• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5. PEMBAHASAN

5.2. Pengaruh Keterampilan terhadap Error Rate dalam Penegakan

Hasil penelitian menunjukkan keterampilan petugas tentang pemeriksaan laboratorium (pengumpulan dahak, pembuatan sediaan dahak untuk pemeriksaan, cara pewarnaan, dan cara pembacaan sediaan dahak) sebanyak 63,1% kategori kurang baik. Hal ini menunjukkan sebagian besar ketrampilan petugas tentang pemeriksaan laboratorium belum sepenuhnya baik.

Berdasarkan hasil uji statistik regresi logistik berganda, diketahui variabel keterampilan dalam pemeriksaan laboratorium berpengaruh negatif dan signifikan

(p<0,05) terhadap error rate dalam penegakan diagnosa tuberkulosis paru di Puskesmas Kota Medan. Mengacu kepada hasil uji tersebut dapat dijelaskan bahwa petugas laboratorium yang mempunyai keterampilan yang baik mempunyai peluang menurunkan error rate dalam melakukan penegakan diagnosa tuberkulosis paru dengan.

Sesuai penelitian Zahara (2008) yang menemukan pada analisis multivariat terlihat ada pengaruh dari ketrampilan terhadap ketepatan menegakkan diagnosa. Ketrampilan memengaruhi ketepatan menegakkan diagnosa dengan koefisien predictor sebesar 2,790 [OR 4,878] sehingga disarankan untuk mempertahankan dan meningkatkan ketepatan diagnosa melalui kegiatan pemantapan mutu eksternal dan komitmen antara kepala puskesmas dengan petugas laboratorium dan tingkat lebih tinggi.

Sejalan dengan penelitian Basri (2008) bahwa masih banyak petugas laboratorium pada Puskesmas error rate tinggi melakukan kesalahan mulai dari pengambilan sampel dahak sampai pembacaan hasil dibawah mikroskop. Untuk meningkatkan kualitas pemeriksaan dahak oleh petugas laboratorium Puskesmas perlu dilakukan, pelatihan petugas, supervisi dan bimbingan intensif, melengkapi kebutuhan laboratorium, uji kalibrasi miskroskop.

Dukungan manajemen puskesmas juga berperan dalam peningkatan keterampilan petugas menegakkan diagnosis tuberkulosis paru, seperti ditemukan penelitian Sucipto (2004) bahwa ada hubungan dari 3 aspek yaitu perencanaan, kerjasama dan monitoring & evaluasi petugas TB Paru Puskesmas dengan cakupan

penemuan TB Paru Dengan demikian petugas TB Paru harus memperbaiki perencanaan, kerjasama, monitoring dan evaluasi agar penemuan TB Paru lebih berhasil.

Analisis aspek monitoring dan evaluasi dengan cakupan penderita TB Paru oleh petugas TB di puskesmas menunjukkan meskipun responden melaksanakan aspek monitoring dan evaluasi dengan baik, ternyata hanya sebagian kecil yang selalu melakukan monitoring dan evaluasi, monitoring dan evaluasi yang dilakukan sebagian besar hanya 1 kali dalam setahun, yang seharusnya dilakukan 4 kali dalam setahun. Hal ini menunjukkan bahwa petugas TB Paru Puskesmas sebagian besar masih belum melakukan monitoring dan evaluasi secara rutin terutama kelompok petugas laki-laki (33,3%). Petugas TB Paru yang tidak melakukan sistem pencatatan dan pelaporan secara rutin dan benar terutama mengenai daftar suspek, daftar penderita, dan daftar penderita yang diobati dalam kegiatan monitoring & evaluasi bahkan mencapai 46,7% dari total responden. Hal ini kemungkinan disebabkan karena petugas TB Paru Puskesmas masih banyak yang merangkap tugas program lain (71,4 %). Monitoring dan evaluasi perlu dilakukan untuk acuan pelaksanaan program yang akan datang dan untuk mendeteksi bila ada masalah dalam pelaksanaan kegiatan yang telah direncanakan, supaya dapat dilakukan tindakan perbaikan segera. Dengan adanya evaluasi dapat dinilai sejauh mana tujuan dan target yang telah ditetapkan sebelumnya (Sucipto, 2004).

