BAB 5. PEMBAHASAN
5.1. Pengaruh Faktor Pendorong ( Predisposing ) dengan
5.1.1. Umur Ibu
Berdasarkan hasil analisis uji chi-square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara umur responden dengan pemberian ASI eksklusif. Hal ini ditunjukkan dari nilai p=0,826 (p>0,05).
Menurut Arini (2012), dalam kurun waktu reproduksi sehat dikenal usia aman untuk menyusui adalah 20-35 tahun dan disebut sebagai “masa dewasa” dan disebut juga sebagai masa reproduksi, dimana pada masa ini diharapkan orang telah mampu untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dengan tenang secara emosional, terutama dalam menghadapi kehamilan, persalinan, nifas, dan merawat bayinya nanti. Oleh sebab itu, yang sesuai dengan masa reproduksi sangat baik dan sangat mendukung dalam pemberian ASI eksklusif, sedangkan umur yang kurang dari 20 tahun dianggap masih belum matang secara fisik, mental, dan psikologi dalam menghadapi kehamilan, persalinan, serta pemberian ASI. Umur lebih dari 35 tahun dianggap berbahaya, sebab baik alat reproduksi maupun fisik ibu sudah jauh berkurang dan menurun, selain itu bisa terjadi resiko bawaan pada bayi.
Ibrahim dalam Abdullah (2012), menyatakan wanita yang lebih muda memiliki kemampuan laktasi lebih baik dari pada wanita yang lebih tua, karena
adanya perkembangan kelenjar yang matang pada masa purbertas dan fungsinya setelah kelahiran.
Survei demografi di Amerika Serikat menunjukkan ibu yang berhasil menyusui eksklusif sebagian besar berada pada kelompok umur 20-35 tahun (Ryan dalam Abdullah, 2012). Keadaan yang sama juga ditemukan pada penelitian ini, yaitu 30,4% ibu pada kelompok umur 20-35 tahun memberi ASI eksklusif.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Kristina (2003) yang menemukan bahwa tidak ada pengaruh antara umur ibu dengan pemberian ASI eksklusif. Begitu pula penelitian yang dilakukan Madjid (2003), tidak ada hubungan antara umur ibu melahirkan dengan praktek pemberian ASI. Makin tinggi umur ibu belum tentu belum tentu ibu memberikan ASI eksklusif.
Hasil penelitian ini berbeda dengan Afriana (2004) yang menemukan proporsi pemberian ASI eksklusif lebih tinggi pada responden dengan umur >35 tahun (32,9%) dibandingkan dengan kelompok responden berumur 20-35 tahun (25,5%). Menurut Afrina, ibu pada kelompok umur 20-35 tahun memiliki kesempatan untuk aktif bekerja di luar rumah, dengan demikian kemungkinan ibu menghentikan menyusui bayi di usia dini juga semakin meningkat.
Pada penelitian ini umur responden pada kelompok umur 20-35 tahun tidak beda jauh yang ASI eksklusif 30,4% dibandingkan dengan kelompok umur > 35 tahun 27,8%. Karena semakin tua umur responden belum tentu menambah pengetahuan tentang pemberian ASI eksklusif. Hal ini tidak menunjukkan bahwa
semakin cukup umur maka tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berpikir.
5.1.2. Pengetahuan Ibu
Berdasarkan hasil analisis uji chi-square menunjukkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan responden dengan pemberian ASI eksklusif. Hal ini ditunjukkan dari nilai p=0,028 (p<0,05). Mengacu pada analisis tersebut bahwa semakin tinggi pengetahuan ibu maka semakin lama ibu memberikan ASI pada bayinya. Pengetahuan yang baik seorang ibu yang didukung oleh pendidikan yang tinggi maka lebih cepat ibu mendapatkan informasi kesehatan terutama tentang kelebihan menyusui secara eksklusif.
Hasil penelitian ini menunjukkan masih ada ibu belum mengetahui tentang ASI eksklusif, manfaat ASI (Air Susu Ibu) bagi bayi, manfaat ASI (Air Susu Ibu) untuk keluarga, manfaat pemberian ASI eksklusif bagi ibu, belum mengetahui tentang kolostrum, mamfaat kolostrum, cara menyimpan ASI, kapan pertama kali pemberian ASI dan lama waktunya pemberian ASI eksklusif, hal ini diperlukan penyuluhan dari petugas kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan ibu yang memiliki bayi tentang ASI eksklusif.
