• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN

C. Pengujian Secara Parsial

3. Pengaruh Motivasi terhadap Kinerja

5.3 Pengaruh Motivasi terhadap Kinerja Perawat

Pembahasan tentang variabel motivasi, yaitu motivasi intrinsik indikator (tanggung jawab, prestasi kerja, pengakuan hasil kerja, kemungkinan pengembangan dan kemajuan) dan motivasi ekstrinsik indikator (gaji, kondisi kerja dan hubungan kerja) skor pencapaian 84,4 berbeda dengan skor teoritis 128 (Tabel 4.11).

Berdasarkan hasil uji statistik secara bivariat motivasi berhubungan dengan kinerja (Tabel 4.16) dan secara multivariat dengan menggunakan uji regresi berganda diketahui bahwa variabel motivasi (motivasi intrinsik dan ekstrinsik) berpengaruh signifikan p=<0,001<p=0,05, dan variabel motivasi lebih besar pengaruhnya terhadap kinerja perawat (Tabel 4.19). Hal ini memberikan makna bahwa semakin meningkat motivasi maka semakin optimal kinerja perawat.

Menurut Maslow dalam Robbins (2006), bahwa manusia mempunyai berbagai kebutuhan dan mencoba mendorong untuk bergerak memenuhi kebutuhan tersebut. Kebutuhan itu wujud dalam beberapa tahap kebutuhan. Setiap manusia mempunyai keperluan untuk memenuhi kepuasan diri dan bergerak memenuhi kebutuhan tersebut. Maslow memisahkan kelima kebutuhan sebagai kategori tinggi dan kategori rendah, kebutuhan faali dan kebutuhan keamanan digambarkan sebagai kebutuhan kategori rendah dan kebutuhan sosial dan kebutuhan akan penghargaan, dan aktualisasi diri sebagai kebutuhan kategori tinggi. Kebutuhan kategori tinggi dipenuhi secara internal (di dalam diri orang itu). Sedangkan kebutuhan kategori rendah terutama dipenuhi secara eksternal (dengan upah, kontrak serikat buruh, dan masa kerja).

Hasil penelitian ini sejalan dengan teori motivasi yang dikemukakan oleh Herzberg dalam Hasibuan (2005), bahwa faktor yang berasal dari luar (ekstrinsik) dan dari dalam (intrisnik) merupakan motivator secara ekstrinsik bagi pegawai dalam bekerja. Demikan juga dengan pendapat Gibson et al. (1996), menyatakan bahwa manusia termotivasi untuk bekerja dengan bergairah ataupun bersemangat tinggi, apabila ia memiliki keyakinan akan terpenuhinya harapan-harapan yang didambakan serta tingkat manfaat yang akan diperolehnya. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi terpenuhinya akan harapan-harapan dan hasil kongkrit yang akan diperolehnya, maka semakin tinggi pula motivasi positif yang akan ditunjukkan olehnya.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Siboro (2011), yang mengungkapkan bahwa variabel motivasi (instrinsik dan ekstrinsik) berpengaruh secara signifikan dan variabel motivasi ekstrinsnik lebih besar pengaruhnya terhadap kinerja perawat pelaksana di instalasi rawat inap RSUD Perdagangan Kabupaten Simalungun. Demikian juga hasil penelitian Norman (2006), mengungkapkan bahwa kinerja perawat pelaksana di Rumah Sakit Umum dr. Pirngadi Medan belum mampu memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik kepada pasien, disebabkan oleh rendahnya motivasi kerja dan kurangnya kesadaran perawat terhadap status pekerjaan sebagai fungsi pelayanan kesehatan

Pembahasan masing-masing indikator variabel motivasi sebagai berikut:

