• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

7. Tahap penganyaman

4.5. Analisis dan Pembahasan 1.Dampak Sosial Ekonomi 1.Dampak Sosial Ekonomi

4.5.2. Pengaruh terhadap Pengembangan Wilayah

Untuk mengetahui pengaruh variabel dampak sosial ekonomi terhadap pengembangan wilayah dilakukan dengan menggunakan model regresi linear berganda. Hasil estimasi tersebut ditunjukkan pada Tabel 4.14 sebagai berikut.

Tabel 4.14. Hasil Estimasi Model Penelitian

Variabel Koefisien Std. Error t-stat Sig.

Constant 0,0002 0,472 0,000 1,000 Dampak Sosial 0,3267 0,124 2,634 0,013 Dampak Ekonomi 0,6218 0,157 3,955 0,000 Sumber: Data Primer Diolah, 2010.

Berdasarkan hasil estimasi sebagaimana disajikan pada tabel di atas, maka hasilnya dapat dituliskan sebagai berikut:

Y = 0,0002 + 0,3267 X1 + 0,6218 X2 t-stat: (2,634)* (3,955)**

R = 0,826 R2 = 0,682 F-stat = 31,128**

Keterangan :**) signifikan pada á = 1 % *) signifikan pada á = 5 %

Berdasarkan hasil estimasi di atas diketahui bahwa koefisien korelasi antara variabel bebas dan variabel terikat tinggi, yaitu R = 0,826. Hal ini menunjukkan bahwa secara absolut, keberadaan variabel dampak sosial dan dampak ekonomi merupakan faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam mewujudkan pengembangan wilayah yang baik dan strategis di Kabupaten Serdang Bedagai. Selanjutnya koefisien determinasi (R2) sebesar 0,682 bermakna bahwa variabel independen secara bersamaan (simultan) mampu menjelaskan variasi pengembangan wilayah sebesar 68,2 persen dan sisanya sebesar 31,8 persen dijelaskan oleh variabel lain yang tidak disertakan dalam model estimasi penelitian.

Dilihat dari F-statistik yaitu sebesar 31,128 yang signifikan pada tingkat keyakinan 99 persen (á = 1%), berarti bahwa secara bersama-sama variabel bebas yaitu dampak sosial dan dampak ekonomi usaha kerajinan eceng gondok berpengaruh signifikan terhadap variabel pengembangan wilayah di Kabupaten Serdang Bedagai.

Secara parsial, dapat pula dijelaskan bahwa besarnya pengaruh variabel dampak sosial terhadap pengembangan wilayah di Kabupaten Serdang Bedagai diketahui dari koefisien regresi sebesar 0,3267 dan signifikan pada tingkat keyakinan 95 persen (á = 5%). Hal ini berarti bahwa dampak sosial dari usaha kerajinan eceng

gondok di Desa Karang Tengah memberikan pengaruh signifikan dan positif terhadap pengembangan wilayah di Kabupaten Serdang Bedagai.

Demikian pula dengan dampak ekonomi dari usaha kerajinan eceng gondok dengan koefisien regresi sebesar 0,6218 yang signifikan pada tingkat keyakinan 99 persen (á = 1%). Dengan demikian bahwa dampak ekonomi dari usaha kerajinan eceng gondok di Desa Karang Tengah memberikan pengaruh signifikan dan positif terhadap pengembangan wilayah di Kabupaten Serdang Bedagai. Dilihat dari besarnya koefisien regresi, maka dampak ekonomi memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap pengembangan wilayah dibandingkan dengan dampak sosial.

