• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Perlakuan Invigorasi pada Benih yang Berbeda Tingkat Masak terhadap Pertumbuhan Tanaman dan Hasil

Kacang Bogor

Aplikasi perlakuan invigorasi sama seperti yang dilakukan pada percobaan I. Benih yang sudah diberi perlakuan kemudian ditanam di lapangan. Penanaman dilakukan pada petakan berukuran 2.5 m x 6.0 m sebanyak 36 petak percobaan. Penanaman menggunakan jarak tanam 50 cm x 60 cm. Lubang tanam dibuat menggunakan tugal kemudian ditanam satu benih per lubang tanam. Pada setiap petakan terdapat 50 tanaman. Pada penanaman awal dilakukan pemupukan dengan dosis urea 100 kg/ha, SP 36 100 kg/ha, dan KCl 75 kg/ha. Pupuk diberikan pada lubang di samping setiap lubang tanam.

Pemeliharaan yang dilakukan meliputi: penyulaman yang dilakukan hingga 3 minggu setelah tanam (MST), pencabutan tanaman yang terserang penyakit, pembenahan petakan tanaman yang rusak akibat air hujan, penyiangan gulma yang dilakukan secara manual, dan pembumbunan yang dilakukan bersamaan dengan penyiangan gulma. Pembumbunan dilakukan di sekitar permukaan tanah seluas diameter tajuk tanaman, setinggi ± 2 cm.

Pengamatan Percobaan I

Pengamatan dilakukan terhadap beberapa peubah diantaranya: 1. Daya berkecambah (%)

Daya berkecambah dihitung pada hari ke-7 sebagai hitungan I dan hari ke-14 sebagai hitungan II (Wongvarodom dan Naulkong, 2006)

Σ KN I + Σ KN II

DB (%) = X 100% Σ benih yang ditanam

KN I : kecambah normal hitungan I KN II : kecambah normal hitungan II 2. Kecepatan tumbuh (%/etmal)

Kecepatan tumbuh dihitung berdasarkan akumulasi kecepatan tumbuh harian dalam tolok ukur persentase pertambahan kecambah normal perhari, dengan rumus perhitungan:

tn N KCT = Σ

0 t t : waktu pengamatan tn : waktu akhir pengamatan

N : pertambahan % kecambah normal setiap waktu pengamatan 3. Bobot kering kecambah normal (mg)

Kecambah normal yang berumur 14 HST dibersihkan dari bagian biji yang masih menempel kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 80o C selama 24 jam. Kecambah yang sudah dikering-oven dimasukkan dalam desikator selama ± 30 menit kemudian kecambah normal ditimbang dengan timbangan digital.

4. Indeks vigor (%)

Indeks vigor dihitung berdasarkan jumlah kecambah normal pada hitungan pertama pada uji daya berkecambah (Copeland dan McDonald, 2001) dengan menggunakan rumus :

Σ KN hitungan I

IV (%) = X 100% Σ benih yang ditanam

5. Laju pertumbuhan kecambah

Laju pertumbuhan kecambah merupakan metode yang dikembangkan oleh Burris (1976) dalam Copeland dan McDonald (2001). Tolok ukur ini dapat dihitung dengan cara membagi bobot kering kecambah normal dengan jumlah kecambah normal yang dikeringkan dalam oven 80o C selama 24 jam:

BKKN (mg)

LPK = X 100% Σ KN

Percobaan II

Pengamatan dilakukan terhadap beberapa peubah diantaranya: 1. Tinggi tanaman (cm)

Tinggi tanaman diukur dari tempat menempelnya kotiledon sampai permukaan tanaman tertinggi dimulai dari 3 MST sampai 9 MST pada sepuluh tanaman contoh per petak.

2. Jumlah daun

Jumlah daun dihitung dengan cara menghitung daun trifoliat mulai dari 5 MST sampai 9 MST pada sepuluh tanaman contoh per petak.

3. Jumlah cabang

Jumlah cabang dihitung dengan menghitung jumlah cabang primer mulai dari 5 MST sampai 8 MST pada sepuluh tanaman contoh per petak.

4. Jumlah polong per tanaman

Jumlah polong per tanaman dihitung setelah panen pada umur 17 MST terhadap sepuluh tanaman contoh.

