• Tidak ada hasil yang ditemukan

3. Karakteristik Organisasi

5.3. Pengaruh Karakteristik Organisasi dengan Motivasi Kerja Perawat

5.3.1 Pengaruh Supervisi dengan Motivasi Kerja Perawat

Hasil penelitian menunjukkan dengan uji regresi linear berganda menunjukkan variabel supervisi tidak mempunyai pengaruh sterhadap motivasi kerja perawat dalam menerapkan standar asuhan keperawatan di ruang rawat inap BPK-RSU Sigli. Namun hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan supervisi (p=0,000), artinya supervisi yang dilakukan oleh manajemen RS dapat memberikan dorongan bagi perawat untuk bekerja secara maksimal.

Motivasi kerja perawat yang rendah 34,2% terdapat pada perawat dengan supervisi yang kurang baik, sedangkan motivasi kerja perawat yang tinggi 50,0% terdapat pada perawat dengan supervisi yang baik.

Menurut Azwar (1996), supervisi adalah adalah upaya yang dilakukan manajemen terhadap pelaksanaan pekerjaan bawahan melalui pengamatan secara langsung dan berkala sebagai informasi untuk evaluasi dan perbaikan.. Hal ini didukung oleh hasil uji regresi linear berganda, bahwa variabel supervisi merupakan variabel yang mempengaruhi motivasi kerja perawat dalam menerapkan asuhan keparawatan di RSU Sigli.

Tujuan supervisi adalah untuk melakukan orientasi kerja, melatih kerja, memimpin, memberi arahan dan mengembangkan kemampuan personil. Sedangkan fungsinya untuk mengatur dan mengorganisir proses atau mekanisme pelaksanaan kebijaksanaan diskripsi dan standar kerja. Supervisi dilakukan langsung pada kegiatan yang sedang berlangsung, pada supervisi modern diharapkan supervisor terlibat dalam kegiatan agar pengarahan dan pemberian petunjuk tidak dirasakan sebagai perintah. Umpan balik dan perbaikan dapat dilakukan saat supervisi. Supervisi dapat juga dilakukan secara tidak langsung yaitu melalui laporan baik tertulis maupun lisan, supervisor tidak melihat langsung apa yang terjadi di lapangan sehingga mungkin terjadi kesenjangan fakta. Umpan balik dapat diberikan secara tertulis.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Adriani (2003), bahwa bahwa responden yang tidak pernah mendapatkan supervisi mempunyai motivasi kerja lebih tinggi daripada responden yang pernah mendapatkan supervisi. Supervisi dalam hal ini merupakan bimbingan atau arahan yang diberikan atasan kepada bawahannya. Penyelesaian masalah-masalah yang terjadi dalam pekerjaan sangat berpengaruh

terhadap motivasi kerja karyawan, akan tetapi hasil uji statistik tidak menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara supervisi dengan motivasi kerja. Dalam teori tentang manusia Mc Gregor (Siagian, 1989) yang mengemukakan teori X dan teori Y. Teori X mengatakan bahwa rata-rata karyawan malas bekerja, lebih suka dibimbing, diperintah dan diawasi, Sebaliknya teori Y lebih bersifat manusiawi karena tidak ada unsur paksaan atau supervisi yang ketat. Pendekatan manusiawi akan mendorong manusia menjadi manusia yang disiplin dan produktif serta memiliki motivasi kerja yang tinggi.

5.3.2. Pengaruh Insentif dengan Motivasi Kerja Perawat

Hasil penelitian menunjukkan dengan uji regresi linear berganda menunjukkan variabel insentif mempunyai pengaruh signifikan terhadap motivasi kerja perawat dalam menerapkan standar asuhan keperawatan di ruang rawat inap BPK-RSU Sigli. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian insentif bagi perawat dapat mendorong perawat untuk bekerja dengan baik. Bentuk insentif tersebut dapat berupa tunjangan gaji, tunjangan keluarga maupun promosi jabatan dan pendidikan.

