• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH KARAKTERISTIK DEMOGRAFI DAN

PENDIDIKAN KONSUMEN

(The Influence of DemographicsCharacteristics and Cosmopoliteness on the Intensity of Consumer Education)

Abstrak. Pendidikan konsumen mengarahkan kepada keputusan konsumen yang lebih

baik terutama terkait hak dan kewajiban selaku konsumen. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh karakteristik demografi dan kekosmopolitan terhadap intensitas pendidikan konsumen. Penelitian ini menerapkan metode survei dengan lokasi penelitian di delapan desa dari empat kecamatan di Kabupaten dan Kota Bogor dengan responden adalah ibu rumah tangga sebanyak 320 orang. Analisis statistik yang digunakan adalah independent sample t-test dan regresi linier berganda. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa antara kabupaten dan kota, usia dan besar keluarga tidak berbeda nyata, sebaliknya pendapatan, pendidikan dan kekosmopolitan berbeda nyata. Variabel intensitas pendidikan konsumen, frekuensi dan media pendidikan konsumen berbeda nyata, sebaliknya kejelasan materi tidak berbeda antara kabupaten dan kota. Untuk kabupaten, semakin tinggi pendidikan formal dan kosmopolit responden, akan mendorong akses terhadap pendidikan konsumen dengan media yang beragam dan frekuensi yang lebih sering. Untuk kota, semakin kosmopolit responden, akan meningkatkan frekuensi dan akses terhadap media pendidikan konsumen.

Kata-Kata Kunci : demografi, kekosmopolitan, pendidikan konsumen

Abstract. Consumer education leads to better consumer decisions mainly regarding with

consumers’ right and compulsory. The purpose of this study was to analyze the influence of demographics characteristics and cosmopoliteness on the intensity of consumer education. This research applied the survey method that took place in eight villages of four sub districts of district and city of Bogor. Respondents were 320 housewifes. The statistical analysis used independent sample t – test and multiple linear regression. The study concluded that between city and district areas, age and family size did not significantly differ, whereas income, education, and cosmopoliteness were significantly differ. In term of consumer education intensity, the frequency and media of consumer education were significantly different, while the clarity of the material was not significantly different. In district area, the higher the formal education and the more cosmopolite respondents, will encourage access to consumers education with more diverse media and more frequent. In city area, the more cosmopolite respondents, would increase the frequency and access to media of consumer education.

Keywords: cosmopoliteness, consumer education, demographics

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Seiring dengan peningkatan konsumsi dan kebebasan konsumen memilih produk, seringkali konsumen tidak berpikir mengambil keputusan untuk jangka panjang, melainkan hanya mementingkan kepuasan jangka pendek (Jarva 2011). Untuk itu, diperlukan upaya pendidikan konsumen yang merupakan proses memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan konsumen, sehingga konsumen dapat mengelola sumber dayanya dan melakukan tindakan-tindakan untuk memengaruhi faktor-faktor yang berkaitan dengan keputusan konsumen (Sudaryatmo 2004).

Berdasarkan informasi dari Direktorat Pemberdayaan Konsumen, Kementerian Perdagangan, pendidikan konsumen telah dilakukan untuk meningkatkan pemahaman tentang hak dan kewajiban konsumen, serta persyaratan produk-produk yang benar dan aman bagi konsumen. Kegiatan pendidikan konsumen diterapkan melalui sosialisasi atau kerjasama dengan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), lembaga pendidikan, serta melatih komunitas konsumen untuk menjadi motivator perlindungan konsumen.

Hasil studi Yumi (2002) mengindikasikan bahwa pendekatan penyuluhan partisipatif cukup efektif dalam pemberdayaan masyarakat. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pendekatan penyuluhan partisipatif adalah karakteristik responden, karakteristik pendamping dan kelembagaan pendukung. Karakteristik responden yang berpengaruh adalah pendidikan informal, kekosmopolitan, status sosial, motivasi instrinsik dan pendidikan formal, sedangkan karakteristik pendamping yang berpengaruh adalah motivasi, pendapatan dan pendidikan.

