• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pengetahuan dan Keterampilan Petugas Laboratorium terhadap Error Rate Dalam Penegakan Diagnosa Tuberkulosis Paru di Puskesmas Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Pengetahuan dan Keterampilan Petugas Laboratorium terhadap Error Rate Dalam Penegakan Diagnosa Tuberkulosis Paru di Puskesmas Kota Medan"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PENGETAHUAN DAN KETERAMPILAN PETUGAS LABORATORIUM TERHADAP ERROR RATE DALAM

PENEGAKAN DIAGNOSA TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS KOTA MEDAN

T E S I S

Oleh

MEIRTHA YOLANDA SITEPU 097032072/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

PENGARUH PENGETAHUAN DAN KETERAMPILAN PETUGAS LABORATORIUM TERHADAP ERROR RATE DALAM

PENEGAKAN DIAGNOSA TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS KOTA MEDAN

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi

pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

MEIRTHA YOLANDA SITEPU 097032072/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

Judul Tesis : PENGARUH PENGETAHUAN DAN

KETERAMPILAN PETUGAS LABORATORIUM TERHADAP ERROR RATE DALAM

PENEGAKAN DIAGNOSA TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS KOTA MEDAN Nama Mahasiswa : Meirtha Yolanda Sitepu

Nomor Induk Mahasiswa : 097032072

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr.Khaira Amalia Fachrudin, SE.Ak,MBA,MAPPI (Cert)) (

Ketua Anggota

drh. Rasmaliah, M.Kes)

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)

(4)

Telah diuji

Pada Tanggal : 31 Agustus 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr.Khaira Amalia Fachrudin, SE.Ak,MBA,MAPPI (Cert) Anggota : 1. drh. Rasmaliah, M.Kes

(5)

PERNYATAAN

PENGARUH PENGETAHUAN DAN KETERAMPILAN PETUGAS LABORATORIUM TERHADAP ERROR RATE DALAM

PENEGAKAN DIAGNOSA TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS KOTA MEDAN

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, September 2012

(6)

ABSTRAK

Penyakit tuberkulosis paru merupakan masalah utama kesehatan masyarakat serta penyebab kematian berdasarkan terbesar di wilayah pedesaan. Program penanggulangan tuberkulosis paru harus didukung pemeriksaan spesimen dahak untuk menegakkan diagnosis secara tepat. Di puskesmas Kota Medan ditemukan permasalahan angka error rate (angka kesalahan laboratorium) lebih dari 5%.

Tujuan penelitian mengetahui dan menganalisis pengaruh pengetahuan dan keterampilan petugas laboratorium terhadap error rate dalam penegakan diagnosa TB.Paru di Puskesmas Kota Medan. Jenis penelitian survei dengan disain cross sectional. Populasi penelitian adalah seluruh tenaga kesehatan yang bertugas di laboratorium puskesmas Kota Medan yaitu sebanyak 65 orang dan seluruhnya menjadi sampel. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner dan observasi, dianalisis dengan uji regresi logistik berganda pada α 5%.

Hasil penelitian menunjukkan pengetahuan petugas laboratorium berpengaruh negatif dan signifikan pada α 5% terhadap error rate dalam penegakan diagnosa tuberkulosis paru di Puskesmas Kota Medan. Keterampilan petugas laboratorium berpengaruh negatif dan signifikan terhadap error rate dalam penegakan diagnosa tuberkulosis paru di Puskesmas Kota Medan dan sebagai paling dominan mempengaruhi error rate. Artinya semakin meningkat pengetahuan dan keterampilan, semakin rendah error rate.

Disarankan kepada Dinas Kesehatan Kota Medan melakukan perekrutan petugas laboratorium disesuaikan dengan latar belakang pendidikan yang sesuai dengan bidangnya yaitu Analis Kesehatan serta memberikan pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan. Petugas laboratorium puskesmas selalu meningkatkan kualitas tata laksana pemeriksaan dahak sebagai penegakan diagnosis tuberkulosis paru.

(7)

ABSTRACT

Lung tuberculosis is the public health main problem and becomes the killer number one in the rural areas. The program of handling lung tuberculosis must be supported by the examination of phlegm specimen in order to ensure the correct diagnoses. More than 5% of error rate (laboratory error rate) was found in Medan Puskesmas (Public Health Center).

The aim of the research was to know and to analyze the influence of knowledge and the skills of laboratory workers on the error rate in ensuring the diagnoses of lung tuberculosis at Medan Puskesmas. The type of the research was a survey with cross sectional approach. The population was 65 health workers who were on duty in the laboratory of Medan Puskesmas, and all of them were used as the samples. The data were gathered by conducting interviews with questionnaires and observation and analyzed by using multiple logistic regression tests at α = 5%.

The result of the research showed that the knowledge of the laboratory workers had negative and significant influence at α = 5% on the error rate in ensuring the diagnoses. Their skills also had negative and significant influence on the error rate in ensuring the diagnosis of lung tuberculosis at Medan Puskesmas, this variable had very dominant influence the error rate.

It is recommended that Medan health Service, in recruiting the laboratory workers, should consider their educational background, that is Health Analysts, and provide trainings in order to increase their knowledge and skills. It is also recommended that the laboratory workers should increase the quality phlegm examination procedure in order to ensure the diagnosis of lung tuberculosis.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat

kasih dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan judul ”Pengaruh Pengetahuan dan Keterampilan Petugas Laboratorium terhadap Error Rate Dalam Penegakan Diagnosa Tuberkulosis Paru di Puskesmas Kota Medan”.

Penyusunan tesis ini merupakan salah satu syarat yang ditetapkan untuk

memperoleh gelar Magister Kesehatan (M.Kes) pada Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi Fakultas

Kesehatan Mayarakat Universitas Sumatera Utara. Sarjana Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Dalam Penulisan tesis ini penulis tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan

dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada :

1. Prof. Dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), Rektor Universitas

Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Sumatera Utara.

3. Dr.Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera

(9)

4. Dr. Khaira Amalia Fachruddin, SE.Ak, MAPPI dan Drh. Rasmaliah, M.Kes sebagai Komisi pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.

5. Prof.dr.Sori Muda Sarumpaet, MPH dan dr. Makmur Sinaga, MS sebagai komisi penguji yang telah banyak memberikan arahan dan masukan demi kesempurnaan penulisan tesis ini.

6. Dosen pengajar Progam Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat FKM USU.

7. Rekan-rekan kerja di RSU Sultan Sulaiman Kab. Serdang Bedagai atas dukungan dan pengertiannya selama penulis menyelesaikan studi di FKM USU.

8. Rekan-rekan kerja di Dinas Kesehatan Kota Medan (Kak Diana dan Kak Riska) yang telah banyak membantu penulis dalam melakukan penelitian.

9. Terima kasih yang tak terhingga penulis ucapkan kepada Ayahanda Drs. S.M. Sitepu, M.Hum dan Ibunda Dra. Mery Sembiring, MPd, serta Suami tercinta Sir Jhon Sembiring, SH yang telah banyak memberikan doa, dukungan, pengertian dan kesabarannya selama kuliah dan penyusunan tesis ini.

Penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesisi ini dengan harapan semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan dapat dijadikan sebagai acuan bagi penelitiaan selanjutnya

Medan, September 2012 Penulis

Meirtha Yolanda Sitepu

(10)

RIWAYAT HIDUP

Meirtha Yolanda Sitepu, lahir pada tanggal 11 September 1985 di Medan,

anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Drs S.M. Sitepu, M.Hum dan Dra Mery Sembiring, MPd.

Pendidikan formal penulis dimulai dari sekolah dasar di SD Tunas Kartika Medan, selesai tahun 1997, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 18 Medan, selesai tahun 2000, Sekolah Menengah Atas, SMA khatolik Budi Murni I Medan,

selesai tahun 2003, D-III Kebidanan di Sembiring Deli Tua, selesai tahun 2006, S1 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, selesai tahun 2009.

Penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di RSU Sultan Sulaiman Kabupaten Serdang Bedagai dari tahun 2010 sampai dengan sekarang.

