• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Faktor Predisposisi terhadap Keikutsertaan Vasektomi

BAB 5 PEMBAHASAN

5.1 Pengaruh Faktor Predisposisi terhadap Keikutsertaan Vasektomi

5.1.1 PengaruhPendidikan terhadap Keikutsertaan Pria Pasangan Usia Subur dalam Vasektomi di Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2013

Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji Chi Square diperoleh nilai p=0,352 (p>0,05) yang artinya tidak ada hubungan antara pendidikan dengan keikutsertaan pria PUS menjadi akseptor Vasektomi yaitu semakin tinggi pendidikan maka semakin baik keikutsertaan pria PUS menjadi akseptor Vasektomi di Kecamatan Percut Sei Tuan.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Budisantosa (2008) yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan partisipasi pria dalam KB dengan nilai p=0,572. Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Maharyani (2010) yang menyatakan bahwa pendidikan dengan keikutsertaan pria menjadi akseptor KB tidak terdapat hubungan yang signifikan dengan nilai p=0,130.

Pendidikan adalah upaya persuasi atau pembelajaran kepada masyarakat agar masyarakat mau melakukan tindakan-tindakan (praktik) untuk memelihara (mengatasi masalah-masalah) dan meningkatkan kesehatannya. Perubahan atau tindakan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang dihasilkan oleh pendidikan

kesehatan ini didasarkan kepada pengetahuan dan kesadaran melalui proses pembelajaran (Notoatmodjo, 2005).

Menurut Notoatmodjo (2002), kesehatan merupakan interaksi berbagai faktor, baik internal (dalam diri manusia) maupun eksternal (di luar diri manusia). Faktor internal terdiri dari faktor fisik dan psikis, sedangkan faktor eksternal terdiri dari kondisi sosial, budaya masyarakat, lingkungan fisik, politik, ekonomi, pendidikan dan sebagainya.

Menurut Lukito (2003) di dalam Simanulang (2011), pemanfaatan masyarakat terhadap berbagai produk dan inovasi kesehatan sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka akan semakin mudah seseorang untuk menerima sebuah inovasi khususnya dalam bidang kesehatan.

Demikian juga dalam penelitian ini, responden yang menggunakan vasektomi seluruhnya (7 responden) memiliki latar belakang pendidikan tinggi, yaitu Perguruan Tinggi (PT), sedangkan pada tingkat pendidikan SD, SMP dan SMA tidak ada. Hal ini seseuai dengan yang dikemukakan oleh Lukito (2003), yaitu semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin mudah untuk menerima inovasi dalam bidang kesehatan, dalam hal ini kontrasepsi vasektomi.

5.1.2 Pengaruh Pengetahuan terhadap Keikutsertaan Vasektomi di Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2013

Berdasarkan hasil uji Chi Square diperoleh nilai p=0,001 < 0,05 menunjukkan bahwa pengetahuan secara signifikan memengaruhi keikutsertaan pria PUS dalam Vasektomi di Kecamatan Percut Sei Tuan. Namun pada uji statistik regresi logistik

berganda menunjukkan variabel pengetahuan berpengaruh terhadap keikutsertaan Vasektomi dengan nilai p=0,007.

Hasil penelitian ini sesuai dengan beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, seperti penelitian yang dilakukan oleh Budisantosa (2008) yang mengemukakan bahwa pengetahuan berpengaruh dengan patisipasi pria dalam KB dengan nilai p=0,009. Begitu juga dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Sariyono (2004) yang menyatakan bahwa pengetahuan berpengaruh dengan parrtisipasi pria dalam KB dengan nilai p=0,001, serta penelitian yang dilakukan oleh Ekarini (2008) yang menyatakan bahwa pengetahuan berpengaruh terhadap partisipasi pria dalam KB dengan p=0,001 (OR=18,712). Namun hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan Maharyani (2010) yang menyatakan bahwa pengetahuan tidak berpengaruh secara signifikan dengan pasrtisipasi pria dalam KB dengan nilaii p=0,882.

