• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Indeks Harga Saham Gabungan terhadap Kinerja Reksa dana Saham

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka

2.3 Kerangka Konseptual

2.3.5 Pengaruh Indeks Harga Saham Gabungan terhadap Kinerja Reksa dana Saham

Indeks Harga Saham Gabungan akan menunjukkan pergerakan harga saham secara umum yang tercatat di dalam bursa efek untuk mengukur apakah harga saham mengalami kenaikan atau penurunan. Secara logika sederhana, seharusnya hubungan antara IHSG dan kinerja reksa dana saham adalah positif karena IHSG adalah benchmark agregat dari seluruh fluktuasi saham yang ada, namun hasil empiris data historis seringkali memberikan informasi empiris yang berbeda, pada satu penelitian arah hubungan ini bisa menunjukkan hasil yang positif dan bahkan berpengaruh signifikan dengan implikasi yang positif. Di penelitian lainya hasil empiris bisa menunjukkan hasil sebaliknya (berhubungan negatif). Pada penelitian terdahulu menyatakan bahwa IHSG berpengaruh signifikan terhadap Nilai Aktiva Bersih reksa dana syariah berimbang (Rahmah:2011). Di penelitian lainnya menyatakan bahwa IHSG berpengaruh signifikan dan negatif terhadap tingkat pengembalian reksa dana saham (Ali:2012). Dan pada penelitian Pasaribu dan Kowanda (2014) bahwa Indeks Harga Saham Gabungan memiliki pengaruh signifikan terhadap tingkat pengembalian reksa dana saham.

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

2.4 Hipotesis

Berdasarkan kerangka konseptual, maka hipotesis yang diajukan adalah: 1. Nilai Tukar Rupiah, Suku Bunga SBI, Inflasi, Jumlah Uang Beredar, dan

Indeks Harga Saham Gabungan berpengaruh secara parsial terhadap Nilai Tukar

Rupiah

Jumlah Uang Beredar

Inflasi

Suku Bunga SBI

Kinerja Reksa Dana Saham (Metode Sharpe) Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)

Kinerja Reksa Dana Saham di Indonesia dengan menggunakan metode sharpe.

2. Nilai Tukar Rupiah, Suku Bunga SBI, Inflasi, Jumlah Uang Beredar, dan Indeks Harga Saham Gabungan berpengaruh secara simultan terhadap Kinerja Reksa Dana Saham di Indonesia dengan menggunakan metode sharpe.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Perekonomian Indonesia memerlukan dana investasi yang sangat besar agar mampu menciptakan kesempatan kerja baru dan meningkatkan tingkat pertumbuhan Produk Nasional Bruto (Lubis, 2008:107). Investasi merupakan komitmen atas sejumlah dana atau sumber daya lainnya pada saat ini dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan di masa yang akan datang. Investasi memiliki pengertian yaitu mengorbankan aset yang dimiliki sekarang untuk mendapatkan aset pada masa yang akan datang yang tentu saja dengan mengharapkan jumlah yang lebih besar dari yang dikorbankan. Menurut Pratomo (2008:9) selain kebutuhan akan masa depan, seseorang melakukan investasi karena dipicu oleh banyaknya ketidakpastian atau hal yang tidak terduga dalam hidup ini (keterbatasan dana, kondisi kesehatan, musibah, kondisi pasar investasi dan laju inflasi yang tinggi).

Di era globalisasi ini banyak investor yang tidak memiliki banyak waktu dalam mengelola dananya dan keterbatasan keahlian untuk menghitung resiko atas investasi yang mereka lakukan. Hal ini sekarang bukan menjadi masalah yang besar yang menghalangi para investor untuk melakukan investasi karena para calon investor dapat memberikan kepercayaanya kepada manajer investasi untuk mengelola dana yang mereka miliki. Pada 7 September 1995 diperkenalkan sebuah instrumen investasi baru di Indonesia yang disebut reksa dana.

Reksa dana merupakan salah satu alternatif investasi bagi masyarakat pemodal, khususnya bagi pemodal kecil dan pemodal yang tidak memiliki banyak waktu dan keahlian untuk menghitung risiko atas investasi mereka. Reksa dana dirancang sebagai sarana untuk menghimpun dana dari masyarakat yang memiliki modal, dan mempunyai keinginan untuk melakukan investasi, namun hanya memiliki waktu dan pengetahuan yang terbatas.

Saat ini para investor sudah banyak yang tertarik dengan reksadana, hal ini dapat dilihat dari perkembangan reksa dana yang cukup baik, seperti yang ditampilkan pada Tabel 1.1 yang menggambarkan Nilai Aktiva Bersih (NAB) yang dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Nilai Aktiva Bersih (NAB) menyatakan jumlah dana yang dikelola oleh suatu reksa dana. Menurut Heri Sudarsono (2008:218), nilai aktiva bersih (NAB) berasal dari nilai portofolio reksa dana yang bersangkutan. Meningkatnya NAB mengindikasikan naiknya nilai investasi pemegang saham per unit penyertaan. Begitu juga sebaliknya, menurun berarti berkurangnya nilai investasi pemegang saham per unit penyertaan. Unit Penyertaan (UP) adalah satuan yang digunakan dalam investasi reksa dana. Semakin besar jumlah unit penyertaan, berarti semakin banyak investor yang berinvestasi pada suatu reksa dana. Sedangkan NAB/UP menyatakan harga suatu reksa dana.