Menurut Kotler (2001), semakin lanjut usia konsumen, maka konsumen cenderung lebih mempertimbangkan produk yang mampu meningkatkan kualitas hidupnya. Selain itu, pekerjaan berhubungan dengan intensitas memperoleh informasi dari penyuluhan konsumen ataupun kejelasan informasi yang diperolehnya. Menurut Setiadi (2010), pekerjaan yang digeluti konsumen dapat menentukan perhatian konsumen terhadap suatu produk, yang salah satunya adalah makanan kemasan.

Perbedaan wilayah dianggap dapat memengaruhi akses terhadap informasi. Konsumen yang tinggal di kota-kota besar umumnya lebih mudah memperoleh informasi produk barang atau jasa yang sesuai kebutuhan konsumen (Sumarwan 2011). Lokasi di kabupaten memungkinkan akses informasi masih terhambat dibandingkan di kota, sehingga peran iklan atau media kadang-kadang kurang berfungsi sebagaimana semestinya.

Rogers dan Shoemaker (1971) mengemukakan bahwa orang yang memiliki sifat kekosmopolitan yang tinggi, biasanya mencari informasi dari sumber di luar lingkungannya. Sebaliknya, orang yang kurang kosmopolit, cenderung tergantung pada tetangga atau teman-temannya dalam lingkungan yang sama yang diandalkan sebagai sumber informasi.

Menurut Osei et al. (2012) dan Prinsloo et al. (2012), tingkat pemahaman atau pengetahuan berpengaruh nyata terhadap keputusan pembelian atau

41 pengetahuan dan kemampuan menginterpretasikan informasi. Deshpande (2002) menyatakan bahwa pengetahuan adalah kekuatan, "pemberdayaan pelanggan" yang mencerminkan peningkatan kemampuan konsumen untuk mengakses, memahami dan berbagi informasi. Hasil studi Purutcuoglu dan Bayraktar (2005) menunjukkan bahwa ada hubungan yang nyata antara pendidikan konsumen dan tingkat sosial-ekonomi.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, maka pertanyaan yang dijawab melalui penelitian ini adalah : (1) Apakah ada perbedaan karakteristik demografi, kekosmopolitan dan intensitas pendidikan konsumen antara wilayah kabupaten dan kota Bogor?, dan (2) Bagaimana pengaruh karakteristik demografi dan kekosmopolitan terhadap intensitas pendidikan konsumen di kabupaten dan kota Bogor?.

Tujuan Penelitian

(1) Menganalisis kondisi pendidikan konsumen di Kabupaten dan Kota Bogor (2) Menganalisis perbedaan karakteristik demografi, kekosmopolitan dan

intensitas pendidikan konsumen antara Kabupaten dan Kota Bogor

(3) Menganalisis pengaruh karakteristik demografi dan kekosmopolitan terhadap intensitas pendidikan konsumen di Kabupaten dan Kota Bogor

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian dapat memberikan informasi seberapa jauh pendidikan konsumen telah menjangkau masyarakat, sehingga dapat ditentukan langkah strategis untuk lebih memperluas jangkauan pendidikan konsumen khususnya dengan sasaran ibu rumah tangga. Hasil ini akan menjadi masukan bagi para pengambil kebijakan khususnya, Kementerian Perdagangan RI, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi pada tingkat kabupaten/kota dan lembaga-lembaga perlindungan konsumen lainnya dalam mendidik konsumen. Secara keilmuan, penelitian ini juga diharapkan memberikan paradigma untuk pengayaan bagi peneliti penyuluhan pembangunan dan ilmu konsumen terutama yang fokus kepada pendidikan dan perlindungan konsumen.

METODE

Variabel penelitian mencakup: (1) karakteristik demografi (X1) (usia, besar keluarga, status pekerjaan, wilayah, pendidikan, dan pendapatan; (2) kekosmopolitan (X2); dan (3) intensitas pendidikan konsumen (Y1) (media pendidikan konsumen, frekuensi pendidikan konsumen, dan materi pendidikan konsumen). Data penelitian diperoleh melalui wawancara secara langsung dengan 320 ibu rumah tangga sebagai responden penelitian.