Hasil penelitian menunjukkan perawat dengan motivasi kerja rendah mayoritas (37,0%) terdapat pada perawat dengan insentif yang kurang baik. Sedangkan perawat dengan motivasi kerja yang tinggi, 53,3% terdapat pada perawat dengan insentif yang baik.

Siagian (1995) berpendapat bahwa insentif erat kaitannya dengan prestasi kerja seorang karyawan. Insentif merupakan salah satu faktor eksternal yang

mempengaruhi motivasi seseorang, disamping faktor lainnya, seperti jenis dan sifat pekerjaan, kelompok kerja dimana seseorang bergabung dalam organisasi tempat bekerja dan situasi lingkungan pada umumnya.

Hasil penelitian Wahyudin (2005) menunjukkan bahwa variabel kompensasi termasuk gaji dan insentif secara individual berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja dan produktivitas kerja pegawai di lingkungan Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surakarta.

Hasil penelitian Sumantie, dkk (2005) di rumah sakit wilayah Klaten dan Yogyakarta menunjukkan bahwa pemberian insentif bagi perawat berpengaruh terhadap hasil kerja. Pemberian imbalan langsung ini merupakan upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan petugas puskesmas selain dari gaji yang diperolehnya berdasarkan pangkat/golongan dalam sistem kepegawaian, karena mereka merupakan PNS, sedangkan tunjangan fungsional juga tergantung pada jenis kepangkatan dalam jabatan fungsional.

Secara umum gaji sudah memenuhi standar peraturan kepegawaian, namun jumlahnya masih kecil sehingga perlu didukung dengan tambahan dalam bentuk insentif atau bentuk lainnya. Hasil penelitian Kristiani dan Salmon (2006) di Propinsi papua pada petugas dinas kesehatan, 66,7% menyatakan gaji mereka masih kurang dan berpengaruh terhadap kepuasan kerja mereka, sehingga berimpliakasi terhadap hasil kerjanya. Hal tersebut juga terjadi pada petugas puskesmas, meskipun dalam penelitian ini peneliti tidak meneliti tentang kepuasan terhadap imbalan langsung, namun secara umum mereka merasa kurang atau tidak puas terhadap gaji atau

tunjangan yang diberikan. Perawat merasa bahwa insentif dalam bentuk uang saat ini masih tergolong kecil dan belum mengimbangi kebutuhan hidup sehari-hari sehingga mereka mengharapkan kenaikan insentif dalam bentuk uang.

Kejelasan insentif yang dapat diterima oleh petugas kesehatan dalam pelayanan yang bermutu akan memberikan motivasi dalam pelaksanaan pelayan bermutu. Individu akan bertindak dengan berdasarkan atas pengalaman, persepsi, pemahaman dan penafsiran atas suatu objek stimulus atau situasi tertentu (Sarwono, 2004).

Insentif dapat diartikan sebagai stimulan bagi para petugas kesehatan, sehingga memberikan persepsi, pemahaman, penafsiran dan pengalaman untuk melakukan tindakan pelayanan yang bermutu. Hasil penelitian Glorikus (2005), menunjukkan bahwa mengungkapkan ada hubungan antara besarnya insentif dan motivasi petugas dalam memberikan pelayanan bermutu. Informasi lain yang terungkap dari informan tersebut bahwa dengan adanya insentif akan menimbulkan minat dalam memberikan pelayanan bermutu. Dengan adanya insentif menurut informan memungkinkan akan terjadinya pemberian pelayanan yang bermutu disuatu tempat kerja.

5.2.1. Pengaruh Pelatihan dengan Motivasi Kerja Perawat

Hasil penelitian menunjukkan dengan uji regresi linear berganda menunjukkan variabel pelatihan mempunyai tidak mempunyai pengaruh terhadap motivasi kerja perawat dalam menerapkan standar asuhan keperawatan di ruang rawat

inap BPK-RSU Sigli. Namun secara analisis bivariat menunjukkan bahwa variabel pelatihan mempunyai hubungan signifikan dengan motivasi kerja perawat di RSU Sigli (p=0,030). Pelatihan yang dimaksud adalah kesempatan yang diberikan oleh manajemen RS untuk dapat mengembangkan pengetahuannya melalui program pelatihan yang dilakukan oleh RS maupun institusi lainnya.

