• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAN RPO SELAMA PENYIMPANAN

Pendahuluan

Minyak sawit merah merupakan sumber karoten yang paling potensial karena mengandung -karoten antara 500-700 ppm serta memiliki bioavailabilitas

yang lebih baik daripada -karoten yang terdapat pada bayam dan wortel (Darnoko et al. 2002; Het Hof et al. 2000; Rice and Burn 2010). Beberapa penelitian telah menguji kemampuannya dalam memperbaiki status vitamin A pada berbagai studi pada manusia (Lietz et al. 2001; Zagre et al. 2003; Canfields et al. 2001; Radhika et al. 2003; Zeba et al. 2006). Ketersediaan sawit di Indonesia cukup berlimpah. Produksi sawit Indonesia mencapai 20,75 juta ton per tahun (KARVY 2010). Minyak sawit merah yang dihasilkan dari pengepresan mesokarp buah sawit adalah crude palm oil (CPO) yang masih mengandung gum, yang dikenal pula sebagai minyak sawit mentah (MSMn). Pengolahan lanjut dari CPO melalui proses degumming dan netralisasi alkali dihasilkan produk yang dikenal dengan nama red palm oil (RPO). Sehubungan dengan hal tersebut maka pemanfaatan baik CPO maupun RPO dalam upaya penanggulangan KVA merupakan langkah yang tepat melalui pengembangan produk pangan intervensi kaya provitamin A berbasis minyak sawit. Salah satu jenis pangan yang berpotensi adalah gula kelapa karena dikonsumsi secara luas di masyarakat.

Hal yang perlu dipertimbangkan dalam mengembangkan gula kelapa sebagai produk pangan alternative penyumbang provitamin A bersumber minyak sawit adalah bahwa gula kelapa mempunyai umur simpan cukup lama mencapai sekitar satu bulan dan akan mengalami penurunan mutu selama periode penyimpanan. Penurunan mutu gula kelapa ditandai terutama dengan perubahan baik sifat fisik terutama warna dan tekstur, kimia maupun sensorinya. Selama penyimpanan gula kelapa memungkinkan terjadinya peningkatan kadar air, gula reduksi, aldehid dan keton, serta radikal bebas yang merupakan hasil dari reaksi kerusakan lemak yang memunculkan bau rancid (tengik). Umur simpan gula kelapa dipengaruhi oleh jenis kemasan yang digunakan, yaitu pada kemampuan kemasan melindungi produk dari komponen-komponen disekelilingnya seperti udara (uap air dan O2), cahaya dan kontaminan. Suhu penyimpanan juga

berpengaruh terhadap umur simpan gula. Semakin rendah suhu maka akan semakin dapat mempertahankan mutu gula kelapa.

Disisi lain karoten merupakan komponen yang mudah mengalami kerusakan baik karena isomerisasi maupun oksidasi, bila terpapar oleh oksigen, radikal bebas, panas, asam maupun cahaya. Terjadinya isomerisasi maupun oksidasi pada karoten akan mengakibatkan turunnya atau bahkan kehilangan aktivitas vitamin A nya (Gropper et al. 2009). Oleh karena itu untuk mempertahankan retensi karoten di dalam gula kelapa, perlu diupayakan teknik pengemasan yang tepat yang mampu mengurangi paparan produk dari cahaya, maupun udara (oksigen).

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi jenis kemasan tunggal dan kemasan ganda terhadap retensi karoten, perubahan sifat fisik (tekstur) dan kimia gula kelapa yang diperkaya minyak sawit merah selama penyimpanan.

Metode Bahan dan Alat

Bahan, alat, prosedur pembuatan dan prosedur analisis gula kelapa yang diperkaya dengan CPO maupun RPO mengacu pada penelitian sebelumnya (penelitian tahap 1).

