• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Faktor Ibu terhadap Kematian Neonatal Dini .1 Pengaruh Umur Ibu terhadap Kematian Neonatal Dini

HASIL PENELITIAN

5.1 Pengaruh Faktor Ibu terhadap Kematian Neonatal Dini .1 Pengaruh Umur Ibu terhadap Kematian Neonatal Dini

Berdasarkan analisis menggunakan uji Mann-Whitney nilai p sebesar 0,079, berarti pada alpha 5% terlihat tidak ada perbedaan yang signifikan antara umur ibu yang mengalami kematian neonatal dini dengan yang tidak mengalami kematian neonatal dini.

Hasil uji regresi logistik terhadap variabel umur diperoleh nilai p 0,015 (<0,05), berarti ada pengaruh umur ibu terhadap kematian neonatal dini. Dilihat dari koefisien β (0,095) umur bertanda positif yang berarti, setiap peningkatan 5 tahun umur ibu maka akan meningkatkan risiko mengalami kematian neonatal dini sebesar 1,6 kali dengan interval kepercayaan 95 % berada antara 1,09 sampai dengan 2,35.

Berdasarkan teori dalam ilmu kebidanan umur seorang ibu berkaitan dengan alat reproduksi wanita. Umur reproduksi yang sehat dan aman adalah umur 20-35 tahun. Kehamilan di usia < 20 dan > 35 tahun dapat menyebabkan kematian perinatal karena organ reproduksi yang belum sempurna untuk menerima kehamilan, melahirkan dan merawat bayi serta emosinya cenderung labil dan mentalnya belum matang. Sedangkan pada usia > 35 tahun terkait dengan kemunduran dan penurunan daya tahan tubuh serta mempunyai kecenderungan munculnya berbagai penyakit,

53

sehingga dapat mengancam pertumbuhan dan dapat menimbulkan kematian pada neonatal.

Umur ibu pada saat mulai hamil dan umur ibu pada saat hamil berikutnya memengaruhi kondisi kesehatan ibu berbagai hasil penelitian dikemukakan terkait umur sebagai salah satu faktor risiko dari terjadinya kematian neonatal dini. Umur seorang wanita yang hamil atau melahirkan tidak secara langsung dapat menyebabkan kematian neonatal dini, namun umur menjadi faktor risko karena secara tidak langsung dapat membuat seorang ibu mengalami suatu kondisi yang dapat menjadi risiko pada bayi yang akan dilahirkan.

Merencanakan kehamilan diumur yang aman adalah pilihan yang paling tepat untuk mengurangi risiko untuk mengalami kematian neonatal dini. Kehamilan pada usia muda membuat ibu mempunyai risiko untuk mengalami anemia, gangguan tumbuh kembang janin, keguguran, persalinan prematur dan BBLR serta gangguan persalinan. Risiko yang dialami ibu tentu saja berpengaruh secara langsung dengan kondisi bayi yang dilahirkan baik itu mengalami BBLR, Prematur dan juga asfiksia, risiko ini yang menjadikan faktor risiko seorang bayi untuk mengalami kematian neonatal.

Sedangkan kehamilan pada usia lebih dari 35 tahun juga mempunyai risiko yang sama dengan apabila hamil di usia kurang dari 20 tahun, selain dapat menyebabkan abortus kehamilan pada usia ini juga meningkatkan terjadi kelainan kromosom yang terjadi karena menurunnya kualitas sel telur.

Sesuai dengan penelitian Prabamurti dkk (2008) bahwa melahirkan pada usia < 20 tahun meningkatkan risiko kematian neonatal karena kondisi fisiologis ibu yang belum matang. Risiko yang mungkin dapat terjadi jika hamil usia dibawah 20 tahun antara lain keguguran, preeklamsi dan eklamsi, timbulnya kesulitan persalinan karena sistem reproduksi belum sempurna, bayi lahir sebelum waktunya dan BBLR. Sedangkan umur yang terlalu tua artinya hamil diatas 35 tahun. Risiko yang mungkin terjadi jika hamil pada usia terlalu tua antara lain adalah terjadinya keguguran, preeklamsi dan eklamsi, timbulnya kesulitan pada persalinan, perdarahan, BBLR dan cacat bawaan. Hasil penelitian ini sama dengan pendapat Wiknjosastro (2007) bahwa kematian perinatal cenderung terjadi pada ibu yang berumur kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun.