Hasil penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian Fitri, (2002) didalam Simanulang, (2011) di Kecamatan Karangayar, Kabupaten Kebumen Bualan. Berdasarkan hasil penelitannya, ditemukan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan keikutsertaan suami untuk menggunakan kontrasepsi permanen (vasektomi) dengan probabiliti sebesar 0,003. Secara umum, tingkat pengetahuan kaum suami tentang kontrasepsi vasektomi masih sangat rendah.Para suami sering salah kaprah tentang efek kontrasepsi vasektomi. Malahan mereka sering menganggap vasektomi sama dengan kebiri. Padahal, vasektomi bukan kebiri. Vasektomi masih memungkinkan pria untuk memiliki kejantanan dan keturunan,

sementara bila pria dikebiri tidak akan memiliki kejantanan apalagi keturunan karena buah zakar/ testis dipotong, dibuang sehingga tidak dapat lagi memproduksi sperma dan hormon testoteron (pemberi sifat kejantanan). Akibatnya pria jadi kewanita-wanitaan, seperti terjadi pada zaman Romawi dimana laki-laki menjadi penjaga wanita. Sedangkan vasektomi hanya pemotongan saluran sperma kiri dan kanan saja, agar cairan mani yang dikeluarkan pada saat ejakulasi tidak lagi mengandung sperma. Pada vasektomi buah zakar/testis tidak dibuang jadi tetap dapat memproduksi hormon testoteron (kejantanan) (Gema Pria, 2009).

5.1.3 Pengaruh Pendapatan/Bulan terhadap Keikutsertaan Vasektomi di Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2013

Berdasarkan hasil uji Chi Square diperoleh nilai p=0,140 <0,05 menunjukkan bahwa pendapatan/bulan tidak berpengaruh secara signifikan memengaruhi keikutsertaan Vasektomi di Kecamatan Percut Sei Tuan. Namun pada uji statistik regresi logistik berganda menunjukkan variabel pendapatan/bulan berpengaruh terhadap keikutsertaan Vasektomi dengan nilai p=0,037. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Maharyani (2010) yang mengemukakan bahwa pendapatan secara signifikan berpengaruh terhadap partisipasi pria dalam KB dengan nilai p=0,005.

Tingkat pendapatan adalah satuan atau satuan materi yang diperoleh dari hasil pekerjaan seseorang.Tingkat pendapatan menjadi salah satu faktor yang memengaruhi seseorang untuk melakukan tindakan, khususnya tindakan yang berhubungan dengan pekerjaan seseorang (Notoatmojo, 2005). Menurut Katz (1960), sebagaimana yang

dikutip oleh Notoadmojo, timbulnya tindakan seseorang dilatarbelakangi oleh kebutuhan individu yang bersangkutan. Lebih lanjut Katz mengatakan bahwa tindakan itu memiliki fungsi instrumental, artinya dapat berfungsi dan memberikan pelayanan terhadap kebutuhan. Seseorang dapat bertindak terhadap obyek demi pemenuhan kebutuhan hidupnya (Notoatmojo, 2005).

Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian lainnya seperti Lukito (2003) didalam Simanulang, (2011), yang mengatakan tingkat sosial ekonomi sangat memengaruhi seseorang terhadap pemilihan media, sumber informasi, dan kemampuan dalam membeli alat yang dibutuhkan dalam menunjang kesehatannya.

Menurut Rafael yang dikutip Tarigan (2002), tingkat penghasilan (income) seseorang berhubungan kuat dengan pemanfaatan pelayanan atau produk kesehatan. Semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang, semakin tinggi pula tingkat pemanfaatan fasilitas dan produk kesehatan yang lebih baik. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang diperoleh dari lapangan. Dari 7 responden yang menggunakan kontrasepsi vasektomi, seluruhnya memiliki tingkat pendapatan lebih tinggi dari UMP. Demikian juga dengan hasil penelitian Fitri, (2002) didalam Simanulang, (2011) di Kecamatan Karangayar, Kabupaten Kebumen Bualan dinyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pendapatan dengan keikutsertaan suami untuk menggunakan kontrasepsi permanen (vasektomi ) sebesar 0,025.

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, terdapat pengaruh tingkat pendapatan dengan penggunaan kontrasepsi vasektomi.Artinya semakin tinggi tingkat

pendapatan, maka semakin besar kemungkinan seorang suami untuk menggunakan kontrasepsi. Sesungguhnya untuk meningkatkan partisipasi suami untuk mengikuti kontrasepsi vasektomi, maka pemerintah telah melaksanakan operasi kontrasepsi vasektomi secara gratis. Namun, sosialisasi yang masih minim mengakibatkan masyarakat menganggap bahwa operasi vasektomi hanya bisa dijangkau oleh kelompok masyarakat dengan tingkat pendapatan yang lebih tinggi karena biaya yang dibutuhkan besar.

Dokumen terkait