Disain Penelitian

Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan tiga faktor yaitu: 1) jenis minyak sawit merah ( CPO dan RPO), 2) jumlah penambahan mintak sawit merah per 10 liter nira ( 30 ml, 60 ml dan 90 ml), dan 3) Jenis kemasan (kemasan tunggal (plastik polypropylene/PP) dan kemasan ganda (plastik PP + kertas payung/coklat). Masing-masing perlakuan diulang 2 (dua) kali sehingga terdapat 24 unit percobaan. Parameter yang diamati meliputi: kadar total karoten diukur dengan UV-vis spertrofotometer pada = 445 nm menurut metoda AOAC (2005), retensi provitamin A (karoten), persentase penurunan karoten selama penyimpanan, kadar air (grafimetri), kadar gula reduksi (metode Nelson Somogyi), kadar FFA (titrasi) , dan tekstur (penetrometer). Pengamatan dilakukan pada minggu ke-0, minggu ke-4 dan minggu ke-8. Data hasil pengukuran parameter kimia dan fisik dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA) pada selang kepercayaan 95 persen. Bila terdapat keragaman dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (DMRT) .

Hasil Dan Pembahasan

Nilai rerata kadar air dan tekstur gula kelapa pada pengamatan minggu ke 0, ke-4 dan ke-8 disajikan pada Tabel 7. Kadar air gula kelapa pada awal penelitian pada semua kelompok perlakuan relatif sama yaitu berkisar antara 7.52 - 8.46 persen (p>0.05). Setelah disimpan selama 2 bulan ( 8 minggu), pada semua kelompok perlakuan mengalami peningkatan dengan nilai kadar air antara 8.55 - 9.94 persen (meningkat 5.05 – 22.09 persen) namun secara statistik tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (Tabel 7).

Tabel 7 Perubahan kadar air dan tekstur selama penyimpanan gula kelapa yang diperkaya CPO dan RPO

Perlakuan Kadar air (%) Tekstur (mm/g/dtk)

M0 M4 M8 M0 M4 M8 RPO30P1 7.80 8.88 8.90 0.0023 0.0063 0.0071 RPO60P1 8.14 8.68 9.94 0.0029 0.0057 0.0069 RPO90P1 7.52 8.88 9.18 0.0034 0.0055 0.0065 RPO30P2 7.80 8.63 8.55 0.0023 0.0067 0.0073 RPO60P2 8.14 8.21 9.63 0.0029 0.0059 0.0071 RPO90P2 7.52 8.55 8.81 0.0034 0.0056 0.0067 CPO30P1 8.22 8.74 8.90 0.0031 0.0063 0.0076 CPO60P1 8.38 8.87 9.18 0.0037 0.0069 0.007 CPO90P1 8.46 8.91 9.04 0.0058 0.0075 0.0079 CPO30P2 8.22 8.63 8.71 0.0031 0.0066 0.0074 CPO60P2 8.38 8.79 9.02 0.0037 0.0071 0.0076 CPO90P2 8.46 8.80 8.89 0.0058 0.0078 0.0081 Keterangan: P1= pengemasan tunggal; P2 = pengemasan ganda, M0 =

minggu ke-0, M4= minggu ke-4, M8=minggu ke-8. (30, 60, 90) = jumlah penambahan CPO maupun RPO (ml/10 L nira). P>0.05

Kadar air pada semua perlakuan meningkat seiring dengan lamanya waktu penyimpanan yang juga diikuti berkurangnya kekerasan tekstur gula kelapa (semakin lunak). Gula merupakan produk yang bersifat higroskopis karena banyak mengandung gugus hidrofilik (-OH) yang mudah mengikat uap air di sekitarnya. Namun demikian hingga penyimpanan selama 2 bulan, kadar air produk pada semua perlakuan masih dalam kisaran standar SNI-01-3743-1995 (< 10 persen), yaitu antara 8.55 hingga 9.94 persen.

Meskipun jenis kemasan tunggal maupun ganda tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar air selama penyimpanan, namun gula yang yang dikemas dengan kemasan tunggal mempunyai kadar air yang relatif lebih tinggi dibandingkan yang dikemas menggunakan kemasan ganda (p>0.05).

