• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Keberdayaan dan Strategi Pemberdayaan Konsumen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tingkat Keberdayaan dan Strategi Pemberdayaan Konsumen"

Copied!
191
0
0

Teks penuh

(1)

i

TINGKAT KEBERDAYAAN DAN STRATEGI

PEMBERDAYAAN KONSUMEN

MEGAWATI SIMANJUNTAK

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

iii

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

1

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Tingkat Keberdayaan dan Strategi Pemberdayaan Konsumen” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Megawati Simanjuntak NIM. I361100031

1

(4)
(5)

v

RINGKASAN

MEGAWATI SIMANJUNTAK. Tingkat Keberdayaan dan Strategi

Pemberdayaan Konsumen. Dibimbing oleh SITI AMANAH, HERIEN PUSPITAWATI dan PANG S. ASNGARI.

Konsumen saat ini berada dalam pasar yang semakin kompleks, informasi yang semakin banyak, dan pilihan barang dan jasa yang semakin beragam. Masalah utama konsumen di Indonesia adalah rendahnya kesadaran akan hak dan tanggung jawabnya. Pendidikan konsumen menjadi sangat penting karena kompleksitas peredaran barang dan jasa, sehingga dibutuhkan penguatan kapasitas konsumen untuk membangun konsumen yang berdaya. Konsumen dikatakan berdaya jika memiliki keterampilan, pengetahuan, dan ketegasan, serta ketersediaan lembaga perlindungan dan undang-undang yang dirancang untuk mendukung peran konsumen.

Secara umum, tujuan penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi intensitas pendidikan, keberdayaan konsumen, dan kesejahteraan subjektif konsumen, serta memformulasikan strategi pemberdayaan konsumen di Kabupaten dan Kota Bogor. Secara khusus, penelitian ini bertujuan: (1) menganalisis pengaruh karakteristik demografi dan kekosmopolitan terhadap intensitas pendidikan konsumen, (2) menganalisis tingkat keberdayaan konsumen di Kabupaten dan Kota Bogor, (3) menganalisis profil keberdayaan konsumen berdasarkan perspektif demografi dan kekosmopolitan, (4) menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi keberdayaan konsumen, (5) menganalisis faktor-faktor-faktor-faktor yang memengaruhi kesejahteraan subjektif konsumen, dan (6) memformulasikan strategi pemberdayaan konsumen di Kabupaten dan Kota Bogor.

Penelitian ini menerapkan metode survei dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data. Lokasi penelitian adalah di delapan desa dari empat kecamatan di Kabupaten dan Kota Bogor. Penelitian dilakukan mulai bulan April hingga Agustus 2013. Total responden penelitian adalah 320 ibu rumah tangga dengan masing-masing 160 responden dari Kabupaten dan Kota Bogor

Data yang dikumpulkan adalah karakteristik demografi, kekosmopolitan, faktor lingkungan, intensitas pendidikan konsumen, keberdayaan konsumen, dan kesejahteraan subjektif konsumen. Analisis statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) faktor konfirmatori dan komponen utama, (2) independent sample t-test, One Way Anova and Mann Whitney, (3) korelasi Pearson, (4) regresi linier berganda, dan (5) Structural Equation Modeling (SEM). Hasil uji beda antara wilayah Kabupaten dan Kota Bogor, disimpulkan bahwa usia dan besar keluarga tidak berbeda nyata, sedangkan pendapatan, pendidikan, dan kekosmopolitan berbeda nyata. Pada variabel intensitas pendidikan konsumen, frekuensi dan media pendidikan konsumen berbeda nyata, sedangkan kejelasan materi tidak berbeda antara kedua wilayah. Di antara kedua wilayah, keberdayaan konsumen adalah berbeda nyata, sebaliknya kesejahteraan subjektif konsumen tidak berbeda nyata.

Untuk Kabupaten dan Kota Bogor, responden yang semakin kosmopolit akan mendorong akses terhadap pendidikan konsumen dengan media yang beragam dan frekuensi yang lebih sering. Secara spesifik untuk Kabupaten Bogor,

(6)

vi

terhadap media pendidikan konsumen.

Tingkat keberdayaan konsumen di Kabupaten dan Kota Bogor adalah masih rendah, dengan keberdayaan konsumen di kota lebih baik dibandingkan kabupaten. Diantara tiga dimensi keberdayaan konsumen, ketegasan konsumen adalah yang paling rendah skornya dibandingkan pengalaman praktik tidak adil pelaku usaha dan pemenuhan hak konsumen, sedangkan keterampilan konsumen adalah yang paling tinggi skornya.

Berdasarkan profil perspektif karakteristik demografi dan kekosmopolitan, kelompok usia yang paling tidak berdaya adalah dewasa lanjut ( 60 tahun), kelompok yang miskin, pendidikan formal ≤ 9 tahun (maksimal SMP), dan tidak kosmopolit.

Untuk kabupaten, keberdayaan konsumen meningkat secara langsung dan tidak langsung dengan karakteristik demografi responden semakin muda, pendapatan semakin besar, dan pendidikan formal yang semakin tinggi. Secara langsung, keberdayaan konsumen meningkat dengan faktor lingkungan semakin baik, responden semakin kosmopolit, dan intensitas pendidikan konsumen semakin baik. Untuk kota, keberdayaan konsumen meningkat secara langsung maupun tidak langsung dengan karakteristik demografi responden semakin muda, pendapatan yang semakin besar dan pendidikan formal yang semakin tinggi. Secara langsung, keberdayaan konsumen meningkat dengan faktor lingkungan yang semakin baik dan responden yang semakin kosmopolit. Keberdayaan konsumen di kota tidak dipengaruhi oleh intensitas pendidikan konsumen.

Kesejahteraan subjektif konsumen paling rendah pada dimensi perlindungan konsumen dan pendidikan konsumen pada wilayah Kabupaten dan Kota Bogor. Untuk kabupaten, konsumen akan semakin tinggi kesejahteraannya, dengan semakin intensifnya pendidikan konsumen, semakin sedikit kelompok rujukan, dan semakin terjangkau harga makanan kemasan. Untuk kota, kesejahteraan subjektif konsumen akan semakin tinggi pada konsumen dengan pendidikan formal yang lebih rendah, semakin intensifnya pendidikan konsumen, semakin tersedia dan terjangkaunya harga makanan kemasan, dan semakin berdayanya konsumen.

Strategi generik pemberdayaan konsumen di kabupaten dan kota adalah pendayagunaan telepon genggam untuk sosialisasi tentang pendidikan dan perlindungan konsumen, pengayaan materi pendidikan konsumen dalam bahan ajar, dan sosialisasi dan fasilitasi perlindungan konsumen. Strategi khusus di kabupaten adalah penyediaan sarana/prasarana komunikasi bermedia untuk memfasilitasi pendidikan konsumen secara massa/kelompok dan pelibatan Penyuluh KB dalam pemberdayaan konsumen. Strategi khusus di kota adalah peningkatan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pendidikan konsumen. Strategi lainnya yang melibatkan pelaku usaha dan konsumen adalah peningkatan peran pelaku usaha dalam memberdayakan konsumen dan peningkatan kemandirian konsumen.

Kata-Kata Kunci : demografi, faktor lingkungan, keberdayaan konsumen, kekosmopolitan, kesejahteraan subjektif konsumen, pendidikan konsumen

(7)

vii

SUMMARY

MEGAWATI SIMANJUNTAK

.

Empowered Consumers Level and Strategies to Empower Consumers. Supervised by SITI AMANAH, HERIEN PUSPITAWATI and PANG S. ASNGARI.

Nowadays, consumers deal with an increasingly complex marketplace. Changes led to increased consumption of more and more consumers have the freedom to choose goods and services. The main problem in Indonesia is low consumer awareness of their rights and responsibilities. Consumer education becomes very important because the complexity of the circulation of goods and services, thus strengthening the capacity of consumers needed to build an empowered consumer. Consumers are empowered if they have skills, knowledge, and firmness as well as the availability of protection agencies and laws that are designed to support the role of consumers.

In general, the purpose of this study was to analyze the factors influence intensity of consumer education, empowered consumers and consumer subjective well-being level, as well as to formulate strategies to empower consumer in district and city of Bogor. Specifically, this study aimed to : (1) analyze the influence of demographics characteristics and cosmopoliteness on the intensity of consumer education, (2) analyze the empowered consumer level in district and city of Bogor, (3) analyze the profile of empowered consumers level based on demographic characteristics and cosmopoliteness perspectives, (4) analyze the factors influence empowered consumers level, (5) analyze the factors influence consumer subjective well-being level, and (6) formulate the strategies to empower consumer.

This research applied survey method by using questionnaire as a data collection tool. The research took place in eight villages of four sub districts in the district and city of Bogor from April to August 2013. The respondents were 320 housewives, each 160 respondents from district and city of Bogor.

The research data covered demographic characteristics, cosmopoliteness, environmental factors, intensity of consumer education, empowered consumer level, and consumer subjective well-being level. The statistical analysis used in this study were : (1) confirmatory factor and principal component analysis, (2) independent sample t-test, one way anova and Mann Whitney, (3) Pearson correlation, (4) multiple linear regression, and (5) Structural Equation Modeling (SEM).