Penulis mengikuti pendidikan lanjutan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 9

1.3. Tujuan Penelitian ... 9

1.4. Hipotesis ... 9

1.5. Manfaat Penelitian ... 10

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1 Tuberkulosis ... 11

2.1.1. Definisi Tuberkulosis ... 11

2.1.2. Penyebab Tuberkulosis ... 11

2.1.3. Cara Penularan Tuberkulosis ... 11

2.1.4. Risiko Penularan Tuberkulosis ... 12

2.1.5. Riwayat Terjadinya Tuberkulosis ... 12

2.1.6. Diagnosis Penderita Tuberkulosis ... 13

2.1.7. Klasifikasi Penyakit dan Tipe Penderita ... 13

2.2 Manejemen Laboratorium Tuberkulosis ... 16

2.2.1 Organisasi Pelayanan Laboratorium Tuberkulosis ... 17

2.2.2 Fungsi, Peran, Tugas dan Tanggung Jawab Laboratorium Tuberkulosis ... 20

2.2.3 Standar Ketenagaan Laboratorium Tuberkulosis ... 22

2.3 Angka Kesalahan Laboratorium (Error Rate) ... 23

2.4 Petugas Laboratorium ... 26

2.5 Pengetahuan ... 27

2.6 Keterampilan ... 30

2.7 Pencegahan TB Paru ... 37

2.8 Beberapa Faktor yang Memengaruhi Error Rate... 38

2.9 Landasan Teori ... 41

(12)

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 45

3.1. Jenis Penelitian ... 45

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 45

3.3. Populasi dan Sampel ... 46

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 46

3.4.1. Data Primer ... 46

3.4.2. Data Sekunder ... 46

3.4.3. Validitas dan Reliabilitas ... 47

3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 48

3.5.1. Variabel Independen ... 48

3.5.2. Variabel Dependen ... 49

3.6. Metode Pengukuran ... 49

3.6.1. Metode Pengumpulan Dahak ... 50

3.6.2. Metode Pemeriksaan Specimen Secara Mikroskopis ... 51

3.6.3. Bahan-bahan pada Pemeriksaan Specimen Secara Mikroskopis ... 53

3.7. Metode Analisis Data ... 54

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 55

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 55

4.1.1. Gambaran Umum Kota Medan ... 55

4.1.2. Fasilitas Kesehatan Kota Medan ... 55

4.2. Identitas Responden ... 56

4.3. Pengetahuan Petugas Laboratorium Puskesmas Kota Medan ... 57

4.4. Keterampilan Petugas tentang Pemeriksaan Laboratorium ... 61

4.4.1 Pengumpulan Dahak ... 61

4.4.2 Pembuatan Sediaan Dahak untuk Pemeriksaan ... 62

4.4.3 Cara Pewarnaan dengan Metode Ziehl Neelsen... 64

4.4.4 Pembacaan Sediaan Dahak ... 65

4.5. Error Rate dalam Penegakan Diagnosa Tuberkulosis Paru di Puskesmas Kota Medan ... 67

4.6. Tabulasi Silang Pengetahuan dan Keterampilan dengan Error Rate dalam Penegakan Diagnosa Tuberkulosis Paru di Puskesmas Kota Medan ... 67

4.7. Tabulasi Silang Pengetahuan dan Keterampilan dengan Error Rate Berdasarkan Puskesmas Kota Medan ... 69

4.8. Analisis Multivariat (Uji Regresi Logistik Berganda) ... 70

BAB 5. PEMBAHASAN ... 73

5.1. Pengaruh Pengetahuan terhadap Error Rate dalam Penegakan Diagnosa Tuberkulosis Paru di Puskesmas Kota Medan ... 73

(13)

5.3 Keterbatasan Penelitian ... 86

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 87

6.2. Saran ... 87

DAFTAR PUSTAKA ... 89

(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Klasifikasi Kesalahan Laboratorium Menggunakan Metode LQAS ... 25

3.1 Aspek Pengukuran Variabel Bebas ... 50

3.2 Aspek Pengukuran Variabel Terikat ... 50

4.1 Distribusi Identitas Responden Puskesmas Kota Medan ... 57

4.2. Distribusi Pengetahuan Responden tentang Pemeriksaan Laboratorium di Puskesmas Kota Medan ... 58

4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Pengetahuan tentang Pemeriksaaan Laboratorium di Puskesmas Kota Medan ... 61

4.4. Distribusi Responden menurut Pengumpulan Dahak di Puskesmas Kota Medan ... 62

4.5 Distribusi Responden menurut Pembuatan Sediaan Dahak untuk Pemeriksaan di Puskesmas Kota Medan ... 63

4.6 Distribusi Responden menurut Cara Pewarnaan dengan Metode Ziehl Neelsen di Puskesmas Kota Medan ... 65

4.7 Distribusi Responden menurut Pembacaan Sediaan Dahak di Puskesmas Kota Medan ... 66

4.8 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Keterampilan di Puskesmas Kota Medan ... 66

4.9 Distribusi Responden Berdasarkan Error Rate dalam Penegakan Diagnosa Tuberkulosis Paru di Puskesmas Kota Medan ... 67

4.10 Pengetahuan dengan Error Rate dalam Penegakan Diagnosa Tuberkulosis Paru ... 68

(15)

4.12 Pengetahuan dengan Error Rate Berdasarkan Puskesmas dalam

Penegakan Diagnosa Tuberkulosis Paru ... 69 4.13 Keterampilan dengan Error Rate Berdasarkan Puskesmas dalam

(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Kerangka Teori Pengaruh Pengetahuan dan Keterampilan Petugas

Laboratorium terhadap Error Rate dalam Penegakan Diagnosa TB Paru .. 42 2.2 Kerangka Konsep ... 44

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Kuesioner Penelitian ... 92

2. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 97

3. Uji Univariat dan Bivariat ... 99

4. Uji Regresi ... 110

5. Data Error Rate Triwulan I Tahun 2012 Puskesmas Kota Medan ... 111

6. Surat Izin Melaksanakan Penelitian IKM-FKM USU Medan ... 112

7. Surat Keterangan Selesai Melaksanakan Penelitian dari Dinas Kesehatan Kota Medan ... 113

(18)

ABSTRAK

Penyakit tuberkulosis paru merupakan masalah utama kesehatan masyarakat serta penyebab kematian berdasarkan terbesar di wilayah pedesaan. Program penanggulangan tuberkulosis paru harus didukung pemeriksaan spesimen dahak untuk menegakkan diagnosis secara tepat. Di puskesmas Kota Medan ditemukan permasalahan angka error rate (angka kesalahan laboratorium) lebih dari 5%.

Tujuan penelitian mengetahui dan menganalisis pengaruh pengetahuan dan keterampilan petugas laboratorium terhadap error rate dalam penegakan diagnosa TB.Paru di Puskesmas Kota Medan. Jenis penelitian survei dengan disain cross sectional. Populasi penelitian adalah seluruh tenaga kesehatan yang bertugas di laboratorium puskesmas Kota Medan yaitu sebanyak 65 orang dan seluruhnya menjadi sampel. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner dan observasi, dianalisis dengan uji regresi logistik berganda pada α 5%.

Hasil penelitian menunjukkan pengetahuan petugas laboratorium berpengaruh negatif dan signifikan pada α 5% terhadap error rate dalam penegakan diagnosa tuberkulosis paru di Puskesmas Kota Medan. Keterampilan petugas laboratorium berpengaruh negatif dan signifikan terhadap error rate dalam penegakan diagnosa tuberkulosis paru di Puskesmas Kota Medan dan sebagai paling dominan mempengaruhi error rate. Artinya semakin meningkat pengetahuan dan keterampilan, semakin rendah error rate.

Disarankan kepada Dinas Kesehatan Kota Medan melakukan perekrutan petugas laboratorium disesuaikan dengan latar belakang pendidikan yang sesuai dengan bidangnya yaitu Analis Kesehatan serta memberikan pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan. Petugas laboratorium puskesmas selalu meningkatkan kualitas tata laksana pemeriksaan dahak sebagai penegakan diagnosis tuberkulosis paru.

(19)

ABSTRACT

Lung tuberculosis is the public health main problem and becomes the killer number one in the rural areas. The program of handling lung tuberculosis must be supported by the examination of phlegm specimen in order to ensure the correct diagnoses. More than 5% of error rate (laboratory error rate) was found in Medan Puskesmas (Public Health Center).

The aim of the research was to know and to analyze the influence of knowledge and the skills of laboratory workers on the error rate in ensuring the diagnoses of lung tuberculosis at Medan Puskesmas. The type of the research was a survey with cross sectional approach. The population was 65 health workers who were on duty in the laboratory of Medan Puskesmas, and all of them were used as the samples. The data were gathered by conducting interviews with questionnaires and observation and analyzed by using multiple logistic regression tests at α = 5%.

The result of the research showed that the knowledge of the laboratory workers had negative and significant influence at α = 5% on the error rate in ensuring the diagnoses. Their skills also had negative and significant influence on the error rate in ensuring the diagnosis of lung tuberculosis at Medan Puskesmas, this variable had very dominant influence the error rate.

It is recommended that Medan health Service, in recruiting the laboratory workers, should consider their educational background, that is Health Analysts, and provide trainings in order to increase their knowledge and skills. It is also recommended that the laboratory workers should increase the quality phlegm examination procedure in order to ensure the diagnosis of lung tuberculosis.