Hasil penelitian Mahmudah dkk (2011) diketahui tidak ada hubungan antara kematian neonatal dini dan umur ibu melahirkan dengan nilai p sebesar 0,503 (p>0,05), yang berarti tidak terdapat hubungan antara umur ibu melahirkan dengan kejadian kematian neonatal dini. Pada penelitian ini diketahui ibu yang memiliki umur berisiko melakukan pemeriksaan secara rutin pada tenaga kesehatan.

Faktor risiko kehamilan dan persalinan menurut teori obstetri yang dianggap memiliki risiko yang sangat berpengaruh salah satunya adalah umur ibu, namun semua risiko yang terkait kematian neonatal dini adalah suatu keadaan yang dapat ditangani. Upaya yang paling penting untuk mengatasi masalah umur ibu adalah dengan merencanakan kehamilan pada umur yang aman yaitu diantara 20-35 tahun. Ibu hamil yang termasuk dalam kelompok berisiko apabila secara rutin

55

memeriksakan kehamilan di sarana kesehatan dan rajin mencari informasi, baik berkonsultasi kepada bidan desa maupun membaca buku tentang kehamilan, sehingga risiko yang berhubungan dengan kejadian kematian dapat dihindari dengan merencanakan persalinan di pusat rujukan yang telah memiliki fasilitas yang lengkap dan tenaga ahli.

Bagi ibu hamil yang termasuk dalam kelompok berisiko agar secara rutin memeriksakan kehamilannya pada tenaga kesehatan yang ada, serta mengupayakan memeriksakan kehamilan pada tenaga kesehatan dimana ibu merencanakan persalinan. Karena secara ketentuan buku kia yang dimiliki oleh setiap ibu hamil diisi sesuai dengan hasil pemeriksaan, namun terkadang karena berbagai hal buku kia tidak diisi yang menyebabkan bidan yang dipilih ibu sebagai penolong persalinan tidak mengetahui riwayat kesehatan ibu selama masa kehamilan. Pemilihan penolong persalinan yang berbeda sebahagian ibu mengatakan ingin dekat dengan orang tua kandung sehingga ada yang membantu mengurus dan merawat ibu juga bayi selama masa nifas.

Upaya yang dapat dilakukan oleh para bidan di desa salah satunya melalui kegiatan deteksi dini ibu hamil risiko tinggi yang ada dalam wilayah kerjanya, upaya melakukan deteksi ini dapat segera menemukan ibu hamil yang memiliki risiko terhadap kehamilan ataupun persalinannya. Setelah menemukan ibu yang memiliki risiko tinggi, bidan di desa dapat melakukan kunjungan rumah untuk memantau kondisi dari ibu hamil tersebut. Terutama ibu hamil yang berdomisili di daerah yang sulit dijangkau dan ibu hamil yang tidak datang pada saat pelaksanaan posyandu,

sehingga sebagai bidan di desa tetap mengetahui kondisi dari ibu hamil yang ada di dalam wilayah kerjanya.

5.1.2 Pengaruh Paritas terhadap Kematian Neonatal Dini

Paritas adalah jumlah anak yang telah dilahirkan oleh seorang ibu baik lahir hidup maupun lahir mati. Seorang ibu yang sering melahirkan mempunyai risiko mengalami kematian neonatal dini. Hasil uji mann-whitney didapatkan nilai p sebesar 0,378, berarti pada alpha 5% tidak ada perbedaan yang bermakna jumlah anak yang dilahirkan antara yang mengalami kematian neonatal dini dengan yang tidak mengalami kematian neonatal dini. Median jumlah anak dari ibu yang mengalami kematian sebanyak 3,00 dengan jumlah minimum 1 dan maksimum 5 sedangkan median jumlah anak dari ibu yang tidak mengalami kematian neonatal dini adalah sebanyak 3,00 dengan jumlah minimum 1 dan maksimum 5.

Pada analisis multivariat variabel paritas tidak termasuk kedalam variabel yang memengaruhi kematian neonatal dini. Tidak masuknya paritas ini bisa saja dikarenakan jumlah rata-rata dari anak yang dilahirkan hanya 3 orang, yang secara teori juga bukan merupakan faktor risiko dari kematian neonatal dini.

Penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Sarwani dkk (2011) bahwa paritas ibu tidak mempunyai hubungan dengan kematian neonatal dini. Namun penelitian Prabamurti, (2008) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara paritas ibu dengan kematian neoanatal dini dimana nilai p sebesar 0,006 (p < 0,05), dengan nilai OR = 8,25 kali, artinya ibu dengan paritas 0 dan 4 memiliki risiko 8,25 kali untuk mengalami kematian neonatal dini dibandingkan ibu dengan paritas 1-3.

57

Menurut Wiknjosastro (2005) bahwa paritas 1 dan paritas tinggi (lebih dari 3) mempunyai angka kejadian komplikasi lebih tinggi. Ibu dengan paritas rendah cenderung bayi yang dilahirkannya tidak matur atau ada komplikasi karena merupakan pengalaman pertama terhadap kemampuan alat reproduksi ibu dan kemungkinan akan timbul penyakit dalam kehamilan dan persalinan.

Paritas yang rendah dan paritas tinggi juga merupakan salah satu faktor risiko pada ibu hamil dan melahirkan, terkait dengan kondisi tidak terdapatnya hubungan dengan kematian neonatal dini dimungkinkan karena ibu-ibu yang memiliki risiko dengan paritas ini lebih intensif dalam melakukan pemeriksaan kehamilan dan memilih melahirkan di pusat rujukan baik di Puskesmas maupun di Rumah Sakit. Ditambah upaya-upaya promotif dan preventif yang dilakukan Puskesmas dan bidan didesa.

5.1.3 Pengaruh Jarak Antar Kelahiran terhadap Kematian Neonatal Dini

Hasil uji Mann-Whitney didapatkan nilai p < 0,001, berarti pada alpha 5% ada perbedaan yang bermakna jumlah anak yang dilahirkan antara yang mengalami kematian neonatal dini dengan yang tidak mengalami kematian neonatal dini.

Hasil uji regresi regresi logistik variabel jarak kelahiran diperoleh nilai p < 0,001 (< 0,05), berarti ada pengaruh jarak kehamilan terhadap kematian neonatal dini. Variabel jarak kehamilan berpengaruh dalam peningkatan risiko kematian neonatal dini sebesar 0,321 kali. Dilihat dari koefisien β (-1,138) jarak kehamilan ibu bertanda negatif yang berarti setiap penurunan 2 tahun jarak kelahiran seorang ibu maka akan

meningkatkan risiko terjadinya kematian neonatal dini sebesar 0,103 kali, dengan interval kepercayaan 95 % berada diantara.0,039 sampai dengan 0,267 kali.

Menurut Wahyuni (2009) bahwa jarak kehamilan yang pendek mempengaruhi kesehatan ibu dan anak selain memberikan risiko kematian neonatal menjadi tinggi, wanita yang melahirkan berturut-turut dalan jangka waktu yang pendek tidak sempat memulihkan kesehatannya serta harus membagi perhatiannya kepada dua anak pada waktu yang sama. Selain itu harus menyapih anak yang besar yang seharusnya harus disusui untuk menyusui anak yang baru lahir.

Penelitian Mahmudah dkk (2011) menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan jarak antar kelahiran dengan kematian neonatal dini dengan nilai p sebesar 0,064 (p>0,05), yang berarti kematian neonatal dini tidak berhubungan dengan jarak kelahiran. Mengurangi risiko kematian neonatal dini dari faktor jarak kelahiran dengan melakukan pemeriksaan kehamilan yang teratur dan merencanakan persalinan yang sehat merupakan upaya yang efektif.

Jarak kelahiran yang pendek (< 2 tahun) dalam penelitian ini berkaitan dengan keinginan memiliki anak dengan jenis kehamilan tertentu. Tuntutan ini menjadi salah satu alasan ibu untuk segera hamil kembali walaupun usia anak sebelumnya belum mencapai 2 tahun. Budaya masyarakat yang mayoritas ber suku Gayo mengharuskan memiliki anak laki-laki. Sedangkan untuk jarak kelahiran yang lebih dari 4 tahun sebahagian ibu mengatakan karena alasan ekonomi yang sudah membaik dan juga upaya untuk memiliki anak dengan jenis kelamin tertetu.

Dokumen terkait