Sesuai penelitian Maryun (2007) bahwa faktor yang berhubungan dengan kinerja petugas program tb paru terhadap cakupan penemuan kasus baru BTA (+)

adalah pengetahuan, pelatihan, persepsi terhadap pekerjaan, persepsi terhadap kepemimpinan, persepsi terhadap sarana, sikap. Untuk meningkatkan cakupan penemuan kasus baru BTA (+) di sarankan Dinas Kesehatan dalam penemuan kasus baru BTA (+)yang masih rendah maka perlu ditingkatkan lagi pembinaan petugas program TB paru.dan penggerakan kader kesehatan, lebih ditingkatkan lagi kerjasama dengan pihak lain (praktek-praktek swasta dan Rumah Sakit yang terkait dalam hal penemuan kasus baru BTA (+) terutama dalam pencatatan dan pelaporan. Bagi Kepala Puskesmas perlu adanya pembagian tugas yang disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsinya, perlu adanya tenaga khusus pengelola program TB paru, peningkatan promosi program TB paru di masyarakat sehingga peran serta masyarakat menjadi lebih aktif, Meningkatkan kerjasama dengan kader kesehatan di masyarakat dalam upaya penemuan kasus baru BTA (+)

Pemeriksaan laboratorium merupakan kegiatan yang sangat penting, untuk itu diperlukan suatu ketelitian dan ketepatan dalam pemeriksaan. Oleh karena itu diperlukan ketekunan serta konsentrasi petugas dalam pelaksanaan tugas sehingga diperoleh hasil yang sangat akurat. Hal ini sangat dipengaruhi oleh karakteristik yang dimiliki oleh masing-masing petugas. Kinerja dari individu dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah faktor pelatihan, karena kemampuan dan ketrampilan tenaga pemeriksa antara lain ditentukan oleh pelatihan. Pelatihan merupakan salah satu upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia (Depkes RI, 2002). Setiap tenaga laboratorium perlu selalu meningkatkan kemampuan dan

ketrampilannya melalui pelatihan berkelanjutan baik didalam laboratorium maupun di luar laboratorium.

Pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali, meningkatkan dan mengembangkan ketrampilan atau keahlian kerja guna meningkatkan kemampuan, produktivitas dan kesejahteraan tenaga kerja. Pelatihan kerja diselenggarakan berdasarkan program pelatihan yang mengacu pada standar kualifikasi ketrampilan atau keahlian yang pelaksanaannya dilakukan secara berjenjang dan berlanjut (Sastrohadiwiryo, 2003).

Program pelatihan berguna bagi petugas laboratorium untuk meningkatkan ketrampilan dan keahliannya agar tidak terjadi kesalahan dalam menjalankan pekerjaannya. Laboratorium yang dilengkapi dengan peralatan yang canggih dan bangunan yang megah tidak akan memberikan kinerja yang diharapkan apabila tidak didukung oleh personal (petugas laboratorium) yang profesional. Sebaliknya, petugas laboratorium yang profesional akan dapat memanfaatkan sarana dan prasarana yang ada didalam laboratorium secara efektif dan efisien sehingga dapat meningkatkan kinerja laboratorium. Selain itu, laboratorium harus mempunyai kebijakan dan prosedur untuk mengidentifikasi kebutuhan pelatihan serta menyediakan pelatihan untuk petugas laboratorium. Adapun program pelatihan harus relevan dengan tugas sekarang dan tugas masa depan yang diantisipasi oleh petugas laboratorium

Faktor lain yang juga perlu diperhatikan dalam pelaksanaan program penegakan diagnosis tuberkulosis paru adalah faktor beban kerja. Beban kerja adalah beban fisik maupun non fisik yang ditanggung seorang pekerja dalam menyelesaikan

pekerjaannya. Dalam hal ini harus ada keseimbangan antara beban kerja dengan kemampuan individu agar tidak terjadi hambatan maupun kegagalan dalam pelaksanaan pekerjaan (Depkes RI, 2003) Seorang tenaga kerja memiliki kemampuan tersendiri dalam hubungannya dengan beban kerja, mungkin diantara mereka lebih cocok untuk beban fisik, mental atau sosial. Namun sebagai persamaan yang umum, mereka hanya mampu memikul beban sampai beban tertentu. Bahkan ada beban yang dirasa optimal bagi seseorang. Inilah maksud penempatan seorang tenaga kerja yang tepat pada pekerjaan yang tepat. Beban kerja adalah banyaknya pekerjaan yang dilakukan setiap harinya. Petugas laboratorium TB Puskesmas dianjurkan paling banyak memeriksa 20 slide setiap harinya. Selain itu ditambah dengan tugas lain yang merupakan tugas rangkap yang dibebankan kepadanya. Semakin berat beban kerja akan menurunkan daya konsentrasi petugas dalam menjalankan pekerjaannya. Agar petugas laboratorium dapat mempertahankan ketrampilannya (mempertahankan mutu pemeriksaan), dia harus mempunyai kesempatan untuk memeriksa 10-20 sediaan setiap hari (Gerdunas TB, 2001)