5. Bobot basah polong per petak

Bobot basah polong per petak dihitung dengan menimbang hasil panen per petak termasuk tanaman contoh dan tanaman pinggir, yang dipanen pada umur 17 MST.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Percobaan I

Pengaruh Perlakuan Invigorasi pada Benih yang Berbeda Tingkat Masak terhadap Viabilitas dan Vigor Benih Kacang Bogor

Berdasarkan rekapitulasi hasil sidik ragam, interaksi antara tingkat masak dan perlakuan invigorasi berpengaruh nyata terhadap peubah vigor benih yang diamati, kecuali pada peubah laju pertumbuhan kecambah. Perlakuan invigorasi (P) menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap peubah daya berkecambah, bobot kering kecambah normal, kecepatan tumbuh, dan indeks vigor tetapi tidak berpengaruh nyata pada peubah laju pertumbuhan kecambah. Faktor perbedaan tingkat masak berpengaruh nyata pada peubah daya berkecambah, kecepatan tumbuh, dan indeks vigor tetapi tidak berpengaruh nyata pada bobot kering kecambah normal dan laju pertumbuhan kecambah (Tabel 1). Kecambah normal pada umur 14 HST dapat dilihat pada Gambar 2.

Tabel 1. Rekapitulasi hasil sidik ragam tingkat masak (M) dan perlakuan invigorasi (P) pada tolok ukur vigor benih kacang bogor

Peubah Faktor perlakuan

M P MxP

Daya berkecambah * * *

Bobot kering kecambah normal tn * *

Kecepatan tumbuh * * *

Indeks vigor * * *

Laju pertumbuhan kecambah tn tn tn

Keterangan:

* : berbeda nyata pada taraf 5 % tn : tidak berbeda nyata

Gambar 2. Kecambah normal kacang bogor pada umur 14 HST

Perlakuan matriconditioning (P2) dan matriconditioning plus Rhizobium sp. (P3) pada benih dengan tingkat masak M2 (122 HST) dan M3 (125 HST) juga perlakuan Rhizobium sp. (P1) pada benih dengan tingkat masak M3 menghasilkan persentase daya berkecambah tertinggi dan tidak berbeda nyata satu sama lain, walaupun tidak berbeda nyata juga dengan pengaruh perlakuan P2 dan P3 pada benih dengan tingkat masak M1 (119 HST) atau perlakuan P1 pada tingkat masak M2. Kombinasi perlakuan tersebut lebih baik dan berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol (P0) pada setiap tingkat masak benih yang digunakan pada percobaan (M1, M2, dan M3) (Tabel 2).

Tabel 2. Pengaruh perlakuan invigorasi (P) pada benih dengan tingkat masak (M) berbeda terhadap daya berkecambah (%) kacang bogor Perlakuan

invigorasi (P)

Tingkat masak (M)

M1 (119 HST) M2 (122 HST) M3 (125 HST)

P0 12.0Ab 34.7Ab 17.3Ab

P1 33.3Bab 50.7ABab 68.0Aa

P2 57.3Aa 73.3Aa 68.0Aa

P3 54.7Aa 65.3Aa 70.7Aa

Keterangan: P0 (kontrol), P1 (perlakuan Rhizobium sp.), P2 (perlakuan matriconditioning), P3 (matriconditioning plus Rhizobium sp.). Angka yang diikuti oleh huruf kapital yang berbeda pada baris yang sama dan angka yang diikuti oleh huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5 %, kk = 26.1 %.

Pada peubah bobot kering kecambah normal, nilai tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan Rhizobium sp. (P1) pada benih dengan tingkat masak M3 (125 HST) dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan P2 pada benih dengan tingkat masak M3 atau perlakuan P3 pada tingkat masak M2 (122 HST). Nilai-nilai tersebut berbeda nyata dengan benih tanpa perlakuan (P0) pada semua tingkat masak ataupun perlakuan P1 pada tingkat masak M1 (119 HST) (Tabel 3).

Tabel 3. Pengaruh perlakuan invigorasi (P) pada benih dengan tingkat masak (M) berbeda terhadap bobot kering kecambah normal (mg) kacang bogor

Perlakuan invigorasi (P)

Tingkat masak (M)

M1 (119 HST) M2 (122 HST) M3 (125 HST)

P0 160.0Ab 503.3Ab 263.3Ab

P1 623.3Bab 933.3ABab 1580.0Aa

P2 1193.3Aa 1196.7Aa 1516.7Aa

P3 1173.3Aa 1513.3Aa 1180.0Aa

Keterangan: P0 (kontrol), P1 (perlakuan Rhizobium sp.), P2 (perlakuan matriconditioning), P3 (matriconditioning plus Rhizobium sp.). Angka yang diikuti oleh huruf kapital yang berbeda pada baris yang sama dan angka yang diikuti oleh huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5 %, kk = 41.1 %.