The study concluded that, age and family size did not significantly differ, whereas income, education, and cosmopoliteness were significantly differ between city and district Bogor. In term of consumer education intensity, the frequency and media of consumer education were significantly different, while the clarity of the material was not significantly different. Between two areas, empowered consumers level was significantly different, otherwise consumer subjective well-being did not significantly different.

In district of Bogor, the higher the formal education and the more cosmopolite respondents, would encourage access to consumers education with more diverse media and more frequent. In city of Bogor, the more cosmopolite

(8)

viii

education.

Results of the study indicated that consumers in district and city of Bogor still less empowered. Among the the three dimensions, the consumer assertiveness was the lowest, followed by practical experience of unfair business and the fulfillment of consumer rights, as well as consumer skills had the highest score.

The results showed that the age group that least empowered were elderly ( 60 years). Category of poverty, length of education and cosmopoliteness distinguished empowered consumers and yielded the most disempowered group as respondents who categorized poor, formal education ≤ 9 years (only until junior high school), and not cosmopolite. Employment status and family size categories did not differentiate empowered consumers level.

In district area, empowered consumers level would increase both directly and indirectly with demographic characteristics as younger age, greater income and higher formal education. Empowered consumers level would increase directly with better environmental factors, more cosmopolite respondents, and the better intensity of consumer education. In city area, empowered consumers level would increase both directly and indirectly with demographic characteristics as younger age, greater income and higher formal education. Directly, empowered consumers level would increase with the better the environmental factors and the more cosmopolite respondents. Empowered consumers level was not influenced by the intensity of consumer education.

In district area, consumer subjective well-being level would increase along with the intensify of consumer education, the fewer the reference groups, and the more affordable price of food packaging. In city area, the consumer subjective well-being level would increase along with the lower formal education, the intensify of consumer education, the availability and accessibility of the price of food packaging, and the higher empowered consumers level.

Recomendation for generic consumer empowerment strategies in district and city areas are the utilization of cell phones for the socialization consumers’ education and protection, consumer education material enrichment in the teaching materials, as well as outreach and facilitation of consumer protection. Specific strategies of consumer empowerment for district area are the provision of facilities/infrastructure mediated communication to facilitate consumer education as a mass/group, and involving family planning (KB) extensions in consumer empowerment. Specific strategy of consumer empowerment for city is increasing public awareness about the importance of consumer education. Other strategies that involving businesses and consumers are increasing the role of businesses in empowering consumers and increasing the independence of the consumer.

Key Words : consumer education, cosmopoliteness, demographic, empowered consumers, environmental factors

(9)

ix

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(10)
(11)

xi

TINGKAT KEBERDAYAAN DAN STRATEGI

PEMBERDAYAAN KONSUMEN

MEGAWATI SIMANJUNTAK

DISERTASI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH

PASCASARJANA

INSTITUT

PERTANIAN

BOGOR

(12)

xii

Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. Hartoyo, MSc

Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia IPB

2. Dr. Prabowo Tjitropranoto, MSc

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB

Penguji pada Ujian Terbuka:

1. Dr. Ir. Bayu Krisnamurthi, MS Wakil Menteri Perdagangan RI 2. Prof. Dr. Ir. Ujang Sumarwan, MSc

Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia IPB

(13)

xiii Judul Disertasi : Tingkat Keberdayaan dan Strategi Pemberdayaan Konsumen Nama : Megawati Simanjuntak

NIM : I361100031

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Siti Amanah, MSc Ketua

Dr Ir Herien Puspitawati, MSc MSc Prof Dr Pang S. Asngari Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Prof Dr Ir Sumardjo MS Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr MSc

(14)
(15)

xv

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas segala karunia-Nya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei hingga Agustus 2013 ini adalah keberdayaan konsumen.

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Dr. Ir. Siti Amanah, MSc, Dr. Ir. Herien Puspitawati, MSc. MSc, dan Prof. Dr. Pang S. Asngari selaku Komisi Pembimbing yang telah memberikan banyak masukan dan senantiasa mendorong penulis untuk segera menyelesaikan pendidikan di jenjang doktoral. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Dr. Ir. Hartoyo, MSc dan Dr. Prabowo Tjitropranoto selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup, serta Dr. Ir. Bayu Krisnamurthi, MS dan Prof. Dr. Ujang Sumarwan, MSc selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka. Penulis juga menyampaikan terima kasih dan apresiasi setinggi-tingginya kepada Direktorat Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI atas bantuan beasiswa BPPS selama masa studi doktoral di IPB, serta Yayasan Supersemar atas bantuan biaya penelitian yang diberikan.

Penghargaan dan terima kasih disampaikan kepada semua dosen dan tenaga kependidikan di lingkungan Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen dan Departemen Sains Komunikasi, dan Pengembangan Masyarakat, serta Departmen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB. Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. Rimbawan, Dr. Rinekso Soekmadi, dan semua staf di Direktorat Kemahasiswaan IPB. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada Ayu Marlika Leni Putri, Ani Ruwani, Fulan Sri Utami, Dewi Intan Permatahati, Dewi Nurafifah, Fahmi Dini Hanifa, dan Rafida Djakiman yang telah membantu selama proses pengumpulan data, Desi Gibraldi Sekretariat PPN, serta teman-teman PPN Angkatan 2010. Terima kasih secara khusus disampaikan juga kepada staf di Subdit Kesejahteraan Mahasiswa IPB (Rico Juni Artanto, SKH, Toni Iswanto, Ilyas, A.Md, dan Sugesti), Paguyuban Bidik Misi IPB dan semua mahasiswa Bidik Misi IPB yang ikut mendoakan penulis. Terakhir, penulis menyampaikan terima kasih kepada para responden yang telah bersedia menjawab pertanyaan-pertanyaan melalui wawancara selama proses pengambilan data penelitian.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibunda (Delima Aruan) dan ayahanda (almarhum M. Simanjuntak), abang (Sumanggam Simanjuntak dan Fajar Simanjuntak) dan adik-adik (Nurdiana Simanjuntak, Herlina Simanjuntak, Sapriun Simanjuntak, Fitria Simanjuntak, dan Helpina Simanjuntak), serta seluruh keluarga besar yang mendukung penulis dalam kondisi apapun. Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih kepada putri-putri tercinta Farhah Azizah Salsabila dan Jihan Fatiyah Asilah yang selalu mendorong dan menyemangati bundanya untuk segera menyelesaikan studi.

Terakhir, penulis berharap karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu penyuluhan pembangunan dan ilmu konsumen di Indonesia.

(16)
(17)

xvii

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

I. PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 5

Manfaat Penelitian ... 5

Ruang Lingkup Penelitian ... 6

II. PENDEKATAN TEORITIS ... 8

Pengertian Konsumen ... 8

Teori Sistem ... 8

Konsep Pendidikan Konsumen ... 10

Konsep Pemberdayaan Konsumen... 14

Kajian Empiris Faktor-Faktor yang Memengaruhi Keberdayaan Konsumen ... 17

Kajian Empiris Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kesejahteraan Subjektif Konsumen ... 21

Kerangka Berpikir Konseptual dan Operasional Penelitian... 23

Hipotesis Penelitian ... 25

III. GAMBARAN UMUM LOKASI DAN KONSUMEN ... 28

Keadaan Umum Lokasi penelitian ... 28

Pembelian Produk Makanan Kemasan ... 28

Karakteristik Demografi ... 29

Kekosmopolitan ... 31

Faktor Lingkungan ... 32

Pendidikan Konsumen ... 35

IV. PENGARUH KARAKTERISTIK DEMOGRAFI DAN KEKOSMOPOLITAN TERHADAP INTENSITAS PENDIDIKAN KONSUMEN ... 39

Pendahuluan ... 40

Metode ... 41

Hasil ... 42

Pembahasan ... 46

Simpulan ... 49

(18)

xviii

DI KABUPATEN DAN KOTA BOGOR ... 51

Pendahuluan... 51

Metode ... 53

Hasil ... 54

Pembahasan ... 63

Simpulan ... 67

VI. PROFIL KEBERDAYAAN KONSUMEN BERDASARKAN PERSPEKTIF KARAKTERISTIK DEMOGRAFI DAN KEKOSMOPOLITAN ... 69

Pendahuluan... 70

Metode ... 71

Hasil ... 72

Pembahasan ... 77

Simpulan ... 80

VII. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI TINGKAT KEBERDAYAAN KONSUMEN ... 82

Pendahuluan ... 82

Metode ... 84

Hasil ... 85

Pembahasan ... 89

Simpulan ... 91

VIII. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI TINGKAT KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF KONSUMEN ... 92

Pendahuluan ... 93

Metode ... 95

Hasil ... 95

Pembahasan ... 99

Simpulan ... 102

IX. PEMBAHASAN UMUM ... 103

Kontribusi Penelitian ... 113

Keterbatasan Penelitian ... 114

X. IMPLIKASI KEBIJAKAN... 116

Kondisi Eksisting Program Pemberdayaan Konsumen ... 116

Strategi Pemberdayaan Konsumen ... 117

XI. SIMPULAN DAN SARAN ... 125

Simpulan ... 125

Saran ... 121

DAFTAR PUSTAKA ... 129

LAMPIRAN ... 145

(19)

xix

DAFTAR TABEL

1 Level, proses dan outcome pemberdayaan ... 15

2 Ciri-ciri konsumen yang berdaya dan tidak berdaya berdasarkan kajian pustaka yang dituangkan dalam instrumen penelitian ... 24

