• Tidak ada hasil yang ditemukan

P Sakit Tidak Sakit

5.2. Pengaruh Lingkungan Aktivitas Produksi Aspal Hotmix (Suhu, Kelembaban, Kadar debu dan Penggunaan APD) pada Pekerja

5.2.1 Suhu

Suhu udara dalam penelitian ini adalah keadaan suhu udara di Lingkungan aktivitas produksi aspal Hotmix yang diukur dengan menggunakan thermometer dan dinyatakan dalam derajat Celsius. Pengukuran suhu di ukur berfokus pada titik orang tersebut bekerja pada masing-masing bagian produksi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 3 bagian produksi aspal yang di ukur suhunya, yang memenuhi syarat kesehatan atau yang baik yaitu pada bagian pemilihan material dengan suhu 29 0C, sedangkan 2 bagian lagi yaitu: pada bagian pencampuran dan bagian pemeriksaan produksi tidak memenuhi syarat kesehatan atau yang tidak baik yaitu suhu 320C dan 330

Hasil penelitian menunjukkan dari 30 orang pekerja sebanyak 20 orang pekerja di lingkungan aktivitas produksi aspal Hotmix dengan suhu yang tidak memenuhi syarat, paling banyak menderita syndrome ISPA yaitu 16 orang (80,0%), dan dari 10 orang di lingkungan dengan suhu memenuhi syarat, yang menderita ISPA yaitu 4 orang (40,0%). Hasil uji statistik diperoleh nilai probabilitas (p=0,045<0,05) artinya terdapat hubungan yang signifikan antara suhu dengan syndrome ISPA pada pekerja industri aspal Hotmix.

C.

Suhu tempat kerja yang panas akan mendorong pekerja untuk berada pada tempat yang tidak panas. Bagian produksi yang tidak memenuhi syarat adalah bagian pencampuran dan bagian pemeriksaan produksi. Pada bagian tersebut suasana panas karena berdekatan dengan mesin. Untuk mengatasi hal tersebut, yaitu menghindari suasana yang panas perlu dilakukan isolasi antara sumber mesin penggerak dengan pekerja dengan membuat sekat atau ruang untuk mesin, dan untuk pekerja di bagian tersebut agar diberi kipas angin, dan antara lantai dengan langit-langit perlu di buat ketinggian minimal 2,5 meter.

Sesuai dengan KepmenkesRI nomor 1405/Menkes/SK/XI/2002 tentang persyaratan kerja untuk industri di tempat kerja suhu berkisar antara 180C- 300C. Dengan tinggi langit-langit minimal 2,5 m. Bila suhu > 300C perlu ditambahkan alat penata udara, dan bila suhu udara < 180

Menurut Sumakmur (1996) bahwa suhu udara di tempat kerja tidak dapat dilepaskan dari iklim kerja. Iklim kerja merupakan keadaan udara di tempat kerja yang merupakan interaksi dari suhu udara, kelembaban, kecepatan gerakan udara dan suhu radiasi. Penularan ISPA merupakan golongan Air Borne Disseases, merupakan penyakit yang dapat terjadi melalui udara yang telah tercemar (Halim, 2000).

C perlu ditambah alat pemanas ruangan.

5.2.2 Kelembaban

Kelembaban dalam penelitian ini adalah kelembaban udara di Lingkungan aktivitas produksi aspal Hotmix yang diukur dengan menggunakan hygrometer dan dinyatakan dalam persen. Pengukuran kelembaban di ukur berfokus pada titik orang tersebut bekerja pada masing-masing bagian produksi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 3 bagian produksi aspal yang di ukur kelembabannya, yang memenuhi syarat kesehatan atau yang baik yaitu pada bagian pemilihan material dengan kelembaban 83%, sedangkan 2 bagian lagi yaitu: pada bagian pencampuran dan bagian pemeriksaan produksi tidak memenuhi syarat kesehatan atau yang tidak baik dengan kelembaban masing-masing 63% dan 61%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 30 orang sebanyak 20 orang pekerja di lingkungan aktivitas produksi aspal dengan kelembaban yang tidak memenuhi

syarat, paling banyak menderita syndrome ISPA yaitu 16 orang (80,0%), dan dari 10 orang di lingkungan dengan kelembaban memenuhi syarat, yang menderita syndrome ISPA yaitu 4 orang (20,0%). Hasil uji statistik diperoleh nilai probabilitas (p=0,045<0,05) artinya terdapat hubungan yang signifikan antara kelembaban dengan syndrome ISPA pada pekerja industri aspal aspal Hotmix..

