• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Penyebab Kematian Neonatal Dini

Penyebab utama penting untuk diketahui karena sebagian besar diantaranya dapat dihindarkan. Cara penanganan untuk mengurangi risiko kematian neonatal dini biasanya ditujukan untuk mencegah atau menangani kasus-kasus ini. Penyebab utama kasus lahir mati dan kematian neonatal dini adalah hampir sama/mirip sehingga sebaiknya dipertimbangkan bersama-sama.

Penyebab utama kematian neonatal dini adalah masalah obstetrik selama kehamilan maupun persalinan yang dapat mengakibatkan kematian. Penyebab utama kematian neonatal dini adalah:

1. Persalinan prematur. 2. Hipoksia intrapartum. 3. Perdarahan antepartum. 4. Hipertensi dalam kehamilan. 5. Infeksi.

6. Kelainan janin atau anomali.

7. Gangguan pertumbuhan intrauterin. 8. Trauma.

Mengetahui penyebab utama kematian dapat membantu mengenali cara menghindarkan terjadinya kematian. Yang paling sering terjadi adalah tidak ditemukannya dasar-dasar dari berbagai masalah yang terjadi.

Persalinan prematur (yaitu persalinan sebelum 37 minggu usia kehamilan), mungkin disebabkan oleh:

1. korioamnionitis (kadang asimptomatik).

2. ketuban pecah dini (dengan atau tanpa korioamnionitis). 3. inkompetensi serviks.

Penyebab hipoksia intrapartum adalah:

1. Distosia atau partus macet, disproporsi kepala-pelvik dan kontraksi hipertonik 2. Prolapsus tali pusat.

Kecuali pada kasus prolapsus tali pusat, hipoksia intrapartum hampir selalu disebabkan oleh kelainan kontraksi uterus, khususnya bila tidak terjadi relaksasi normal diantara kontraksi. Hipoksia intrapartum ditandai dengan tanda gawat janin dalam persalinan. Diagnosis dini dan penanggulangan secara tepat berbagai faktor yang membahayakan janin dan mencegah partus macet, merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan.

Berdasarkan faktor risiko dari neonatal, berikut ini merupakan risiko tinggi neonatal yang berisiko mengalami kematian (Munuaba, 2010) :

- Bayi baru lahir dengan asfiksia

- Bayi baru lahir dengan tetanus neonatorum - BBLR (Berat Badan Lahir Rendah < 2500 gram)

19

- Bayi baru lahir dengan ikterus neonatorum (ikterus > 10 hari setelah lahir) - Bayi baru lahir dengan sepsis.

- Bayi kurang bulan dan lebih bulan. - Bayi baru lahir dengan cacat bawaan.

- Bayi lahir melalui proses persalinan dengan tindakan. 2.5 Determinan Kematian Bayi dan Balita

Banyak faktor yang terkait dengan kematian bayi, penelusuran kematian berdasarkan penyebab kematian merupakan hal yang penting dalam melihat deteminan kematian bayi. Secara garis besar, dari sisi penyebabnya, kematian bayi ada dua macam yaitu kematian bayi endogen dan kematian bayi eksogen. Kematian bayi endogen atau yang umum disebut kematian neonatal adalah kematian bayi yang terjadi pada bulan pertama setelah dilahirkan dan umumnya disebabkan oleh faktor-faktor yang dibawa anak sejak lahir, yang diperoleh dari orang tuanya pada saat konsepsi atau didapat selama kehamilan. Kematian eksogen atau kematian post neonatal adalah kematian bayi yang terjadi setelah usia satu bulan sampai menjelang usia satu tahun yang disebabkan oleh faktor-faktor yang bertalian dengan pengaruh lingkungan luar (Utomo, 1988).