3 Sebaran responden berdasarkan makanan kemasan yang pernah dibeli dalam 3 bulan terakhir ... 29

4 Sebaran responden berdasarkan karakteristik demografi... 30

5 Analisis deskriptif dan uji beda pendapatan, pengeluaran dan sebaran kategori kemiskinan keluarga responden ... 31

6 Sebaran butir kekosmopolitan responden selama 3 bulan terakhir ... 31

7 Sebaran responden berdasarkan kategori tingkat kekosmopolitan ... 32

8 Sebaran responden berdasarkan kelompok rujukan ... 33

9 Sebaran responden berdasarkan peran kelompok rujukan (jawaban dapat lebih dari satu) ... 34

10 Sebaran responden berdasarkan media yang pernah digunakan untuk memperoleh pendidikan konsumen dalam 12 bulan terakhir (jawaban dapat lebih dari satu) ... 36

11 Sebaran responden berdasarkan jenis materi pendidikan yang diperoleh dalam 12 bulan terakhir (jawaban dapat lebih dari satu) ... 37

12 Sebaran responden berdasarkan kategori intensitas pendidikan konsumen ... 38

13 Koefisien regresi pengaruh karakteristik demografi dan kekosmopolitan terhadap intensitas pendidikan konsumen menggunakan regresi linier berganda untuk kabupaten dan kota ... 45

14 Sebaran kategori dan uji beda keterampilan dasar konsumen ... 54

15 Sebaran responden yang terampil membaca label makanan kemasan ... 56

16 Sebaran responden berdasarkan perilaku membaca label makanan kemasan ... 57

17 Sebaran responden yang mengetahui undang-undang dan lembaga perlindungan konsumen ... 60

18 Analisis deskriptif dan uji beda keberdayaan konsumen dan dimensinya ... 62

19 Rata-rata dan uji beda keberdayaan konsumen berdasarkan perspektif karakteristik demografi dan kekosmopolitan ... 73

20 Rata-rata dan uji beda keberdayaan konsumen berdasarkan perspektif demografi dan kekosmopolitan, serta uji beda antar wilayah ... 74

21 Koefisien regresi pengaruh karakteristik demografi dan kekosmopolitan terhadap keberdayaan konsumen untuk Kabupaten dan Kota Bogor ... 76

22 Hasil dekomposisi efek model faktor-faktor yang memengaruhi keberdayaan konsumen di wilayah Kabupaten dan Kota Bogor menggunakan SEM ... 89

23 Rata-rata (skor 0-100) dan uji beda kesejahteraan subjektif konsumen dan dimensinya antara kabupaten dan kota... 96

(20)

xx

keberdayaan konsumen dan dimensinya dengan kesejahteraan subjektif konsumen dan dimensinya di wilayah

Kabupaten dan Kota Bogor ... 97

25 Koefisien regresi faktor-faktor yang memengaruhi kesejahteraan subjektif konsumen di Kabupaten dan Kota Bogor ... 98

28 Strategi, program, sasaran dan aktor dalam pemberdayaan konsumen ... 123

DAFTAR GAMBAR

1 Skema perumusan masalah penelitian ... 4

2 Organisasi sebagai sistem terbuka (sumber: Nisjar dan Winardi 1997) ... 9

3 Konsep, keterampilan, sikap dan pengetahuan pendidikan konsumen ... 13

4 Model umum pemberdayaan konsumen (Shibly 2009) ... 16

5 Kerangka konseptual faktor-faktor yang memengaruhi keberdayaan konsumen dan kesejahteraan subjektif konsumen ... 26

6 Kerangka empiris faktor-faktor yang memengaruhi keberdayaan konsumen dan kesejahteraan subjektif konsumen ... 27

7 Kerangka hipotetik model struktural variabel penelitian faktor-faktor yang memengaruhi keberdayaan konsumen ... 86

8 Model faktor-faktor yang memengaruhi keberdayaan konsumen di Kabupaten dan Kota Bogor menggunakan analisis SEM ... 87

9 Model pemberdayaan konsumen ... 115

10 Strategi pemberdayaan konsumen berdasarkan pihak-pihak yang terlibat ... 119

11 Analisis faktor konfirmatori instrumen kekosmopolitan ... 154

12 Analisis faktor konfirmatori instrumen faktor lingkungan ... 155

13 Analisis faktor konfirmatori instrumen komplain dan ganti rugi ... 157

14 Analisis faktor konfirmatori instrumen keberdayaan konsumen ... 158

15 Analisis faktor konfirmatori instrumen komplain dan ganti rugi ... 159

16 Analisis faktor konfirmatori instrumen pemenuhan hak konsumen ... 160

17 Analisis faktor konfirmatori instrumen pengalaman praktik tidak adil ... 162

18 Analisis faktor komponen utama instrumen kesejahteraan subjektif konsumen ... 164

19 Analisis faktor konfirmatori instrumen kesejahteraan subjektif konsumen ... 165

DAFTAR LAMPIRAN

1 Definisi operasional, pengukuran dan pengolahan data variabel-variabel penelitian ... 146

2 Bagan penentuan lokasi dan sampel penelitian ... 151

3 Jumlah butir, kisaran skor, nilai reliabilitas dan validitas variabel penelitian serta kontrol kualitas data mencakup normalitas, bentuk distribusi dan homogenitas data penelitian ... 152

(21)

xxi 4 Hasil uji beda variabel-variabel penelitian... 153 5 Hasil analisis instrumen kekosmopolitan menggunakan

faktor konfirmatori ... 154 6 Hasil analisis instrumen faktor lingkungan menggunakan

faktor konfirmatori ... 155 7 Hasil analisis instrumen komplain dan ganti rugi menggunakan faktor

konfirmatori ... 156 8 Hasil analisis instrumen pemenuhan hak konsumen menggunakan

faktor konfirmatori ... 157 9 Hasil analisis instrumen pengalaman praktik tidak adil menggunakan

faktor konfirmatori ... 159 10 Hasil analisis instrumen intensitas pendidikan konsumen menggunakan

faktor konfirmatori ... 160 11 Hasil analisis instrumen keberdayaan konsumen menggunakan faktor

konfirmatori ... 161 12 Hasil analisis instrumen kesejahteraan subjektif konsumen menggunakan

komponen utama dan faktor konfirmatori ... 163

(22)

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Konsumen saat ini berada dalam pasar yang semakin kompleks dan dihadapkan pada jumlah informasi yang semakin banyak dengan pilihan produk dan jasa yang semakin beragam. Konsumen lebih mudah terpapar pada penipuan sehingga membutuhkan keahlian dan pengetahuan yang lebih dibandingkan dengan sebelumnya. Oleh karena itu, kebutuhan terhadap pendidikan konsumen semakin meningkat sepanjang waktu. Pendidikan dapat membekali konsumen dengan informasi dan keterampilan untuk memenuhi tantangan tersebut dan meningkatkan ikatan dengan pemasar, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraannya. Dengan demikian, pemerintah dan produsen semakin penting untuk memberdayakan dan menyadarkan konsumen dengan sebaik-baiknya (Organization for Economic Co-operation and Development 2009).

Hingga saat ini, masalah perlindungan konsumen di Indonesia masih belum mendapat banyak perhatian. Penegakan perlindungan konsumen dikatakan berhasil jika setiap konsumen telah sanggup melindungi diri sendiri dari segala macam hal yang merugikannya. Hal ini baru dapat terjadi kalau konsumen telah sadar, mengerti dan dapat menggunakan hak-haknya sebagai konsumen. Pada prinsipnya, konsumen berada pada posisi yang secara ekonomis kurang diuntungkan. Konsumen semata-mata tergantung pada informasi yang diberikan dan disediakan oleh pelaku usaha (Barata 2003).

Dalam penjelasan Undang-Undang RI Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah rendahnya tingkat kesadaran konsumen terhadap haknya. Hal ini terutama disebabkan oleh kurangnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu, Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat untuk pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Upaya pemberdayaan ini penting karena tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha, yang prinsipnya adalah mendapat keuntungan secara maksimal (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia 2001). Pemerintah Indonesia belum menyelenggarakan pendidikan konsumen secara terstruktur sebagaimana di negara maju seperti Jepang, Korea, Mexico, Spanyol, Swedia, dan Thailand. Pemerintah baru membuat produk undang-undang, yaitu UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-undang tersebut memang telah menyediakan payung hukum, tetapi kemandirian dan pemberdayaan konsumen belum optimal hanya dengan produk kebijakan perlindungan konsumen (Riksana 2012).

