas melalui reaksi ionisasi di dalam tubuh dan sebagai produk samping biosintesis prostaglandin.
Asam lemak tak jenuh (ALTJ) sangat mudah mengalami proses oksidasi. Karbon metilen antara dua ikatan rangkap ALTJ sangat sensitif terhadap pengurangan hidrogen dan pembentukan senyawa radikal. Oksigen dapat menyerang asam lemak yang telah kehilangan hidrogen, membentuk senyawa radikal yang selanjutnya akan bereaksi dengan molekul lemak lainnya dan menghasilkan antara lain senyawa aldehid dan keton. Senyawa aldehida seperti hidroksialkenal, malonaldehida dan senyawa karbonil rantai pendek lainnya telah diketahui bersifat toksik terhadap sel. Konsentrasi malonaldehida dalam bahan biologi telah digunakan secara luas sebagai indikator dan kerusakan oksidatif pada lemak tak jenuh sekaligus merupakan indikator keberadaan radikal bebas (Zakaria, 1996)
Analisa malonaldehida merupakan analisa radikal bebas secara tidak langsung dan merupakan analisa yang cukup mudah untuk menentukan jumlah radikal bebas yang terbentuk. Analisa radikal bebas secara langsung sangat sulit dilakukan, karena radikal ini merupakan senyawa yang tidak stabil dan cenderung untuk merebut elektron senyawa lain agar menjadi lebih stabil. Reaksi ini berlangsung sangat cepat sehingga pengukurannya sangat sulit bila dalam bentuk senyawa radikal bebas (Gutteridge, 1995).
Menurut Conti et al. (1991), analisa jumlah MDA dapat menggunakan metode TBA. MDA dapat bereaksi dengan TBA membentuk senyawa kompleks MDA-TBA melalui reaksi nucleophilic addition reaction. Kompleks senyawa MDA-TBA yang terbentuk memiliki warna merah jambu yang dapat diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 532 nm.