Teori – teori tentang keterkaitan determinan yang di jelaskan Mosley dan Chen (1984) yang membagi variabel-variabel yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup anak menjadi dua, yaitu : variabel sosial ekonomi (seperti budaya, sosial, ekonomi, masyarakat dan faktor regional), variabel endogenous atau

faktor biomedikal (seperti pola pemberian ASI, kebersihan sanitasi dan nutrisi). Variabel sosial ekonomi atau variabel pengaruh, yang menunjukkan bagaimana determinan ini melalui variabel antara memengaruhi tingkat gangguan pertumbuhan dan mortalitas.

Determinan sosial ekonomi dikelompokkan ke dalam tiga kategori variabel umum yang biasanya digunakan dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu : variabel tingkat individu: produktivitas (ayah,ibu), tradisi/norma/sikap, variabel tingkat rumah tangga: pendapatan/kekayaan, variabel tingkat masyarakat: lingkungan ekologi, ekonomi politik dan sistem kesehatan.

Variabel yang berkaitan erat dengan kondisi kelangsungan hidup anak yang ada pada determinan sosial ekonomi ini adalah variabel individu. Dalam variabel individu terdapat produktivitas individu, unsur-unsur yang menentukan produktivitas anggota rumah tangga adalah keterampilan (khususnya diukur dari tingkat pendidikan), kesehatan dan waktu, dimana produktivitas ibu berpengaruh secara langsung terhadap variabel antara. Tingkat pendidikan ibu memberi dampak langsung terhadap kelangsungan hidup anak terkait dengan pilihan-pilihan ibu dan meningkatnya keterampilan ibu dalam upaya perawatan kesehatan.

Variabel sosial ekonomi sebagai variabel pengaruh memberikan pengaruh melalui variabel antara. Variabel antara dikelompokkan ke dalam lima kategori : 1. Faktor ibu : umur, paritas, dan jarak kelahiran

2. Pencemaran lingkungan: udara, makanan/air/jari/kulit/tamah/zat penularan kuman penyakit, serangga pembawa penyakit.

21

3. Kekurangan gizi: kalori, protein, gizi-mikro (vitamin dan mineral) 4. Luka: kecelakaan, luka yang disengaja;

5. Pengendalian penyakit perorangan: usaha-usaha preventif perorangan, perawatan dokter.

Melihat penyebab kematian neonatal, terutama kematian pada periode neonatal dini sangat erat kaitannya dengan dari saat kehamilan dan persalinan yang sangat erat kaitannya dengan faktor orangtua terutama ibu. Determinan sosial ekonomi yang memengaruhi determinan antara dari faktor ibu serta faktor pengendalian penyakit perorangan terutama perawatan kesehatan ibu selama masa kehamilan. Faktor ibu yang dianggap paling berpengaruh adalah :

a. Umur Ibu

Faktor umur ibu merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap hasil akhir suatu kehamilan. Wanita hamil kurang dari 20 tahun dapat merugikan kesehatan ibu maupun pertumbuhan dan perkembangan janin karena belum matangnya alat reproduksi untuk hamil.

Umur seorang wanita pada saat hamil sebaiknya tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua. Umur yang kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun, berisiko tinggi untuk melahirkan. Kesiapan seorang perempuan untuk hamil harus siap fisik, emosi, psikologi, sosial dan ekonomi (Tanjung, 2004).

a. Usia ibu kurang dari 20 tahun

Wanita hamil kurang dari 20 tahun dapat merugikan kesehatan ibu maupun pertumbuhan dan perkembangan janin karena belum matangnya alat reproduksi untuk

hamil. Penyulit pada kehamilan remaja (<20 tahun) lebih tinggi dibandingkan kurun waktu reproduksi sehat antara 20-30 tahun. Keadaan tersebut akan makin menyulitkan bila ditambah dengan tekanan (stress) psikologi, sosial, ekonomi, sehingga memudahkan terjadinya keguguran (Manuaba, 2007).

Manuaba (2007), menambahkan bahwa kehamilan remaja dengan usia di bawah 20 tahun mempunyai risiko:

1) Sering mengalami anemia.

2) Gangguan tumbuh kembang janin. 3) Keguguran, prematuritas, atau BBLR. 4) Gangguan persalinan.