Keberdayaan konsumen adalah keadaan subyektif positif yang ditimbulkan oleh peningkatan kontrol (Wathieu et al. 2002). Konsumen dapat diberdayakan melalui sumber yang berbeda, baik melalui regulasi pemerintah maupun pendidikan konsumen (Hunter dan Garnefeld 2008). Program pendidikan konsumen berdampak terhadap perilaku konsumen siswa, seperti memeriksa tanggal kadaluarsa dan melakukan perbandingan harga sebelum membeli (Makela dan Peters 2004). Pendidikan merupakan prasyarat untuk pemberdayaan dan

(23)

2

sumber pemberdayaan itu sendiri. Pendidikan adalah dimensi pemberdayaan konsumen, sehingga penting untuk memahami dan menggunakan informasi yang tersedia (Hunter et al. 2006; Cutler dan Nye 2000). Studi Killackey-Jones et al. (2004) juga menunjukkan bahwa intervensi pendidikan secara nyata dapat meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku responden. Meskipun demikian, menurut Burghelea dan Aceleanu (2014) situasi konsumen tidak semata-mata tergantung kepada pendidikan konsumen, namun faktor lain seperti kelembagaan perlindungan konsumen, penerapan hukum, akuisisi pengetahuan melalui cara-cara informal, atau kebutuhan konsumen yang berbeda. Jika dikaitkan dengan kesejahteraan konsumen, hasil studi Hunter dan Garnefeld (2008) menyimpulkan keberdayaan konsumen berhubungan positif dengan kepuasan, serta keterlibatan konsumen menjadi variabel antara hubungan keberdayaan konsumen dan kepuasan konsumen.

Beranjak dari kondisi yang telah disampaikan sebelumnya, peneliti tertarik mengkaji tingkat keberdayaan konsumen di wilayah Kabupaten dan Kota Bogor, dengan kekhususan pada kelas makanan kemasan. Pentingnya makanan kemasan diteliti adalah karena masih banyak produk makanan maupun minuman yang diproduksi oleh industri tidak sesuai dengan peraturan tentang Undang-Undang RI No. 18 tahun 2012 tentang Pangan. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan, “makanan dan minuman kemasan adalah makanan dan minuman hasil produksi perusahaan yang tergolong industri berskala besar dan tidak termasuk industri berskala kecil dan industri rumah tangga.”

Permasalahan terkait makanan kemasan salah satunya terlihat pada temuan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) tahun 2013, yakni sebanyak 171.887 kemasan pangan Tidak Memenuhi Ketentuan (TMK) yang terdiri dari 3.037 item, dengan rincian 3.907 kemasan pangan rusak, 26.505 kemasan pangan kadaluarsa, 130.374 kemasan pangan tanpa izin edar, dan 11.068 kemasan TMK label. Pada tahun sebelumnya, pangan yang ditemukan TMK sebanyak 82.666 kemasan. BPOM juga menemukan 1.844 produk kadaluarsa dengan nilai ekonomi mencapai Rp 1 miliar (Anonim 2013). Faktor lain yang menjadi pertimbangan pemilihan makanan kemasan adalah persentase pengeluaran rumah tangga untuk makanan tergolong tinggi, yakni 50.66 persen pada bulan Maret 2013. Selain itu, persentase pengeluaran rata-rata per kapita per bulan untuk makanan jadi adalah yang tertinggi dibandingkan kelompok makanan lainnya, yakni 12.46 persen pada bulan September 2013 (BPS 2013).

(24)

konsumen. Williams (2006) menyatakan bahwa pendidikan konsumen yang dilaksanakan di Inggris dan Kanada mampu memberdayakan konsumen.

Perbedaan lokasi geografis dalam penelitian ini adalah Kabupaten dan Kota Bogor yang secara karakteristik mendekati ciri perdesaan dan perkotaan, dianggap dapat memengaruhi keberdayaan konsumen berdasarkan studi Nardo et al. (2011). Lokasi di perdesaan memungkinkan akses komunikasi masih terhambat daripada di perkotaan, sehingga peran iklan atau media terkadang kurang berfungsi semestinya. Hasil studi Chandrasekhar (2012) di India, konsumen perdesaan cenderung memiliki masalah komunikasi dan melek huruf yang rendah, sehingga belum mengenal dan memahami iklan sepenuhnya. Selain itu, konsumen di perdesaan lebih suka membeli produk yang lebih murah dan mudah terpengaruh penjual dibandingkan konsumen perkotaan. Berdasarkan studi Agriculture and Agri-Food Canada (2010), ketersediaan produk di perkotaan lebih beragam dan konsumen lebih mudah mengakses informasi, sehingga memungkinkan konsumen mengonsumsi makanan yang lebih bervariasi baik dari dalam maupun luar negeri. Lebih banyak pilihan konsumen dalam proses pembelian, konsumen semakin berkuasa melalui pilihan konsumsi (Shaw et al. 2006). Konsumen di perkotaan juga lebih terbiasa membeli makanan dengan kualitas yang lebih baik. Wiklander (2010) menyatakan bahwa perbedaan lokasi geografis dapat memengaruhi mobilitas dan keberdayaan perempuan.

Pemberdayaan konsumen banyak diteliti dari perspektif pemasar, namun dari perspektif konsumen belum banyak diteliti. Dari perspektif pemasar, Wright et al. (2006) menyatakan banyak literatur tentang pemberdayaan konsumen fokus pada upaya konsumen untuk mendapatkan kembali kontrol proses konsumsinya dari pelaku usaha. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa banyak pelaku usaha berhasil dengan berusaha keras memberdayakan konsumen. Aspek pemberdayaan dalam literatur pemasaran berfokus terutama pada konsep bahwa konsumen dapat menegakkan kekuasaannya melalui ekonomi pasar (Shaw et al. 2006; Wathieu et al. 2002). Penelitian pemberdayaan konsumen yang menggunakan perspektif pemasaran diantaranya studi Cannoy (2008) yang mengkaji pemberdayaan konsumen dalam pertukaran informasi layanan kesehatan dan Shin (2008) yang meneliti keberdayaan konsumen restoran. Penelitian keberdayaan konsumen yang telah dilakukan juga lebih memfokuskan pada keberdayaan konsumen saja (Nardo et al. 2011) atau pendidikan konsumen saja (berbagai penelitian yang dilakukan McGregor 2005, Williams 2006, Purutcuoglu dan Bayraktar 2005).

(25)

4

konsumen. Kedua, keluarga adalah memberi pengaruh utama pada sikap dan perilaku anggota keluarga (Kotler 2000).

Berdasarkan uraian sebelumnya, pada Gambar 1 disajikan skema permasa- lahan yang melatarbelakangi perlunya penelitian ini untuk dilaksanakan. Pengelompokan permasalahan terkait konsumen dapat dibagi dua, yakni per-masalahan internal dan eksternal konsumen. Kedua kelompok perper-masalahan ini bermuara pada perlunya konsumen diberdayakan sebagai solusi menye- lesaikan berbagai masalah yang dihadapi konsumen.

Gambar 1 Skema perumusan masalah penelitian

Mengacu pada uraian sebelumnya, dapat dirumuskan pertanyaan yang dijawab melalui penelitian ini, yakni: (1) Bagaimana pengaruh karakteristik demografi dan kekosmopolitan terhadap intensitas pendidikan konsumen di Kabupaten dan Kota Bogor?; (2) Bagaimana tingkat keberdayaan konsumen di Kabupaten dan Kota Bogor ?; (3) Bagaimana profil dan hubungan karakteristik demografi dan kekosmopolitan dalam meningkatkan keberdayaan konsumen?; (4) Faktor-faktor apa yang memengaruhi keberdayaan konsumen di Kabupaten dan Kota Bogor?; (5) Faktor-faktor apa yang memengaruhi kesejahteraan subjektif konsumen di Kabupaten dan Kota Bogor?; dan (6) Strategi apa yang dapat dilakukan untuk memberdayakan konsumen di Kabupaten dan Kota Bogor?.

Konsumen berdaya :

- Mengetahui kewajibannya sebagai konsumen - Mengetahui dan menegaskan hak-haknya - Dapat membuat keputusan yang optimal

- Dapat mengidentifikasi harga dan kualitas terbaik - Memahami preferensinya sendiri dan

pilihan-pilihan yang tersedia

- Mengenali kapan haknya dilanggar/mengenali praktik tidak adil pelaku usaha

- Mengeluh dan mencari ganti rugi bila diperlukan

Faktor Eksternal

 Kompleksitas peredaran barang dan

jasa

 Pilihan produk dan jasa semakin luas

 Produk berkualitas rendah semakin

marak dan beragam

 Informasi yang berlebihan makin

meningkat

 Pendidikan konsumen oleh swasta,

pemerintah maupun LSM belum memadai

Faktor Konsumen

 Tuntutan pada konsumen dalam

membuat pilihan terbaik di pasar bebas

 Konsumen lebih terpapar pada

penipuan

 Konsumen berada pada posisi yang

secara ekonomis kurang diuntungkan

 Konsumen kurang tahu dan paham UU

No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

 Kesadaran akan hak dan tanggung

jawab umumnya rendah

 Keahlian dan pengetahuan konsumen

masih rendah

(26)

Tujuan Penelitian

Secara umum, tujuan penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi intensitas pendidikan, keberdayaan konsumen, dan kesejahteraan subjektif konsumen, serta memformulasikan strategi pemberdayaan konsumen di Kabupaten dan Kota Bogor. Secara khusus, penelitian ini bertujuan:

(1) Menganalisis pengaruh karakteristik demografi dan kekosmopolitan terhadap intensitas pendidikan konsumen di Kabupaten dan Kota Bogor

(2) Menganalisis tingkat keberdayaan konsumen di Kabupaten dan Kota Bogor (3) Menganalisis profil keberdayaan konsumen berdasarkan perspektif demografi

dan kekosmopolitan di Kabupaten dan Kota Bogor

(4) Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi keberdayaan konsumen di Kabupaten dan Kota Bogor

(5) Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi kesejahteraan subjektif konsumen di Kabupaten dan Kota Bogor

(6) Memformulasikan strategi pemberdayaan konsumen di Kabupaten dan Kota Bogor.