Hasil penelitian menunjukkan perawat yang mempunyai motivasi rendah mayoritas (39,1%) terdapat pada perawat dengan penerimaan pelatihan yang tidak baik. Hal ini mengindikasikan bahwa bentuk apresiasi manajemen RS terhadap perawat dengan peningkatan pengetahuan melalui pelatihan memberikan kontribusi yang positif untuk meningkatkan motivasi kerja mereka.

Hal ini mungkin saja terjadi akibat kebijakan manajemen rumah sakit yang belum dapat memberikan kesempatan secara merata kepada para perawatnya untuk mengikuti pelatihan baik formal maupun informal, yang mungkin disebabkan karena ada hal lain yang lebih prioritas selain melaksanakan pendidikan misalnya pengadaan perlengkapan alat diagnostik yang canggih dan lain-lain.

Handoko (1997) berpendapat bahwa pendidikan dan pelatihan disamping menguntungkan institusi karena pekerjaan yang dilaksanakan akan selesai lebih cepat dan lebih baik, juga mempunyai keuntungan tambahan yaitu meningkatkan semangat kerja karyawan itu.

Menurut As’ad (2000), menyatakan bahwa pelatihan dimaksud untuk mempertinggi motivasi kerja karyawan dengan mengembangkan cara-cara berpikir

dan bertindak yang tepat serta pengetahuan tentang tugas pekerjaan. Dengan perkatan lain pelatihan dan pengembangan dapat menambah keterampilan kerja karyawan.

Stoner (1993) mengatakan bahwa pelatihan dimaksudkan untuk mempertahankan dan memperbaiki prestasi kerja yang sedang berjalan. Menurut Green (1980) pelatihan merupakan faktor pemungkin (Enabling factor) yaitu yang memungkinkan petugas dapat bekerja dengan baik. Selain pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dari pelatihan, Green menegaskan bahwa diperlukan sarana yang memungkinkan keterampilan dilaksanakan. Notoatmodjo (1993) mengatakan bahwa pelatihan juga dapat dipandang sebagai salah satu metoda peningkatan mutu pegawai (Staf Development)

5.2.2. Pengaruh Fasilitas Kerja dengan Motivasi Kerja Perawat

Hasil penelitian menunjukkan uji regresi linear berganda menunjukkan variabel fasilitas tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap motivasi kerja perawat dalam menerapkan standar asuhan keperawatan di ruang rawat inap BPK-RSU Sigli. Artinya kelengkapan fasilitas di rumah sakit tidak memberikan kontribusi dorongan bagi perawat untuk bekerja secara maksimal, karena perawat menanggap bahwa ketersediaan fasilitas sangat tergantung pada kebijakan-kebijakan pihak manajemen RS. Hasil penelitian menunjukkan perawat dengan motivasi kerja rendah mayoritas (56,3%) terdapat pada perawat yang memperoleh fasilitas kerja yang tidak baik Azwar (1996) mengatakan bahwa sarana alat merupakan suatu unsur dari organisasi untuk mencapai suatu tujuan, sarana termasuk salah satunya adalah unsur-unsur pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai penyelenggaraan pelayanan.

Menurut Timpe (1992) menyebutkan bahwa sarana/fasilitas kerja berhubungan dengan kinerja dan motivasi kerja, dimana sarana diperlukan agar keterampilan petugas bisa dilaksanakan sehingga motivasi petugas meningkat. Selanjutnya juga dikemukakan bahwa penempatan sejumlah tenaga perawat dalam memberikan asuhan keperawatan perlu dikaitkan dengan rencana penggunaan sarana atau peralatan.

Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian kurniasari (2001), bahwa faslitas kerja perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan dinilai sangat penting dan mempunyai hubungan signifikan terhadap motivasi kerja mereka, 76,8% perawat yang menilai fasilitas yang lengkap dalam menangani pasien yang dirawat menunjukkan motivasi yang tinggi, dibandingkan yang menilai kurang lengkap fasilitas yang diberikan.