Sutanto (1996) dalam analisisnya tentang keusahawanan dan usaha kecil di pedesaan yang berkembang di Provinsi DIY dan Jawa Tengah, menunjukkan sifat usaha tradisional yang kurang menguntungkan bagi pengusaha dalam proses integrasi ekonomi perdesaan dengan wilayah yang lebih luas. Mereka menghadapi hambatan struktural yang membuat usaha kecil mereka berkembang relatif lambat. Akibatnya dampak positif terhadap ekonomi wilayah (spread effect) melalui penciptaan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan kurang dapat dirasakan. Diperlukan peningkatan keusahawanan dan kemampuan pengelolaan usaha untuk memperkuat kemampuan usaha kecil ini dalam proses pengintegrasian ke pasar yang lebih luas. Perlu pula adanya rangsangan berupa bantuan pengembangan teknologi, perluasan pasar, dan manajemen yang sesuai dengan ekonomi pasar. Penelitian dengan menggunakan perspektif sumber daya yang dimiliki pengusaha ini, masih belum memperhatikan strategi yang dilakukan pengusaha dalam bersaing dengan

pengusaha lain untuk memperoleh dan menyiapkan sumber daya yang berkualitas dan memperluas pasar. Sebenarnya dari perspektif pengusaha sejumlah tuntutan dengan ukuran produktivitas dan sebagainya yang dikehendakinya, ekplisit menggambarkan adanya struktur eksploitatif, yang juga memicu munculnya gerakan sosial. Keberadaan ini yang juga tidak ditampakkan oleh para peneliti di atas.

Dampak sosial ekonomi dari usaha kerajian eceng gondok yang berpengaruh positif terhadap pengembangan wilayah di Kabupaten Serdang Bedagai menunjukkan bahwa usaha kerajinan ini layak dikembangkan dan diberdayakan. Oleh karena itu Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai melalui Dekranasda melakukan pembinaan terhadap para pengrajin secara keseluruhan termasuk usaha kerajinan eceng gondok serta melakukan pelatihan dan pendidikan kerajinan kepada masyarakat. Untuk saat ini dua orang pengusaha kerajinan eceng gondok dari Desa Karang Tengah yang pernah mengikuti pelatihan di Yogyakarta telah menjadi pelatih kepada masyarakat melalui program Dekranasda Serdang Bedagai. Selain di Desa Karang Tengah Kecamatan Serbajadi, pelatihan kerajinan kepada masyarakat juga telah dilakukan di Kecamatan Perbaungan dan Kecamatan Firdaus.

Pelatihan dan pembinaan terhadap usaha kerajinan ini perlu dilakukan secara rutin dan terprogram mengingat keterbatasan yang dimiliki usaha kecil. Menurut Dinas Koperasi dan UKM Propinsi Sumatera Utara (2006), keberadaan pengusaha UKM di Sumatera Utara dari sisi pendidikan dan kemampuan masih belum menggembirakan. Ditinjau dari sisi pendidikan, pada umumnya sebagian besar dari mereka (69%) berpendidikan SMP ke bawah. Masih sangat sedikit diantara

pengusaha UKM yang berpendidikan sarjana. Fakta ini menunjukkan masih rendahnya kualitas sumber daya UKM khususnya dalam bidang manajemen, organisasi dan penguasaan teknologi, dan pemasaran. Di samping itu adalah rendahnya tingkat kompetensi kewirausahaan UKMK. Rendahnya tingkat pendidikan pada pengusaha kecil dan menengah tersebut ternyata tidak diimbangi dengan upaya-upaya peningkatan kemampuan (capacity building) baik melalui pelatihan, pendidikan maupun studi banding secara terpogram. Pada umumnya pengusaha kecil dan menengah di Sumatera Utara lebih fokus pada pengalaman dalam menjalankan usahanya. Upaya-upaya untuk meningkatkan kemampuan masih belum prioritas. Lemahnya tingkat pendidikan dan kemampuan dari para pengusaha kecil dan menengah memberikan berbagai dampak, diantaranya: 1) rendahnya inovasi, 2) lemahnya manajemen usaha, 3) rendahnya produktivitas, 4) rendahnya kualitas produk dan 4) lemahnya kemampuan mengakses modal usaha.