Manfaat Penelitian

(1) Manfaat penelitian bagi perkembangan ilmu pengetahuan adalah memberikan bahan informasi dan referensi bagi ilmuwan atau peneliti ilmu/studi konsumen dan penyuluhan pembangunan yang ingin mengembangkan penelitian sejenis terutama yang memfokuskan pada pendidikan dan perlindungan konsumen, serta keberdayaan konsumen.

(2) Manfaat bagi pemerintah, khususnya Direktorat Pemberdayaan Konsumen, Kementerian Perdagangan RI, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Disperindag) melalui adanya Sie Perlindungan Konsumen, dan BPOM, adalah dapat diketahui seberapa jauh pendidikan konsumen telah menjangkau masyarakat baik di wilayah Kabupaten maupun Kota Bogor, sehingga dapat ditentukan langkah strategis untuk lebih memperluas jangkauan pendidikan konsumen khususnya dengan sasaran rumah tangga. Hasil penelitian ini juga dapat menjadi pertimbangan bagi para pengambil kebijakan dalam menerapkan strategi alternatif peningkatan keberdayaan konsumen yang nantinya akan dihasilkan. Bagi YLKI, BPKN (Badan Perlindungan Konsumen Nasional), BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen), maupun LPKSM (Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat) yang bergerak dalam perlindungan konsumen, penelitian ini juga dapat menjadi masukan dan evaluasi dalam upaya mengoptimalkan berbagai aktivitas perlindungan konsumen yang selama ini telah dilaksanakan.

(27)

6

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini secara khusus berfokus kepada kajian pengaruh karakteristik demografi, faktor lingkungan, dan intensitas pendidikan konsumen terhadap keberdayaan dan tingkat kesejahteraan subjektif konsumen. Definisi operasional, pengukuran dan pengolahan data variabel-variabel penelitian, serta kontrol kualitas data dijelaskan dalam Lampiran 1 dan 3. Lingkup teori/konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori sistem, konsep pemberdayaan, dan konsep pendidikan yang akan dijelaskan dalam Bab Pendekatan Teoritis.

Ruang lingkup metode penelitian ini adalah menggunakan disain explanatory dan descriptive research dengan metode survei dan pendekatan cross sectional yang mempelajari dinamika korelasi antar variabel, baik dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada satu waktu (Notoatmodjo 2003). Penelitian hanya dibatasi wilayahnya di empat kecamatan dan delapan desa di Kabupaten dan Kota Bogor (Lampiran 2). Pertimbangan pemilihan lokasi adalah Kabupaten dan Kota Bogor merupakan ceruk pasar makanan kemasan yang cukup besar di Indonesia dengan lokasi yang berdekatan dengan Jakarta sebagai ibukota negara Indonesia. Lingkup wilayah penelitian adalah Kabupaten dan Kota Bogor yang dalam penelitian ini dibedakan sejak awal penentuan sampel. Karakteristik kabupaten sebagian besar daerahnya merupakan wilayah pedesaan, sebaliknya wilayah kota biasanya terdiri atas wilayah perkotaan. Sektor perekonomian kabupaten umumnya berasal dari pertanian, sedangkan perekonomian kota berasal dari industri. Perbedaan karakteristik tersebut dijadikan landasan untuk membedakan kelompok responden menjadi dua, yakni wilayah kabupaten dan kota pada semua analisis yang dilakukan dalam penelitian ini.

Penentuan jumlah sampel sebanyak 320 rumah tangga dihitung menggunakan rumus Slovin. Jumlah sampel untuk setiap desa telah ditentukan sebanyak 40 keluarga, sehingga total masing-masing 160 responden dari kabupaten dan kota, dengan asumsi telah memenuhi syarat untuk analisis statistik (Agresti dan Finlay 1999). Unit analisis penelitian ini adalah ibu rumah tangga yang berasal dari keluarga lengkap (ada ayah, ada ibu dan anak) dengan pertimbangan variasi konsumsi makanan kemasan akan terlihat dan beragam. Sampel penelitian ditentukan secara multistage sampling (Black dan Champion 1992; Agresti dan Finlay 1999) dengan masing-masing wilayah Kabupaten dan Kota Bogor sebagai lapis yang didalamnya dilakukan pengacakan. Pengacakan dilakukan dengan menggunakan fungsi random pada program Microsoft Excel. Penelitian lapang dilakukan mulai April hingga Agustus 2013

Screening untuk dapat menjadi responden dilakukan jika keluarga mengonsumsi salah satu atau lebih produk berikut : produk susu dan olahannya, snack ringan, makanan kaleng, makanan bayi atau produk mie instan. Sebelum wawancara dilakukan, kepada responden dijelaskan apa yang dimaksud dengan makanan kemasan dan jenis-jenisnya agar tidak terjadi salah paham terhadap produk yang dimaksud. Makanan kemasan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan besar dan telah memiliki nomor registrasi seperti tercantum dalam kemasannya.

(28)

responden menandatangani informed consent yang merupakan bentuk persetujuan untuk berpartisipasi dalam penelitian. Pengujian instrumen dilakukan kepada 32 ibu rumah tangga (10% dari total contoh) yang tidak masuk dalam contoh penelitian. Review instrumen dilakukan dengan meminta masukan dari dua akademisi dan satu praktisi bidang konsumen sesuai dengan Guba dan Lincoln (Radhakrishna et al. 2012).

Kebaruan penelitian ini adalah pengembangan instrumen keberdayaan konsumen dengan menggabungkan instrumen keberdayaan konsumen dari studi

The Consumer Empowerment Index : A measure of skills, awareness and engagement of European consumers” (Nardo et al. 2011), Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 dan Undang-Undang RI No. 18 tahun 2012 tentang Pangan. Berdasarkan hasil pencarian referensi yang dilakukan peneliti, pengembangan instrumen keberdayaan konsumen di Indonesia belum dilakukan.

Kebaruan penelitian ini juga dapat ditinjau dari sudut ilmu penyuluhan pembangunan yang menjadi kompetensi utama peneliti, yang memberikan insight baru dengan penggabungan dua bidang ilmu, yakni ilmu penyuluhan pembangunan dan ilmu konsumen. Umumnya, perspektif ilmu penyuluhan lebih membidik produsen sebagai stakeholder utama, namun penelitian ini memberikan paradigma baru dengan mengkaji konsumen sebagai pengguna akhir.

(29)

8

II. PENDEKATAN TEORITIS

Pengertian Konsumen

Berdasarkan Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pasal 1 butir 2, konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, konsumen adalah pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, untuk keperluan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain dan tidak untuk diperdagangkan kembali (YLKI 2001).

Menurut Sumarwan (2011), konsumen dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu konsumen individu dan konsumen organisasi. Konsumen individu membeli barang dan jasa untuk digunakan sendiri atau untuk kebutuhan anggota rumah tangga. Konsumen organisasi meliputi organisasi bisnis, yayasan, lembaga sosial, kantor pemerintah, dan lembaga lainnya.

Beberapa karakteristik konsumen di abad 21 di antaranya adalah : (1) Teknologi informasi yang baru menyebabkan individu memiliki referensi budaya individu dan tidak perlu lagi menjadi bagian dari budaya lokal; (2) Kebutuhan, keinginan, dan aspirasi individu yang kontras dalam rumahtangga dan/atau di antara anggota keluarga; (3) Banyak konsumen tidak memiliki waktu mencari informasi terkait pilihan konsumen; (4) Konsumen yang giat mencari informasi tidak benar-benar ada dan saat berurusan dengan pembelian, pengetahuan antara produsen dan konsumen sangat jauh berbeda; (5) Pertumbuhan bisnis dan pemasaran multi-nasional membuat produsen diijinkan menghasilkan apa saja yang diinginkannya, pasar sangat kompetitif, dan kebijakan konsumen mengharuskan konsumen untuk mencari informasi agar dapat bertahan di pasar; (6) Di banyak negara, konsumen yang tinggal di daerah perdesaan sering tidak memiliki pilihan yang sama dengan konsumen di daerah perkotaan dan kadang-kadang harga kebutuhan dasar lebih tinggi daripada di perkotaan; (7) Sumber daya keuangan sering terbatas; dan (8) Semakin banyak barang dan jasa yang ditawarkan membuat konsumen tidak hanya harus mempertimbangkan harga pembelian, tetapi juga biaya penggunaan (Anonim 2012).