5) Preeklamsi.

6) Perdarahan antepartum. b. Usia ibu lebih dari 35 tahun

Risiko keguguran spontan tampak meningkat dengan bertambahnya usia terutama setelah usia 30 tahun, baik kromosom janin itu normal atau tidak, wanita dengan usia lebih tua, lebih besar kemungkinan keguguran baik janinnya normal atau abnormal (Wiknjosastro, 2007).

Semakin lanjut usia wanita, semakin tipis cadangan telur yang ada, indung telur juga semakin kurang peka terhadap rangsangan gonadotropin. Makin lanjut usia wanita, maka risiko terjadi abortus, makin meningkat karena menurunnya kualitas sel telur atau ovum dan meningkatnya risiko kejadian kelainan kromosom (Saifuddin,

23

2002). Pada gravida tua terjadi abnormalitas kromosom janin sebagai salah satu faktor etiologi abortus (Friedman, 1998).

Sebagian besar wanita yang berusia di atas 35 tahun mengalami kehamilan yang sehat dan dapat melahirkan bayi yang sehat pula. Tetapi beberapa penelitian menyatakan semakin matang usia ibu dihadapkan pada kemungkinan terjadinya beberapa risiko tertentu, termasuk risiko kehamilan.

Para tenaga ahli kesehatan sekarang membantu para wanita hamil yang berusia 30 dan 40 tahun lebih untuk menuju ke kehamilan yang lebih aman. Ada beberapa teori mengenai risiko kehamilan di usia 35 tahun atau lebih, di antaranya: 1) Wanita pada umumnya memiliki beberapa penurunan dalam hal kesuburan mulai

pada awal usia 30 tahun. Hal ini belum tentu berarti pada wanita yang berusia 30 tahunan atau lebih memerlukan waktu lebih lama untuk hamil dibandingkan wanita yang lebih muda usianya. Pengaruh usia terhadap penurunan tingkat kesuburan mungkin saja memang ada hubungan, misalnya mengenai berkurangnya frekuensi ovulasi atau mengarah ke masalah seperti adanya penyakit

endometriosis, yang menghambat uterus untuk menangkap sel telur melalui tuba

fallopii yang berpengaruh terhadap proses konsepsi.

2) Masalah kesehatan yang kemungkinan dapat terjadi dan berakibat terhadap kehamilan di atas 35 tahun adalah munculnya masalah kesehatan yang kronis. Usia berapa pun seorang wanita harus mengkonsultasikan diri mengenai kesehatannya ke dokter sebelum berencana untuk hamil. Kunjungan rutin ke dokter sebelum masa kehamilan dapat membantu memastikan apakah seorang wanita berada

dalam kondisi sehat. Pemeriksaan kehamilan ini menjadi sangat penting jika seorang wanita memiliki masalah kesehatan yang kronis, seperti menderita penyakit diabetes mellitus atau tekanan darah tinggi. Kondisi ini, merupakan penyebab penting yang biasanya terjadi pada wanita hamil berusia 30-40an tahun dibandingkan pada wanita yang lebih muda, karena dapat membahayakan kehamilan dan pertumbuhan bayinya.

Para peneliti mengatakan wanita di atas 35 tahun dua kali lebih rawan dibandingkan wanita berusia 20 tahun untuk menderita tekanan darah tinggi dan

diabetes pada saat pertama kali kehamilan. Wanita yang hamil pertama kali pada usia di atas 40 tahun memiliki kemungkinan sebanyak 60% menderita tekanan darah tinggi dan 4 kali lebih rawan terkena penyakit diabetes selama kehamilan dibandingkan wanita yang berusia 20 tahun.

Hal ini membuat pemikiran sangatlah penting ibu yang berusia 35 tahun ke atas mendapatkan perawatan selama kehamilan lebih dini dan lebih teratur. Dengan diagnosis awal dan terapi yang tepat, kelainan-kelainan tersebut tidak menyebabkan risiko besar baik terhadap ibu maupun bayinya.