Perlakuan P2 dan P3 pada setiap tingkat masak benih yang digunakan pada percobaan ataupun perlakuan P1 pada tingkat masak M3 menunjukkan kecepatan tumbuh tertinggi yang tidak berbeda nyata satu sama lain. Nilai-nilai tersebut lebih baik dibandingkan dengan pengaruh interaksi yang lain dan berbeda nyata dibandingkan pengaruh benih tanpa perlakuan (P0) pada setiap tingkat masak ataupun perlakuan P1 pada tingkat masak M1 (Tabel 4). Pada benih yang belum mencapai masak fisiologis (M1), perlakuan matriconditioning (P2) dan perlakuan matriconditioning plus Rhizobium sp. (P3) meningkatkan daya berkecambah (Tabel 2), bobot kering kecamabah normal (Tabel 3), dan kecepatan tumbuh (Tabel 4).

Tabel 4. Pengaruh perlakuan invigorasi (P) pada benih dengan tingkat masak (M) berbeda terhadap kecepatan tumbuh (%/etmal) kacang bogor

Perlakuan invigorasi (P)

Tingkat masak (M)

M1(119 HST) M2 (122 HST) M3 (125 HST)

P0 1.1Ab 3.4Ab 1.7Ab

P1 3.4Bb 5.2ABab 6.5Aa

P2 6.4Aa 6.6Aa 7.0Aa

P3 6.5Aa 7.5Aa 7.7Aa

Keterangan: P0 (kontrol), P1 (perlakuan Rhizobium sp.), P2 (perlakuan matriconditioning), P3 (matriconditioning plus Rhizobium sp.). Angka yang diikuti oleh huruf kapital yang berbeda pada baris yang sama dan angka yang diikuti oleh huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5 %, kk = 25.5 %.

Perlakuan P2 pada benih dengan tingkat masak M2 memperlihatkan indeks vigor tertinggi walaupun tidak berbeda nyata dengan perlakuan P2 dan P3 pada tingkat masak M3 atau perlakuan P3 pada tingkat masak M2. Perlakuan P0 dan P1 pada setiap tingkat masak benih menunjukkan persentase kecambah normal 0 % pada hitungan I (indeks vigor 0 %) (Tabel 5). Perlakuan matriconditioning (P2) dan perlakuan matriconditioning plus Rhizobium sp. (P3) pada semua tingkat masak benih dapat mempercepat perkecambahan.

Tabel 5. Pengaruh perlakuan invigorasi (P) pada benih dengan tingkat masak (M) berbeda terhadap indeks vigor (%) kacang bogor Perlakuan

invigorasi (P)

Tingkat masak (M)

M1(119 HST) M2 (122 HST) M3 (125 HST)

P0 0.0Ab 0.0Ab 0.0Ab

P1 0.0Ab 0.0Ab 0.0Ab

P2 33.3Ba 52.0Aa 34.7Aba

P3 16.0Bb 46.7Aa 41.3Aa

Keterangan: P0 (kontrol), P1 (perlakuan Rhizobium sp.), P2 (perlakuan matriconditioning), P3 (matriconditioning plus Rhizobium sp.). Angka yang diikuti oleh huruf kapital yang berbeda pada baris yang sama dan angka yang diikuti oleh huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5 %, kk = 52.6 %.

Perlakuan invigorasi dan tingkat masak benih menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada peubah laju pertumbuhan kecambah begitupun dengan interaksinya. Walaupun secara statistik tidak berbeda nyata tetapi pengaruh faktor tunggal perlakuan invigorasi dengan matriconditioning (P2) dan

matriconditioning plus Rhizobium sp. (P3) menunjukkan hasil yang lebih baik

tingkat masak benih M3 (55 HSB) menunjukkan hasil rata-rata cenderung lebih tinggi dibandingkan tingkat masak yang lainnya (Tabel 6).