(20)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit Tuberkulosis (TB) atau dalam program kesehatan dikenal dengan

TB.Paru merupakan penyakit yang mudah menular dan bersifat menahun, disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis (Oswari, 1995). Kuman ini dapat menyerang semua bagian tubuh manusia dan yang paling sering terkena adalah organ

paru (90%). WHO mencanangkan kedaruratan global penyakit tuberkulosis, karena di sebagian besar negara di dunia, penyakit tuberkulosis tidak terkendali disebabkan

banyaknya penderita tuberkulosis yang tidak berhasil disembuhkan (Aditama, 2006). WHO menyatakan bahwa sekitar 1,9 milyar manusia atau sekitar sepertiga penduduk dunia ini telah terinfeksi kuman tuberkulosis. Di Indonesia, tuberkulosis

merupakan masalah utama kesehatan masyarakat, karena jumlah penderita TB.Paru di Indonesia merupakan ke-4 terbanyak di dunia setelah India, Cina dan Amerika Serikat dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TB.Paru di dunia

(Depkes RI, 2010).

Jumlah penderita TB.Paru klinis di Sumatera Utara pada tahun 2010 sebanyak

(21)

Di Kota Medan, jumlah penderita klinis TB.Paru tahun 2010 sebanyak 10.653

orang, yang positif setelah dilakukan pemeriksaan dan yang diobati sebanyak 1.960 orang yang sembuh sebanyak 790 orang (52,11%). Proporsi penderita penyakit TB.Paru di Kota Medan dari seluruh penderita di Provinsi Sumatera Utara sebesar

10,15%, merupakan wilayah dengan penderita tertinggi ketiga setelah Kabupaten Langkat (15,21%) dan Kabupaten Deli Serdang (11,75%). Namun tingkat

kesembuhan hanya 52,11% merupakan paling rendah dibandingkan kabupaten/kota lain di Provinsi Sumatera Utara, sedangkan target nasional sebesar 80% (Dinkes Kota Medan, 2010).

Penyakit TB.Paru merupakan penyakit dengan pasien rawat jalan terbanyak untuk jenis penyakit menular pada tahun 2006 dan 2007, sedangkan pada tahun 2008

menjadi urutan terbesar kedua. Penderita penyakit TB.Paru yang menjalani rawat inap, pada tahun 2006 urutan 4 terbesar, tahun 2007 dan 2008 meningkat menjadi urutan 3 terbesar (RSPI Prof. Dr.Sulianti Saroso Jakarta, 2009).

Penyakit TB.Paru penyebab kematian utama di masyarakat. Proporsi penyakit TB.Paru sebagai penyebab kematian berdasarkan untuk wilayah pedesaan merupakan

penyebab terbesar yaitu 12,3%, sedangkan untuk wilayah perkotaan merupakan urutan ke 4 terbesar yaitu 7,9 % (Depkes RI, 2008).

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk penanggulangan penyakit

TB.Paru, dan telah banyak kemajuan yang dicapai, antara lain program DOTS (Directly Observed Treatment, Shortcourse chemotherapy) dimana Indonesia hampir

(22)

berhasil disembuhkan. Di Indonesia juga diperkenalkan beberapa program seperti

HDL (Hospital DOTS Linkage) yang melakukan program DOTS di RS, PPP (public private partnership) atau PPM (public private mix) yang melibatkan sektor private dalam penanggulangan TB.Paru. Diharapkan agar berbagai upaya ini memberi hasil

yang optimal dan untuk itu perlu melibatkan semua stakeholder secara aktif dengan memberi peran dan kesempatan kepada semua pihak secara jelas (Aditama, 2006).

Program pengendalian penyakit TB Paru dengan strategi DOTS telah dilaksanakan di seluruh provinsi (33 provinsi) dan 462 Kabupaten/Kota, namun belum seluruh sarana kesehatan melaksanakan strategi DOTS, seperti puskesmas

mencapai 94,7%, Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru (BP4) atau Rumah Sakit TB Paru (RSTP) mencapai 65% dan pada Rumah Sakit mencapai 38,1%. Pelaksanaan

pengendalian penyakit TB Paru sampai tahun 2010 telah dapat menurunkan insiden kasus menular dari 130/100.000 penduduk menjadi 101/100.000 penduduk..

Tahun 1995 telah dilakukan Program Pemberantasan Penyakit TB.Paru

(P2TB). Dalam rangka mensukseskan pelaksanaan program P2TB Paru, prioritas ditujukan terhadap peningkatan mutu pelayanan dan penggunaan pengobatan yang

rasional. Dalam pemberantasan penyakit TB Paru, pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan menggunakan Puskesmas sebagai ujung tombak untuk memutuskan rantai penularan penyakit TB Paru di masyarakat yaitu dengan cara

(23)

Salah satu pelayanan yang diberikan di Puskesmas kepada penderita TB.Paru

adalah pemeriksaan laboratorium. Dalam program penanggulangan TB Paru, pemeriksaan sediaan mikroskopis BTA dari spesimen dahak merupakan komponen kunci untuk menegakkan diagnosis serta evaluasi dan tindak lanjut pengobatan.

Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan

berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) (Gerdunas TB, 2001).

Pemeriksaan dahak secara mikroskopis merupakan pemeriksaan dahak yang paling efisien, mudah dan murah. Pemeriksaan mikroskopis bersifat spesifik dan

cukup sensitif karena pemeriksaan spesimen dahak dilakukan 3 kali (Sewaktu Pagi Sewaktu / SPS) secara mikroskopis sehingga hasil yang diperoleh dinilai tepat dalam

menegakkan diagnosa TB Paru (Depkes RI, 2002).

Salah satu permasalahan yang masih dijumpai dalam pelaksanaan program P2TB Paru adalah mutu pemeriksaan dahak belum sepenuhnya terjamin secara

merata. Ketidakmampuan untuk menafsirkan pemeriksaan laboratorium secara optimal dapat mengganggu perawatan penderita dan penggunaan laboratorium secara

tidak tepat dapat mengganggu diagnosis (Suyono, 2000).

Untuk menjamin ketepatan dan ketelitian hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung harus dilakukan kegiatan pemantapan mutu laboratorium.

Kegiatan pemantapan mutu laboratorium untuk memantau kualitas tata laksana pemeriksaan laboratorium Puskesmas dilaksanakan melalui pemeriksaan cross check

(24)

tersangka penderita ditambah 10% BTA negatif (–) hasil pemeriksaan Puskesmas

yang diambil secara acak ke Balai Laboratorium Kesehatan (BLK) atau BP4 yang ditunjuk (Depkes RI, 2002).

Error rate diagnosa TB.Paru adalah angka kesalahan laboratorium pada saat

melakukan pemeriksaan sediaan secara mikroskopis. Angka error rate (angka kesalahan laboratorium) yang di dapat dari hasil pemeriksaan cross check merupakan

salah satu indikator program penanggulangan TB Paru (Depkes RI, 2002). Menurut WHO dimana jika error rate < 5% maka mutu pemeriksaan dahak di Kabupaten atau Kota tersebut dinilai bagus. Dengan dilaksanakannya cross check spesimen maka

dapat diketahui kualitas hasil pemeriksaan sediaan dahak pada Puskesmas yang bersangkutan. Akurasi pemeriksaan spesimen ini sangat penting karena menyangkut

ketepatan diagnosa pada tersangka penderita.

Apabila angka kesalahan laboratorium (error rate) dari hasil cross check diketahui >5% maka dapat berdampak pada hasil pembacaan spesimen yang pada

akhirnya terjadi kesalahan pengobatan pada penderita sehingga dapat mengganggu program penanggulangan penyakit TB Paru. Selain itu apabila angka kesalahan

tersebut melampaui batas maka akan diadakan tindak lanjut kepada petugas laboratorium Puskesmas yang bersangkutan, seperti mendapatkan bimbingan atau petugasnya perlu magang di BLK (Depkes RI, 2002).

Survei Dampak Bantuan Global Fund Komponen TB (2003 s/d 2009) menemukan bahwa pencapaian angka kesalahan laboratorium pada sebagian besar

(25)

Dirjen Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit Menular pada tahun 2009

diketahui bahwa suspek yang dilakukan pemeriksaan bakteriologis sebanyak 1.440.779 orang dan yang BTA positif sebanyak 161.115 orang (11,18%). Tingkat error rate yang terjadi dalam pemeriksaan bakteriologis sebesar 11,1% (Warta

Gerdunas, 2010).

Sejalan dengan hasil cross check Departemen Kesehatan di Kabupaten Kudus

menemukan angka error rate menduduki peringkat 1 di Jawa Tengah. Hasil cross check ini harus ditindaklanjuti. Bila hasil cross check menunjukkan error rate lebih dari 5%, unit-unit terkait harus meneliti lebih lanjut apa kemungkinan penyebabnya

(Depkes RI, 2002).

Dalam program penanggulangan tuberkulosis, diagnosis ditegakkan melalui

pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. Pengetahuan petugas pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung sangat berguna bagi petugas laboratorium dalam menjalankan pekerjaannya untuk memperoleh kualitas pemeriksaan yang baik

(Depkes RI, 2002).