Pengetahuan ibu dapat dipengaruhi oleh pengetahuan dan informasi yang didapat oleh ibu tentang ASI eksklusif. Pengetahuan atau kognitif merupakan hal yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang, salah satunya kurang memadainya pengetahuan ibu tentang ASI eksklusif yang menjadikan penyebab peningkatan pemberian makanan pendamping ASI sebelum anak mencapai usia 6
bulan. Salah satu kondisi yang menyebabkan rendahnya pemberian ASI eksklusif adalah masih kurangnya pengetahuan masyarakat dibidang kesehatan. Khususnya ibu-ibu yang mempunyai bayi dan tidak menyusui secara eksklusif. Melihat dari hasil penelitian, maka perlu dilakukan usaha untuk meningkatkan pengetahuan ibu tentang ASI eksklusif, dukungan dokter, bidan, petugas kesehatan atau kerabat dekat sangat dibutuhkan terutama ibu yang baru pertama menyusui dalam pemberian ASI eksklusif.
Pengetahuan yang baik menjadi salah satu bekal bagi ibu dalam proses pemberian ASI eksklusif. Green dalam Notoatmodjo (2010) berpendapat, pengetahuan meski penting namun tidak selalu menyebabkan perubahan prilaku. Namun demikian, hubungan positif antara perilaku dengan pengetahuan telah dibuktikan dalam sejumlah penelitian.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Afrina (2004) yang menunjukkan adanya hubungan bermakna antara pengetahuan ibu dengan praktek pemberian ASI eksklusif. Begitu juga dengan penelitian Ibrahim (2000) di Provinsi Aceh, ibu yang memiliki pengetahuan yang baik mempunyai kesempatan dua kali untuk memberikan ASI secara eksklusif kepada bayinya dibandingkan dengan ibu yang memiliki pengetahuan kurang.
5.1.3. Pendidikan Ibu
Berdasarkan hasil analisis uji chi-square menunjukkan bahwa ada hubungan antara pendidikan responden dengan pemberian ASI eksklusif. Hal ini ditunjukkan dari nilai p=0,016 (p<0,05). Hasil analisis dengan uji regresi logistik menunjukkan
bahwa variabel pendidikan tidak mempunyai pengaruh terhadap pemberian ASI eksklusif (p>0,05).
Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa ibu yang berpendidikan tinggi lebih sedikit (18,2%) yang memberikan memberikan ASI eksklusif dibandingkan dengan yang berpendidikan rendah (41,9%) dalam memberikan ASI eksklusif. Hal ini perlu ditekankan bahwa seseorang yang berpendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah pula. Peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh dari pendidikan formal, akan tetapi juga dapat diperolah pada pendidikan non formal. Pergeseran paradigma juga dapat dipicu oleh tingginya tingkat kebutuhan hidup, meningkatnya pemahaman kaum wanita tentang aktualisasi diri, dan pada ibu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi cenderung merupakan ibu yang bekerja juga sehingga secara tidak langsung mempengaruhi ibu dalam pemberian ASI yang tepat pada bayinya. Melihat dari hasil penelitian, tenaga kesehatan harus lebih aktif dalam upaya meningkatkan pemberian ASI eksklusif melalui penyuluhan-penyuluhan dan konseling.
Menurut Hidayat (2005), pendidikan merupakan penuntun manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupan yang dapat digunakan untuk mendapatkan informasi, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup sebagaimana umumnya, semakin tinggi pendidikan seseorang semakin mudah mendapatkan informasi. Pendidikan yang dimiliki oleh ibu berhubungan dengan pengetahuan yang dimilikinya, maka ibu akan berusaha untuk lebih mengetahui tentang pemberian ASI eksklusif. Pendidikan akan
membuat seseorang ingin mengetahui lebih banyak hal yang diperlukan dan lebih tanggap terhadap informasi serta peka melihat perubahan-perubahan yang terjadi.