Tekstur merupakan salah satu atribut yang penting untuk mutu gula kelapa. Pada penelitian ini, tekstur gula kelapa lebih banyak dipengaruhi oleh jenis minyak sawit merah yang digunakan dan jumlah penambahannya. Pada Tabel 7 menunjukkan bahwa semakin banyak penambahan CPO maupun RPO, menghasilkan gula kelapa yang semakin kurang keras yang ditunjukkan dengan nilai yang semakin meningkat, sedangkan penggunaan RPO menghasilkan gula dengan tekstur yang lebih keras dibandingkan CPO (p<0.05). Selama penyimpanan, kekerasan tekstur gula kelapa mengalami penurunan yang juga dipengaruhi oleh jenis kemasan yang digunakan. Pada pengamatan mingu ke-4 maupun ke-8, jenis minyak sawit merah dan jenis kemasan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kekerasan tekstur gula kelapa (p<0.001). Rerata nilai tekstur gula kelapa yang diperkaya CPO dan RPO pada pengamatan 1 bulan penyimpanan adalah 0.0070 dan 0.0059 mm/g/dtk dan pada pengamatan 2 bulan masing-masing adalah 0.0076 dan 0.0069 mm/g/dtk. Nilai rerata tekstur pada pengaruh penggunaan pengemas tunggal dan pengemas ganda pada penyimpanan 1 bulan masing-masing adalah 0.066 dan 0.0063 mm/g/dtk dan pada pengamatan

2 bulan adalah 0.0074 dan 0.0071. Selama 2 bulan penyimpanan, tekstur gula kelapa menurun kekerasannya antara 0.38 – 2.15 kali

Selama penyimpanan gula kelapa terjadi peningkatan kadar gula reduksi yang diakibatkan karena terjadinya hidrolisis sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa, yang dipengaruhi antara lain oleh suhu dan kadar air. Pada pengamatan minggu ke-0, kadar gula reduksi produk pada semua perlakuan relatif sama. Namun demikian, dengan semakin lamanya waktu penyimpanan, kadar gula reduksi semakin meningkat yang dipengaruhi oleh jenis minyak sawit merah yang digunakan dan jumlah penambahannya (Tabel 8).

Tabel 8 Perubahan kadar gula reduksi dan FFA selama penyimpanan gula kelapa yang diperkaya CPO dan RPO

Perlakuan Kadar gula reduksi (% bk) FFA(%)

M0 M4 M8 M0 M4 M8 RPO30P1 2.22 3.87 3.9 0.122 0.119 0.129 RPO60P1 2.41 3.86 4.03 0.132 0.139 0.144 RPO90P1 2.30 3.69 4.12 0.144 0.154 0.159 RPO30P2 2.22 3.9 4.04 0.122 0.134 0.129 RPO60P2 2.41 3.91 4.05 0.132 0.149 0.149 RPO90P2 2.30 4.04 4.18 0.144 0.159 0.159 CPO30P1 2.61 3.96 4.24 0.142 0.144 0.149 CPO60P1 2.36 4.32 4.46 0.152 0.159 0.164 CPO90P1 2.32 4.35 4.59 0.159 0.174 0.174 CPO30P2 2.61 4.28 4.31 0.142 0.149 0.152 CPO60P2 2.36 4.42 4.6 0.152 0.164 0.164 CPO90P2 2.32 4.58 4.62 0.159 0.179 0.179

Keterangan: P1= pengemasan tunggal; P2 = pengemasan ganda, M0 = minggu ke-0, M4= minggu ke-4, M8=minggu ke-8; (30, 60, 90) = jumlah penambahan CPO maupun RPO (ml/10 L nira). P>0.05

Berdasarkan hasil ANOVA pada selang kepercayaan 95 % menunjukkan bahwa jenis minyak sawit merah berpengaruh terhadap kadar gula reduksi pada pengamatan minggu ke-4 dan minggu ke-8. Penambahan CPO pada pembuatan gula kelapa secara nyata menunjukkan nilai kadar gula reduksi yang lebih tinggi dibandingkan RPO yaitu masing-masing 2.43 : 2.31 (% bk) pada M0, 4.32 : 3.88 (% bk) pada M4 dan 4.47 : 4.05 (% bk) pada M8.