Teori Sistem

Pengertian sistem menurut Romiszowski (1981) adalah kumpulan komponen yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan, sedangkan menurut Cleland dan King (1988) sistem adalah sekelompok komponen yang secara tetap saling berkaitan dan saling bergantungan, sehingga membentuk suatu keseluruhan yang terpadu. Pembagian sistem atas terbuka dan tertutup didasarkan pada ketersediaan sumber daya. Sumber daya dari sistem adalah segala sesuatu yang dibutuhkan oleh sistem untuk melakukan kegiatan-kegiatan dalam mencapai tujuan. Sumber daya ini termasuk orang/manusia, uang, fasilitasi dan peralatan, proses teknologi, informasi, dan berbagai sumber daya lain di luar manusia. Sistem terbuka memasukkan sumber daya dari lingkungan, mengubah sumber

(30)

daya ini menjadi suatu output yang berguna dan mengirim kembali output tersebut ke lingkungan, atau dapat dikatakan bahwa siklus input-transformasi-output berjalan secara kontinyu. Suatu organisasi sebagai sebuah sistem terbuka, mencapai eksistensinya dari sebuah sistem lingkungan yang lebih besar, dan

sebaliknya perusahaan harus menunjukkan ”pengabdiannya” kepada nilai-nilai

sosial manusia dalam lingkungannya. Lingkungan keorganisasian sendiri merupakan sebuah sistem terbuka dan dinamik. Sebagai sistem, baik organisasi maupun lingkungannya memperlihatkan sifat-sifat sistematik dasar yang termasuk perilaku dengan tujuan tertentu, universal/generalitas dalam heterogenitas, keterbukaan, transformasi, keterkaitan satu sama lain, pengawasan, dan pengendalian (Nisjar dan Winardi 1997). Suatu organisasi sebagai sistem terbuka disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Organisasi sebagai sistem terbuka (sumber: Nisjar dan Winardi 1997) Jika dikaitkan dengan keluarga sebagai sebuah organisasi, serta mengingat manusia adalah makhluk sosial, dan keluarga merupakan lembaga sosial terkecil yang menyangkut hubungan antar pribadi dan hubungan antara manusia dengan lingkungan di sekitarnya, maka keluarga tidak dapat berdiri sendiri. Keluarga sangat tergantung dengan lingkungan di sekitarnya (baik lingkungan mikro, meso, ekso, dan makro) dan keluarga juga memengaruhi lingkungan di sekitarnya (baik lingkungan mikro, meso, ekso dan makro). Beberapa peneliti memberikan contoh-contoh hubungan antara keluarga dan lingkungan atau disebut sebagai ekologi keluarga (Puspitawati 2012).

Setiap sistem tergantung pada sifat kontekstual dari kehidupan seseorang dan menawarkan keragaman pilihan. Misalnya, karena kita berpotensi memiliki akses ke sistem ini, kita dapat memiliki pengetahuan sosial yang lebih baik, meningkatnya peluang untuk belajar tentang pemecahan masalah, dan akses ke dimensi baru eksplorasi diri (Swick dan Williams 2006).

Lingkungan Teknologi Ekonomi

SUMBER-SUMBER DAYA

- Faktor-faktor Ekonomi - Teknologi - Pengetahuan

INPUT

TRANSFORMASI

- Tujuan

- Manusia

- Struktur

- Teknik-teknik

- Informasi

OUTPUT

Sistem Manajerial Lingkungan

Sosial Manusia Politik

PEMAKAI

- Nilai-nilai

individu

- Nilai-nilai

institusional

Bidang perbatasan

Sistem Keorganisasian

Bidang perbatasan

Arus Keperluan Pemuasan Keperluan

(31)

10

Melalui sistem manajerial, individu dan keluarga berupaya mencapai tujuannya dengan memanfaatkan sumber daya. Manajemen keluarga dipengaruhi oleh faktor lingkungan, masyarakat yang lebih luas, dan lingkungan terdekat keluarga. Dalam manajemen keluarga, terjadi petukaran input termasuk informasi menjadi output yang disebut dengan proses transformasi. Pentingnya informasi terhadap keberfungsian sistem diinterpretasikan terkait dengan pengaturan diri, adaptif dan orientasi kepada tujuan (Deacon dan Firebaugh 1988). Jika dikaitkan dengan sistem terbuka, Deacon dan Firebaugh menyatakan keluarga sebagai sistem yang morfogenik yang dicirikan dengan sifat yang adaptif, memberikan respon kepada perubahan, memberikan umpan balik yang positif, memiliki batas yang dapat ditembus, dan memiliki struktur internal yang fleksibel.

Konsep Pendidikan Konsumen

Menurut Ensmiger (Dahama dan Bhatnagar 1980), penyuluhan merupakan proses pendidikan dalam rangka mengubah sikap, pengetahuan dan keterampilan seseorang. Proses pendidikan ini berlangsung melalui pendidikan luar sekolah atau pendidikan non formal. Penyuluhan merupakan usaha mengembangkan (memberdayakan) potensi individu klien agar lebih berdaya secara mandiri. Dari kedua pendapat ini semakin jelas bahwa penyuluhan sosial merupakan proses pendidikan dalam rangka pengubahan perilaku. Pengubahan perilaku dan pengembangan potensi diarahkan untuk menjadi orang yang modern atau orang yang berpikiran maju. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penyuluhan adalah proses pendidikan yang bertujuan untuk pengubahan sikap, pengetahuan dan keterampilan. Menurut Slamet (2003), perubahan perilaku dari penyuluhan terjadi dalam tiga bentuk: (1) bertambahnya perbendaharaan informasi yang berguna; (2) tumbuhnya keterampilan, kemampuan dan kebiasaan baru atau yang bertambah baik; dan (3) tumbuhnya sikap mental dan motivasi yang lebih kuat sesuai yang dikehendaki.

Berbagai ahli memberikan argumennya mengenai pendidikan konsumen. Konsep pendidikan konsumen yang diungkapkan oleh McNeal (1987) adalah pengembangan individu dalam hal keterampilan, konsep, dan pemahaman yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari yang mendukung penilaian atas dirinya sendiri dan pemanfaatan sumber daya untuk pencapaian kepuasan yang maksimum. Jarva (2011) berpendapat kemampuan yang hendak dioptimalkan dari pendidikan konsumen adalah kesadaran yang berorientasi masa depan yang menggabungkan pengetahuan, keterampilan praktis, motivasi emosional, dan etika dalam pengambilan keputusan. Dengan adanya pendidikan konsumen, Knights (2000) mengungkapkan semakin terdapat kesempatan untuk mengembangkan kesadaran akan hak dan tanggung jawab konsumen yang kelak memengaruhi keputusan konsumen dan implikasi yang lebih luas dari keputusan tersebut.

Menurut Organisation for Economic Operation and Development (2009), pendidikan konsumen didefinisikan dengan berbagai cara. Fokusnya telah berubah dari manajemen rumah tangga pada tahun 1960-an, menjadi pembelajaran cara untuk melatih tentang hak konsumen dan cara terhindar dari

menjadi korban praktek “kecurangan,” menyesatkan atau komunikasi yang tidak

(32)

membantu konsumen memahami mekanisme pasar dan dengan percaya diri berhadapan dengan pasar.

Menurut Bannister dan Monsma (Sandlin 2004), sepanjang sejarah pendidikan konsumen, para praktisi prihatin dengan perbaikan "tingkat ekonomi

bagi semua warga negara,” dan fokus pada tiga bidang pendidikan yakni : pilihan

konsumen dan pengambilan keputusan; manajemen sumber daya pribadi, dan partisipasi masyarakat. Menurut Sudaryatmo (2004), pendidikan konsumen diharapkan dapat menciptakan konsumen yang cerdas dan kritis :

"Consumer and economic actions lie at the heart of modern life. Consumer education, like the general education curriculum, is part of that foundation on which students may begin to build their personal lives, and on which we must begin to build a more responsive and human world."

Wells dan Atherton (1998) menyatakan bahwa pendidikan konsumen adalah proses untuk mendapatkan keterampilan, wawasan, dan pemahaman yang dibutuhkan oleh individu dalam komunitas konsumen sehingga dapat memanfaatkan peluang konsumen yang ada dalam pasar yang kompleks saat ini. Menurut Bannister dan Monsma (Sandlin 2004), pendidikan konsumen adalah proses memperoleh pengetahuan dan keterampilan untuk mengelola sumber daya pribadi dan untuk berpartisipasi dalam keputusan sosial, politik, dan ekonomi yang memengaruhi kesejahteraan individu dan kepentingan publik. Sudaryatmo (2004) menyatakan pendidikan konsumen adalah suatu proses untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan konsumen, sehingga konsumen dapat mengelola sumber dayanya dan melakukan tindakan-tindakan untuk memengaruhi faktor-faktor yang berkaitan dengan keputusan konsumen. Di lain pihak, seringkali para ahli melihat pendidikan konsumen hanya sebagai proses transmisi atau cara menyampaikan informasi. Hal ini menunjukkan pentingnya mengenali pengetahuan terlebih dahulu, memfasilitasi komunikasi antara konsumen dan para ahli, dan bergerak menuju pendekatan kolaboratif dan dapat dinegosiasikan kepada konsumen pendidikan (Knights 2000).