Perkembangan reksa dana di Indonesia dari tahun 2011 sampai pada tahun 2014 dapat dilihat pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1

Perkembangan NAB, UP, dan NAB/UP Reksa dana di Indonesia dari tahun 2011 – 2014

No Tahun NAB (Rupiah) Unit penyertaan

(Unit) NAB / Unit 1 2011 163.089.497.538.522,93 98.468.892.701,06 1.656,25 2 2012 182.496.528.050.841,87 112.702.547.919,70 1.619,28 3 2013 185.139.473.870.228,09 119.659.185.769,16 1.547,22 4 2014 228.211.947.026.580,65 141.603.294.901,51 1.611,63 Sumber : http://bapepam.go.id/

Perkembangan reksa dana di Indonesia dari tahun 2011 sampai tahun 2014 mengalami peningkatan dalam kurun waktu tersebut. Apabila dilihat dari statistik pada Tabel 1.1, pertumbuhan NAB dan juga UP yang setiap tahunnya mengalami peningkatan. Hal ini mengindikasikan bahwa sudah banyak masyarakat Indonesia yang mulai membuka pikiran untuk berinvestasi, dan khususnya berinvestasi di reksa dana. Tetapi hal ini tidak sejalan dengan nilai investasi yang ditawarkan oleh reksa dana. Dari Tabel 1.1 dapat dilihat bahwa NAB/UP mengalami penurunan pada tahun 2011–2013, dan mulai meningkat pada tahun 2013–2014. Hal ini menunjukkan nilai investasi mengalami fluktuasi setiap tahunnya yang berarti bahwa investasi di reksa dana juga berisiko bagi setiap investornya, dikarenakan setiap investasi menyangkut masa yang akan datang. Ini yang menjadi masalah bagi investor yang ingin berinvestasi yaitu risiko naik turunnya nilai investasi.

Pertimbangan utama investor dalam berinvestasi di reksa dana dengan melihat kinerja historis reksa dana, hal ini menurut survei di Amerika (Ekopriyo:2001 dalam Wibowo:2005). Melihat perkembangan kinerja reksa dana yang tidak stabil maka penting bagi investor secara berkala menilai kinerja reksa dana untuk menjaga nilai kekayaan investor agar tidak menurun. Untuk

mengetahui portofolio reksa dana yang optimal maka harus dilakukan pengukuran kinerja reksa dana.

Pengukuran kinerja reksa dana dapat dilakukan dengan melihat return portofolio atau return-sesuaian risiko (Risk-adjusted return). Return-sesuaian risiko dibagi menjadi sharpe’s measure, treynor’s measure, dan jensen’s measure. Seorang investor yang rasional sebelum mengambil keputusan investasi, paling tidak harus mempertimbangkan 2 (dua) hal, yaitu pendapatan yang diharapkan (expected return) dan risiko (risk) yang terkandung dari alternatif investasi yang dilakukannya dan menurut Hartono (2014:705) bahwa pengukuran portofolio berdasarkan returnnya saja tidak cukup, tetapi juga harus mempertimbangkan return dan risikonya. Sehingga pada penelitian ini, untuk mengukur kinerja reksa dana maka digunakan salah satu metode dari return-sesuaian risiko, yaitu dengan menggunakan sharpe’s measure, hal ini dikarenakan metode Sharpe memperhitungkan risiko secara menyeluruh, yaitu systematic risk dan unsystematic risk (Magdalena S. dan Amelina A. S.:2012).

Secara umum reksa dana terbagi atas reksa dana pasar uang, reksa dana pendapatan tetap, reksa dana saham, dan reksa dana campuran. Reksa dana saham memberikan potensi pertumbuhan nilai investasi yang lebih besar dibandingkan dengan reksa dana pasar uang, reksa dana pendapatan tetap, dan reksa dana campuran. Hal ini berarti risiko reksa dana saham ini juga memiliki risiko yang besar. Reksa dana saham menjadi pilihan investasi yang menarik bagi investor yang mengerti potensi investasi untuk jangka panjang dalam menginvestasikan dananya.

Hal ini dapat dilihat dari Gambar 1.1 yang menunjukkan bahwa reksa dana saham lebih diminati oleh investor dibandingkan dengan jenis lainnya. Sekalipun berisiko tinggi, saham menarik untuk dijadikan alternatif investasi karena memiliki potensi hasil yang juga tinggi.

