4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.4 Penentuan Waktu Perendaman Awal
4.5.5 Pengaruh Penambahan Papain Terhadap Morfologi Grits Jagung Pengamatan dengan SEM memberikan informasi penting untuk menjawab
dugaan terjadinya penguraian matriks protein sebagai akibat kerja enzim protease. Indikasi terjadinya penguraian sudah disampaikan sebelumnya, yaitu dilihat dari terjadinya penurunan kekerasan grits yang diikuti oleh peningkatan kehalusan tepung yang dihasilkan dan juga oleh terjadinya penurunan kandungan protein dalam grits jagung setelah inkubasi. Disamping itu, hasil pengamatan secara visual juga menunjukkan adanya perubahan warna yang nyata antara warna grits
sebelum dan sesudah diinkubasi maupun perbedaan warna antara grits yang diinkubasi dalam konsentrasi papain tinggi dengan konsentrasi rendah serta antara waktu inkubasi pendek dengan waktu inkubasi lama. Gambar 4.12 menunjukkan hasil pengamatan menggunakan SEM dengan perbesaran 1000x tanpa coating. Foto hasil SEM selengkapnya disajikan pada Lampiran 10).
A B
Gambar 4.12 Foto hasil SEM untuk bagian horny endosperm (A) dan
floury endosperm (B) grits jagung hibrida P21
Gambar 4.12 Menunjukkan adanya lapisan tebal yang menyelimuti granula pati (A). Menurut Eckhoff dan Watson (2009), lapisan tebal tersebut adalah dinding sel dan matriks protein yang akan diuraikan dengan menggunakan enzim papain. Pada bagian floury (Gambar 4.12(B)), tampak jelas granula pati yang berbentuk bulat dengan diameter 3–10 µm tanpa diselimuti oleh lapisan seperti pada Gambar 4.12(A).
A1 B1
A2 B2
A3 B3
A4 B4
A5 B5
Gambar 4.13 Foto SEM jagung lokal Kodok (A) dan hibrida P21 (B) pada : (1) 3 jam,0%; (2) 3 jam;1%; (3) 6 jam,1%; (4) 12 jam,1%; dan (5) 24 jam,1% papain.
Gambar 4.13 menunjukkan hasil pengamatan bagian horny endosperm grits
jagung lokal Kodok (Gambar 4.13(A1) sampai 4.13(A5)) dan grits jagung hibrida P21 (Gambar 4.13(B1) sampai 4.13(B5)) menggunakan SEM dengan perbesaran 1000x tanpa coating. Pengamatan dilakukan pada grits jagung lokal maupun hibrida setelah dilakukan inkubasi selama 3, 6, 12, dan 24 jam pada konsentrasi papain 1%. Foto hasil SEM disajikan pada Lampiran 10.
Pada Gambar 4.13 juga dapat dilihat bahwa semakin bertambahnya lama waktu inkubasi menyebabkan matriks protein yang melingkupi granula-granula pati semakin tipis, bahkan pada waktu inkubasi 12 hingga 24 jam terlihat lapisan tebal tersebut semakin tidak terlihat. Terurainya matriks protein tersebut memudahkan penghalusan grits dan meningkatkan granula pati yang tidak terikat dengan matrik protein sehingga berpotensi meningkatkan rendemen patinya. Hal tersebut diperkuat dengan penelitian Serna-Saldivar dan Mezo-Villanueva (2003) yang melakukan penambahan cell wall degrading enzyme (CWDE) pada sorgum dan jagung kuning yang telah digiling kasar dengan perendaman selama 4 hingga 48 jam yang terbukti dapat meningkatkan rendemen pati akibat longgarnya matriks protein. Upaya untuk memudahkan penggilingan biji jagung juga dilakukan oleh Core (2004) yang menggunakan gas amonia dan dilanjutkan dengan menggunakan enzim protease untuk melonggarkan ikatan pada matriks protein dalam biji jagung, sehingga hanya dibutuhkan waktu 6 jam pada proses perendamannya. Hal tersebut jauh lebih efisien dibandingkan dengan proses konvensional yang membutuhkan waktu 24 hingga 36 jam. Dengan demikian, hasil pengamatan dengan SEM terhadap grits jagung setelah penambahan papain tersebut, telah membuktikan terjadinya penguraian matriks protein pada bagian
horny endosperm.