Instrumen intensitas pendidikan konsumen mencakup media, frekuensi, dan materi pendidikan konsumen. Media pendidikan adalah banyaknya media yang digunakan untuk memperoleh informasi pendidikan konsumen terdiri dari tujuh butir pertanyaan dengan menggunakan skala Guttman. Frekuensi pendidikan konsumen terdiri dari tujuh butir pertanyaan menggunakan skala Likert dengan

pilihan jawaban : (1) sering (1x/minggu) (skor 3), (2) kadang-kadang (1x/bulan) (skor 2), (3) jarang (1x/3 bulan) (skor 1), dan (4) tidak pernah (skor 0). Materi pendidikan konsumen adalah kejelasan informasi yang diberikan dalam pendidikan konsumen yang terdiri dari 11 butir pertanyaan menggunakan skala Likert dengan pilihan jawaban : (1) sangat jelas (skor 3), (2) jelas (skor 2), (3) tidak jelas (skor 1), dan (4) sangat tidak jelas (skor 0). Instrumen materi pendidikan konsumen disusun dengan mengacu pada United Nations (2001). Instrumen kekosmopolitan mengacu pada Rogers (2003) mencakup enam butir pertanyaan menggunakan skala Likert tidak pernah (skor 0) hingga sangat sering (skor 3). Hasil pengujian reliabilitas variabel penelitian menghasilkan nilai cronbach alpha untuk kekosmopolitan sebesar 0.825 dan intensitas pendidikan konsumen berkisar antara 0.523 (cukup reliabel) hingga 0.905 (sangat reliabel).

Data penelitian diolah dengan Microsoft Excel versi 2007 dan SPSS 18.0 for Windows. Skor setiap variabel dikompositkan untuk kemudian ditransformasi menjadi skala 0 sampai 100. Skor yang telah dijadikan indeks kemudian dikategorisasi membagi empat, yakni : (1) rendah (skor <25), (2) agak rendah (skor 25-50), (3) cukup (skor 51-75), dan (4) baik (skor > 75). Analisis statistik yang digunakan adalah independent sample t-test dan regresi linier berganda.

Ada dua hipotesis penelitian, yakni : (1) terdapat perbedaan yang nyata karakteristik demografi, kekosmopolitan dan intensitas pendidikan konsumen antara Kabupaten dan Kota Bogor (H1), dan (2) karakteristik demografi dan kekosmopolitan berpengaruh secara nyata terhadap intensitas pendidikan konsumen di Kabupaten dan Kota Bogor (H2).

HASIL

Karakteristik Demografi

Rata-rata usia responden yang tinggal di kota (38.33±11.21 tahun) lebih tua dibandingkan dengan responden yang tinggal di kabupaten (37.17±10.52 tahun), walaupun tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) antara kedua lokasi. Persentase tertinggi (kabupaten 35.0% dan kota 29.4%) usia responden di kabupaten dan kota tergolong dewasa awal (18-40 tahun) yang masuk dalam kelompok usia produktif. Perbedaan usia akan mengakibatkan perbedaan selera terhadap suatu produk. Sejalan dengan peningkatan usia dan pengalaman hidup yang dimiliki, kebutuhan yang dirasakan dan kepentingan yang diharapkan konsumen akan berevolusi (Agriculture and Agri-Food Canada 2010).

Lebih dari separuh keluarga di kabupaten dan kota memiliki besar keluarga maksimum empat orang (rata-rata kabupaten 4.01±1.15 dan kota 4.23±1.15). Keluarga responden di kedua lokasi didominasi keluarga kecil dengan anggota keluarga sampai empat orang. Besar keluarga tidak berbeda nyata (p=0.080) antara wilayah kabupaten dan kota.

Hampir tiga perempat (74.4%) responden di kabupaten dan sebagian besar (83.1%) responden di kota tidak bekerja. Jenis pekerjaan yang banyak digeluti oleh responden di kabupaten adalah buruh (10.6%) dan pedagang/wiraswasta (10.0%), sedangkan responden di kota paling banyak sebagai pedagang/ wiraswasta (8.8%).

43 Jika dilihat dari kategori lama pendidikan sebanyak 76.9 persen responden di kota dan 55.0 persen responden di kabupaten berpendidikan < 9 tahun, artinya tingkat pendidikan tertinggi yang dicapai hanya sampai SMP, dengan perbedaan yang nyata antara kedua lokasi. Rata-rata pendapatan keluarga responden di kota (Rp460 800.47/kapita/bulan) lebih tinggi dibandingkan di kabupaten (Rp334 948.66/kapita/bulan). Lama pendidikan dan pendapatan keluarga berbeda nyata antara kabupaten dan kota.