1 Motivasi Intrinsik

a. Indikator Tanggung Jawab

Hasil penelitian tentang motivasi intrinsik indikator tanggung jawab, diketahui sebagian besar menyatakan sangat setuju dan setuju tentang tanggung

jawab (Tabel 4.9) serta berdasarkan skor rata-rata tentang motivasi intrinsik indikator tanggung jawab memiliki skor paling tinggi, yaitu sebesar 13,7 (Tabel 4.11), namun berbeda dengan skor teoritis 16. Hal ini menunjukkan bahwa perawat menyadari pelaksanaan pemberian asuhan keperawatan di IGD kepada pasien merupakan tanggung jawab mereka, namun dalam melaksanakan asuhan keperawatan hanya sebatas tanggung jawab dan kurang mempertimbangkan hasil pekerjaan, sehingga secara intrinsik kurang termotivasi dalam bekerja.

Hasil wawancara kepada perawat IGD maupun kordinator perawat bahwa mereka mengetahui pelaksanaan asuhan keperawatan merupakan tanggung jawab mereka, namun pengimplementasiannya belum sepenuhnya diberikan kepada pasien.

Hal lain yang turut menyebabkan perawat pelaksana kurang termotivasi secara intrinsik dalam bekerja terkait dengan umur perawat sebanyak 54,5%, berumur 26-33 tahun dan masa kerja 6-10 tahun (Tabel 4.1).

Menurut Maslow dalam Gibson et al. (1996), hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa mayoritas manusia bekerja disebabkan adanya kebutuhan yang relatif tidak terpenuhi disebabkan adanya faktor keterbatasan manusia itu sendiri, untuk memenuhi kebutuhannya tersebut manusia bekerja sama dengan orang lain dengan memasuki suatu organisasi. Hal ini yang menjadi dasar sebagai salah satu sebab timbulnya motivasi perawat untuk bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar.

Hal ini sejalan dengan teori Herzberg dalam Hasibuan (2005), menyatakan bahwa secara intrinsik atau internal setiap orang ingin diikutsertakan dan ingin diakui sebagai orang yang berpotensi, dan pengakuan ini akan menimbulkan rasa percaya

diri yang berasal dari dalam diri sendiri dalam rangka memenuhi kebutuhan dan siap memikul tanggung jawab yang lebih besar.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Siboro (2011), yang mengungkapkan bahwa variabel motivasi instrinsik indikator tanggung jawab berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja perawat pelaksana di intalasi rwat inp RSUD Perdagangan Kabupaten Simalungun. Namun hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Siregar (2008), yang menyimpulkan secara parsial variabel motivasi intrinsik indikator tanggung jawab tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja perawat.

b. Indikator Prestasi Kerja

Hasil penelitian tentang motivasi intrinsik indikator prestasi kerja, diketahui sebagian besar menyatakan tidak setuju tentang prestasi kerja (Tabel 4.9) Berdasarkan skor rata-rata motivasi intrinsik indikator prestasi kerja memiliki skor sebesar 10,5 (Tabel 4.11) merupakan urutan ke tiga tertinggi, namun berbeda dengan skor teoritis 16. Hal ini menunjukkan bahwa perawat pelaksana sebagian besar kurang mementingkan prestasi kerja mereka termotivasi bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar semata.

Berdasarkan hasil wawancara dengan perawat IGD menjelaskan bahwa pelaksanaan asuhan keperawatan sampai kepada pendokumentasian asuhan keperawatan merupakan tupoksi dan tanggung jawab yang harus mereka kerjakan, namun perawat belum melaksanakan asuhan keperawatan secara maksimal dengan alasan bahwa asuhan keperawatan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan tidak

berpengaruh terhadap prestasi kerja, sehingga perawat merasa kurang termotivasi melaksanakan asuhan keperawatan dengan baik dan manajemen rumah sakit juga kurang memberikan evaluasi atas hasil pelaksanaan asuhan keperawatan.