Tabel 6. Pengaruh perlakuan invigorasi (P) pada benih dengan tingkat masak (M) berbeda terhadap laju pertumbuhan kecambah kacang bogor

Perlakuan invigorasi (P)

Tingkat masak (M) Rata rata

invigorasi M1(119 HST) M2 (122 HST) M3 (125 HST) P0 33.6 54.6 48.1 58.3 P1 72.3 73.8 89.9 65.7 P2 90.2 66.0 89.0 82.0 P3 88.0 90.5 66.5 81.7 Rata rata tingkat masak 71.3 71.2 73.4

Keterangan: P0 (kontrol), P1 (perlakuan Rhizobium sp.), P2 (perlakuan matriconditioning), P3 (matriconditioning+Rhizobium sp.).

Secara umum dapat dilihat bahwa pengaruh perlakuan matriconditioning (P2 dan P3) pada tingkat masak M2 dan M3 menunjukkan hasil yang tertinggi meningkatkan viabilitas dan vigor benih berdasarkan peubah yang diamati (Tabel 2, 3, 4, dan 5). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya, Khan et al. (1990) menyatakan bahwa matriconditioning merupakan perlakuan invigorasi yang cukup efektif, matriconditioning terbukti dapat memperbaiki vigor benih kacang-kacangan dan sayur-sayuran juga dapat mempercepat perkecambahan benih, meningkatkan daya berkecambah benih, serta meningkatkan kemampuan tumbuh dan produksi di lapang.

Yunitasari dan Ilyas (1994) melaporkan bahwa perlakuan

matriconditioning menggunakan media abu gosok dan serbuk gergaji mampu

meningkatkan vigor benih cabai. Hal tersebut ditunjukkan dengan berkurangnya waktu yang dibutuhkan untuk berkecambah 50 % (T50) serta meningkatkan bobot kering kecambah normal.

Ningsih (2003) melaporkan bahwa perlakuan matriconditioning menggunakan arang sekam plus B. japonicum dan A. lipoferum selama 12 jam pada suhu kamar dapat meningkatkan mutu benih dan pertumbuhan tanaman kedelai. Hal tersebut ditunjukkan dengan daya hantar listrik yang rendah, kecepatan tumbuh relatif yang lebih singkat, daya berkecambah, indeks vigor,

jumlah nodul, bobot kering akar, dan bobot kering tajuk yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol dan perlakuan invigorasi benih lainnya.

Dalam penelitian ini, semua perlakuan invigorasi memberikan respon yang lebih baik terhadap daya berkecambah benih, bobot kering kecambah normal, dan kecepatan tumbuh pada benih dengan tingkat masak M2 (122 HST) dan M3 (125 HST) dibandingkan dengan perlakuan invigorasi pada benih dengan tingkat masak benih M1 (119 HST) (Tabel 2, 3, dan 4). Hal tersebut menunjukkan bahwa benih yang dipanen pada 122 dan 125 HST diperkirakan sudah mencapai masak fisiologis. Tingkat masak merupakan salah satu faktor yang menentukan mutu benih. Benih yang dipanen sebelum masak fisiologis atau lewat masak fisiologis akan memiliki mutu benih yang lebih rendah dibandingkan dengan benih yang dipanen pada saat masak fisiologis.

Hal tersebut sejalan dengan penelitian Setyaningsih (2002), bahwa perbedaan tingkat masak pada benih adas (Foeniculum vulgare Mill.) menunjukkan respon yang berbeda terhadap efektivitas perlakuan invigorasi. Perlakuan invigorasi (osmoconditioning-PEG), osmoconditioning-KNO3, dan

matriconditioning-vermikulit) terbukti efektif digunakan pada tingkat masak

cokelat dibandingkan masak hijau dan masak kuning. Hal ini ditunjukkan dengan daya berkecambah dan bobot kecambah normal tertinggi serta waktu perkecambahan yang lebih singkat. Hasil tersebut menunjukkan bahwa benih pada tingkat masak cokelat sudah mencapai masak fisiologis yang dibuktikan juga dengan berat kering maksimum.

Percobaan II

Pengaruh Perlakuan Invigorasi pada Benih yang Berbeda Tingkat Masak Terhadap Pertumbuhan Tanaman dan Hasil Kacang Bogor

Kondisi Umum

Saat 3 MST daya tumbuh benih di lapang mencapai 100 % pada semua perlakuan dan tidak nampak gejala serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Rata-rata curah hujan pada bulan tersebut (Juni 2010) mencapai 303 mm/bulan dengan hari hujan sebanyak 22 hari (Tabel 7) sehingga cukup mendukung perkecambahan. Kondisi pertanaman pada dua bulan pertama cukup baik (Gambar 3a) tetapi pada umur 7 MST mulai muncul gejala serangan virus pada beberapa tanaman, berupa tanaman kerdil dan daunnya tampak mengkerut (Gambar 3b). Virus menyerang 1-3 tanaman hampir pada setiap petak percobaan sehingga tanaman harus dicabut untuk mencegah penyebaran ke tanaman lain.