Kekosmopolitan

Hasil penelitian menunjukkan responden di kota lebih sering melakukan perjalanan ke luar kota, mendapatkan ide-ide baru dari berbagai media massa, menggunakan sumber informasi dari luar lingkungan, membangun hubungan dengan orang lain, merasakan perubahan pada diri sendiri dari informasi baru yang diterimanya, dan lebih intensif menggunakan internet daripada responden di kabupaten. Hampir seluruh (93.8%) responden yang tinggal di kabupaten tidak pernah menggunakan internet, sedangkan persentase responden di kota yang tidak pernah menggunakan internet sebanyak 77.5 persen. Responden di kota cenderung lebih baik dalam memperoleh dan mengakses sumber informasi dibandingkan di kabupaten. Hasil uji beda mengindikasikan perbedaan yang nyata antara kedua wilayah pada hampir semua pernyataan kekosmopolitan yang ditanyakan, kecuali pada butir melakukan perjalanan ke luar kota. Skor komposit kekosmopolitan menunjukkan perbedaan yang nyata antara responden di kabupaten dan kota. Lebih dari dua pertiga responden yang tinggal di kabupaten dan sekitar sepertiga di kota tergolong tidak kosmopolit. Orang yang sifat kurang kosmopolit, cenderung tergantung pada tetangga atau teman-teman dalam lingkungan yang sama sebagai sumber informasi. Kekosmopolitan dapat diukur dari jumlah informasi dan akses terhadap sumber informasi (Rogers dan Shoemaker 1971).

Pendidikan Konsumen

Flowers et al. (2001) menjelaskan pandangan pendidikan konsumen didasarkan pada tiga pendekatan, yakni berfokus pada penyediaan informasi untuk membantu konsumen membuat pilihan yang lebih baik, melindungi konsumen dari praktik perdagangan yang curang, dan pandangan kritis yang mengakui bahwa konsumen bertindak dalam konteks sosial, ekonomi, dan politik yang berdampak pada kemampuan untuk membuat pilihan. Menurut Organisation for Economic Operation and Development (2009), pendidikan konsumen harus fokus pada peningkatan kesadaran akan manfaat keberlanjutan, mengembangkan pengetahuan praktis tentang apa yang dapat dilakukan konsumen untuk mendukung konsumsi berkelanjutan, dan memberikan keterampilan dan sikap yang diperlukan konsumen, sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari- hari.

Frekuensi Pendidikan Konsumen

Sebagian besar responden di kabupaten dan kota terkategori kurang dalam hal frekuensi mengakses pendidikan konsumen (kabupaten 91.9% dan kota 89.4%). Rata-rata skor frekuensi responden di kota lebih tinggi dibandingkan responden di kabupaten (rata-rata kabupaten 25.81±16.06 dan kota 33.91±15.62) dengan uji beda yang nyata antara kedua wilayah.

Dalam laporan Trading Standards Institute, Ritters (2013) membedakan pendidikan konsumen di UK antara pendidikan konsumen dan informasi konsumen, yang menunjukkan bahwa pendidikan konsumen membekali orang dengan keterampilan untuk membuat pilihan cerdas, untuk menyelesaikan masalah secara efektif dan untuk mencari informasi lebih lanjut, serta membantu secara tepat. Ritters mengakui bahwa ketika hukum dan pasar berubah, keterampilan yang diperoleh melalui pendidikan konsumen akan memungkinkan orang untuk bergerak dalam melalui kehidupan sebagai konsumen yang efektif.

Media Pendidikan Konsumen

Responden di kabupaten dan kota masing-masing hanya sekitar satu per empat dan satu per tiga yang terpapar informasi terkait isu-isu konsumen. Dari jumlah tersebut, ternyata media elektronik seperti televisi dan radio adalah media yang paling banyak dijadikan sumber informasi konsumen dengan persentase 90.6 persen di kabupaten dan 86.9 persen di kota. Perbedaan penggunaan media radio dan televisi secara statistik adalah nyata antara kedua wilayah. Pendidikan konsumen secara langsung oleh LSM/swasta/pemerintah masih kurang diakses oleh responden dengan persentase hanya 6.9 persen di kabupaten dan 9.4 persen di kota yang pernah mengikuti pendidikan konsumen. Artinya, jangkauan pendidikan konsumen secara langsung masih kurang dirasakan oleh para responden. Internet lebih banyak dijadikan sebagai sumber informasi konsumen di wilayah kota dibandingkan di kabupaten dengan perbedaan yang nyata antara kedua wilayah. Hasil studi Rust dan Oliver (Hunter et al. 2006), menunjukkan bahwa disamping peningkatan kuantitas informasi, kualitas informasi juga harus meningkat, termasuk komponen untuk menemukan informasi yang paling relevan dalam rangka memberdayakan konsumen.