Terjadinya penguraian matriks protein tersebut membuktikan bekerjanya enzim papain selama inkubasi. Terurainya matriks protein selama inkubasi dengan papain menyebabkan terjadinya penurunan kandungan protein dan kekerasan
grits, dan pada akhirnya dapat meningkatkan kehalusan ukuran partikel tepung
yang dihasilkan. Di samping itu, terjadinya penguraian matriks protein setelah inkubasi dengan papain juga membuktikan bahwa menurunnya kandungan protein
grits akibat meningkatnya lama waktu inkubasi maupun meningkatnya
konsentrasi papain terjadi hingga pada bagian horny endosperm dan tidak hanya pada bagian flouryendosperm.
Pada Gambar 4.13 juga dapat dilihat dengan jelas perbedaan pengaruh inkubasi dengan papain terhadap grits jagung kedua varietas, yaitu: pertama, pada waktu inkubasi 12 hingga 24 jam, matriks protein pada grits jagung lokal sudah hilang, sedangkan pada grits jagung hibrida masih terlihat ada walaupun sedikit. Kedua, ukuran granula pati pada bagian horny endosperm jagung lokal relatif lebih kecil dan lebih seragam (3-7µm) dibandingkan jagung hibrida (3-12µm). Ketiga, bentuk granula pada bagian horny endosperm jagung lokal berbentuk
spherical dan pada jagung hibrida dominan berbentuk polygonal. Diameter
granula pati jagung tersebut relatif sama dengan diameter pati jagung pada umumnya, 5-20 µm dan berbentuk spherical dan polygonal (Jane 2009). Perbedaan bentuk granula pati tersebut dapat menyebabkan terjadinya perbedaan kerapatan pada horny endosperm kedua varietas tersebut, dan dapat menyebabkan berbedanya kekerasan maupun kekakuan gritsnya (Martinez et al. 2006). Terdapatnya perbedaan-perbedaan tersebut menyebabkan terjadinya perbedaan
kekerasan grits jagung pada kedua varietas jagung yang digunakan. Hal tersebut berdampak langsung terhadap berbedanya kondisi proses inkubasi untuk kedua varietas jagung, lokal dan hibrida.
Perendaman hingga 24 jam dapat memicu pertumbuhan mikroorganisme spontan yang dapat menghasilkan asam-asam organik yang mampu meningkatkan pelunakan biji dan melemahkan dinding sel endosperma (Johnson dan May 2003). Nur aini (2009) juga melaporkan terbentuknya asam-asam organik tersebut dapat mempengaruhi karakteristik tepung jagung yang dihasilkan. Pengaruh lama waktu inkubasi dengan papain terhadap keutuhan granula patinya diamati dengan mikroskop cahaya terpolarisasi. Terjadinya kerusakan birefringence granula pati dapat menyebabkan terjadinya perubahan pada mikrostruktur granula pati yang berakibat pada berubahnya sifat alami tepung jagung yang dihasilkan. Pengamatan dilakukan terhadap granula pati tepung jagung yang dihasilkan pada berbagai waktu inkubasi dan konsentrasi papain. Hasil pengamatan granula pati tepung jagung setelah perendaman 3 jam tanpa papain dan setelah perendaman 24 jam pada 1% papain disajikan pada Gambar 4.14(A) dan (B) untuk grits jagung lokal dan Gambar 4.14(C) dan (D) untuk grits jagung hibrida. Foto hasil pengamatan dengan mikroskop cahaya terpolarisasi disajikan pada Lampiran 11.
A B
C D
Gambar 4.14 Sifat birefringence granula pati (A) jagung lokal Kodok setelah inkubasi 3 jam 0% papain, (B) jagung lokal Kodok setelah inkubasi 24 jam 1,0% papain, (C) jagung hibrida P21 setelah inkubasi 3 jam 0% papain, (D) jagung hibrida P21 setelah inkubasi 24 jam 1,0% papain.