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Salfina (2003) dalam penelitiannya mengatakan bahwa 75,6% ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif adalah ibu dengan pendidikan tamat SD. Karena dalam penelitian ini responden yang tidak memberikan ASI eksklusif justru paling banyak adalah responden dengan pendidikan SMA, Diploma, S1/S2 (36 orang).
5.1.4. Pekerjaan Ibu
Berdasarkan hasil analisis uji chi-square menunjukkan bahwa ada hubungan antara pekerjaan responden dengan pemberian ASI eksklusif. Hal ini ditunjukkan dari nilai p=0,004 (p<0,05). Hasil analisis dengan uji regresi logistik menunjukkan bahwa variabel pekerjaan tidak mempunyai pengaruh terhadap pemberian ASI eksklusif (p>0,05).
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Salfina (2003), bahwa 59,7% ibu yang bekerja hanya memberi ASI 4 kali dalam sehari, sementara jika pada waktu siang hari diberikan susu formula oleh keluarga atau pengasuhnya. Demikian juga dengan penelitian Mardeyanti (2007), bahwa 60% ibu yang bekerja tidak patuh memberikan ASI eksklusif.
Hal ini sesuai dengan pendapat Roesli (2005) bahwa bekerja bukan alasan untuk menghentikan pemberian ASI eksklusif. Pemberian ASI eksklusif merupakan hal yang terbaik bagi bayi. Hal ini didukung oleh bukti secara alamiah bahwa bayi yang diberi ASI eksklusif akan lebih sehat. Bayi yang tidak diberi ASI eksklusif akan
3 kali lebih sering dirawat daripada bayi yang diberi ASI eksklusif. Ini berarti bayi yang diberi ASI eksklusif lebih jarang dibawa ke dokter sehingga ibu lebih jarang meninggalkan perkerjaan.
Fakta membuktikan, banyak ibu-ibu yang bekerja menghentikan pemberian ASI eksklusif dengan alasan tidak memiliki banyak waktu. Padahal sebenarnya, bekerja bukanlah alasan untuk menghentikan pemberian ASI secara eksklusif selama 6 bulan. Dengan pengetahuan yang benar tentang menyusui, kelengkapan memompa ASI dan dukungan lingkungan kerja, seorang ibu yang bekerja dapat memberi ASI secara eksklusif (Elinofia, 2011).
Hal ini sejalan dengan pendapat Roesli (2008), yang menyatakan sering kali ibu bekerja mengalami dilema dalam memberikan ASI ekskluisf pada bayinya meskipun kelompok ini tahu manfaat dan keunggulan ASI, namun sulit untuk mempraktekkannya. Alokasi waktu kerja sehari-hari yang banyak berada diluar rumah dan ditempat bekerja, banyak kantor atau institusi kerja tidak mendukung program pemberian ASI. Tidak ada upaya penyiapan ruangan khusus untuk tempat menyusui atau memompa ASI ibu bekerja sehingga tidak bisa merawat bayi sepenuhnya. Pemberian ASI yang tidak bisa dilakukan secara penuh biasanya akan didampingi dengan susu formula. Padahal sebenarnya ibu yang bekerja penuh waktupun tetap dapat memberikan ASI eksklusif. Pada prinsipnya, pemberian ASI dapat diberikan secara langsung maupun tidak langsung. Pemberian secara langsung sudah jelas dengan cara menyusui sedangkan pemberian ASI secara tidak langsung
dilakukan dengan cara memerah atau memompa ASI, menyimpannya di frizer untuk kemudian diberikan pada bayi pada saat dibutuhkan.
Asumsi peneliti terhadap penelitian ini adalah sebagian responden bekerja. Pekerjaan yang banyak dilakukan oleh responden adalah PNS dan pegawai swasta sehingga ibu menggantikan ASI dengan susu formula.
5.1.5. Sikap Ibu
Berdasarkan hasil analisis uji chi-square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara sikap responden dengan pemberian ASI eksklusif. Hal ini ditunjukkan dari nilai p=0,164 (p>0,05).
Newcomb dalam Notoatmodjo (2010), menyatakan bahwa sikap merupakan kebiasaan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi reaksi. Sikap itu merupakan masih reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek.
Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi sikap ibu dalam pemberian ASI eksklusif adalah pengalaman pribadi ibu, pengaruh orang lain yang dianggap penting, pengaruh kebudayaanm media massa, lembaga pendidikan, lembaga agama dan faktor emosional.
Esterik dalam Abdullah (2012), mengatakan proses menyusui anak mendorong sikap kemandirian wanita. Kepercayaan ibu akan kemampuan diri sendiri
untuk memenuhi kebutuhan anak dapat menimbulkan kemandirian tersebut. Rasa percaya pada diri sendiri dan harga diri yang cukup besar guna melindungi hak ibu dalam menyusi anaknya, penting dalam proses penyusuan. Seorang wanita dengan citra diri positif tidak akan terlalu cepat mengira bahwa ia tak mempunyai cukup ASI atau bahwa air susunya bermutu rendah.
Hasil penelitian yang sama dibuktikan oleh Abdullah (2012), ada hubungan yang bermakna antara sikap ibu dengan pemberian ASI eksklusif. Berbeda dengan penelitian Ida (2010), yang menunjukkan tidak ada hubungan ya ng bermakna antara sikap ibu dengan pemberian ASI eksklusif.
5.1.6. Mitos
Berdasarkan hasil analisis uji chi-square menunjukkan bahwa ada hubungan antara mitos dengan pemberian ASI eksklusif. Hal ini ditunjukkan dari nilai p=0,000 (p<0,05). Dari hasil penelitian dapat dilihat ibu yang tidak percaya pada mitos mayoritas memberikan ASI eksklusif sebesar 45,1% dibandingkan dengan ibu yang percaya pada mitos 18,2%.
Banyak sekali pengaruh atau faktor-faktor yang menyebabkan berbagai aspek kesehatan dinegara kita, bukan hanya karena pelayanan medik yang tidak memadai atau kurangnya perhatian dari instansi kesehatan. Tetapi banyak yang mempengaruhi kesehatan di Indonesia, antara lain masih adanya pengaruh sosial budaya dan mitos yang turun temurun masih dianut sampai saat ini (Syafrudin, 2009)
Mitos sering kali merupakan media penyampaian pesan atau ungkapan simbolis dari konflik-konflik batiniah yang tidak terpecahkan dari suatu masyarakat
pendukungnya. Mitos mengungkapkan tabir misteri peristiwa primordial yang sering diulang dan diceritakan keabadian dalam ritus-ritus penting mereka sekarang. Mitos merupakan modal paradigmatis tentang apa yang terjadi pada awal mula dan memberikan contoh modal untuk dijadikan dasar acuan dalam bersikap dan berperilaku (Kemendikbud, 2012)
Dalam masyarakat Aceh mengenal berbagai upacara pasca kelahiran anak, dimana seorang bayi pada hari ketujuh kelahirannya diadakan upacara peucicap yang dilakukan oleh pemuka agama atau bidan, pada sibayi diberi beberapa sari manis dan sari buah buahan yang diberikan kepada sibayi dengan maksud agar kelak sibayi sudah besar, tutur kata menjadi manis dan disenangi kawan dalam pergaulannya (Hermaliza, 2012).
Masyarakat beranggapan mitos ASI sangat berpengaruh pada kehidupan mereka, khususnya masyarakat tradisonal yang sangat kental budaya kedaerahannya. Mereka kebanyakan mengabaikan logika dan lebih mempercayai hal-hal yang sudah turun temurun dari nenek moyang. Pada dasarnya mitos orang zaman dahulu memiliki tujuan yang baik untuk kelangsungan hidup keturunannya.
Strategi promosi kesehatan yang telah dilakukan di Pemerintahan Aceh, kerjasama Dinas Kesehatan dengan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh untuk membantu dan mendukung program ASI eksklusif melalui pendekatan ulama, pimpinan Dayah dan tokoh masyarakat. Dukungan yang dilakukan antara lain dengan pengajian, ceramah umum dan pelatihan yang dilakukan oleh petugas kesehatan.