Materi Pendidikan Konsumen

Materi pendidikan konsumen yang diperoleh responden adalah beragam, meskipun dengan persentase yang masih relatif kecil untuk kedua wilayah. Tiga materi pendidikan yang sering diperoleh responden dalam tiga bulan terakhir, baik di kabupaten maupun kota adalah pemalsuan makanan (kabupaten 73.1% dan kota 80.6%), produk berbahaya (kabupaten 67.5% dan kota 80.6%), dan gizi (kabupaten 60.6% dan kota 75.6%). Materi tentang tanggung jawab konsumen, cara mengkomunikasikan kepuasan/ ketidakpuasan, hak konsumen dan badan/ organisasi bagi perlindungan konsumen hanya pernah diperoleh oleh kurang dari 10 persen responden.

Hasil komposit skor kejelasan materi pendidikan konsumen menunjukkan responden kurang memahami materi yang diterima (kabupaten 96.3% dan kota

45 97.5%), dengan perbedaan yang tidak nyata (p=0.116) antara kedua kelompok responden di kabupaten dan kota. Keragaman materi penyuluhan masih perlu lebih ditingkatkan, agar konsumen memperoleh wawasan yang lebih luas terkait isu-isu konsumen yang marak terjadi. Dilihat dari nilai rata-rata responden di kota yang lebih tinggi, responden di kota lebih jelas memahami materi pendidikan konsumen (kabupaten 7.16±12.44 dan kota 9.26±11.34). Fischer (2011) menyatakan bahwa kebijakan pendidikan konsumen mempunyai beberapa masalah terkait praktek pelaksanaannya. Dalam penelitian ini, kejelasan materi pendidikan konsumen menjadi salah satu masalah yang dirasakan oleh konsumen.

Pengaruh Karakteristik Demografi dan Kekosmopolitan terhadap Intensitas Pendidikan Konsumen

Pada Tabel 13 disajikan pengaruh karakteristik demografi dan kekosmopolitan terhadap intensitas pendidikan konsumen yang dianalisis dengan regresi linier berganda. Regresi linier berganda dipilih karena merupakan teknik analisis yang kuat untuk menggambarkan pengaruh dua atau lebih variabel penduga. Variabel dependen adalah media pendidikan konsumen, frekuensi pendidikan konsumen, kejelasan materi pendidikan konsumen dan intensitas pendidikan konsumen. Tabel 13 Koefisien regresi pengaruh karakteristik demografi dan kekosmopolitan

terhadap intensitas pendidikan konsumen menggunakan regresi linier berganda untuk kabupaten dan kota

Variabel Bebas Kabupaten Kota

Y11 Y12 Y13 Y1 Y11 Y12 Y13 Y1

Usia (tahun) -0.067 -0.055 0.081 0.008 -0.083 -0.07 -0.094 -0.098 Besar keluarga (orang) 0.013 0.106 -0.095 -0.002 -0.007 -0.074 -0.141 -0.110 Status Pekerjaan (0=tidak bekerja; 1=bekerja) -0.051 -0.097 0.149 0.029 -0.039 -0.050 -0.074 -0.070 Lama Pendidikan (tahun) 0.271** 0.254** 0.213** 0.274** 0.108 0.129 0.081 0.124 Pendapatan (Rp/per kapita/bulan) 0.011 0.055 -0.146 -0.053 0.096 0.055 0.050 0.071 Kekosmopolitan (skor) 0.361** 0.318** 0.101 0.257** 0.243** 0.259** -0.140 0.093 Kolmogorov-Smirnov Z (Sig) 0.767 0.555 3.637 1.811 0.551 0.556 2.785 0.959 (0.599) (0.918) (0.000) (0.003) (0.922) (0.916) (0.000) (0.316) Durbin-Watson 2.008 1.804 1.647 1.805 2.032 2.073 1.726 1.862 F-Hitung 12.930 11.024 1.925 6.085 3.955 4.593 1.610 2.576 (p value) (0.000) (0.000) (0.080) (0.000) (0.001) (0.000) (0.148) (0.021) Adjusted R Square 0.310 0.274 0.034 0.161 0.100 0.119 0.022 0.056