Hal ini jelas terlihat pada usaha kerajinan eceng gondok di Desa Karang Tengah Kecamatan Serbajadi, di mana para pengrajin pada umumya kurang melakukan inovasi, sehingga produk yang dihasilkan kurang berkembang, demikian juga dalam hal kualitas masih jauh ketinggalan dengan produk yang sama dari daerah lain seperti Yogyakarta. Hal ini diakui oleh pengrajin yang pernah mengikuti pelatihan di Yogyakarta, bahwa produk-produk kerajinan eceng gondok yang dihasilkan di Desa Karang Tengah masih tergolong klasik karena belum ada perlakuan-perlakuan inovasi dalam menghasilkan produk tersebut. Kendala utama

dalam melakukan inovasi tersebut adalah kemampuan para karyawan yang kurang suka melakukan inovasi.

Demikian juga halnya dalam penyediaan modal, seluruh pengrajin eceng gondok di Desa Karang Tengah mengandalkan modal sendiri dengan jumlah yang jauh dari memadai, sehingga pengembangan usaha agak sulit dilakukan. Hal ini sesuai dengan Chan (2007) yang menyatakan bahwa bagi usaha kecil, kebutuhan dana untuk pengembangan usaha selama ini lebih banyak disediakan sendiri dengan jumlah yang jauh dari memadai dibandingkan dengan kebutuhan sesungguhnya. Setelah itu baru menggunakan dana dari keluarga dan kerabat, koperasi dan lembaga keuangan mikro lainnya, para pelepas uang (money lender) dengan biaya bunga yang tinggi, serta dari bank dan lembaga keuangan lainnya.

Kemampuan pengusaha dalam mengadopsi teknologi juga menentukan keberhasilan industri kecil. Rietveld dalam Adib (2008) melaporkan bahwa industri kecil di pedesaan ternyata belum mampu menyerap teknologi maju. Persaingan dengan industri besar, derasnya arus barang substitusi yang setiap saat mendesaknya, merupakan hambatan industri kecil yang memerlukan kreativitas tersebut adalah adopsi inovasi produk yang diharapkan dapat meningkatkan keuntungan. Namun, tidak semua perajin mampu mengadopsi inovasi ini karena membutuhkan sejumlah syarat. Sayangnya, tidak dijelaskan secara rinci syarat yang harus dimiliki para perajin. Juga ketidakmampuan perajin ini juga belum dipandangnya dalam perspektif gerakan sosial.

Hasil penelitian Sarmini (2003) tentang industri penyamakan kulit di desa Mounheten, Kecamatan dan Kabupaten Magetan, berangkat dari asumsi bahwa kelemahan manajemen, bukanlah satu-satunya sebab suatu usaha tidak dapat berkembang dengan pesat. Tetapi juga kelemahan struktural. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa: (1) strategi manipulatif pengusaha kulit di Magetan untuk mengatasi masalah tenaga kerja, modal, pembelian bahan baku dan pemasaran produk adalah dengan membangun jaringan dengan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya; dan (2) strategi manipulatif pengusaha untuk mengatasi problem sosial yang dihadapi adalah dengan mengintensifkan jaringan dengan kyai, aparat desa, pemuda, warga masyarakat dan mendukung pembangunan desa.

Untuk mengatasi berbagai kelemahan tersebut perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan kemampuan pengusaha UKM, meliputi: 1) pembentukan badan pembina dan pelatih UKM yang terdiri dari unsur lembaga pendidikan dan pelatihan, asosiasi-asosiasi, dan perusahaan-perusahaan besar, 2) pemberian sertifikasi kompetensi kepada UKM, 3) penyelenggaraan pelatihan budaya usaha serta bimbingan teknis manajemen usaha, 4) pemasyarakatan kewirausahaan, termasuk memperluas pengenalan dan semangat kewirausahaan dalam kurikulum pendidikan, 5) pengembangan sistem pendidikan, pelatihan dan penyuluhan bagi pengusaha, dan 6) pemberian insentif dan kemudahan fasilitas bagi UKMK yang berprestasi. Khusus untuk usaha kerajinan eceng gondok pelatihan teknis yang perlu dilakukan adalah pemanenan eceng gondok, penyortiran, pengeringan, memutihkan, teknik penganyaman, dan teknik finishing. Kemudian pembukuan dan pelatihan

kewirausahaan, pengawasan mutu yang melibatkan Dinas Perindustrian setempat serta pelatihan desain produk.

BAB V

Dokumen terkait