Pengetahuan dan informasi penting sangat dibutuhkan untuk melakukan tugas

sehari-hari serta informasi dapat memberikan pengertian yang lebih baik sehingga dapat menyelesaikan permasalahan yang timbul. Dengan pengetahuan yang dimiliki dapat berdampak kepada perilaku yang meliputi perubahan kebiasaan atau kelakuan

(Hadi, 2000).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2006) kata “tahu” berarti mengerti

(26)

pengetahuan adalah hal mengetahui segala sesuatu apabila penerima pesan dapat

memperoleh pengetahuan yang didapatnya dari pesan yang disampaikan oleh sumber pengetahuan dan berkenaan dengan sesuatu hal (disiplin ilmu). Dengan demikian salah satu proses mendapatkan pengetahuan adalah melalui pendidikan.

Penelitian Djamirun (2005), menyatakan bahwa ada hubungan antara pengetahuan petugas laboratorium TB Paru Puskesmas dengan error rate.

Pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang akan berpengaruh terhadap cara berfikir dan tindakan. Menurut Malayu (2002), pendidikan merupakan suatu indikator yang mencerminkan kemampuan seseorang untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan.

Dengan latar belakang pendidikan pula seseorang dianggap akan mampu menduduki suatu jabatan tertentu. Secara umum pendidikan yang diperoleh akan mempengaruhi

tingkat pemahaman, cara berfikir serta cara mengambil keputusan dalam suatu pekerjaan. Seorang petugas laboratorium dituntut untuk dapat mengetahui tentang banyak hal yang diperiksanya dengan baik (Tarwaka, 2004).

Penelitian Yamoto (2001), menyatakan bahwa error rate dalam pemeriksaan sputum TB Paru lebih tinggi pada petugas yang belum pernah pelatihan (10,6%)

dibandingkan yang sudah pernah pelatihan (5,4%). Kesimpulan penelitian bahwa ada hubungan antara pelatihan petugas laboratorium TB Paru Puskesmas dengan error rate, Hal ini sangat berkaitan dengan ketrampilan petugas agar petugas mampu

(27)

Peningkatan keterampilan petugas laboratorium melalui pelatihan merupakan

upaya logis yang dapat dilakukan. Menurut Manulang (2001), bahwa jenis pelatihan

yang diikuti seseorang yang berhubungan dengan bidang kerjanya akan

mempengaruhi ketrampilan dan sikap mentalnya serta meningkatkan kepercayaan

pada kemampuan dirinya, hal ini akan berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan

yang bersangkutan. Kemampuan dan ketrampilan tenaga pemeriksa antara lain

ditentukan oleh pelatihan. Pelatihan merupakan salah satu upaya meningkatkan

kualitas sumber daya manusia (Depkes RI, 2002). Setiap tenaga laboratorium perlu

selalu meningkatkan kemampuan dan ketrampilannya melalui pelatihan berkelanjutan

baik di dalam laboratorium maupun di luar laboratorium (Gerdunas TB, 2001).

Kota Medan memiliki 39 Puskesmas di wilayah kerjanya dan 13 puskesmas

diantaranya merupakan Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM) dan Puskesmas

Pelaksana Mandiri (PPM). Menurut hasil kegiatan program Pencegahan dan

Pemberantasan Penyakit TB Paru (P2TB Paru) tahun 2010 ditemukan error rate

(angka kesalahan laboratorium) masih diatas 5% yaitu berkisar rata-rata 15,2% untuk

seluruh puskesmas, namun dilihat dari masing-masing unit puskesmas ditemukan

error rate yang mencapai 30%, yaitu di Puskesmas Belawan (Profil Dinas Kesehatan

Kota Medan, 2010).

Berdasarkan tingkat error rate dalam penegakan diagnosa TB.Paru di Kota

Medan terdapat kesenjangan (gap) antara yang diharapkan sebesar 5% dengan

(28)

error rate menyebabkan angka Case Detection Rate (CDR) di Kota Medan menjadi

rendah yaitu dari 11.487 kasus klinis ternyata hanya 1.843 yang positif (+) penderita

TB paru setelah pemeriksaan. (Profil Dinas Kesehatan Prov. Sumatera Utara, 2010).

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka perlu dilakukan penelitian

tentang pengaruh pengetahuan dan keterampilan petugas laboratorium terhadap error

rate diagnosa TB.Paru di Puskesmas Kota Medan.

1.2 Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas maka yang menjadi

permasalahan penelitian adalah: “Bagaimana pengaruh pengetahuan dan keterampilan petugas laboratorium terhadap error rate dalam penegakan diagnosa TB.Paru di Puskesmas Kota Medan ?”

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah mengetahui dan menganalisis pengaruh pengetahuan dan keterampilan petugas laboratorium terhadap error rate dalam

penegakan diagnosa TB.Paru di Puskesmas Kota Medan.

1.4 Hipotesis Penelitian

(29)

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagi Dinas Kesehatan Kota Medan, sebagai masukan untuk melakukan evaluasi

terhadap pengelola atau pelaksana program P2TB Paru serta membuat

perencanaan yang mendukung peningkatan kinerja petugas kesehatan khususnya dalam pelaksanaan pemeriksaan laboratorium TB Paru di Puskesmas sehingga

error rate dapat diturunkan.

2. Bagi Petugas Laboratorium TB Paru Puskesmas, sebagai bahan masukan dalam pelaksanaan Program Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit TB Paru (P2 TB

Paru).

3. Bagi Peneliti sebagai wahana pengembangan wawasan keilmuan di bidang

kesehatan masyarakat, khususnya tentang pencegahan dan pemberantasan penyakit TB Paru.

4. Bagi penelitian selanjutnya sebagai bahan perbandingan atau referensi dalam

(30)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis

2.1.1 Definisi Tuberkulosis

Tuberkulosis adalah penyakit menular yang bersifat menahun, disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis, yang sering dihinggapi adalah paru-paru (Anondo, 1995).

2.1.2 Penyebab Tuberkulosis

Kuman ini berbentuk batang, mampunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap

asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman tuberkulosis cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh

kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama beberapa tahun (Depkes RI, 2002). 2.1.3 Cara Penularan Tuberkulosis

Sumber penularan adalah penderita tuberkulosis BTA positif. Pada waktu

batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar

(31)

Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular

penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi TB Paru ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara

tersebut (Depkes RI, 2002).

2.1.4 Risiko Penularan Tuberkulosis

Risiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI) di Indonesia bervariasi, antara 1-3%. Pada daerah dengan ARTI sebesar 1% berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari

orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita tuberkulosis (Depkes RI, 2002).

2.1.5 Riwayat Terjadinya Tuberkulosis a Infeksi Primer

Infeksi primer terjadi pada seseorang yang terpapar pertama kali dengan kuman tuberkulosis. Droplet yang terhisap sangat kecil ukurannya sehingga dapat

melewati sistem pertahanan mukosiller bronkus dan terus berjalan sampai di alveolus terminalis dan menetap di sana. Infeksi dimulai saat kuman tuberkulosis berhasil

berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru yang mengakibatkan peradangan di dalam paru. Saluran limfe akan membawa kuman tuberkulosis ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu

(32)

b. Tuberkulosis Pasca Primer (Post Primary Tuberculosis)

Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer adalah

kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura (Depkes RI, 2002).

2.1.6 Diagnosis Penderita Tuberkulosis a. Gejala-gejala Tuberkulosis

Menurut Muherman (2002) gejala-gejala tuberkulosis yaitu : batuk, sering flu,

berat badan turun, sakit dinding dada , demam dan berkeringat, nafas pendek dan rasa lelah. Sedangkan menurut Tjokronegoro dan Utama (2001), bahwa gejala-gejala

yang terbanyak adalah : demam, sesak napas, batuk/batuk berdarah dan nyeri dada. 2.1.7 Klasifikasi Penyakit dan Tipe Penderita

a. Klasifikasi Penyakit

1) Tuberkulosis Paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru). Berdasarkan hasil

pemeriksaan dahak, TB Paru dibagi dalam :

a. Tuberkulosis Paru BTA Positif. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif atau 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan

foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.

b. Tuberkulosisi Paru BTA Negatif. Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya

(33)

Negatif Rotgen Positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu

berat dan ringan. 2) Tuberkulosis Ekstra Paru

Tuberkulosis ektra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain

selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung, kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

Tuberkulosis ekstra paru dibagi lagi pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu tuberkulosis ekstra paru ringan dan tuberkulosis ekstra paru berat (Depkes RI, 2002).

b. Tipe Penderita

Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya.

Menurut Depkes RI (2002). Tipe penderita dibagi dalam :

1) Kasus Baru adalah penderita yang tidak mendapat Obat Anti Tuberkulosis (OAT) lebih dari satu bulan.

2) Kasus Kambuh (relaps) adalah penderita yang pernah dinyatakan sembuh dari tuberkulosis tetapi kemudian timbul lagi tuberkulosis aktifnya.