Dalam Stranas TB Paru (2001) dinyatakan bahwa Selama dekade terakhir telah terjadi peningkatan dalam kapasitas diagnosis program pengendalian TB nasional. Meskipun demikian mutu pelayanan diagnosis masih menjadi tantangan. Sistem jaminan mutu eksternal masih terbatas oleh karena masih banyak laboratorium yang belum mengikuti cross-check secara rutin akibat keterbatasan kapasitas BLK dalam melakukan supervisi, umpan balik yang tidak tepat waktu dan belum tersedianya laboratorium rujukan di tujuh provinsi baru. Rencana penguatan

laboratorium telah disusun sebagai arahan bagi subdit TB dan BPPM. Laboratorium rujukan nasional dan provinsi harus segera ditetapkan secara formal dengan garis wewenang yang jelas. Pengurangan kesenjangan (kuantitas dan kualitas) dalam SDM laboratorium perlu diupayakan secara terus menerus.

Hasil kajian Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Depertemen Kesehata (2011) yang dituangkan dalam Rencana Aksi Nasional Penguatan Laboratorium Pengendalian Tuberkulosis Tahun 2011-2014, dinyatakan bahwa dalam program penanggulangan TB, pemeriksaan mikroskopis dahak merupakan komponen kunci untuk menegakkan diagnosis serta evaluasi dan tindak lanjut pengobatan Pemeriksaan 3 spesimen (SPS) dahak secara mikroskopis nilainya identik dengan pemeriksaan dahak secara biakan atau biakan. Diagnosis TB melalui pemeriksaan biakan dahak merupakan metode baku emas (gold standard) namun memerlukan waktu relatif lama dan mahal. Pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan pemeriksaan yang paling efisien, mudah, murah, bersifat spesifik dan dapat dilaksanakan di semua unit laboratorium yang kinerjanya harus dipantau melalui sistem pemantapan mutu laboratorium.

Kualitas pemeriksaan sediaan dahak menentukan kualitas program nasional penanggulangan TB. Untuk membuat sediaan dahak yang berkualitas diperlukan spesimen dahak yang berkualitas pula. Tetapi tidak semua spesimen yang diperiksa di laboratorium adalah spesimen yang memenuhi standar, oleh karena itu petugas laboratorium harus dapat memilih spesimen yang bagus yaitu bagian dahak yang kental/ purulen. Dari hasil supervisi dan monitoring evaluasi diketahui kualitas

sediaan dahak di UPK masih di bawah standar (Laporan kegiatan LQAS, 2009; Rekapitulasi laporan supervisi Pokja Lab TB, 2008/ 2009). Partisipasi laboratorium pemeriksa pertama mikroskopis dalam uji silang masih rendah (52%) dan 71,2% dari laboratorium tersebut memiliki erorr rate <5% (Hasil Analisa TB Nasional, 2009/ 2010).

Hasil kajian tentang fasilitas laboratorium ditemukan bahwa fasilitas laboratorium terdiri dari ruangan dengan ventilasi yang memadai, instalasi dan daya listrik yang cukup, sumber air bersih yang mengalir langsung ke laboratorium dan fasilitas pengelolaan limbah. Fasilitas laboratorium harus memenuhi kaidah pengendalian infeksi. Pada umumnya laboratorium TB tidak berdiri sendiri tetapi terintegrasi dalam pelayanan laboratorium pada fasyankes tersebut. Pada umumnya kondisi ruangan laboratorium di fasyankes masih belum memenuhi standar. Pembangunan dan pengembangan infrastruktur laboratorium milik daerah masih belum optimal karena terkait dengan regulasi otonomi daerah, termasuk pendanaan. Infrastruktur laboratorium di daerah terpencil, kepulauan, daerah tertinggal dan perbatasan masih kurang memadai serta memerlukan perhatian khusus.