Gula kelapa RPO cenderung mempunyai kadar gula reduksi yang lebih rendah dibandingkan gula CPO selama penyimpanan. Hal tersebut kemungkinan berkaitan dengan lebih rendahnya kadar air pada gula RPO dibandingkan gula CPO. Kadar air dalam produk akan memicu proses hidrolisis sukrosa menjadi gula-gula reduksi (Belitz dan Grosch 1999). Pada minggu ke-0, kadar gula reduksi produk berkisar 2.2 - 2.61 persen. Setelah disimpan selama 2 bulan, jumlah gula reduksi meningkat menjadi rata-rata antara 3.9 - 4.62 persen. Kadar gula reduksi produk hingga waktu penyimpanan 2 bulan masih berada dalam batas standar SNI untuk gula kelapa yaitu dibawah 10 persen (antara 3.9 – 4.62 persen).

Penambahan minyak sawit baik CPO maupun RPO serta jumlah penambahannya nya sebagai pengganti minyak sayur pada tahap defoaming (t = 1020C), berpengaruh terutama terhadap kandungan karotenoid dan tekstur serta sensori gula kelapa.

Tabel 9 Perubahan kadar total karoten dan persentase penurunan karoten selama penyimpanan gula kelapa yang diperkaya CPO dan RPO

Perlakuan Kadar total karoten (µg/g) Penurunan karoten selama penyimpanan (%) M0 M4 M8 1-bulan 2-bulan RPO30P1 14.34 8.61 7.03 39.36 49.79 RPO60P1 33.16 27.64 26.92 18.03 20.01 RPO90P1 52.62 46.08 41.28 12.30 21.42 RPO30P2 14.34 10.60 9.10 25.80 35.71 RPO60P2 33.16 31.14 28.55 8.41 17.64 RPO90P2 52.62 52.11 50.04 0.96 4.99 CPO30P1 49.68 41.28 37.20 17.22 25.40 CPO60P1 96.87 91.91 89.70 4.61 13.84 CPO90P1 148.24 140.29 124.93 5.79 15.71 CPO30P2 49.68 45.59 42.35 8.40 15.04 CPO60P2 98.51 94.16 93.30 4.16 5.00 CPO90P2 148.24 141.60 133.83 4.66 9.88

Keterangan: P1 (pengemasan tunggal); p2 (pengemasan ganda), M0 (minggu ke-0), M4 (minggu ke-4), M8 (minggu ke-8).

Penggunaan CPO (minyak sawit kasar) sebagai sumber provitamin A secara nyata menunjukkan hasil gula dengan kadar total karoten yang lebih tinggi dibandingkan penggunaan RPO (minyak sawit merah). Demikian pula halnya dengan parameter retensi karoten. Tingginya kadar karoten pada gula CPO dibandingkan gula RPO disebabkan karena jumlah total karoten pada CPO lebih tinggi. Hasil analisis total karoten CPO dan RPO (spektrofotometri) pada penelitian ini adalah 2615,4 ppm dan 2133,6 ppm, sedangkan kandungan - karoten (HPLC) berturut turut adalah 464 ppm dan 227 ppm. Sundram et al. (2003) menyebutkan bahwa pada proses pembuatan RPO melalui serangkaian proses deasidikasi dan deodorisasi, dengan retensi karoten adalah sekitar 80% dari karotenoid bahan baku asalnya yaitu CPO. Beberapa peneliti melaporkan

perkiraan kandungan karotenoid dalam RPO, yaitu untuk -karoten (HPLC) sekitar 143-314 ppm (Trigueiro dan Penteado, 1996), 237 ppm (You et al 2002) dan untuk total karoten (spektrofotometri) adalah 500 – 700 ppm (Edem 2002), dan 211 – 2604 ppm (Noh et al. 2002).