Ket : Y11= Media pendidikan konsumen; Y12 = Frekuensi pendidikan konsumen; Y13= Kejelasan materi pendidikan konsumen; Y1=Intensitas pendidikan konsumen; ** nyata pada p<0.01

Secara umum, asumsi klasik regresi linier berganda telah terpenuhi dari aspek normalitas, homoskedastisitas, nonmultikolinieritas, dan non autokorelasi. Meskipun untuk dua variabel Y13 dan Y1 harus dilakukan bentuk transformasi LN karena adanya masalah substansial positif Skewness. Hasil asumsi klasik yang diperoleh adalah : (1) hasil uji Kolmogorov Smirnov terkait kenormalan data menunjukkan data berdistribusi normal karena nilai signifikansi lebih besar dari 0.05, artinya asumsi normalitas telah terpenuhi; (2) scatterplot yang dihasilkan

mengindikasikan bahwa error menyebar di sekitar nol, sehingga dapat disimpulkan bahwa asumsi homoskedastisitas terpenuhi; (3) Hasil pengujian asumsi non multikolinieritas mengindikasikan nilai VIF di bawah 5 yang berarti model telah memenuhi asumsi non multikolinieritas (Hair et al. 2006); dan (4) nilai Durbin Watson mendekati 2 menunjukkan bahwa model bebas autokorelasi.

Hasil analisis menunjukkan bahwa untuk kabupaten, lama pendidikan berpengaruh nyata dan positif terhadap intensitas pendidikan konsumen dan ketiga dimensinya, sedangkan kekosmopolitan berpengaruh nyata dan positif terhadap intensitas pendidikan konsumen dan dua dimensinya (media pendidikan konsumen dan frekuensi pendidikan konsumen). Artinya semakin tinggi pendidikan formal dan semakin kosmopolit responden, akan mendorong akses terhadap pendidikan konsumen dengan media yang beragam dan frekuensi yang lebih sering. Kekosmopolitan tidak berpengaruh nyata terhadap kejelasan materi pendidikan konsumen disebabkan beragam informasi yang diterima kadang- kadang membuat responden bingung. Selain itu, informasi yang diterima juga kadang-kadang tidak sesuai dengan yang dibutuhkan atau tidak memberikan informasi yang mendalam karena umumnya diterima melalui televisi.

Untuk kota, variabel kekosmopolitan berpengaruh nyata dan positif terhadap media dan frekuensi pendidikan konsumen. Hasil ini agak berbeda dengan yang ditemukan di kabupaten, yakni selain kekosmopolitan, lama pendidikan berpengaruh nyata dan positif. Hal ini karena pendidikan formal responden di kota lebih homogen dibanding di kabupaten. Hasil analisis regresi juga mencerminkan bahwa data di kota lebih beragam dibandingkan di kabupaten dengan lebih banyaknya variabel yang berpengaruh nyata. Beragamnya data di kabupaten diakibatkan dua desa dari empat desa yang menjadi lokasi penelitian, secara karakteristik berbeda dengan dua desa lainnya yakni lebih ke arah desa perkotaan, sehingga memungkinkan variasi responden dalam wilayah kota, walaupun penentuan lokasi penelitian telah dilakukan secara acak.

Berdasarkan koefisien terstandardisasi, untuk kabupaten, variabel independen yang paling kuat memengaruhi media pendidikan konsumen dan frekuensi pendidikan konsumen adalah kekosmopolitan dengan nilai beta secara berturut-turut 0.361 dan 0.318, sedangkan kejelasan materi pendidikan paling dipengaruhi oleh variabel lama pendidikan dengan nilai beta 0.213. Artinya, diperlukan latar belakang pendidikan formal yang memadai untuk mampu memahami materi pendidikan konsumen dengan jelas. Untuk kota, variabel kekosmopolitan berpengaruh nyata dan positif terhadap media dan frekuensi pendidikan konsumen.