5.1.7. Paritas Ibu
Berdasarkan hasil analisis uji chi-square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara paritas responden dengan pemberian ASI eksklusif. Hal ini ditunjukkan dari nilai p=0,316 (p>0,05). Pada penelitian ini Secara proporsi menunjukkan proporsi ibu dengan pemberian ASI tidak eksklusif 73,7% terdapat pada ibu dengan paritas 1-2 kali, sedangkan ibu dengan pemberian ASI eksklusif 36,7% terdapat pada ibu dengan paritas ≥ 3 kali.
Dalam penelitian ini, sebagian besar ibu baru memiliki 1-2 anak 65,5%. Menurut Ida dalam Abdullah (2012), ibu dengan paritas lebih dari satu sesungguhnya berpeluang menyusui secara eksklusif 2,3 kali dari pada ibu yang memiliki paritas satu kali. Hal ini karena jumlah persalinan yang pernah dialami dapat memberi pengalaman pada ibu dalam memberi ASI eksklusif.
Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Keneko dalam Yuliandarin (2009), yang menyatakan bahwa prevalensi menyusui eksklusif meningkat dengan bertambahnya jumlah anak, dimana prevalensi anak ketiga atau lebih, lebih banyak yang disusui eksklusif dibandingkan dengan anak kedua dan pertama. Sehingga terdapat hubungan yang bermakna antara paritas dengan pemberian ASI eksklusif. Begitu juga dengan penelitian Suparmanto dan Rahayu (2000), menyebutkan paritas memiliki hubungan yang bermakna dengan kelangsungan pemberian ASI eksklusif.
5.1.8. Pendapatan Keluarga
Berdasarkan hasil analisis uji chi-square menunjukkan bahwa ada hubungan antara pendapatan responden dengan pemberian ASI eksklusif. Hal ini ditunjukkan
dari nilai p=0,000 (p<0,05). Semakin tinggi pendapatan keluarga responden semakin banyak responden tidak memberikan ASI eksklusif. Hal ini bisa disebabkan keluarga mampu untuk membeli makanan atau minuman pengganti ASI.
Dari hasil penelitian dapat dilihat responden yang mempunyai pendapatan rendah mayoritas memberikan ASI eksklusif sebesar 45,8 dibandingkan dengan responden yang berpendapatan cukup 10,3%. Hal tersebut karena harga susu formula yang relatif mahal sehingga lebih memilih untuk ASI eksklusif.
Berdasarkan penelitian juga menunjukkan bahwa ibu yang berpenghasilan cukup lebih cenderung memberi makanan lain lebih cepat kepada bayinya, hal ini dikarenakan tingkat ekonomi yang baik mendorong tingkat kepercayaan si ibu untuk memberikan makanan lain seperti susu formula kepada bayinya, sedangkan ibu yang berpenghasilan rendah akan menambah pengeluaran apabila harus membeli makanan pengganti ASI.
5.1.9. Penjelasan Variabel yang Tidak Ikut dalam Uji Regresi Logistik
Variabel yang tidak diikutkan dalam uji regresi logistik berganda adalah variabel umur dan variabel paritas karena kedua variabel ini tidak memenuhi syarat untuk diikut sertakan dalam uji regresi logistik, dimana variabel umur untuk uji chi- square didapat nilai p 0,826 dan paritas nilai p 0,316. Untuk dapat diikut sertakan dalam permodelan uji regresi logistik bila nilai uji chi-square variabel yang mempunyai nilai p≤ 0,25.
Umur dan paritas ibu tidak ada hubungan dalam pemberian ASI eksklusif karena ibu yang kelompok umur 20-35 tahun (dewasa muda) mayoritas memberikan
ASI eksklusif 30,4% dibandingkan dengan ibu kelompok umur > 35 tahun (dewasa tua) 27,8%. Asumsi penelititi dalam hal ini ibu yang kelompok umur > 35 tahun selain mempunyai anak yang masih disusui juga mempunyai tanggung jawab terhadap anak yang lain sehingga perhatian untuk anak yang disusui akan berkurang, walaupun ibu mempunyai pengalaman menyusui dari anak sebelumnya.
5.2. Pengaruh Faktor Pendukung (Enabling) dengan Pemberian ASI Eksklusif