3) Gagal adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau lebih. Gagal adalah penderita dengan hasil BTA negatif Rontgen positif menjadi BTA

positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan.

4) Kasus Kronik adalah penderita yang BTA-nya tetap positif setelah mendapat

(34)

Menurut Depkes RI (2002), tipe penderita dibagi ke dalam beberapa tipe,

yaitu kasus baru; kambuh (relaps); pindahan (transfer in); putus minum obat ( drop-out); gagal dan kasus kronik.

c. Komplikasi Pada Penderita Tuberkulosis

1) Pnemutoraks spontan terjadi bila udara memasuki rongga pleura sesudah terjadi robekan pada kavitas tuberkulosis.

2) Kor pulmunale adalah gagal jantung kongestif karena tekanan balik akibat kerusakan paru, dapat terjadi bila terdapat destruksi paru yang amat luas.

3) Aspergilomata dimana kavitas tuberkulosis yang sudah diobati dengan baik dan

sudah sembuh kadang-kadang tinggal terbuka dan dapat terinfeksi dengan jamur Aspergillus fumigatus (Muherman, 2002).

4) Hemoptis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas.

5) Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkhial.

6) Bronkiektasis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan

jaringan ikat pada proses pemulihan) pada paru. 7) Insufisiensi Kardio Pulmoner.

8) Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan

(35)

2.2 Manajemen Laboratorium Tuberkulosis

Laboratorium tuberkulosis yang merupakan bagian dari pelayanan laboratorium kesehatan mempunyai peran penting dalam Penanggulangan Tuberkulosis berkaitan dengan kegiatan deteksi pasien TB Paru, pemantauan

keberhasilan pengobatan serta menetapkan hasil akhir pengobatan (Depkes RI, 2007). Diagnosis TB Paru melalui pemeriksaan kultur atau biakan dahak merupakan

metode baku emas (gold standard). Namun, pemeriksaan kultur memerlukan waktu lebih lama (paling cepat sekitar 6 minggu) dan mahal. Pemeriksaan 3 spesimen (SPS) dahak secara mikroskopis nilainya identik dengan pemeriksaan dahak secara kultur

atau biakan. Pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan pemeriksaan yang paling efisien, mudah, murah, bersifat spesifik, sensitif dan dapat dilaksanakan di semua unit

laboratorium (Depkes RI, 2007).

Untuk mendukung kinerja penanggulangan, diperlukan ketersediaan Laboratorium Tuberkulosis dengan pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin

mutunya dan terjangkau di seluruh wilayah Indonesia. Tujuan manajemen laboratorium tuberkulosis adalah untuk meningkatkan penerapan manajemen

laboratorium tuberkulosis yang baik di setiap jenjang laboratorium dalam upaya melaksanakan pelayanan laboratorium yang bermutu dan mudah dijangkau oleh masyarakat (Depkes RI, 2007).

Ruang lingkup manajemen laboratorium tuberkulosis meliputi beberapa aspek yaitu; Organisasi pelayanan laboratorium Tuberkulosis, Sumber daya laboratorium,

(36)

kebersihan laboratorium, dan monitoring (pemantauan) dan evaluasi (Depkes RI,

2007).

2.2.1 Organisasi Pelayanan Laboratorium Tuberkulosis a. Jejaring Laboratorium TB

Laboratorium tuberkulosis tersebar luas dan berada disetiap wilayah, mulai dari tingkat Kecamatan, Kab/Kota, Propinsi, dan Nasional, yang berfungsi sebagai

laboratorium pelayanan kesehatan dasar, rujukan maupun laboratorium pendidikan/penelitian. Setiap laboratorium yang memberikan pelayanan pemeriksaan tuberkulosis mulai dari yang paling sederhana, yaitu pemeriksaan apusan secara

mikroskopis sampai dengan pemeriksaan paling mutakhir seperti PCR, harus mengikuti acuan/standar. Oleh karena itu diperlukan jejaring laboratorium

tuberkulosis untuk menjamin pelaksanaan pemeriksaan yang sesuai standar. Dengan demikian setiap pasien tuberkulosis akan mendapatkan pelayanan yang prima (Depkes RI, 2007).

Masing-masing laboratorium di dalam jejaring tuberkulosis memiliki fungsi, peran, tugas dan tanggung jawab yang saling berkaitan, mencakup standard mutu

pelayanan dan Quality Assurance (QA). Sistem jejaring laboratorium dalam Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia memakai sistem pendekatan fungsi (Depkes RI, 2007).

Sistem jejaring laboratorium TB adalah sebagai berikut:

(37)

(1) UPK dengan kemampuan pelayanan laboratorium hanya pembuatan sediaan

apusan dahak dan fiksasi. Misalnya: Puskesmas Satelit (PS).

(2) UPK dengan kemampuan pelayanan laboratorium mikroskopis deteksi Basil Tahan Asam (BTA), dengan pewarnaan Ziehl Neelsen dan pembacaan skala

IUATLD. Contoh: Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM), Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM), Rumah Sakit, BP4, RSP dan lain-lain.

(3) Mutu pemeriksaan laboratorium ini akan ditera oleh laboratorium rujukan uji silang, dapat dilaksanakan oleh laboratoium kesehatan daerah, laboratorium di salah satu Rumah Sakit, BP4 ataupun Rumah Sakit Paru (RSP).

b. Laboratorium rujukan uji silang mikroskopis

(1) Laboratorium ini melaksanakan pemeriksaan mikroskopis BTA seperti pada

laboratorium UPK ditambah dengan melakukan uji silang mikroskopis dari laboratorium UPK binaan dalam sistem jejaring.

(2) Laboratorium rujukan uji silang mempunyai sarana, pelaksana dan kemampuan

yang memenuhi kriteria laboratorium rujukan uji silang mikroskopis. c. Laboratorium rujukan Provinsi

(1) Laboratorium ini melakukan pemeriksaan seperti laboratorium uji silang mikroskopis dan memberikan pelayanan pemeriksaan isolasi, identifikasi, uji kepekaan Mycobacterium tuberculosis dari spesimen dahak..

(38)

(3) Laboratorium rujukan propinsi melakukan uji silang ke II jika terdapat

kesenjangan antara hasil pemeriksaan mikroskopis Lab UPK dan laboratorium rujukan uji silang

d. Laboratorium rujukan Regional.

(1) Laboratorium rujukan tingkat regional adalah laboratorium yang melakukan pemeriksaan kultur, identifikasi dan Drug Sensitivity Testing (DST) M.tb dan

Mycobacterium Other Than Tuberculosis (MOTT) dari dahak dan bahan lain dan menjadi laboratorium rujukan untuk kultur dan DST M.tb bagi laboratorium rujukan tingkat provinsi.

(2) Laboratorium rujukan regional secara rutin mengirim tes uji profisiensi kepada laboratorium rujukan provinsi.

e. Laboratorium rujukan Nasional.

(1) Laboratorium rujukan nasional melakukan pemeriksaan dan penelitian biomolekuler dan mampu melakukan pemeriksaan non konvensional lainnya,

serta melakukan uji silang ke dua untuk pemeriksaan biakan.

(2) Mutu laboratorium rujukan nasional akan ditera oleh laboratorium rujukan

(39)

2.2.2 Fungsi, Peran, Tugas dan Tanggung Jawab Laboratorium Tuberkulosis a. Laboratorium Mikroskopis TB UPK

1) Puskesmas Satelit (PS) dan UPK setara PS merupakan puskesmas yang menerima pasien TB Paru dan melakukan penanganan/pemeriksaan awal

a) Fungsi, melakukan pengambilan dahak, pembuatan sediaan dahak sampai fiksasi sediaan dahak untuk pemeriksaan TB.Paru.

b) Peran, memastikan semua tersangka pasien dan pasien TB.Paru dalam pengobatan diperiksa dahaknya sampai mendapatkan hasil pembacaan.

c) Tugas, mengambil dahak tersangka pasien TB.Paru, membuat sediaan dan

fiksasi sediaan dahak pasien untuk keperluan diagnosis, dan untuk keperluan follow up pemeriksaan dahak dan merujuknya ke PRM.

d) Tanggung jawab, memastikan semua kegiatan laboratorium TB.Paru berjalan sesuai prosedur tetap, termasuk mutu kegiatan dan kelangsungan sarana yang diperlukan.