Hal ini sejalan dengan teori Herzberg dalam Hasibuan (2005), menyatakan bahwa setiap orang menginginkan keberhasilan dalam setiap kegiatan. Pencapaian prestasi dalam melakukan suatu pekerjaan akan menggerakkan yang bersangkutan untuk melakukan tugas-tugas berikutnya. Demikian juga dengan teori David C McClelland dalam Handoko (2001), tentang motivasi berprestasi, adanya motivasi berprestasi yang tinggi akan berhubungan dengan peningkatan kinerja.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Siboro (2011), yang meneliti pengaruh motivasi terhadap kinerja perawat pelaksana di RSUD Perdagangan Kabupaten Simalungun, menyimpulkan bahwa prestasi kerja berpengaruh signifikan terhadap kinerja perawat, namun berbeda dengan hasil penelitian Juliani (2007), menngungkapkan bahwa prestasi kerja tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja perawat di Rumah Sakit Umum dr. Pirngadi Medan.

c. Indikator Pengakuan Hasil Kerja

Hasil penelitian tentang motivasi intrinsik indikator pengakuan hasil kerja, diketahui sebagian besar menyatakan tidak setuju tentang pengakuan hasil kerja (Tabel 4.9) Berdasarkan skor rata-rata indikator pengakuan hasil kerja memiliki skor sebesar 10,0 (Tabel 4.11) merupakan urutan ke tiga tertinggi, namun berbeda dengan skor teoritis 16. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar perawat pelaksana kinerjanya kurang diakui oleh manajemen rumah sakit dalam memberikan asuhan

keperawatan pasien IGD. Perawat bekerja hanya sebatas tuntutan kerja dan bekerja apa adanya, karena yang diutamakan kebutuhan hidup yang lebih utama, sehingga kurang termotivasi dalam menyelesaikan pekerjaan dengan baik.

Berdasarkan hasil wawancara dengan perawat diperoleh jawaban bahwa perawat pelaksana tidak ada diberikan bimbingan tentang bagaimana seharusnya pemberian asuhan keperawatan dan apa manfaat dari pemberian asuhan keperawatan sampai dengan pendokumentasian asuhan keperawatan serta kurangnya penghargaan terhadap kinerja perawat.

Hal ini sejalan dengan teori Herzberg dalam Hasibuan (2005), yang menyatakan bahwa petugas yang terdorong secara intrinsik akan menyenangi pekerjaan yang memungkinkannya menggunakan kreativitas dan inovasinya, bekerja dengan tingkat otonomi yang tinggi dan tidak perlu diawasi dengan ketat. Pengakuan terhadap prestasi merupakan alat motivasi yang cukup ampuh, bahkan bisa melebihi kepuasan yang bersumber dari kompensasi. Sejalan dengan pendapat Handoko (2001), yang mengungkapkan bahwa motivasi intrinsik merupakan motivasi yang berfungsi tanpa adanya rangsangan dari luar, dalam diri individu sudah ada suatu dorongan untuk melakukan tindakan.

Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Siboro (2011) tentang Pengaruh Motivasi terhadap Kinerja Perawat Pelaksana di Instalasi Rawat Inap RSUD Perdagangan Kabupaten Simalungun, yang menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh secara signifikan, pengakuan hasil kerja terhadap kinerja perawat pelaksana.

d. Indikator Kemungkinan Pengembangan

Hasil penelitian tentang motivasi intrinsik indikator kemungkinan pengembangan, diketahui bahwa sebagian besar menyatakan tidak setuju tentang kemungkinan pengembangan (Tabel 4.9) Berdasarkan skor rata-rata indikator kemungkinan pengembangan memiliki skor sebesar 9,5 (Tabel 4.11) merupakan skor terendah kedua, dan berbeda dengan skor teoritis 16. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar perawat pelaksana belum optimal dalam melaksanakan asuhan keperawatan pasien IGD, karena mereka beranggapan manajemen rumah sakit kurang memberikan kesempatan dalam hal pengembangan karir, sehingga kurang termotivasi dengan baik dalam menyelesaikan pekerjaan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan perawat bahwa mereka menyatakan tidak ada peluang untuk mengembangkan potensi dalam melaksanakan asuhan keperawatan kepada pasien IGD sehari-hari walaupun hal tersebut merupakan pekerjaan rutin dan merupakan tanggungjawab yang diwajibkan untuk dikerjakan, akan tetapi tidak memberikan manfaat yang berarti. Hal ini memberikan masukan bagi manajemen tentang perlunya suatu peraturan pemberian reward ataupun punishment bagi perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan untuk mencapai tujuan organisasi.