Pada Gambar 4.14 (A) dan (C), selain masih utuhnya sifat birefringence
granula pati, juga terlihat adanya komponen-komponen mikro selain pati. Namun demikian, setelah perendaman selama 24 jam dengan 1% papain (Gambar 4.14(B) dan (D) terlihat persentase komponen-komponen mikro tersebut semakin berkurang. Di samping itu, dapat dilihat juga bahwa inkubasi dengan papain tersebut tidak menyebabkan terjadinya kerusakan birefringence pada granula- granula patinya.
Hasil analisis komponen proksimat tepung jagung setelah diinkubasi selama 24 jam dengan 1% papain dibandingkan dengan tepung jagung setelah direndam selama 3 jam tanpa penambahan papain menunjukkan terjadinya penurunan kandungan komponen mikro, seperti protein, abu dan serat. Kandungan protein turun dari 6,77% menjadi 3,85%, abu turun dari 0,11% menjadi 0,10%, dan serat kasar turun dari 1,69% menjadi 0,71% untuk jagung lokal Kodok, sedangkan untuk jagung hibrida P21 kandungan protein turun dari 7,30% menjadi 4,34%, abu turun dari 0,20% menjadi 0,11%, dan serat kasar turun dari 2,21% menjadi 0,80%. Sementara itu, kandungan lemak tidak terjadi penurunan yang signifikan karena sebagian besar sudah terpisahkan pada tahap degerminasi.
Seperti halnya lemak, abu pada biji jagung sebagian besar terdapat pada lembaga (79,6%), dan hanya 2,3% terdapat pada endosperma (Watson 2003), sehingga sebagian besar abu sudah terpisahkan ketika proses degerminasi. Masih tersisanya abu setelah degerminasi diduga berasal dari mineral-mineral yang terdapat pada endosperma. Oleh karena itu, terjadinya penurunan kandungan abu dimungkinkan terjadi karena mineral-mineral natrium, kalium, florida, dan yodium yang terdapat pada biji jagung mempunyai kelarutan yang tinggi dalam air. Penurunan kadar abu selama perendaman juga terjadi pada fermentasi spontan
grits jagung putih, yang turun dari 1,01% menjadi 0,55% setelah difermentasi
spontan selama 24 jam (Nur Aini, 2009). Nago et al. (1998) juga melaporkan terjadinya penurunan kadar abu selama fermentasi jagung dalam pembuatan ogi
dari 1,35-1,38 menjadi 0,4-0,6%.
Sementara itu, terjadinya penurunan serat kasar selama inkubasi dengan papain diduga karena adanya aktifitas mikrooranisme yang merubah serat tidak larut menjadi serat yang larut dalam air. Seperti diketahui bahwa serat jagung terdiri dari 67% hemiselulosa, 23% selulosa rantai panjang, dan 0,2% lignin (Burge dan Duensing 1989). Terjadinya penurunan kandungan serat selama proses perendaman tersebut juga terjadi pada proses fermentasi ubi kayu untuk menghasilkan modified cassava flour, dimana selama proses fermentasi, terjadi penguraian dinding sel oleh enzim-enzim pektinolitik dan selulolitik yang dihasilkan oleh mikroorganisme (Subagio 2006). Bekerjanya enzim selulolitik tersebut, diduga sebagai penyebab terjadinya proses pelarutan serat, yang pada akhirnya menurunkan kandungan serat dalam tepung jagung.
Dari Gambar 4.14 juga terlihat bahwa garis-garis pembatas pada
birefringence granula pati masih dapat terlihat jelas, sehingga diduga kuat tidak
terjadi kerusakan pada granula pati jagung setelah diinkubasi dengan papain selama 24 jam pada konsentrasi papain 1,0%.
4.5.6 Pengaruh Penambahan Papain terhadap Sifat Visco Amilografi Tepung