Bilamana perlu, dalam upaya meningkatkan akses pelayanan laboratorium kepada masyarakat, maka Puskesmas pembantu/Pustu dapat diberdayakan

untuk melakukan fiksasi, dengan syarat harus telah mendapat pelatihan dalam hal pengambilan dahak, pembuatan sediaan dahak sampai fiksasi, dan keamanan dan keselamatan kerja. Pembinaan mutu pelayanan lab di pustu

(40)

2) Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM)/ Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM)

dan UPK setara PRM/PPM

a) Fungsi, laboratorium rujukan dan atau pelaksana pemeriksaan mikroskopis dahak untuk tuberkulosis.

b) Peran, memastikan semua tersangka pasien dan pasien TB.Paru dalam pengobatan diperiksa dahaknya sampai diperoleh hasil.

c) Tugas, mengambil dahak tersangka pasien TB.Paru untuk keperluan diagnosis dan follow up, sampai diperoleh hasil. PRM : Menerima rujukan pemeriksaan sediaan dahak dari PS. Mengambil dahak tersangka pasien

TB.Paru yang berasal dari PRM setempat untuk keperluan diagnosis dan follow up, sampai diperoleh hasil.

d) Tanggung jawab, memastikan semua kegiatan laboratorium TB.Paru berjalan sesuai prosedur tetap, termasuk mutu kegiatan dan kelangsungan sarana yang diperlukan (Depkes RI, 2007).

b. Laboratorium Rujukan Uji Silang Mikroskopis

a) Fungsi: laboratorium yang melakukan uji silang dari UPK setara PPM dan PRM

dalam sistem jejaring laboratorium TB.Paru setempat, melakukan pembinaan laboratorium sesuai jejaring.

b) Peran: Laboratorium mikroskopis TB.Paru, Laboratorium rujukan uji silang

sesuai jejaring laboratorium TB.Paru setempat.

c) Tugas: melaksanakan kegiatan laboratorium mikroskopis TB.Paru,

(41)

pembinaan laboratorium TB, termasuk EQAS sesuai jejaring, mengikuti

kegiatan EQAS yang diselenggarakan laboratorium rujukan TB.Paru provinsi sesuai jejaring.

d) Tanggung jawab, a. memastikan semua kegiatan laboratorium TB.Paru berjalan

sesuai prosedur tetap, termasuk mutu kegiatan dan kelangsungan sarana yang diperlukan, b. memastikan kegiatan uji silang dilaksanakan sesuai program

pengendalian TB.Paru, c. memastikan pembinaan laboratorium TB.Paru dalam jejaring dilaksanakan sesuai program (Depkes RI, 2007).

2.2.3 Standar Ketenagaan Laboratorium Tuberkulosis

Ketenagaan dalam program penanggulangan TB.Paru memiliki standar-standar yang menyangkut kebutuhan minimal (jumlah dan jenis tenaga) untuk

terselenggaranya kegiatan program TB di suatu unit pelaksana.

a. Puskesmas Rujukan Mikroskopis dan Puskesmas Pelaksana Mandiri :

kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 1 dokter,

1 perawat/petugas TB, dan 1 tenaga laboratorium.

b. Puskesmas satelit : kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari

1 dokter dan 1 perawat/petugas TB

(42)

2.3 Angka Kesalahan Laboratorium (Error Rate)

Error rate atau angka kesalahan pemeriksaan slide adalah angka kesalahan laboratorium yang menyatakan persentase kesalahan pembacaan slide atau sediaan yang dilakukan oleh laboratorium pemeriksa pertama setelah di uji silang (cross

check) oleh BLK atau laboratorium rujukan lain. Angka ini menggambarkan kualitas pembacaan slide secara mikroskopis langsung laboratorium pemeriksa pertama

(Depkes RI, 2002).

Rumus perhitungan Error rate sebagai berikut: Jumlah sediaan yang dibaca salah

x 100 % Jumlah seluruh sediaan yang diperiksa

Pada dasarnya error rate dihitung pada masing – masing laboratorium

pemeriksa di tingkat Kabupaten atau kota. Kabupaten atau kota harus menganalisa berapa persen laboratorium pemeriksa yang ada di wilayahnya melaksanakan cross check, disamping menganalisa error rate per PRM / PPM / RS / BP4 supaya dapat

mengetahui kualitas pemeriksaan slide dahak secara mikroskop langsung (Depkes RI, 2002).

a. Maksud dan Prinsip Pemeriksaan Cross Check

Pemeriksaan cross check atau uji silang merupakan salah satu kegiatan pemantapan mutu laboratorium dengan maksud untuk mengetahui kualitas hasil

(43)

ditunjuk untuk melakukan cross check, dan laboratorium rujukan tidak boleh

mengetahui hasil pemeriksaan laboratorium pertama (Depkes RI, 2009). b. Cara Pengambilan Sampel Sediaan Untuk di Cross Check

Sekali setiap triwulan (pada waktu melakukan supervisi) petugas Kabupaten

atau kota mengambil sampel sediaan dahak yang telah diperiksa dan disimpan oleh laboratorium pertama (PRM, PPM, RS, dll), meliputi: - satu sediaan dari setiap

penderita BTA positif - untuk penderita BTA negatif, diambil 10% secara acak dan diambil satu sediaan untuk setiap penderita yang terpilih. Sediaan itu diambil secara acak untuk di cross check ke Balai Laboratorium Kesehatan atau laboratorium

rujukan lain yang ditunjuk. Laboratorium rujukan ditunjuk berdasarkan seleksi dan evaluasi baik secara kualitas maupun dengan mempertimbangkan kelengkapan

bidang ketenagakerjaan beserta sarana pendukungnya dan dilakukan audit secara berkala. Hasil pemeriksaan yang dihasilkan merupakan barometer pembanding utama yang diakui oleh Departemen Kesehatan dalam pemantauan kualitas pemeriksaan

sediaan dahak yang dilakukan oleh Puskesmas. Setelah pengambilan sampel untuk di cross check, sisa sediaan dapat dimusnahkan sesuai prosedur pembuangan limbah

laboratorium (Depkes RI, 2009).

c. Cara Menghitung Hasil Cross Check

Aspek yang dinilai dalam penilaian cross check adalah kualitas hapusan

sediaan, kualitas pewarnaan dan kualitas pembacaan. Setelah Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota menerima hasil pemeriksaan dari BLK atau dari laboratorium

(44)

membandingkan hasil BLK dengan hasil pemeriksaan pada laboratorium Puskesmas

(Depkes RI, 2009).

Analisa hasil cross check harus diumpan balikkan ke laboratorium Puskesmas. Hasil cross check ini harus ditindaklanjuti. Bila hasil cross check menunjukkan error rate (angka kesalahan laboratorium) lebih besar dari 5%, maka unit-unit terkait harus meneliti lebih lanjut apa kemungkinan penyebabnya (Depkes RI, 2009).

[image:44.612.112.528.432.620.2]

Pada saat ini Penanggulangan TB.Paru telah penerapan uji silang pemeriksaan dahak (cross check) dengan metode Lot Sampling Quality Assessment (LQAS) di beberapa propinsi. Untuk masa yang akan datang akan diterapkan metode LQAS di seluruh UPK. Perhitungan angka kesalahan laboratorium menggunakan metode LQAS ini mengklasifikasikan kesalahan sebagai berikut:

Tabel 2.1 Klasifikasi Kesalahan Laboratorium Menggunakan Metode LQAS Hasil dari Lab. Peserta Hasil Lab. Uji Silang

Negatif Scanty 1+ 2+ 3+

Negatif Betul NPR NPT NPT NPT

Scanty PPR Betul Betul KH KH

1+ PPT Betul Betul Betul KH

2+ PPT KH Betul Betul Betul

3+ PPT KH KH Betul Betul

Sumber: Depkes RI, 2009

Keterangan: Betul : Tidak ada kesalahan

KH (Kesalahan Hitung) : Kesalahan kecil NPR (Negatif Palsu Rendah) : Kesalahan kecil PPR (Positif Palsu Rendah) : Kesalahan kecil NPT (Negatif Palsu Tinggi) : Kesalahan besar PPT (Positif Palsu Tinggi) : Kesalahan besar

(45)

ukuran, kerataan, kebersihan dan kualitas spesimen. Mengingat sistem penilaian yang

berlaku sekarang berbeda dengan yang terbaru, petugas pemeriksa slide harus mengikuti cara pembacaan dan pelaporan sesuai buku Panduan bagi petugas laboratorium mikroskopis TB.Paru Interpretasi dari suatu laboratorium berdasarkan

hasil uji silang dinyatakan terdapat kesalahan bila : a. Terdapat PPT atau NPT

b. Laboratorium tersebut menunjukkan tren peningkatan kesalahan kecil dibanding periode sebelumnya atau kesalahannya lebih tinggi dari rata-rata semua UPK di kabupaten/kota tersebut, atau bila kesalahan kecil terjadi beberapa kali dalam

jumlah yang signifikan.

c. Bila terdapat 3 NPR. Penampilan setiap laboratorium harus terus dimonitor sampai

diketemukan penyebab kesalahan. Setiap UPK agar dapat menilai dirinya sendiri dengan memantau tren hasil interpretasi setiap triwulan.

