• Tidak ada hasil yang ditemukan

E. Metode Analisis Data

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. Pengaruh Hormon BAP terhadap Pertumbuhan Tumbuhan N. alata

Pemberian hormon BAP tidak berpengaruh nyata terhadap multiplikasi tunas tumbuhan N. Alata (Tabel 11). Multiplikasi tunas paling banyak ditunjukkan pada konsentrasi BAP 0,1 ml/l (A1) dengan jumlah tunas sebanyak 4,20 buah, diikuti pada konsentrasi BAP 0,3 ml/l (A2) sebanyak 4,00 buah dan 0,5 ml/l (A3) sebanyak 3,50 buah, sedangkan jumlah tunas paling sedikit dihasilkan pada kontrol (A0) sebanyak 2,80 buah (Tabel 10).

Tabel 10 Rekapitulasi pengaruh hormon BAP terhadap jumlah tunas, tinggi tunas, jumlah buku dan daun tumbuhan N. alata.

Perlakuan Jumlah Rata-rata Tunas (buah) Tinggi (cm) Buku (buah) Daun (helai) A0 2,83 0,70 1,83 4,67 A1 4,20 0,68 3,00 8,00 A2 4,00 0,50 2,00 8,00 A3 3,50 0,55 1,50 2,50

Pada pertumbuhan tinggi tunas tumbuhan N. alata, pertumbuhan paling tinggi ditunjukkan oleh kontrol (A0) dengan tinggi rata-rata 0,7 cm, diikuti pada perlakuan A1 dengan 0,68 cm, kemudian pada perlakuan A3 dengan 0,55 cm, dan paling rendah ditunjukkan pada perlakuan A2 dengan tinggi 0,50 cm. Berdasarkan analisis sidik ragam pemberian hormon BAP berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi tumbuhan N. Alata (Tabel 11).

Tabel 11 Rekapitulasi sidik ragam media MS terhadap jumlah tunas, tinggi tunas, jumlah buku dan daun N. alata.

Perlakuan Tunas (buah) Tinggi (cm) Buku (buah) Daun (helai) BAP tn * * *

Keterangan: * : Berpengaruh nyata tn : Tidak berpengaruh nyata

Berdasar uji lanjut wilayah Duncan perlakuan kontrol A0 (tanpa pemberian BAP) menunjukkan beda nyata terhadap perlakuan lainnya dengan pemberian hormon BAP (Tabel 12).

Tabel 12 Hasil uji wilayah Duncan pemberian hormon BAP terhadap tinggi tunas tumbuhan N. alata.

Kelas Duncan Mean N f1

A 0,72500 24 A0 A B A 0,57500 24 A1 B B C 0,43333 24 A3 C C 0,33750 24 A2

Keterangan: Kelas dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata.

Jumlah buku yang muncul pada eksplan setelah 12 MST paling banyak ditunjukkan pada perlakuan A1 sebanyak 3,00 buah, kemudian secara berurutan diikuti pada perlakuan A2 sebanyak 2,00 buah, kontrol (A0) sebanyak 1,83 buah, dan A3 sebanyak 1,50 buah. Sedangkan pertumbuhan jumlah daun paling banyak ditunjukkan oleh perlakuan A1 dan A2 sebanyak 8,00 helai, diikuti oleh kontrol (A0) dengan 4,67 helai, dan paling sedikit ditunjukkan oleh perlakuan A3 dengan 2,50 helai.

Hasil analisis sidik ragam penggunaan hormon BAP menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap pertambahan jumlah buku dan daun tumbuhan N. alata. Berdasar uji lanjut wilayah Duncan, beda yang nyata ditunjukkan pada perlakuan A0 (tanpa hormon BAP) terhadap perlakuan lainnya dengan penambahan hormon BAP (Tabel 13).

Tabel 13 Rekapitulasi hasil uji wilayah Duncan pemberian hormon BAP terhadap jumlah buku dan daun tumbuhan N. alata.

Kelas Duncan Mean N f1 Jumlah buku Jumlah daun A 1,8333 6.625 24 A0 A B A 1,7083 6.083 24 A1 B A B A 1,4583 4.625 24 A3 B B 1,1250 3.625 24 A2

Keterangan: Kelas dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata.

Dari data di atas diketahui bahwa semakin tinggi konsentrasi BAP yang diberikan justru menghambat pertumbuhan tunas dan pertumbuhan vegetatif tumbuhan N. alata. Hal ini berbeda dengan penyataan Hartman et al. (1997) yang

menyebutkan bahwa penambahan sitokinin ke dalam media induksi tunas lebih efektif dalam konsentrasi tinggi.

Hal tersebut mungkin saja terjadi karena kemampuan genetik setiap tanaman memberikan respon yang berbeda-beda terhadap zat pengatur tumbuh yang diberikan, dan kemampuan metabolisme tanaman sangat tergantung pada kemampuan genetik tanaman (faktor endogen). Ada pula beberapa tanaman yang tidak akan berespon terhadap zat pengatur tumbuh yang diberikan (faktor eksogen) (Wattimena et al., 1991).

Pada penampakan secara visual, tanaman kantung semar pada perlakuan A1 tumbuh dengan warna hijau muda, memunculkan banyak daun (8,00 helai) dan membentuk kantung tiap ujung daunnya (Gambar 5). Pada perlakuan A3, tanaman nepenthes terlihat tumbuh dengan warna hijau pucat, jumlah daun sedikit (2,50 helai) dan membentuk kantung pada ujungnya. Pada perlakuan ini, tanaman terlihat kurang sehat yang ditunjukkan dengan adanya beberapa helai daun yang berwarna pucat dan mengalami kematian.