Kelembaban di tempat kerja yang rendah mendorong pekerja kekurangan daya tahan tubuh, dimana terjadi kekeringan selaput lendir membran dan menyebabkan dehidrasi bila tidak diatasi dengan segera. Bagian lingkungan produksi yang tidak memenuhi syarat adalah bagian pencampuran dan bagian pemeriksaan produksi. Pada bagian tersebut suasana tempat menjadi kering karena kelembaban rendah. Hal ini sangat berkaitan dengan suhu, dimana suasana panas dapat menyebabkan kelambaban menjadi rendah. Untuk mengatasi hal tersebut, agar ditambahkan suatu alat humidifier. Alat tersebut diperuntukkan jika kelembaban <65% sesuai yang dipersyaratkan dalam Kepmenkes Nomor 1405/MENKES/SK/ XI/2002 tentang persyaratan kerja bagi industri.

Hal ini sesuai dengan penelitian Hidayati (2004) yang mengatakan faktor lingkungan (kelembaban, kepadatan hunian dan ventilasi) berhubungan dengan kejadian ISPA pada Balita di Kelurahan Pasie Nan Tigo Kecamatan Koto Tangah Kota padang.

5.2.3 Kadar debu

Kadar debu dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan dust monitor pada 3 bagian lingkungan produksi aspal Hotmix. Pengukuran debu dilakukan pada saat proses produksi pada 2 titik pada masing-masing bagian produksi yang difokuskan pada titik tempat bekerja para pekerja tersebut, alat ukur diletakkan pada titik pengukuran debu dengan menggunakan tripot kira-kira setinggi zona pernafasan tenaga kerja. Secara keseluruhan pengkuran debu dilakukan pada 6 titik, kemudian dihitung rata-rata kadar debu.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 3 bagian produksi industri aspal Hotmix yang diperiksa kadar debu menunjukkan hasil yang tidak memenuhi syarat kesehatan atau tidak baik yaitu di atas nilai ambang batas 10 mg/m3 ada 2 bagian yaitu: bagian pemilihan material dan bagian pencampuran dengan rata-rata kadar debu 10,45 mg/m3 dan 11,50 mg/m3. Sedangkan bagian pemeriksaan produksi memenuhi syarat atau baik dengan rata-rata kadar debu 9,70 mg/m3

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 30 orang sebanyak 24 orang pekerja di lingkungan aktivitas produksi aspal Hotmix dengan kadar debu yang tidak memenuhi syarat, paling banyak menderita syndrome ISPA yaitu 19 orang (76,0%), dan dari 5 orang di lingkungan dengan kadar memenuhi syarat, yang menderita syndrome ISPA yaitu 1 orang (20,0%). Hasil uji statistik diperoleh nilai probabilitas (p=0,009<0,05) artinya terdapat hubungan yang signifikan antara kadar debu di lingkungan aktivitas produksi aspal Hotmix dengan syndrome ISPA pada pekerja

industri aspal. Sementara dari hasil analisa multivariat diperoleh nilai eks (B) untuk kadar debu sebesar 18,117 dengan p value 0,009. Hal ini berarti kadar debu mempunyai peluang sebanyak 18 kali untuk terjadinya risiko syndrome ISPA di lingkungan aktivitas produksi aspal Hotmix pada pekerja.

Kadar debu yang tinggi di tempat kerja akan menyebabkan terpaparnya pekerja melalui inhalasi, apalagi pekerja tersebut bekerja dalam waktu 8 jam sehari. Hal ini akan menyebabkan pekerja menderita syndrome ISPA bila tidak diatasi dengan segera. Bagian produksi yang tidak memenuhi syarat adalah bagian pemilihan dan pencampuran. Pada bagian tersebut suasana tempat kadar debunya relatif tinggi dikarenakan oleh aktivitas pada ke 2 bagian tersebut banyak menghasilkan debu.