Pada bulan ke tiga curah hujan mulai meningkat dibandingkan bulan sebelumnya. Data dari Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor menunjukkan rata-rata curah hujan bulan Juli 2010 mencapai 270.4 mm/bulan dengan jumlah hari hujan 22 yang kemudian meningkat pada bulan Agustus 2010 mencapai rata-rata curah hujan 477.6 mm/bulan dengan jumlah hari hujan 24, dan pada bulan September 2010 mencapai 601.0 mm/bulan dengan jumlah hari hujan 29 hari.

Tabel 7. Data iklim bulan Juni sampai Oktober 2010 di Darmaga, Bogor Bulan Suhu rata-rata

(o C) Curah hujan (mm/bulan) Kelembaban nisbi (%) Juni 25.89 303.40 85.85 Juli 25.78 270.40 83.58 Agustus 25.75 477.60 83.97 September 25.29 601.00 83.75 Oktober 25.40 436.20 86.00

Sumber: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Balai Besar Wilayah II Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor

Keadaan tersebut menyebabkan tanaman banyak yang terserang cendawan. Pada umur 13 MST mulai nampak gejala serangan cendawan berupa batang tanaman yang dekat dengan permukaan tanah dipenuhi dengan cendawan berwarna putih, sehingga tangkai menjadi busuk dan dapat menyerang polong (Gambar 3c). Hasil identifikasi Klinik Tanaman Departemen Proteksi Tanaman IPB menyatakan bahwa cendawan yang menyerang adalah Sclerotium sp..

a. b.

c.

Gambar 3. a. Kondisi pertanaman pada 7 MST b.Tanaman terserang virus pada 7 MST c. Tanaman terserang Sclerotium sp.

Pada awal penanaman, benih sangat membutuhkan banyak air untuk proses perkecambahan. Curah hujan pada awal penanaman yaitu pada bulan Juni, berdasarkan data dari Stasiun Klimatologi Darmaga menunjukkan rata-rata curah hujan mencapai 303 mm/bulan dengan hari hujan sebanyak 22 hari. Kondisi ini cukup mendukung untuk mendorong perkecambahan benih sehingga benih dapat berkecambah dengan baik. Copeland dan McDonald (2001) menyatakan bahwa air adalah faktor lingkungan yang paling utama dibutuhkan tanaman untuk berkecambah. Imbibisi air kedalam benih merupakan tahap awal yang paling penting untuk memulai perkecambahn benih. Air berfungsi untuk reaktivasi enzim, melunakkan kulit benih, transport metabolit, dan memungkinkan masuknya oksigen.

Munculnya gejala daun mengkerut dan tanaman kerdil pada 7 MST diindentifikasi sebagai gejala serangan virus. Agrios (1996) menyatakan bahwa gejala yang sangat umum akibat infeksi virus adalah menurunnya pertumbuhan tanaman, menghasilkan berbagai tingkat kerdil (dwarf) atau katai (stunting) keseluruhan tumbuhan. Hampir semua serangan virus menyebabkan beberapa tingkat penurunan hasil dan lama hidup yang lebih pendek. Pengaruh yang ditimbulkan bisa cukup berat dan dapat dilihat atau mungkin juga sangat lemah dan kurang begitu terlihat.

Serangan virus yang terjadi kemungkinan karena tidak adanya pengendalian berupa penyemprotan insektisida yang seharusnya sudah diberikan mulai 4 MST untuk membasmi serangga yang dimungkinkan sebagai vektor pembawa virus (Hamid, 2009). Pracaya (2004) menyampaikan, salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengendalikan serangan virus pada tanaman adalah dengan cara melakukan penyemprotan insektisida untuk mengurangi vektor pembawa virus.

Peningkatan curah hujan pada bulan Agustus dan September 2010 (Lampiran 1) yang menyebabkan kondisi lingkungan menjadi lebih lembab sehingga muncul gejala serangan cendawan Sclerotium sp. Agrios (1996) menyatakan bahwa kelembaban mempengaruhi tahap awal perkembangan penyakit. Kelembaban mungkin terdapat dalam bentuk air hujan atau irigasi pada pemukaan tanah di sekitar perakaran, sebagai kelembaban relatif di udara atau sebagai embun.