2.4 Petugas Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium merupakan kegiatan yang sangat penting, untuk itu

diperlukan suatu ketelitian dan ketepatan dalam pemeriksaan. Oleh karena itu diperlukan ketekunan serta konsentrasi petugas dalam pelaksanaan tugas sehingga

(46)

pelatihan, status kepegawaian, masa kerja, beban kerja pengetahuan serta

keterampilan tentang pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung,

Dari seluruh faktor karakteristik petugas laboratorium, faktor pengetahuan dan keterampilan merupakan yang penting diperhatikan. Menurut Depkes RI (2002),

pengetahuan dan keterampilan petugas pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung sangat berguna bagi petugas laboratorium dalam menjalankan pekerjaannya

untuk memperoleh kualitas pemerikasaan yang baik.

2.5 Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan adalah merupakan hasil tahu dan

ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu obyek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia

diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang : (1) faktor Internal

: faktor dari dalam diri sendiri, misalnya intelegensia, minat, kondisi fisik, (2) faktor eksternal : faktor dari luar diri, misalnya keluarga, masyarakat, sarana., dan (3) faktor

pendekatan belajar : faktor upaya belajar, misalnya strategi dan metode dalam pembelajaran (Notoatmodjo, 2003).

(47)

1) Tahu (Know). Tahu diartikan sebagai mengingat kembali (recall) terhadap suatu

materi yang telah dipelajari sebelumnya.

2) Memahami (Comprehension). Suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara

benar.

3) Aplikasi. Diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah

dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya.

4) Analisis, adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen tetapi masih dalam suatu struktur organisasi dan

ada kaitannya dengan yang lain.

5) Sintesa. Sintesa menunjukkan suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan baru.

6) Evaluasi. Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melaksanakan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek (Notoatmodjo, 2003).

Konsep DOTS mendasarkan diagnosis TB.Paru menggunakan pemeriksaan mikroskopis, sehingga diagnosis bisa dilakukan tanpa peralatan rontgen yang relatif

lebih mahal. Hal ini berarti kualitas petugas mikroskopis mempunyai peran yang sangat menentukan, karena di tangannyalah diagnosis itu dikerjakan. Dalam kaitan ini, masalah yang berkaitan dengan kualitas tenaga mikrokopis menjadi penting,

(48)

Hasil penelitian Junaidi (2005) tentang hubungan antara jenis pendidikan, dan

pelatihan dengan tingkat kesalahan petugas mikroskopis, menyimpulkan bahwa Tenaga mikroskopis yang mendapat latihan mempunyai nilai tingkat kesalahan < 5% relatif lebih besar dibandingkan tenaga mikroskopis yang tidak mendapat pelatihan.

Jadi kelihatannya latihan lebih penting dari pada pendidikan, hal ini tentunya berkaitan dengan penyegaran, karena pendidikan bisa saja didapat sudah lama,

sedang pelatihan adalah dalam 2 tahun terakhir sehingga pengetahuannya tentang pemeriksaan secara mikroskopis lebih baik.

Studi Basri (2008) tentang gambaran faktor- faktor pada petugas laboratorium

yang berhubungan dengan kesalahan pemeriksaan slide slide (error rate) (Studi pada Puskesmas dengan Error rate Tinggi dan Rendah di Kabupaten Ketapang),

menemukan bahwa masih banyak petugas laboratorium pada Puskesmas error rate tinggi melakukan kesalahan mulai dari pengambilan sampel dahak sampai pembacaan hasil dibawah mikroskop. Untuk meningkatkan kualitas pemeriksaan dahak oleh

petugas laboratorium Puskesmas perlu dilakukan, pelatihan petugas, supervisi dan bimbingan intensif, melengkapi kebutuhan laboratorium, uji kalibrasi miskroskop.

Studi Zahara (2006) tentang analisa kompetensi petugas laboratorium dalam menegakkan diagnosa TB Paru strategi DOTS di Kabupaten Tobasa Tahun 2006, menyimpulkan ada pengaruh dari pengetahuan, ketrampilan dan beban tugas terhadap

(49)

2.6 Keterampilan

Menurut Diane (2006), suatu keterampilan atau satu paket keterampilan akan membentuk kemampuan menuju sukses yang utuh untuk sebuah tugas. Proses pendidikan diharapkan terjadi peningkatan keterampilan, yang didukung perubahan

struktur pola perilaku dan pola kepribadian menuju pola yang makin sempurna. Menurut Moenir (2000), suatu pelayanan akan dapat terlaksana dengan baik

dan memuaskan apabila didukung oleh beberapa faktor, salah satunya adalah keterampilan yang sesuai dengan tugas/pekerjaan yang dipertanggungjawabkan.

Dengan demikian tenaga kesehatan yang mengabdikan diri dalam bidang

kesehatan harus memiliki keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu. Keterampilan diartikan sebagai kemampuan dasar yang dimiliki

aparatur dalam melaksanakan tugas pelayanan kesehatan.

Pengembangan SDM adalah suatu proses yang sistematis dalam memenuhi kebutuhan ketenagaan yang cukup dan bermutu sesuai kebutuhan. Proses ini meliputi

kegiatan penyediaan tenaga, pembinaan (pelatihan, supervisi, kalakarya (on the job training)), dan kesinambungan (sustainability). Tujuan Pengembangan Sumber Daya

Manusia dalam program TB adalah tersedianya tenaga pelaksana yang memiliki keterampilan, pengetahuan dan sikap (dengan kata lain “kompeten”) yang diperlukan dalam pelaksanaan program TB, dengan jumlah yang memadai pada tempat yang

sesuai dan pada waktu yang tepat sehingga mampu menunjang tercapainya tujuan program TB nasional. Didalam bab ini istilah pengembangan SDM merujuk kepada

(50)

keseluruhan manajemen pelatihan dan kegiatan lain yang diperlukan untuk mencapai

tujuan jangka panjang pengembangan SDM yaitu tersedianya tenaga yang kompeten dan profesional dalam penanggulangan TB.Paru (Depkes RI, 2007).

Kompeten adalah ketrampilan yang diperlukan seseorang yang ditunjukkan

oleh kemampuannya untuk dengan konsisten memberikan tingkat kinerja yang memadai atau tinggi dalam suatu fungsi pekerjaan spesifik. Sedangkan kompetensi

adalah apa yang seorang mampu kerjakan untuk mencapai hasil yang diinginkan dari satu pekerjaan. Kinerja atau hasil yang diinginkan dicapai dengan perilaku ditempat kerja yang didasarkan pada pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), sikap

(attitude) dan sifat-sifat pribadi lainnya.

Secara umum, kompetensi sendiri dapat dipahami sebagai sebuah kombinasi

antara ketrampilan (skill), atribut personal, dan pengetahuan (knowledge) yang tercermin melalui perilaku kinerja (job behavior) yang dapat diamati, diukur dan dievaluasi. Yang dimaksud dengan kompetensi adalah : seperangkat tindakan cerdas,

penuh tanggungjawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu.

Kompetensi profesional didapatkan melalui pendidikan, pelatihan dan pemagangan dalam periode yang lama dan cukup sulit, pembelajarannya dirancang cermat dan dilaksanakan secara ketat, dan diakhiri dengan ujian sertifikasi (Depdiknas RI, 2002).

Analisis kesehatan merupakan tenaga kesehatan yang mempunyai tugas dan fungsi melakukan pemeriksaan laboratorium dalam program pemberantasan dan

(51)

bertugas di puskesmas harus memiliki keterampilan untuk mampu melaksanakan

tugasnya secara optimal.

a. Keterampilan yang Harus Dimiliki Analis Kesehatan

(1) Ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan fungsinya di laboratorium

kesehatan.

(2) Keterampilan dan pengetahuan dalam pengambilan spesimen, termasuk

penyiapan pasien (bila diperlukan), labeling, penanganan, pengawetan, atau fiksasi, pemrosesan, penyimpanan dan pengiriman spesimen.

(3) Keterampilan dalam melaksanakan prosedur laboratorium.

(4) Keterampilan dalam melaksanakan metode pengujian dan pemakaian alat dengan benar.

(5) Keterampilan dalam melakukan perawatan dan pemeliharaan alat, kalibrasi dan penanganan masalah yang berkaitan dengan uji yang dilakukan.

(6) Keterampilan dalam pembuatan uji kualitas media dan reagent untuk

pemeriksaan laboratorium.

(7) Pengetahuan untuk melaksanakan kebijakan pengendalian mutu dan prosedur

laboratorium.

(8) Kewaspadaan terhadap faktor yang mempengaruhi hasil uji.

(9) Keterampilan dalam mengakses dan menguji keabsahan hasil uji melalui

evaluasi mutu spesimen, sebelum melaporkan hasil uji. (10) Keterampilan dalam menginterpretasi hasil uji.

(52)

b. Standar Kompetensi Analis Kesehatan

1. Kemampuan untuk merancang proses teknik operasional

(a) Dapat merancang alur kerja pengujian/pemeriksaan mulai tahap pra analitik, analitik, sampai dengan paska analitik.

(b) Membuat SOP, manual mutu, indikator kinerja dan proses analisis yang akan digunakan.