Gambar 5 Perumbuhan nepenthes pada konsentrasi BAP 0,1 ml/l (A1).

Pada perlakuan A2, tumbuhan N. alata terlihat tumbuh dengan warna daun yang pucat, membentuk daun dengan ukuran kecil dan sedikit membentuk kantung; sedangkan pada kontrol (A0), tumbuhan N. alata tumbuh dengan warna daun yang pucat, dan membentuk daun serta kantung dengan ukuran yang relatif besar (Lampiran 11). Pada perlakuan kontrol ini juga ditemukan tanaman dengan beberapa daun yang mengalami kematian yang diduga keracunan dari media dan pemberian hormon yang tidak sesuai.

Sampai akhir waktu pengamatan (12 MST) ditemukan 2 buah eksplan yang mulai menumbuhkan akar (A0B0), tetapi hal ini diduga karena sumber eksplan yang

digunakan berasal dari bagian bawah batang tanaman yang sudah tua sehingga memicu pertumbuhan akar lebih cepat. Sedangkan pengkalusan ditemukan sebanyak 1 buah pada perlakuan A2B1 yang diduga disebabkan karena tubuh eksplan yang mengalami luka atau memar pada saat pemotongan (Gambar 6).

Gambar 6 Pengkalusan pada N. alata.

B. Kematian

Secara keseluruhan total jumlah eksplan yang mati sebesar 59,37% (Lampiran 8). Kematian yang terjadi pada eksplan disebabkan oleh 2 hal, yaitu karena pencoklatan (browning) dan kontaminasi oleh cendawan. Eksplan yang terserang browning (pencoklatan) serta sulitnya mendapatkan eksplan dalam kondisi yang steril (kontaminasi) merupakan kendala utaman yang sering ditemukan pada teknik kultur jaringan.

1. Browning (Pencoklatan)

Santoso dan Nursandi (2003) menyatakan, pencoklatan merupakan suatu peristiwa munculnya warna coklat atau hitam yang mengakibatkan tidak terjadinya pertumbuhan dan perkembangan eksplan. Hal ini bisa terjadi pada sistem biologis tanaman sebagai respon terhadap pengaruh fisik seperti memar dan luka bekas pemotongan (Gambar 7), atau disebabkan oleh serangan penyakit dan kondisi yang tidak normal. Warna coklat yang muncul merupakan melamin yang terbentuk akibat reaksi hidrolisasi sekunder O-quinon atau kelebihan O-difenol.

Gambar 7 Gejala awal pencoklatan pada tumbuhan N. alata.

Kematian yang terjadi pada eksplan diduga dikarenakan kecilnya ukuran eksplan yang menyebabkan berkurangnya daya tahan sehingga eksplan tidak dapat bertahan hidup saat senyawa fenolik terbentuk. Wattimena et al. (1992) menyebutkan bahwa daya tahan eksplan akan berkurang saat dikulturkan jika ukurannya terlalu kecil.

Pencoklatan yang terjadi tidak selalu mengakibatkan kematian pada tanaman. Beberapa eksplan ditemukan masih dapat bertahan setelah ditemukan terserang pencoklatan, hal ini diduga pencoklatan yang terjadi hanya menghambat pertumbuhan tunas seperti yang terlihat pada Gambar 8. Tunas baru muncul pada 6-9 MST atau bahkan lebih lama dari itu. Pembentukan senyawa fenolik yang berkumpul di sekitar jaringan yang luka atau rusak pada proses pencoklatan hanya menghambat pembelahan sel, perkembangan sel, dan perkembangan jaringan dan organ.

Gambar 8 Tunas tumbuh pada tumbuhan N. alata yang terserang pencoklatan.

Pada kasus lain juga sempat ditemukan eksplan yang menumbuhkan tunas setelah terserang pencoklatan namun hanya beberapa minggu bertahan dan akhirnya mati (A2B2). Hal ini diduga tunas mengalami keracunan dari senyawa fenolik yang terbentuk dan telah menyebar. Total jumlah eksplan yang terserang pencoklatan dan mati adalah sebesar 30% (Lampiran 9).

2. Kontaminasi

Kontaminasi merupakan gangguan yang sering ditemukan dalam kultur jaringan. Kontaminasi dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah bakteri, cendawan, ragi, dan virus (Evans et al., 2003). Kontaminasi yang muncul pada eksplan didominasi disebabkan oleh cendawan.

Kontaminasi yang muncul umumnya berasal dari badan eksplan yang dapat dilihat dari munculnya cendawan yang bermula dan berkumpul dari sekitar eksplan (Gambar 9). Hal ini memunculkan dugaan bahwa kontaminasi yang terjadi berupa kontaminasi sistemik yang berasal dari dalam tubuh tanaman yang masih menyisakan bakteri internal yang belum mati sepenuhnya saat sterilisasi pertama pada proses inisiasi, akan tetapi hanya bersifat dorman dan kemudian aktif kembali saat proses sub-kultur dilakukan.

Dugaan lainnya dapat disebabkan oleh masuknya kontaminan yang terbawa oleh udara atau pada alat saat melakukan proses pemotongan yang dikarenakan kondisi laboratorium tempat penanaman dan penyimpanan hasil kultur yang masih belum cukup memadai. Total jumlah eksplan yang mati disebabkan oleh kontaminasi sebesar 29,37% (Lampiran 10).

Dokumen terkait