Hal ini sejalan dengan teori Herzberg dalam Hasibuan (2005), yang menyatakan bahwa karyawan hendaknya diberi kesempatan untuk meningkatkan kemampuannya misalnya melalui pelatihan-pelatihan, kursus dan juga melanjutkan jenjang pendidikannya, karena hal ini memberikan kesempatan kepada karyawan

untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan rencana karirnya yang akan mendorongnya lebih giat dalam bekerja.

Hasil penelitian ini didukung hasil penelitian Siboro (2011) di RSUD Perdagangan Kabupaten Simalungun yang meneliti pengaruh motivasi terhadap kinerja perawat, mengungkapkan bahwa pengembangan perawat dinilai tidak jelas.

Dari data terlihat bahwa kesempatan mengikuti diklat dan melanjutkan pendidikan sangat minim diberikan kepada perawat pelaksana.

2. Motivasi Ekstrinsik

Mengacu kepada hasil penelitian tentang motivasi ekstrinsik dengan indikator (gaji, kondisi kerja, dan hubungan kerja) sebagai pembahasan diuraikan sebagai berikut:

a. Indikator Gaji

Hasil penelitian tentang motivasi ekstrinsik indikator gaji, diketahui sebagian besar menyatakan tidak setuju tentang gaji (Tabel 4.10) Berdasarkan skor rata-rata indikator gaji memiliki skor paling tinggi, yaitu sebesar 10,7 (Tabel 4.11) berbeda dengan skor teoritis 16. Hasil analisis penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa, gaji yang diterima perawat pelaksana masih rendah dan belum sesuai dengan upah minimum Kota Langsa serta tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hal lain yang turut membuat perawat kurang termotivasi sebanyak 81,8% telah berumah tangga (Tabel 4.1).

Berdasarkan hasil wawancara dengan perawat IGD mereka menyadari bahwa sebagai pegawai sistem penggajiannya (kompensasi) telah ditetapkan oleh organisasi,

namun belum mencukupi kebutuhan untuk hidup dan melaksanakan pekerjaan apa adanya, sehingga kurang mendorong minat perawat untuk berforma baik menyelesaikan pekerjaan.

Hasil penelitian ini sejalan dengan teori motivasi yang dikemukakan oleh Herzberg dalam Luthans (2003), bahwa tidak ada satu organisasipun yang dapat memberikan kekuatan baru kepada tenaga kerjanya atau meningkatkan produktivitas, jika tidak memiliki sistem kompensasi yang realistis dan gaji, apabila sistem kompensasi dan penggajian diimplementasikan dengan benar akan memotivasi pegawai. Demikian juga dengan pendapat Gibson et al. (1996) bahwa motivasi ekstrinsik (imbalan yang berasal dari pekerjaan yang mencakup uang, status, promosi dan rasa hormat) dapat menjadi motivator setiap karyawan untuk mencapai prestasi kerja yang lebih baik, dengan memberi imbalan, perusahaan akan dapat meningkatkan kinerja dan produktivitas karyawan.

Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Siboro (2011) yang mengungkapkan bahwa secara ektrinsik, yaitu gaji berpengaruh terhadap kinerja perawat pelaksana dalam memberikan asuhan keperawatan di ruang rawat inap di RSUD Perdagangan Kabupaten Simalungun, namun hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Juliani (2007) di Rumah Sakit Umum dr. Pirngadi Medan yang menyimpulkan bahwa gaji atau pendapatan yang diterima perawat tidak berpengaruh terhadap kinerja perawat.

b. Indikator Kondisi Kerja

Hasil penelitian tentang motivasi ekstrinsik indikator kondisi kerja, diketahui sebagian besar menyatakan tidak setuju (Tabel 4.9) dan berdasarkan skor rata-rata indikator kondisi kerja memiliki skor kedua tertinggi, yaitu sebesar 10,6 (Tabel 4.11) berbeda dengan skor teoritis 16. Hasil analisis penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa alur kerja, lingkungan kerja dan fasilitas belum sepenuhnya mendukung agar perawat termotivasi untuk menangani kasus-kasus kegawatdaruratan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan perawat bahwa kondisi kerja merupakan faktor yang penting bagi perawat dalam melaksanakan tindakan perawatan di IGD, karena dengan kondisi kerja yang baik maka dalam melaksanakan asuhan keperawatan dapat dilakukan dengan lebih baik pula, namun pihak manajemen rumah sakit sangat minim perhatiannya. Seharusnya pihak manajemen rumah sakit meningkatkan perhatian kepada perawat, memelihara kondisi kerja yang baik dan komunikasi yang efektif, karena melalui komunikasi berbagai hal yang menyangkut pekerjaan dapat diselesaikan dengan baik dan kondisi kerja akan menjadi lebih baik.

Hasil penelitian ini sejalan dengan teori motivasi yang dikemukakan oleh Herzberg dalam Luthans (2003), bahwa kebutuhan rasa aman melalui kondisi kerja yang nyaman, aman dan tenang serta didukung oleh peralatan yang memadai, karyawan akan merasa betah dan produktif dalam bekerja sehari-hari.

Hasil penelitian ini didukung hasil penelitian Juliani (2007), yang mengungkapkan bahwa motivasi dapat pula diciptakan dengan mengadakan pengaturan kondisi kerja yang sehat. Hal ini menimbulkan motivasi kerja sehingga keinginan seseorang untuk melakukan pekerjaan dalam bentuk keahlian, keterampilan, tenaga dan waktunya untuk melaksanakan pekerjaan.

c. Indikator Hubungan Kerja

Hasil penelitian tentang motivasi ekstrinsik indikator hubungan kerja, diketahui sebagian besar responden menyatakan tidak setuju tentang hubungan kerja (Tabel 4.10) dan berdasarkan skor rata-rata indikator hubungan kerja memiliki skor terendah, yaitu sebesar 10,5 (Tabel 4.11). Hasil analisis penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa hubungan kerja sesama perawat, atasan dan bawahan serta dengan rekan kerja kurang harmonis, sehingga kurang termotivasi bekerja dengan baik dalam menangani kasus-kasus kegawatdaruratan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan perawat IGD bahwa hubungan kerja merupakan faktor yang penting bagi perawat dalam melaksanakan tindakan keperawatan, mereka menyadari bahwa adanya hubungan kerja yang kurang harmonis antara sesama pegawai maupun atasan dan pihak manajemen rumah sakit merupakan salah satu penyebab rendahnya motivasi perawat dalam melayani pasien.

Hasil penelitian ini sejalan dengan teori motivasi yang dikemukakan oleh Herzberg dalam Luthans (2003), untuk dapat melaksanakan pekerjaan dengan baik, haruslah didukung oleh suasana atau hubunganÿÿerjaÿÿang harmonis pÿÿara sesama pegawai maupun atasÿÿatkan ÿÿahan.

Robbins (2006), menyatakan hubungan antara atasan dan bawahan serta hubungan sesama pegawai merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam organisasi. Hubungan menyangkut jalinan komunikasi baik vertikal, horizontal dan diagonal. Pemahaman mengenai hubungan ini tergantung beberapa aspek diantaranya

aspek individual yang mampu bekerjasama dan mempengaruhi kinerja dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien bagi organisasi.

Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Siboro (2011) yang mengungkapkan bahwa secara ektrinsik, hubungan kerja berpengaruh terhadap kinerja perawat di ruang rawat inap di RSUD Perdagangan Kabupaten Simalungun.

BAB 6

Dokumen terkait