Sumber : http://bapepam.go.id/

Gambar 1.1

Komposisi NAB Reksa dana

Dari Gambar 1.1 dapat dilihat bahwa NAB tertinggi terdapat pada reksa dana saham sebesar Rp 89.801.213.889.218,55 dan kemudian disusul oleh reksa dana pendapatan tetap sebesar Rp 43.499.359.575.588,37 lalu reksa dana pasar uang sebesar Rp 27.127.358.316.764,50 dan yang paling terendah adalah nilai NAB dari reksa dana campuran sebesar Rp 16.926.427.609.979,95.

Menurut Widoatmodjo (2015:233) bahwa musuh utama investasi adalah makro ekonomi. Walaupun kondisi makro ekonomi berada di luar perusahaan tetapi makro ekonomi merupakan keadaan yang mempengaruhi operasi perusahaan sehari‐hari. Kemampuan investor untuk memahami dan meramalkan kondisi makro ekonomi di masa yang akan datang sangat berguna dalam pembuatan keputusan investasi yang menguntungkan dan dapat meminimalkan resiko investasi. Oleh karena itu pengambilan keputusan investasi bukan saja membutuhkan informasi tentang kondisi perusahaan tapi juga harus mempertimbangkan beberapa indikator makro ekonomi. Hal ini disebabkan kondisi makro ekonomi secara keseluruhan akan mempengaruhi kegiatan ekonomi masyarakat, pengusaha, investor dan kinerja perusahaan.

Nilai tukar, suku bunga, inflasi, jumlah uang beredar dan indeks harga saham gabungan adalah indikator makro ekonomi yang seringkali dihubungkan dengan investasi. Hal ini terbukti dari penelitian-penelitian terdahulu, yaitu penelitian Mardiyanti dan Rosalina (2013) tentang analisis pengaruh nilai tukar, tingkat suku bunga, dan inflasi pada indeks harga saham, Novianto (2011) tentang analisis pengaruh nilai tukar (kurs) Dolar Amerika/Rupiah (US$/Rp), tingkat suku bunga SBI, inflasi, dan jumlah uang beredar (M2) terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) Periode 1999.1-2010.6. Penelitian Halim tentang pengaruh makro ekonomi terhadap return saham kapitalisasi besar di Bursa Efek Indonesia, yang menjadi bagian makro ekonominya adalah BI rate, inflasi, jumlah uang beredar, dan nilai tukar. Dan dalam penelitian Sholihat, et al. (2015) tentang pengaruh inflasi, tingkat suku

bunga Sertifikat Bank Indonesia dan Indeks Harga Saham Gabungan terhadap tingkat pengembalian reksadana saham (studi pada Bursa Efek Indonesia periode 2011-2013).

Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah disebutkan diatas, beberapa variabel makro ekonomi yang sering digunakan untuk diteliti sebagai pertimbangan dalam mengambil keputusan investasi adalah nilai tukar, suku bunga, inflasi, jumlah uang beredar, dan indeks harga saham gabungan. Sehingga penelitian ini menggabungkan dari variabel-variabel makro ekonomi ini menjadi satu penelitian.

Setiap tahunnya keadaan makro ekonomi selalu menjadi topik pembahasan yang menarik, dikarenakan gejolak perekonomian yang tidak menentu. Indikator makro ekonomi (nilai tukar rupiah, suku bunga SBI, inflasi, jumlah uang beredar dan indeks harga saham gabungan) harus diberi perhatian khusus oleh pemerintah dan masyarakat. Berikut ini adalah tabel yang memperlihatkan perkembangan dari makro ekonomi selama periode 2011 sampai 2014:

Tabel 1.2

Nilai Rata-Rata dari Makro Ekonomi di Indonesia dari Tahun 2011 - 2014

Makro Ekonomi Tahun

2011 2012 2013 2014

Nilai Tukar Rupiah 8776,01 9384,24 10459,09 11868,67

BI rate 6,58% 5,77% 5,98% 7,54%

Inflasi 5,38% 4,28% 6,97% 6,42%

Jumlah Uang Beredar

(dalam miliar rupiah) 2.571.164 3.043.937 3.465.392 3.867.679

IHSG 3746,07 4118,83 4606,25 4937,46

Berdasarkan data ini, dapat dilihat bahwa makro ekonomi tidak memiliki peningkatan atau penurunan yang tetap, yang artinya bahwa makro ekonomi ini tidak dapat ditebak karena tingkat fluktuasi yang tidak menentu. Pada BI rate, dan inflasi sangat terlihat fluktuasinya. Sedangkan pada indikator makro ekonomi lainnya, seperti pada nilai tukar Rupiah, jumlah uang beredar, dan indeks harga saham gabungan terlihat bahwa setiap nilai mengalami peningkatan namun jumlah peningkatannya tidak tetap, dan jika dilihat berdasarkan data per bulannya selama periode 2011–2014, data-data ini mengalami fluktuasi secara keseluruhan. Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Makro Ekonomi Terhadap Kinerja Reksa Dana Saham di Indonesia dengan Metode Sharpe”.

Dokumen terkait