Hubungan antara umur ibu dengan kematian neonatal merupakan suatu kurve berbentuk U (U shape) yaitu terjadinya kematian neonatal tinggi pada usia ibu < 20 tahun dan kecenderungan menurun pada umur ibu antara 21-34 tahun, kemudian kematian neonatal meningkat pada umur ibu diatas 35 tahun. Dinyatakan pula bahwa paritas dan umur juga mempunyai hubungan erat terhadap kematian neonatal dimana ibu dengan kelahiran pertama, kematian neonatal meningkat secara simultan mulai

25

umur 20 tahun sampai dengan umur diatas 35 tahun sebanyak 3 kali lipat. Sedangkan untuk kelahiran kedua, kematian neonatal rendah pada usia 20-24 tahun dan kematian neonatal tertinggi terjadi pada usia < 20 tahun (Wandira dkk, 2012).

b. Paritas

Paritas adalah jumlah kehamilan yang memperoleh janin yang dilahirkan. Paritas menggambarkan jumlah persalinan yang telah dialami seorang ibu baik lahir hidup maupun lahir mati. Paritas 2 – 3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut kematian maternal dan perinatal.

Paritas yang tinggi memungkinkan terjadinya penyulit kehamilan dan persalinan yang dapat menyebabkan terganggunya transport O2 dari ibu ke janin yang akan menyebabkan asfiksia yang dapat dinilai dari Apgar Score menit pertama setelah lahir. Depresi pernafasan bayi baru lahir dikarenakan kehamilan dan faktor persalinan. Faktor kehamilan dari sebab meternal salah satunya adalah grande multipara. Untuk paritas 3 atau lebih hasilnya sama yaitu meningkatkan risiko persalinan dengan tindakan (Manuba, 2007).

Dari pencatatan statistik diperoleh hubungan antara jumlah paritas dengan derajat kesehatan bayi yang dilahirkan. Dinyatakan bahwa semakin besar angka gravida semakin besar kemungkinannya melahirkan anak yang lemah.

Berbagai penyakit pada janin atau bayi dapat dipengaruhi oleh paritas, antara lain adalah inkompatibilitas golongan darah ibu dan bapak, baik itu golongan darah sistem ABO maupun sistem Rhesus. Pada inkompatibilitas golongan darah ABO,

biasanya anak yang pertama akan lahir mati, sedangkan pada kasus Rhesus, anak yang menderita adalah anak yang kedua, ketiga, dan seterusnya.

Makin tinggi paritas, risiko kematian perinatal makin tinggi sebab pada waktu melahirkan pembuluh darah pada dinding rahim yang rusak tidak dapat pulih sepenuhnya seperti sebelum melahirkan. Karena itu, kehamilan dan persalinan yang berulang-ulang menyebabkan kerusakan pembuluh darah di dinding rahim. Dan makin banyak yang akan mempengaruhi sirkulasi makanan ke janin dan dapat menimbulkan gangguan / hambatan pada pertumbuhan janin di dalam kandungan, abortus, cacat bawaan, BBLR, dan anemia pada bayi yang dilahirkan.

Menurut Wiknjosastro (2007) paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut kematian maternal dan perinatal. Paritas 1 dan paritas tinggi (lebih dari 3) mempunyai angka kematian maternal lebih tinggi. Risiko pada paritas 1 dapat ditangani dengan asuhan obstetrik lebih baik, sedangkan risiko pada paritas tinggi dapat dikurangi atau dicegah dengan keluarga berencana. Sebagian kehamilan pada paritas tinggi adalah tidak direncanakan.