Berdasarkan pendapat para ahli di atas tentang pendidikan konsumen, dapat disimpulkan bahwa pendidikan konsumen merupakan sebuah proses untuk memperoleh pengetahuan, pemahaman dan keterampilan, sehingga konsumen dapat memaksimalnya sumber daya yang dimilikinya dan mampu mengambil keputusan pembelian yang tepat.

(33)

12

kebijakan perlindungan konsumen, kebijakan peraturan perusahaan, serta informasi dan pendidikan konsumen (McGregor 2013).

Pendidikan konsumen penting untuk menggerakkan konsumen yang tidak terampil secara sadar menjadi lebih terampil (Australian Securities and Investments Commission 2001). Flowers et al. (2001) menjelaskan pandangan pendidikan konsumen didasarkan pada tiga pendekatan, yakni berfokus pada penyediaan informasi untuk membantu konsumen membuat pilihan yang lebih baik, melindungi konsumen dari praktik perdagangan yang curang, dan pandangan kritis yang mengakui bahwa konsumen bertindak dalam konteks sosial, ekonomi, dan politik yang berdampak pada kemampuan untuk membuat pilihan. Menurut Organisation for Economic Operation and Development (2009), pendidikan konsumen harus fokus pada peningkatan kesadaran akan manfaat keberlanjutan, mengembangkan pengetahuan praktis tentang apa yang bisa dilakukan konsumen untuk mendukung konsumsi berkelanjutan, dan memberikan keterampilan dan sikap yang diperlukan konsumen untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. United Nations (2001) menyatakan bahwa pendidikan konsumen dan program informasi harus mencakup aspek penting perlindungan konsumen seperti: (a) kesehatan, gizi, pencegahan penyakit makanan dan pemalsuan makanan; (b) produk berbahaya; (c) label produk; (d) undang-undang yang relevan, cara mendapatkan ganti rugi, serta badan dan organisasi bagi perlindungan konsumen; (e) informasi tentang berat dan ukuran, harga, kualitas, kondisi kredit dan ketersediaan kebutuhan pokok; dan (f) polusi dan lingkungan.

McGregor (2005) mengemukakan bahwa pendidikan konsumen diasumsikan memenuhi tujuan pemberdayaan dalam perannya sebagai konsumen. Bentuk pemberdayaan konsumen adalah arah yang paling tepat untuk masa depan pendidikan konsumen. McGregor (Jarva 2011) telah mempelajari perubahan yang diperlukan dalam kerangka pendidikan konsumen. Konsep dasarnya adalah pemberdayaan diturunkan dari akar kata kekuasaan. Pendidikan konsumen tradisional telah diupayakan untuk memberdayakan konsumen.

Secara tradisional program pendidikan cenderung untuk memberikan informasi dan saran kepada konsumen, mengajarkan cara membuat pilihan yang rasional dan efisien, dan semakin peka terhadap hak-haknya serta memperoleh perlindungan hak-hak tersebut dari pemerintah. Bentuk pendidikan ini mencoba menyeimbangkan kekuatan antara penjual dan pembeli, tetapi tidak mempertanyakan mengapa ada kekuasaan dan juga tidak menguji dampak negatif dari hubungan tersebut. Ia mengacu pada perubahan yang sama dalam lingkungan konsumsi, dan menarik kesimpulan bahwa pendidikan konsumen harus mengambil arah baru dari pemberdayaan konsumen sebagai bagian dari

masyarakat global, untuk menemukan “inner power” sebagai warga konsumen.

Inner power ini diciptakan dengan mendidik konsumen untuk bersikap kritis dan menemukan kekuatan baru dengan berfokus pada pilihannya sendiri dan inner power sebagai warga negara yang bertanggung jawab.

(34)

pendidikan untuk warganegara. Dalam kerangka ini ditekankan bahwa pendidikan konsumen dari perspektif kewarganegaraan, pemberdayaan dapat membantu mengeksplorasi perannya dalam masyarakat dan membantu agar aktif dan bertanggung jawab sebagai anggota masyarakat yang berkepentingan dengan hubungan antara produsen dan pembeli/pengguna (Gambar 3).

KONSEP PENDIDIKAN KONSUMEN

Pilihan

 Nilai/perilaku konsumen

 Pengelolaan sumber daya

 Penggunaan barang dan

jasa

 Kesetaraan akses

Partisipasi

 Tanggung jawab konsumen

 Konsekuensi tindakan konsumen

 Mengkomunikasikan

kepuasan/ketidakpuasan

 Pengaruh konsumen

 Hak konsumen

Informasi

 Konsumen dalam pasar

Customer Charters

 Organisasi yang dapat

membantu

 Iklan dan pengemasan

Sikap

Self reliance

 Tanggung jawab

 Kesadaran kritis

 Empati

Keterampilan

 Pencarian informasi dan anjuran

 Pengambilan keputusan

 Komunikasi

 Perencanaan penggunaan sumber

daya

 Evaluasi

 Pemecahan masalah

 Penyelesaikan konflik

 Ketegasan

Pengetahuan

 Hak dan tanggung jawab

 Interaksi konsumen dan

masyarakat

=Pemberdayaan Konsumen

[image:34.595.107.518.166.419.2]

Sumber : Consumer Education Development Project 1991-1994 (Wells dan Atherton 1998)

Gambar 3 Konsep, keterampilan, sikap dan pengetahuan pendidikan konsumen Konsumen memiliki hak untuk dilindungi dari perdagangan tidak aman dan harus menerima bahwa pada gilirannya konsumen memiliki beberapa tanggung jawab. Untuk mengatasi situasi konsumen tidak mengetahui hak-hak dasarnya atau tidak mau bertindak bila diperlukan untuk mempertahankan hak-haknya, maka pendidikan konsumen dibutuhkan (Negrea dan Voinea (Burghelea dan Aceleanu 2014). Saat ini berkembang kebutuhan untuk meningkatkan peran pendidikan dalam membentuk perilaku konsumen yang bertanggung jawab dan berkelanjutan (Caeiro et al. 2012).

Menurut Burghelea dan Cristina (2014), ada beberapa alasan pendidikan konsumen menjadi prioritas tidak hanya pada tingkat individu, tetapi juga di tingkat nasional:

(1) Ekonomi dan pasar barang dan jasa berkembang pesat, sangat dinamis dan kompleks

(2) Perubahan teknologi dan globalisasi membawa cara-cara baru konsumsi dan memengaruhi kemampuan pengambilan keputusan dan tingkat perlindungan konsumen

(3) Meningkatkan pendidikan dan informasi kepada konsumen tidak hanya menguntungkan individu, tetapi juga masyarakat

(4) Pengenalan pendidikan konsumen di sekolah sejak usia dini, melibatkan pembentukan orang dewasa yang terinformasi dan bertanggung jawab, serta kapasitas pengambilan keputusan

(35)

14

Konsep Pemberdayaan Konsumen

Secara konseptual, pemberdayaan (empowerment), berasal dari kata

power” (kekuasaan atau keberdayaan). Kekuasaan seringkali dikaitkan dengan kemampuan untuk membuat orang lain melakukan sesuatu yang diinginkan, terlepas dari keinginan dan minatnya (Ife 2002).

Pemberdayaan didefinisikan sebagai gagasan orang yang memiliki kemampuan untuk memahami dan mengendalikan diri dan lingkungannya, termasuk faktor sosial, ekonomi, dan politik, memperluas kemampuan dan wawasan mereka, serta mengangkat dirinya ke tingkat prestasi dan kepuasan yang lebih tinggi (Wilson 1996). Individu yang berdaya digambarkan memiliki self-esteem dan self-efficacy yang tinggi, perasaan kontrol atas hidupnya, kesadaran kritis yang tinggi, dan partisipasi masyarakat yang tinggi (Zimmerman 2000).

Pada tingkat individu, pemberdayaan dihubungkan dengan self-determination, penguasaan dan kemampuan pengambilan keputusan, kapasitas dan keterampilan pribadi (Becker et al. 2004). Pemberdayaan dapat juga dianggap sebagai outcome (Boehm dan Staples 2004) yang diukur dan dievaluasi (Parpart et al. 2003) dalam kaitannya dengan kondisi subyektif. Seperti dinyatakan oleh Hur (2006), pemberdayaan menekankan self-determination (Sprague dan Hayes 2000), kepercayaan diri (Larson et al. 2005), tetapi juga penguasaan (Boehm dan Staples 2004), kontrol dan efikasi diri (Speer 2000), advokasi dan peningkatan kesadaran (Monreau (Nardo et al. 2011)).

Terkait dengan unit sampel penelitian ini adalah rumah tangga, maka pemberdayaan keluarga dikonseptualisasikan sebagai sebuah proses, sehingga individu mampu meningkatkan kontrol terhadap kehidupannya (Gutierrez & Ortega 1991; Parsons 1991; Rappaport 1981; Zimmerman & Rappaport 1988 (Resendez et al. 2000)). Pemberdayaan dapat dipenuhi oleh anggota keluarga melalui akses terhadap pengetahuan, skill, dan sumber daya yang membantu memperbaiki kualitas hidup keluarga (Singh et al. 1995 (Resendez et al. 2000)).