Untuk mengatasi hal tersebut, agar diberikan perlindungan dengan memakai masker pada pekerja untuk menghindari masuknya debu melalui pernafasan serta perlu dilakukan upaya pencegahan dan perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan tenaga kerja. Salah satu upaya pencegahan tersebut adalah menetapkan waktu bekerja sehari-hari yaitu selama tidak lebih dari 8 jam per hari atau 40 jam per minggu (UU Nomor 13, 2003).

Sesuai dengan pendapat Mangkunegoro (2003), semakin tinggi partikel debu dalam udara dan semakin lama paparan berlangsung, maka jumlah partikel yang mengendap di paru akan semakin banyak.

Sesuai yang dipersyaratkan dalam Kepmenkes Nomor 1405/MENKES/SK/ XI/2002 tentang persyaratan kerja bagi industri nilai baku mutu debu maksimal 10

mg/m3 untuk waktu pengukuran rata-rata 8 jam. Partikel debu yang berdiameter >10 mg/m3

5.2.4 Penggunaan APD

merupakan indikator yang baik tentang adanya kelainan saluran pernapasan, karena adanya hubungan yang kuat antara gejala saluran pernapasan dengan kadar partikel debu di udara (Pope, 2003).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 30 pekerja pada lingkungan aktivitas produksi, jumlah pekerja yang tidak menggunakan APD yaitu 23 orang (76,6%) dan yang menggunakan APD yaitu 7 orang (23,4%). Hal ini menunjukkan bahwa pekerja yang tidak menggunakan APD lebih banyak dari pada yang menggunakan APD.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 30 orang sebanyak 23 orang pekerja di lingkungan aktivitas produksi aspal Hotmix yang tidak menggunakan APD atau tidak baik yang paling banyak menderita syndrome ISPA yaitu sebanyak 19 orang (82,6%), 4 orang (17,4%) tidak menderita syndrome ISPA. Dari 7 orang yang menggunakan APD atau baik, yang menderita ISPA yaitu 1 orang (14,3%), 6 orang (85,7%) tidak menderita syndrome ISPA. Hasil uji statistik diperoleh nilai probabilitas (p=0,002<0,05) artinya terdapat hubungan yang signifikan antara penggunaaan APD dengan syndrome ISPA pada pekerja industri aspal. Hasil analisa multivariat diperoleh nilai eksp (B) untuk penggunaan APD sebesar 14,125 dengan p value 0,004. Hal ini berarti penggunaan APD mempunyai peluang sebanyak 14 kali untuk terjadinya risiko syndrome ISPA di lingkungan aktivitas produksi pada pekerja.

Penggunaan APD yang rendah di tempat kerja akan menyebabkan terpaparnya pekerja dengan debu. Faktor kebiasaan dan perilaku pekerja dengan memakai masker dirasakan tidak nyaman. Hal ini akan menyebabkan pekerja menderita syndrome ISPA bila tidak diatasi dengan segera. Bagian produksi yang banyak menghasilkan debu adalah bagian pemilihan dan pencampuran. Upaya yang dilakukan untuk perlindungan tenaga kerja yaitu dengan penggunaan alat pelindung diri dijadikan suatu kebiasaan dan diharuskan sesuai dengan UU No.1 tahun 1970 Tentang keselamatan kerja yang mengatur penyediaan dan penggunaan alat pelindung diri di tempat kerja baik pengusaha maupun tenaga kerja.

Sejalan dengan uraian diatas tentang kebiasaan memakai APD, khumaidah (2009) mengemukakan APD yang baik adalah APD yang memenuhi standar keamanan dan kenyamanan bagi pekerja, apabila pekerja memakai APD yang tidak nyaman dan tidak bermanfaat maka pekerja enggan memakai, hanya berpura-pura sebagai syarat agar masih diperbolehkan untuk bekerja atau menghindari sanksi perusahaan.

Banyak faktor yang menentukan tingkat perlindungan dari penggunaan masker, antara lain adalah jenis dan karakteristik debu, serta kemampuan menyaring dari masker yang digunakan. Kebiasaan menggunakan masker yang baik merupakan cara aman bagi pekerja yang berada di lingkungan kerja berdebu untuk melindungi kesehatan (Budiono, 2002).

5.3. Pengaruh Lingkungan Aktivitas Produksi (Suhu, Kelembaban, Kadar debu