Variabel lain yang berpengaruh terhadap pendidikan konsumen namun tidak diteliti adalah motivasi intrinsik, dan kelembagaan pendukung. Hal ini sesuai dengan temuan Yumi (2002) bahwa motivasi intrinsik dan kelembagaan adalah diantara faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penyuluhan partisipatif.

PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden di kabupaten dan kota masih jarang mengakses informasi terkait isu-isu konsumen. Hal ini terlihat dari frekuensi mengakses pendidikan konsumen dari sebagian besar responden di

47 kabupaten dan kota terkategori kurang, yakni di kabupaten 91.9 persen dan di kota 89.4 persen. Artinya, sebagian besar responden tidak pernah atau jarang mengakses pendidikan konsumen.

Dalam bukunya “Komunikasi untuk Inovasi Pedesaan,” Cees Leeuwis

(2009) menyatakan ada beberapa faktor yang memengaruhi keterlibatan seseorang dalam pembelajaran. Walaupun ada kebutuhan belajar, kelompok dan/atau individu sering cenderung untuk tidak belajar, atau hanya mulai belajar ketika masalah-masalah telah membesar. Pertama adalah pembelajaran memerlukan upaya, energi dan waktu, artinya pembelajaran adalah “sumber langka” yang membuat orang menjadi selektif dalam melakukannya. Selain itu, orang harus dimotivasi untuk mau belajar. Faktor lainnya adalah : (1) kepentingan/keseriusan dari masalah yang dialami; (2) keterlibatan langsung dalam masalah; (3) urgensi saat merasa ada kebutuhan mendesak untuk memecahkan masalah, mereka lebih termotivasi untuk terlibat dalam pembelajaran dibandingkan yang dapat dengan mudah ditunda; (4) keberhasilan diri dan keberhasilan lingkungan dengan tumbuhnya kepercayaan diri dalam menyelesaikan masalah; (5) kompleksitas, observasi dan percobaan. Bila masalahnya sangat kompleks secara teknis dan sosial akan memengaruhi motivasi seseorang untuk belajar; (6) kejelasan tentang sifat masalah; (7) merasakan konsekuensi sosial dan resiko terkait dengan penerimaan-penerimaan lainnya; (8) ruang sosial dan pengorganisasian. Pembelajaran secara individu dapat terjadi dalam konteks lingkungan sosial yang didalamnya ide baru dapat atau tidak dihargai; dan (9) stres dan trauma. Pembelajaran dapat distimuli oleh ketidakpuasan dengan situasi dan adanya tekanan dari luar. Terkait dengan prinsip-prinsip pembelajaran orang dewasa, Knowles (Commonwealth of Australia 2000) menyatakan bahwa orang dewasa termotivasi untuk belajar karena dianggap relevan, didasarkan pada pengalaman sebelumnya, terlibat secara aktif, partisipasitori, berfokus pada masalah, memungkinkan untuk bertanggung jawab pada pembelajarannya, dapat diterapkan secara langsung, melibatkan siklus aksi dan refleksi, serta didasarkan pada prinsip saling menghormati dan mempercayai.

Penelitian ini menjawab Hipotesis 1, yakni antara wilayah kabupaten dan kota, karakteristik demografi yakni usia dan besar keluarga tidak berbeda nyata, sedangkan pendapatan dan pendidikan berbeda nyata. Kekosmopolitan juga berbeda nyata antara responden di Kabupaten dan Kota Bogor. Untuk pendidikan konsumen, frekuensi dan media pendidikan konsumen berbeda nyata, sedangkan kejelasan materi tidak berbeda nyata. Ada kecenderungan bahwa pendidikan konsumen di wilayah kota lebih baik dibandingkan di kabupaten, meskipun skor intensitas pendidikan konsumen di kedua wilayah masih sangat rendah.

Hipotesis 2 yang dibuktikan dalam penelitian ini adalah karakteristik demografi dan kekosmopolitan berpengaruh nyata terhadap intensitas pendidikan konsumen. Hasil uji regresi menunjukkan bahwa untuk wilayah kabupaten, lama pendidikan berpengaruh nyata dan positif terhadap intensitas pendidikan konsumen dan ketiga dimensinya, sedangkan kekosmopolitan berpengaruh nyata

Dokumen terkait