Menurut Sharp (1995), pemberdayaan dapat dilaksanakan dengan cara konseptual, yakni pemberdayaan melalui gagasan, pendidikan, atau lebih spesifik lagi melalui suatu proses seperti “pendidikan kesadaran” (consciousness education) sebagaimana yang diterapkan, dikembangkan dan disebarluaskan oleh Freire (seorang pendidik dari Brasil) pada tahun 1970-an. Dalam penelitian ini, pendidikan konsumen merupakan suatu pendidikan kesadaran agar konsumen mengetahui hak dan kewajibannya sebagai konsumen.

(36)

Schiffman dan Kanuk (2004) mendefinisikan kekuasaan sebagai keinginan individu untuk mengendalikan lingkungannya. Menurut Fatout (Shibly 2009), pemberdayaan adalah proses untuk memberikan individu lebih banyak kontrol dengan menempatkan batas-batas disekitar area perilaku yang berpotensi dapat diterima dan memungkinkan individu untuk melakukan berbagai pilihan.

Commission of The European Communities (2007) mendefinisikan

keberdayaan konsumen sebagai konsumen dengan “pilihan nyata, informasi yang

akurat, transparansi pasar dan keyakinan yang berasal dari perlindungan yang

efektif dan hak yang solid.” Inti dari pemberdayaan konsumen adalah ide bahwa

konsumen harus mempunyai tool untuk menjamin outcome terbaik untuk mereka. Konsumen yang berdaya harus percaya diri, knowledgeable dan merasa dilindungi, serta cenderung untuk mengambil keputusan dengan memahami preferensinya, pilihan yang tersedia dan haknya, serta cara mengajukan komplain dan mencari penyelesaian jika haknya dilanggar (European Commission 2011). Waterson (2004) menganggap pemberdayaan konsumen sebagai cara untuk melakukan pembelian barang dan jasa yang lebih efektif, sehingga peningkatan keberdayaan konsumen akan menghasilkan penurunan pencarian atau biaya.

Konsep keberdayaan konsumen menurut Wathieu et al. (2002) adalah keadaan subyektif positif yang ditimbulkan oleh peningkatan kontrol. Hunter dan Garnefeld (2008) menyatakan pemberdayaan konsumen adalah memberikan daya atau kekuatan kepada seorang individu atau kelompok untuk suatu tujuan khusus. Commission Staff Working Paper Brussels (2011) menyatakan bahwa keberdayaan konsumen adalah fungsi dari pengetahuan, keterampilan dan ketegasan dari konsumen, dan perlindungan, aturan dan lembaga yang dirancang untuk mendukung saat konsumen berperan.

Salah satu karakteristik paling penting dalam mendefinisikan pemberdayaan adalah asumsinya untuk dilaksanakan pada beberapa tingkat, yakni individu, kelompok dan organisasi, dan seluruh masyarakat (Tabel 1). Pada level individu, orang berpartisipasi dalam berbagai organisasi masyarakat akar rumput dan dalam melakukannya, mengembangkan kontrol lebih besar atas isu-isu sipil dan politik lokal, serta keterampilan mobilisasi sumber daya. Pada level berikutnya, kelompok dan organisasi yang terlibat dalam pengambilan keputusan kolektif yang bermakna dan proses kepemimpinan bersama mewujudkan hasil pembangunan berbagai organisasi dan jaringan serta memanfaatkan kebijakan. Akhirnya, masyarakat dan jaringan orang-orang dan organisasi juga terlibat dalam aksi kolektif dalam rangka mengakses sumber daya, yang menghasilkan dampak politik lebih besar dan perbaikan sipil melalui koalisi, pluralisme dan keragaman, serta akses ke sumber daya (Schulz et al. 1995).

Tabel 1 Level, proses dan outcome pemberdayaan

Level Proses Outcome

Individual Partisipasi dalam organisasi masyarakat

Perceived control dan ketrampilan memobilisasi sumber daya Organisasi Pengambilan keputusan kolektif,

berbagi kepemimpinan

Pengembangan organisasi, jaringan,

leverage kebijakan Masyarakat Tindakan kolektif untuk

mengakses sumber daya

Pluralisme, koalisi, sumber daya yang dapat diakses

(37)
[image:37.595.81.439.78.735.2]

16

Gambar 4 menunjukkan tiga sudut pandang kekuasaan yang secara bersama-sama dengan empat faktor yang terkait dengan konsep pemberdayaan konsumen. Tiga sudut pandang kekuasaan digunakan sebagai dasar teoritis untuk memahami konsep pemberdayaan konsumen. Ketiga disiplin teori kekuasaan mengidentifikasi komunikasi dan arus informasi sebagai aspek kekuasaan dan pemberdayaan, maka komunikasi dan arus informasi disajikan sebagai faktor keempat. Ketika empat faktor yang ditarik bersama-sama sebagai model umum pemberdayaan konsumen, maka tiga faktor lainnya disajikan pada Gambar 4 untuk menunjukkan asal teori tersebut.

Gambar 4 Model umum pemberdayaan konsumen (Shibly 2009)

Nardo et al. (2011) mengidentifikasi elemen yang penting dalam mendefinisikan pemberdayaan, yakni konsumen harus sadar akan keputusannya ketika melakukan pembelian (misalnya syarat dan ketentuan, perbandingan harga, label produk); konsumen harus dapat memperoleh informasi tentang haknya; dan konsumen harus memiliki akses terhadap advokasi dan mekanisme penyelesaian. Tujuan program pemberdayaan konsumen adalah menciptakan sistem perlindungan konsumen yang memberikan kepastian hukum, serta menjaga keseimbangan kepentingan konsumen dan pelaku usaha, meningkatkan pemahaman konsumen agar lebih cerdas, dan memiliki proteksi alamiah, serta mampu menghadapi pasar yang semakin terbuka, meningkatkan tanggung jawab pelaku usaha untuk memproduksi dan memperdagangkan barang/jasa yang sesuai

Pemberdayaan sebagai proses pemberian kekuasaan atau

proses yang mendorong dan

memfasilitasi pengambilan kekuasan

Penyesuaian dan Personalisasi

Pemberdayaan konsumen

Arus Komunikasi dan Informasi Kepercayaan dan

Regulasi

Harga yang fleksible dan pelayanan pra dan pasca penjualan Pandangan psikologi kekuasaan

(mampu menghasilkan perubahan)

Kekuasaan Pandangan ekonomi

kekuasaan (kontrol, informasi) Relasi sosial

(38)

K3L, mengembangkan dan memperkuat kelembagaan BPSK dan LPKSM, serta berperan aktif dalam kerjasama kelembagaan perlindungan konsumen baik di tingkat nasional dan internasional (Direktorat Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen, Kementerian Perdagangan RI 2012).

Dengan mengacu pada berbagai konsep pemberdayaan di atas, maka dalam penelitian ini pemberdayaan konsumen dapat dinyatakan sebagai proses menstimuli, mendorong atau memotivasi individu melalui akses terhadap pengetahuan, keterampilan dan ketegasan yang membantu memperbaiki kualitas hidupnya, agar mempunyai kemampuan dan kekuasaan untuk menentukan pilihan hidupnya sebagai konsumen. Keberdayaan konsumen adalah keadaan subyektif konsumen karena meningkatnya k

Gambar

Gambar 3  Konsep, keterampilan, sikap dan pengetahuan pendidikan konsumen
Gambar 4 menunjukkan tiga sudut pandang kekuasaan yang secara bersama-
Tabel 2  Ciri-ciri konsumen yang berdaya dan tidak berdaya berdasarkan kajian
Gambar 5  Kerangka konseptual faktor-faktor yang memengaruhi keberdayaan dan kepuasan konsumen
+7

Referensi

Dokumen terkait

Asam Lemak Rantai Pendek (ALRP) Hasil penelitian yang disajikan pada tabel 6 dan 7 menunjukkan bahwa pemberian tepung tempe dan konsentrat serat kedelai pada pakan

Teknik statistik deskriptif komparatif digunakan untuk data kuantitatif, yakni dengan membandingkan hasil antar siklus. Analisis data kuantitatif digunakan untuk

“Bahwa seorang penanggung yang telah membayar kerugian sesuatu barang yang diasuransikan, menggantikan pihak tertanggung dalam segala hak yang diperolehnya terhadap

Setelah tahapan pra lapangan dan pekerjaan lapangan, maka peneliti sampai pada tahap penyajian data penelitian. Pada bagian ini dipaparkan tentang deskripsi

Masukan data untuk simulasi menggunakan CFD ini berupa bentuk dan dimensi kamar mesin, saluran udara (ducting), dan mesin serta peralatan yang terdapat di kamar mesin,

1) Modifikasi pasar; perusahaan melakukan perluasan pasar dengan mengatur dua faktor yang menghasilkan volume penjualan, yaitu jumlah pemakai produk dan tingkat

Pengumpulan data Indeks Kepuasan Masyarakat yang sedang berjalan saat ini masih menggunakan cara manual dengan membagikan questioner ke setiap responden yang berkunjung,

Kendala-kendala yang timbul dalam pelaksanaan pendaftaran tanah pertama kali adalah kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pensertifikatan tanah, belum terpasangnya