Hubungan paritas dengan kematian neonatal menunjukkan pola yang hampir sama dengan faktor umur. Beberapa penelitan yang dilakukan di Norwegia, Amerika, didapatkan kecenderungan kematian neonatal meningkat 7,3 kali pada ibu dengan riwayat kelahiran sebelumnya mengalami 2 kali kematian pada periode neonatal sedang ibu dengan riwayat kematian neonatal pada kelahiran pertama maka kemungkinan untuk mengalami kematian neonatal pada kelahiran berikutnya adalah sebesar 4,5 kali, dinyatakan bahwa paritas > 3 menunjukkan proporsi kematian

27

neonatal sebesar 41,08 %. Dikatakan pula bahwa kelahiran anak >5 merupakan faktor risiko untuk mengalami kematian neonatal (Mugeni, 2010)

c. Jarak Kelahiran

Jarak adalah ruang sela (panjang atau jauh) antara dua benda atau tempat, kehamilan adalah dimulainya pembuahan sel telur oleh sperma sampai dengan lahirnya janin dihitung dari hari pertama haid terakhir (BKKBN, 2008). Jadi jarak kehamilan adalah ruang sela antara kehamilan yang lalu dengan kehamilan berikutnya.

Jarak kehamilan sebaiknya lebih dari 2 tahun. Ibu hamil yang jarak kehamilannya kurang dari 2 tahun, kesehatan fisik dan rahim ibu masih butuh istirahat (Rochjati, 2003). Jarak kehamilan dengan spacing kurang dari 2 tahun atau lebih 4 tahun dapat menyebabkan berat badan lahir rendah, nutrisi kurang, lama menyusui berkurang, kompetensi dalam sumber–sumber keluarga, lebih sering terkena penyakit, tumbuh kembang lambat, pendidikan akademi lebih rendah. Oleh karena itu jarak kehamilan yang baik adalah 2 sampai 4 tahun (Manuaba, 1998). Selain itu dampak dari interval antar kehamilan kurang dari 18 bulan dan interval atau lebih dari 60 bulan ada hubungan risiko kelahiran premature, Small for Gestasional Age (SGA), Intrauterine Growth Retardation (IUGR) dan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR).

Seorang wanita yang hamil dan melahirkan kembali dengan jarak yang pendek dari kehamilan sebelumnya, akan memberikan dampak yang buruk terhadap kondisi kesehatan ibu dan bayi. Hal ini disebabkan, karena bentuk dan fungsi organ

reproduksi belum kembali sempurna. Sehingga fungsinya akan terganggu apabila terjadi kehamilan dan persalinan kembali. Jarak kehamilan minimal organ reproduksi dapat berfungsi kembali dengan baik adalah 24 bulan. Jarak antara dua persalinan yang terlalu dekat menyebabkan meningkatnya anemia yang dapat menyebabkan BBLR, kelahiran preterm, dan lahir mati, yang memengaruhi proses persalinan dari faktor bayi (Kusumawati, 2006).

Risiko terhadap kematian ibu dan anak meningkat jika jarak antara dua kehamilan < 2 tahun atau > 4 tahun. Jarak kehamilan yang aman ialah antara 2-4 tahun. Jarak antara dua kehamilan yang < 2 tahun berarti tubuh ibu belum kembali ke keadaan normal akibat kehamilan sebelumnya sehingga tubuh ibu akan memikul beban yang lebih berat. Jarak kelahiran anak sebelumnya kurang dari 2 tahun, rahim dan kesehatan ibu belum pulih dengan baik, kehamilan dalam keadaan ini perlu diwaspadai karena adanya kemungkinan pertumbuhan janin yang kurang baik, mengalami persalinan yang lama atau perdarahan. Sebaliknya jika jarak kehamilan antara dua kehamilan > 4 tahun, disamping usia ibu yang sudah bertambah juga mengakibatkan persalinan berlangsung seperti kehamilan dan persalinan pertama (Depkes RI, 2001)

Jarak kehamilan yang terlalu jauh berhubungan dengan bertambahnya umur ibu. Hal ini akan terjadi proses degeneratif melemahnya kekuatan fungsi-fungsi otot uterus dan otot panggul yang sangat berpengaruh pada proses persalinan apabila terjadi kehamilan berikutnya. Jarak kehamilan ataupun persalinan merupakan faktor

Dokumen terkait