Semakin banyak jumlah penambahan minyak sawit merah retensi karoten selama penyimpanan gula kelapa semakin baik yang ditunjukkan dengan persentase penurunan karoten yang semakin kecil (Tabel 9). Penggunaan CPO memperlihatkan retensi karoten yang lebih baik dibandingkan RPO. Kadar total karoten pada pengamatan minggu ke-0 berkisar antara 14.34 hingga 148.24 µg/g. Setelah disimpan selama 1 bulan terjadi penurunan kadar karoten antara 0.96 persen hingga 39.36 persen dengan kadar total karoten berkisar 8.61 hingga 141.60 µg/g. Pada 2 bulan penyimpanan, penurunan karoten berkisar antara 4.99 persen hingga 49.79 persen dengan kadar total karoten antara 7.03 hingga 133.83 µg/g .

Gambar 13 Penurunan kadar total karoten gula kelapa yang diperkaya CPO dan RPO setelah disimpan selama 1 bulan dengan menggunakan kemasan tunggal (P1) dan kemasan ganda (P2)

Minyak sawit merah mengandung banyak komponen yang mempunyai aktifitas sebagai antioksidan seperti karoten, likopen, tocoferol dan tocotrienol (Sundram 2003). Semakin banyak jumlah penambahan minyak sawit merah maka semakin banyak jumlah komponen antioksidan yang akan melindungi kerusakan karoten secara oksidatif. Gum yang terdapat di dalam CPO juga ikut berperan dalam perlindungan terhadap kerusakan karoten. Hal itu terlihat pada gula yang ditambah dengan CPO menunjukkan penurunan total karoten selama penyimpanan yang relatif lebih lambat dibandingkan penggunaan RPO.

Penggunaan kemasan yang memadai juga merupakan salah satu upaya untuk mempertahankan mutu suatu produk makanan. Penggunaan kemasan ganda secara nyata menunjukkan penurunan total karoten yang lebih lambat dibandingkan dengan kemasan tunggal, yaitu 10.41 : 14.54 persen pada 1 bulan penyimpanan dan 15.38 : 22.05 persen pada 2 bulan penyimpanan. Penggunaan kemasan ganda plastik polypropylen dengan kertas payung mampu menghambat penurunan total karoten antara 4.13 – 6.67 persen. Hal tersebut karena penggunaan kertas coklat pada kemasan ganda mampu melindungi produk terhadap paparan cahaya, sehingga mencegah kerusakan karoten karena proses isomerisasi. Pada penggunaan kemasan tunggal, plastik hanya mampu menghambat kerusakan secara oksidatif dengan cara mengurangi paparan produk terhadap oksigen, namun kerusakan karena isomerisasi yang dipicu oleh paparan cahaya tidak dapat dihindarkan.

Kesimpulan

1. Kemasan ganda plastik plastik polypropylene dan kertas coklat lebih mampu menghambat penurunan karoten selama penyimpanan dibandingkan kemasan tunggal.

2. Setelah disimpan selama 1 hingga 2 bulan, kadar karoten gula kelapa RPO hasil terbaik turun 39.36 % hingga 49.79 % pada kemasan tunggal , sedangkan pada kemasan ganda turun 25.80% hingga 35.71 % . Untuk gula CPO turun 17.22 % hingga 25.40 % pada kemasan tunggal dan pada kemasan ganda turun 8.4 % hingga 14.04%.

6.EFEK PEMBERIAN GULA KELAPA YANG DIPERKAYA MINYAK SAWIT MERAH TERHADAP STATUS VITAMIN A DAN STATUS

IMUN TIKUS Pendahuluan

Kurang vitamin A (KVA) merupakan masalah gizi kesehatan masyarakat yang terutama banyak dijumpai di negara-negara berkembang. Secara global, rabun senja mempengaruhi sekitar 5.3 juta anak-anak usia prasekolah dan 9.8 juta wanita hamil (WHO 2009).