2. Kemampuan melaksanakan proses teknik operasional.

(a) Melakukan pengambilan spesimen :pengetahuan persiapan pasien (b) Penilaian terhadap spesimen (memenuhi syarat atau tidak).

(c) Pelabelan, pengawetan, fiksasi, pemrosesan, penyimpanan, pengiriman (d) Pemilihan alat, metode, reagent untuk pemeriksaan atau analisa tertentu.

(e) Dapat mengerjakan prosedur laboratorium

(f) Memahami cara kerja peralatan dalam proses teknis operasional (g) Mengetahui cara-cara kalibrasi dan cara menguji kelaikan alat

(h) Dapat memelihara alat dan menjaga kinerja alat tetap baik 3. Kemampuan untuk memberikan penilaian hasil.

(a) Mampu menilai layak dan tidak hasil pemeriksaan

(b) Mampu menilai proses pemeriksaan atau rangkaian pemeriksaan. 4. Kemampuan komunikasi dengan pelanggan atau pemakai jasa.

(53)

pemeriksaan, mampu menilai validitas (kesahihan) suatu hasil pemeriksaan

atau rangkaian hasil pemeriksaan

6. Kemampuan untuk melakukan koreksi atau penyesaian terhadap masalah teknis operasional yang muncul.

7. Kemampuan menjaga keselamatan kerja dan lingkungan kerja 8. Kemampuan administrasi

c. Tugas Pokok Analis Kesehatan

Analis Kesehatan bertugas melaksanakan pelayanan laboratorium kesehatan, melakukan pengujian/analisis terhadap bahan yang tujuannya adalah menentukan

jenis penyakit, penyebab penyakit, kondisi kesehatan dan faktor yang berpengaruh pada kesehatan perorangan atau masyarakat

d. Peran Analis Kesehatan

Analisis kesehatan berperan dalamp elaksanaan teknis dalam pelayanan laboratorium kesehatan, penyelia teknis operasional laboratorium kesehatan,

peneliti dalam bidang laboratorium kesehatan.

e. Kewajiban Analis Kesehatan

Analis kesehatan wajib : (1) mengembangkan prosedur untuk mengambil dan memproses spesimen, (2) melaksanakan uji analitik terhadap reagen maupun terhadap spesimen, (3) mengoperasikan dan memelihara peralatan laboratorium,

mengevaluasi data laboratorium untuk memastikan akurasi dan prosedur pengendalian mutu dan mengembangkan pemecahan masalah yang berkaitan

(54)

untuk menentukan manfaat kepraktisannya, (5) membantu klinisi dalam

pemanfaatan yang benar dari data laboratorium untuk memastikan seleksi yang efektif dan efisien terhadap uji laboratorium dalam menginterpretasi hasil uji, (6) merencanakan, mengatur, melaksanakan dan mengevaluasi kegiatan

laboratorium, (7) membimbing dan membina tenaga kesehatan lain dalam bidang teknik kelaboratoriuman, serta (8) merancang dan melaksanakan penelitian dalam

bidang laboratorium kesehatan. f. Perilaku Analisis Kesehatan

Pekerjaan sebagai tenaga analisis kesehatan yang melakukan pemeriksaan

secara mikroskopis tidak terlepas dari perilaku petugas dalam melakukan pemeriksaan di laboratorium.

Perilaku menurut Skinner dalam Notoatmodjo ((2005) adalah hasil hubungan antara rangsangan (stimulus) dan tanggapan (respon). Perilaku dari pandangan biologis adalah merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang

bersangkutan. Jadi perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktivitas dari manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, perilaku manusia itu mempunyai bentangan yang

sangat luas, mencakup berjalan, berbicara, bereaksi, berpakaian, dan sebagainya. Bahkan kegiatan internal (internal activity) seperti berpikir, persepsi dan emosi juga merupakan perilaku manusia.

Untuk kepentingan kerangka analisis dalam penelitian ini dapat dikatakan bahwa perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh petugas laboratorium di puskesmas

(55)

Prosedur pembentukan perilaku dalam operant conditioning menurut Skinner

dalam Notoatmodjo ((2005) adalah sebagai berikut :

a. Melakukan identifikasi tentang hal-hal yang merupakan penguat atau reinforcer berupa hadiah-hadiah atau rewards bagi perilaku yang akan dibentuk.

b. Melakukan analisis untuk mengidentifikasi komponen-komponen kecil yang membentuk perilaku yang dikehendaki. Kemudian komponen-komponen tersebut

disusun dalam urutan yang tepat untuk menuju kepada terbentuknya perilaku yang dimaksud.

c. Dengan menggunakan secara urut komponen-komponen itu sebagai tujuan- tujuan

sementara, mengidentifikasi reinforcer atau penguat untuk masing-masing komponen tersebut.

d. Melakukan pembentukan perilaku dengan menggunakan urutan komponen yang telah tersusun itu. Apabila komponen pertama telah dilakukan maka penguatnya diberikan. Hal ini akan mengakibatkan komponen atau perilaku (tindakan) tersebut

cenderung akan sering dilakukan. Kalau perilaku ini sudah terbentuk kemudian dilakukan komponen (perilaku) yang kedua, diberi penguat (komponen pertama

tidak memerlukan penguat lagi), demikian berulang-ulang sampai komponen kedua terbentuk. Setelah itu dilanjutkan dengan komponen ketiga, keempat, dan selanjutnya sampai seluruh perilaku yang diharapkan terbentuk.

Ada dua jenis respons, yaitu: perilaku pasif dan aktif. Bentuk pasif adalah respons internal yaitu yang terjadi didalam diri manusia dan tidak secara langsung

(56)

pengetahuan. Sedangkan perilaku atau respons aktif yang secara langsung dapat

diamati, misalnya: petugas laboratorium yang melakukan pemeriksaan sputum dahak untuk memastikan seseorang menderita TB Paru atau tidak dapat diamati dari urutan kegiatan pemeriksaan berdasarkan prosedur yang telah ditetapkan.

2.7 Pencegahan TB Paru

Konsep pencegahan penyakit terdiri dari: pencegahan primer, sekunder dan tertier. Apabila individu berada dalam area sehat maka dilakukan upaya pencegahan

primer (primary prevention) yaitu perlindungan kesehatan (health protection) dan perlindungan khusus (spesific protection) agar terhindar dari penyakit (Kozier, 2000).

Apabila individu berada dalam area sakit maka dilakukan upaya pencegahan sekunder yaitu dengan diagnosis dini dan pengobatan yang tepat, serta pencegahan tertier yaitu upaya mencegah penyakit yang menjadi lebih parah atau kondisi tubuh

lebih buruk dan rehabilitasi (Kozier, 2000).

Dalam konteks pemeriksaan secara mikroskopis dalam penegakan diagnosis tuberkulosis paru, termasuk dalam pencegahan sekunder, yang meliputi diagnosis

dini dan pengobatan yang tepat. Untuk dapat dilakukan pengobatan terlebih dahulu dilakukan penemuan penderita tuberkulosis.

1) Penemuan Penderita TB Paru Pada Orang Dewasa

Penemuan penderita TB dilakukan secara pasif, artinya penjaringan tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit pelayanan

(57)

aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat untuk meningkatkan

cakupan penemuan tersangka penderita. Selain itu semua kontak penderita TB paru BTA positif dengan gejala sama, harus diperiksa dahaknya. Semua tersangka penderita diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari

berturut-berturut, yaitu Sewaktu–Pagi–Sewaktu /SPS (Depkes RI, 2002). 2) Penemuan Penderita Pada Anak

Penemuan penderita tuberkulosis pada anak merupakan hal yang sulit. Sebagian besar tuberkulosis anak didasarkan atas gambaran klinis, gambaran radiologis, dan uji tuberkulin (Depkes RI, 2002).

2.8 Beberapa Faktor yang Memengaruhi Error Rate

Dalam program penanggulangan TB Paru, diagnosis ditegakkan melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. Pemeriksaan 3 spesimen (SPS)

dahak secara mikroskopis merupakan pemeriksaan yang p

Gambar

Tabel 2.1  Klasifikasi Kesalahan Laboratorium Menggunakan Metode LQAS
Gambar 2.1 Kerangka Teori Pengaruh Pengetahuan dan Keterampilan Petugas Laboratorium terhadap Error Rate dalam Penegakan Diagnosa TB Paru
Gambar 2.2. Kerangka Konsep
Tabel 3.1  Metode Pengukuran Variabel Bebas
+7

Referensi

Dokumen terkait

berpartisipasi sebagai subjek penelitian saya tentang Analisis Hubungan Tingkat Pengetahuan Terhadap Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Tuberkulosis Paru di Puskesmas Teladan

Dari nilai Sig (p=value) 0,002 &lt; 0,05 maka artinya terdapat hubungan yang signifikan antara komunikasi verbal oleh petugas laboratorium kepada pasien TB paru