Selanjutnya tentang peralatan laboratorium ditemukan bahwa laboratorium mikroskopis TB harus memiliki mikkroskopis binokuler yang berfungsi dengan baik. Saat ini dari 6.438 mikroskop di fasyankes, 5.427 dalam kondisi baik sedangkan 1.011 dalam kondisi yang kurang baik. Menyikapi kondisi ini ,upaya yang dilakukan oleh fasyankes adalah dengan memanfaatkan mikroskop dari program malaria untuk menguatkan lab TB. Masalah utama dalam peralatan laboratorium adalah

pemeliharaan rutin dan penyediaan suku cadang (lampu dan lensa). Bahan habis pakai yang diperlukan untuk menjamin fungsi mikroskop yaitu kertas lensa, ether alkohol dll harus dipastikan ketersediaannya. Reagen Ziehl-Neelsen sebagai komponen utama yang diperlukan untuk pemeriksaan mikroskopis BTA harus tersedia dengan jumlah dan kualitas standar. Standarisasi tarif pelayanan saat ini belum ditetapkan.

Sumber Daya Manusia merupakan komponen penting dalam program Nasional pengendalian TB. Standar ketenagaan laboratorium fasyankes adalah seorang analis D III yang telah mengikuti pelatihan teknis laboratorium TB. Hasil kajian Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Depertemen Kesehatan (2011) bahwa saat ini belum semua fasyankes telah memenuhi standar tersebut. Sampai dengan tahun 2010, pelatihan mikroskopis TB baru mencakup 25 % dari seluruh petugas lab TB fasyankes. Dari jumlah tersebut tidak semua petugas masih bertugas di laboratorium TB tanpa ada alih pengetahuan dan keterampilan kepada petugas pengganti. Kualitas dan kuantitas tenaga laboratorium di UPK, RS serta unit laboratorium lain-nya sangat bervariasi. Jumlah tenaga “supervisor” laboratorium baik di tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten/kota masih sangat kurang. Diperlukan tenaga-tenaga yang kompeten di bidangnya serta pendanaan yang cukup untuk melakukan supervisi dan bimbingan teknis secara berjenjang.

Pemantapan mutu laboratorium TB dilaksanakan sebagai upaya untuk menjamin kualitas pemeriksaan yang secara langsung dapat berdampak pada

pencapaian program nasional pengendalian TB. Tiga komponen utama pemantapan mutu adalah pemantapan mutu internal, pemantapan mutu eksternal dan upaya peningkatan mutu. Pemantapan mutu eksternal mikroskopis telah dilakukan melalui kegiatan uji silang, supervisi dan panel testing. Saat ini uji silang mikroskopis dilakukan oleh BLK dan di beberapa provinsi yang telah memfungsikan laboratorium Kabupaten/Kota atau setara sebagai laboratorium rujukan uji silang pertama. Dengan mempertimbangkan keadaan geografis Indonesia, laboratorium rujukan uji silang seharusnya berada di setiap kabupaten atau beberapa kabupaten membentuk kluster. Uji silang yang dilaksanakan secara nasional masih menggunakan metoda konvensional yang menguji ulang 10% sediaan negatif dan seluruh sediaan positif. Dengan metode ini tidak memberikan kesempatan kepada seluruh sediaan untuk dipilih. Metode LQAS (Lot Quality Assurance System) merupakan sistem sampling yang direkomendasikan untuk uji silang. Setelah melalui uji coba LQAS di 4 provinsi, metode ini akan diterapkan secara nasional. Belum semua BBLK/BLK melaksanakan fungsinya sebagai laboratorium rujukan di tingkat propinsi (cross checker kedua) secara optimal. Adanya hambatan dana menyebabkan tidak optimalnya kegiatan uji silang, sehingga hasil pemeriksaan mikroskopis dalam periode tertentu kualitasnya perlu dipertanyakan. Dana untuk uji silang maupun supervisi teknis dalam rangka pemantapan mutu eksternal masih sangat terbatas, sehingga supervisi ke laboratorium tidak dapat dilakukan secara rutin setiap tahun, hal ini juga ditambah dengan terbatasnya tenaga yang akan melaksanakan supervisi tersebut.

Untuk menjamin mutu pemeriksaan biakan dan uji kepekaan, telah dilakukan pemantapan mutu eksternal melalui pengiriman panel testing oleh laboratorium rujukan supranasional. Sesuai prosedur maka unit pemeriksa biakan dan uji kepekaan perlu melakukan rujukan pemantapan mutu ke laboratorium supra nasional, termasuk juga kelanjutan panel testing secara teratur dan berkesinambungan serta proses yang lebih cepat untuk sertifikasi pemeriksa biakan dan Uji kepekaan yang dilakukan sendiri oleh laboratorium di dalam negeri.

Dokumen terkait