Vitamin A memainkan peranan penting dalam sejumlah besar fungsi fisiologis yang meliputi penglihatan, pertumbuhan normal, reproduksi, hemathopoiesis, diferensiasi epitel dan sel mesenchymal , dan diperlukan dalam berbagai proses yang berkaitan dengan kekebalan termasuk pemeliharaan pertahanan epitel dan kekebalan seluler maupun humoral (Kinoshita dan Ross 1993; Sommer dan West 1996). Vitamin A mengatur sel T - helper tipe 2 (Th2) sel , dan meningkatkan kekebalan humoral, produksi antibodi, pematangan Ig dan deaktivasi makrofag (Garcia 2012). Asam retinoat, yang merupakan salah satu bentuk vitamin A, berperan mempertahankan homeostasis kekebalan tubuh dengan meningkatkan fungsi sel T regulatory (Treg), yang mengatur keseimbangan fungsi sel Th1 dan Th2 (Mullin 2011). Defisiensi vitamin A menghambat baik imunitas humoral dan seluler di mukosa (Yang et al. 2011). Kekurangan vitamin A disebabkan oleh kurangnya asupan makanan sumber vitamin A, tidak terpenuhinya kebutuhan fisiologis dan faktor budaya. Di Indonesia, prevalensi KVA masih tergolong tinggi yang ditunjukkan dengan masih tingginya kasus defisiensi vitamin A sub klinis, yaitu lebih dari 50 persen balita mempunyai kadar retinol serum < 20 mcg/dl (Depkes 2003). Data terbaru menunjukkan masih ditemukan kasus xeropthalmia 0.13 persen (cut-off point 0.5 persen) dan indeks retinol serum 14.6 persen (cut-off point 15 persen), serta terjadi penurunan cakupan suplementasi vitamin A secara nasional (Bappenas 2011, Riskesdas 2010).

Defisiensi vitamin A seperti halnya zat gizi mikro lainnya akan berdampak pada penurunan kualitas sumberdaya manusia, dan merupakan penyebab terbesar kasus morbiditas dan mortalitas pada anak-anak balita dibeberapa negara berkembang (Thurnham et al. 2003). Peningkatan penyediaan berbagai jenis pangan yang kaya akan vitamin A, akan memudah akses masyarakat akan zat gizi tersebut.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui program fortifikasi pangan yang bertujuan untuk meningkatkan level zat gizi tertentu. Gula kelapa potensial digunakan sebagai wahana fortifikasi karena dikonsumsi secara luas di masyarakat baik pada skala rumah tangga maupun industri. Minyak sawit merah mengandung -karoten antara 500-700 ppm serta memiliki bioavailabilitas yang

lebih baik daripada -karoten yang terdapat pada bayam dan wortel (Darnoko et al. 2002; Het Hof et al. 2000; Rice and Burn 2010)

Hasil penelitian sebelumnya tentang penambahan minyak CPO dan RPO pada tiga taraf penambahan menunjukkan bahwa penambahan pada jumlah 30 ml/ 10 L nira kelapa menghasilkan gula kelapa yang dapat diterima secara sensori serta mengandung total karoten antara 1337 sampai 3946 µg/100 g dengan retensi

karoten antara 25.3 hingga 63.38 persen ( Sari 2013; Dwiyanti et al. 2013). Namun demikian masih diperlukan kajian tentang uji pengaruh pemberian gula kelapa yang diperkaya CPO atau RPO terhadap peningkatan status vitamin A dan respon imun.

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efek pemberian gula kelapa yang diperkaya provitamin A bersumber CPO dan RPO terhadap kadar retinol hati dan retinol serum sebagai indikator status vitamin A, level imunoglobulin G (IgG) sebagai indikator status imun, serta pertumbuhan tikus Sprague Dawley defisien vitamin A sedang (moderate) dan berat (severe).

Metode

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratoriun Rekayasa Proses Teknologi Pertanian Unsoed, Lab. Kimia dan Analisis Makanan Departemen GMSK, Lab. Balai Besar Industri Agro (BBIA) Bogor, Laboratorium Penelitian Hewan Rumah Sakit Hewan, Institut Pertanian Bogor, Lab. Puslitbang Gizi Bogor dan Lab Kesehatan Daerah Bogor, mulai bulan Oktober 2012 hingga Juni 2013. Penelitian pada hewan telah mendapatkan persetujuan dari Komisi Etik Hewan Institut Pertanian Bogor nomor: 04-2012 IPB.

Bahan dan alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: CPO dan RPO diperoleh dari PT Smart tbk., suplemen vitamin A retnyl palmitate yang diperoleh dari Kimia Farma Indonesia, gula kelapa yang diproduksi di industri gula kelapa kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas berdasarkan formula hasil terbaik penelitian tahap pertama, vitamin Multimix-HC 207 dari PT. Multi Farma Satwa Maju Tangerang Indonesia, mineral mix, tikus jenis Sprague Dawley diperoleh dari Laboratorium Hewan Percobaan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), maizena, kasein, sukrosa, minyak jagung, CMC, BHT, ketamine, xylazine.

Alat yang digunakan meliputi peralatan untuk memproduksi gula kelapa, kandang tikus dan perlengkapannya, perlengkapan untuk pembedahan dan pengambilan sampel darah dan serum, alat untuk analisis retinol hati dan serum serat kadar imunoglobulin G (IgG).

Disain Penelitian

a. Penelitian pada kelompok tikus defisien vitamin A berat (severe).

Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan faktor tunggal. Digunakan tikus jenis Sprague Dawley jantan umur 6 minggu dengan berat 145-195 gram sebanyak 30 ekor. Tikus dikandangkan secara individual dengan kondisi kandang: ventilasi dalam kandang cukup, suhu udara pada suhu kamar (31-320C), dan cahaya terkontrol. Pakan dan air diberikan secara ad libitum.

Pada masa adaptasi tikus diberi pakan standar kasein AIN-93 M (Reeves et al. 1993) selama 2 minggu. Memasuki periode deplesi, sejumlah 24 ekor tikus menerima pakan bebas vitamin A (sebagai kelompok deplesi) dan sisanya 6 ekor tetap menerima pakan standar (sebagai kelompok kontrol). Pada minggu ke-4, ke- 8 dan ke-10 periode deplesi, tikus dikorbankan masing-masing 2 ekor pada masing-masing kelompok dan diambil sampel darah dan hati. Sejumlah 18 ekor tikus deplesi (cut-off kadar retinol hati <0.07 mol/g hati) yang tersisa pada kelompok deplesi selanjutnya dikelompokkan menjadi 3 kelompok perlakuan, yaitu: 1) RPO, menerima larutan gula yang diperkaya dengan RPO (n=6), 2) CPO, menerima larutan gula yang diperkaya CPO (n=6), dan 3) RE, yaitu kelompok yang mendapatkan retynil palmitat dalam minyak sebagai kelompok kontrol positif (n=6). Jumlah pemberian retynil palmitat dalam minyak 0.6 ml/hari dan larutan gula yang diperkaya CPO dan RPO 1,5 ml/hari dan diberikan dengan metode cekok (force feeding). Masing-masing perlakuan mengandung setara 40

µg -karoten/hari. Periode replesi berlangsung selama 4 minggu. Pengambilan sampel darah dan hati dilakukan pada periode replesi minggu ke 2 dan ke 4. b. Penelitian pada kelompok tikus defisien vitamin A sedang (moderate).

Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan faktor tunggal. Digunakan tikus jenis Sprague Dawley umur 3 minggu dengan berat 92.5-120 gram sebanyak 18 ekor. Tikus dikandangkan secara individual dengan kondisi kandang: ventilasi dalam kandang cukup, suhu udara pada suhu kamar (31-320C), dan cahaya terkontrol. Pada masa adaptasi tikus diberi pakan standar kasein AIN-93 M (Reeves et al. 1993) selama 10 hari. Pada akhir masa adaptasi tikus dikorbankan kemudian diambil sampel darah (cardiac puncture) dan sampel hati dan diukur kadar retinol serum, retinol hati dan kadar IgG serum sebagai data baseline. Selanjutnya tikus dikelompokkan menjadi : 1) kelompok deplesi (n=12), yang menerima pakan defisien/free vitamin A (modifikasi AIN-93 M) selama 6 minggu dan 2) kelompok kontrol standar ( n=6), yang tetap diberikan pakan standar kasein (AIN-93M). Pada akhir periode deplesi tikus kelompok deplesi dan kelompok standar dikorbankan untuk diambil sampel darah dan hati. Tikus deplesi selanjutnya dikelompokkan menjadi 3 kelompok perlakuan, yaitu: 1) RPO, menerima larutan gula yang diperkaya dengan RPO (n=3), 2) CPO, menerima larutan gula yang diperkaya CPO (n=3), dan 3) RE, yaitu kelompok yang mendapatkan Retynil palmitat sebagai kelompok kontrol positif (n=3) dengan masing-masing perlakuan mengandung setara 40 µg -karoten/hari selama 2 minggu, dan 4) STD, kelompok yang sejak awal menerima pakan standar kasein. Pada akhir masa replesi tikus dikorbankan dan diambil sampel darah dan hati.

Pengamatan dan cara pengukuran

Pengamatan dilakukan terhadap kadar retinol serum dan retinol hati menggunakan metode HPLC (AOAC 2005), serta kadar IgG serum menggunakan metode ELISA. Pengambilan sampel darah dan hati dilakukan oleh dokter hewan. Tikus dikorbankan dengan cara pembiusan menggunakan ketamine dan xylazine

dosis masing-masing 90 mg dan 10 mg /kg BB (Sharp and Regina 1998). Darah diambil dari jantung (cardiac puncture) dan diambil sampel hati.

Analisis kadar retinol serum dan hati serta kadar IgG serum dilakukan di laboratorium terakreditasi. Pengukuran berat badan dan jumlah pakan yang dikonsumsi dilakukan setiap 5 hari sekali.

Analisis data

Data kuantitatif yang diperoleh diuji secara statistik dengan ANOVA (Sidik Ragam) dengan selang kepercayaan 95 persen, bila terdapat keragaman dilajutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) taraf 5 persen.

Hasil dan Pembahasan

Tikus kelompok deplesi berat menjalani masa adaptasi selama dua minggu dan mendapatkan diet standar AIN-93 M. Berat badan tikus rata-rata meningkat dari 165.4 g menjadi 204.5 gram (Gambar 14).

Gambar 14 Perubahan berat badan tikus periode adaptasi (nilai rerata ± SE) Memasuki periode deplesi, tikus menerima diet bebas vitamin A. Pada awal masa deplesi berat badan tikus meningkat hingga minggu ke-5 dengan delta peningkatan sebesar 33.55 gram (16.1 persen) dan mulai minggu ke 6 hingga minggu ke-10 terjadi penurunan berat badan dengan delta penurunan sebesar 3.75 gram (1.79 persen) (terhadap BB awal) atau 29.8 gram (12.29 persen) (terhadap BB optimum) (Gambar 15). Penurunan berat badan diikuti dengan rambut rontok yang terjadi memasuki minggu ke 7 dan mulai minggu ke 9 hingga ke10, sebagian besar tikus mulai menampakan feses yang tidak normal (lunak-cair).

Gambar 15 Perubahan berat badan periode deplesi pada tikus defisien vitamin A berat (nilai rerata±SE)

Meskipun tidak mendapatkan asupan vitamin A dalam diet harian nya, namun berat badan tikus kelompok deplesi hingga minggu ke 5 mengalami peningkatan. Hal tersebut disebabkan karena tikus masih dapat mempergunakan cadangan retinol hati (vitamin A cadangan) untuk pemenuhan kebutuhan proses metabolisme yang normal. Hati mempunyai kapasitas untuk menyimpan vitamin A hingga beberapa bulan (Semba dan Bloem 2002), sehingga meskipun tanpa asupan vitamin A, kebutuhan vitamin A diperoleh melalui pemanfaatan cadangan vitamin A dalam hati. Hal itu ditunjukkan pula dengan semakin turunnya cadangan retinol hati pada kelompok deplesi. Sebagai pembanding, pada kelompok kontrol kadar retinol hati cenderung stabil karena mendapatkan asupan vitamin A yang cukup dalam diet hariannya. Rerata kadar retinol hati pada akhir periode deplesi untuk tikus kelompok deplesi berat adalah 0.063±0.0144 µmol/g hati dan pada kelompok kontrol standar adalah 0.374 ±0.115 µmol/g hati (Gambar

Dokumen terkait