Agrios (1996) juga menyampaikan bahwa kelembaban dalam bentuk percikan air hujan dan dan air yang mengalir memainkan peranan penting dalam distribusi dan penyebaran berbagai jenis patogen pada tumbuhan yang sama atau dari tumbuhan yang satu ke tumbuan yang lain. Kelembaban ini berperan dalam perluasan dan intensitas serangan penyakit dengan meningkatkan sukulen tumbuhan inang dan selanjutnya meningkatkan kerentanan tumbuhan terhadap patogen tertentu.

Selain itu, munculnya serangan cendawan tersebut kemungkinan disebabkan karena tidak dilakukan pengendalian berupa penyemprotan fungisida. Hamid (2009) menyampaikan bahwa penyemprotan fungisida seharusnya sudah

dilakukan pada 4 MST bergantian dengan aplikasi insektisida dengan frekuensi seminggu sekali untuk menekan pertumbuhan cendawan Sclerotium sp..

Kacang bogor tergolong pada tanaman yang lebih tahan terhadap serangan hama jika dibandingkan dengan tanaman kacang-kacangan lainnya seperti kacang tanah atau cowpea dan sejenisnya. Tetapi jika kondisi lingkungan lembab dapat terserang penyakit yang disebabkan oleh cendawan seperti bercak daun

(Cercospora sp.), layu fusarium, dan busuk batang (Sclerotium sp.) (Beggeman

dalam Heller et al., 1997).

Pertumbuhan Vegetatif dan Hasil Kacang Bogor

Data hasil rekapitulasi sidik ragam menunjukkan bahwa secara umum kedua faktor perlakuan tidak berbeda nyata terhadap peubah vegetatif yang diamati kecuali perlakuan invigorasi berpengaruh nyata pada tinggi tanaman 5-8 MST. Perlakuan invigorasi (P) berpengaruh nyata pada peubah hasil yang diamati (bobot basah polong per petak dan jumlah polong per tanaman) sedangkan tingkat masak (M) berpengaruh nyata hanya pada jumlah polong per tanaman. Interaksi kedua faktor perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap semua peubah pertumbuhan vegetatif tanaman dan juga peubah hasil kacang bogor yang diamati (Tabel 8).

Tabel 8. Rekapitulasi hasil sidik ragam tingkat masak (M) dan perlakuan invigorasi (P) pada peubah pertumbuhan vegetatif dan hasil kacang bogor

Peubah MST Faktor perlakuan

M P MxP Tinggi tanaman (cm) 5 tn * tn 6 tn * tn 7 tn * tn 8 tn * tn 9 tn tn tn Jumlah daun 5 tn tn tn 6 tn tn tn 7 tn tn tn 8 tn tn tn 9 tn tn tn Jumlah cabang 5 tn tn tn 6 tn tn tn 7 tn tn tn 8 tn tn tn

Bobot basah polong per petak (kg)

- tn * tn

Jumlah polong per tanaman

- * * tn

Keterangan:

* : berbeda nyata pada taraf 5 % tn : tidak berbeda nyata

MxP : pengaruh interaksi tingkat masak (M) dan perlakuan invigorasi (P)

Pada tinggi tanaman 5-8 MST, data menunjukkan bahwa perlakuan P3

(matriconditioning plus Rhizobium sp.) memperlihatkan hasil tertinggi

dibandingkan perlakuan invigorasi yang lain (P1 dan P2) dan berbeda nyata dengan kontrol (P0). Pada peubah lain, perlakuan invigorasi tidak berpengaruh nyata secara statistik, tetapi data menunjukkan bahwa semua perlakuan invigorasi yang diberikan (P1, P2, dan P3) cenderung lebih baik dibandingkan dengan kontrol (P0) dan P3 menunjukkan hasil rata-rata cenderung lebih tinggi pada setiap peubah yang diamati (Tabel 9).

Tabel 9. Pengaruh perlakuan invigorasi (P) terhadap peubah pertumbuhan vegetatif kacang bogor

Umur (MST)

UjiF Perlakuan invigorasi

P0 P1 P2 P3

Tinggi tanaman (cm)

5 * 17.4b 17.4b 17.6b 18.4a

6 * 17.9c 18.6b 18.8b 19.7a

7 * 18.4b 19.0ab 19.2ab 19.5a

8 * 19.6b 20.3ab 20.7a 21.3a

9 tn 20.8 20.8 20.9 21.2 Jumlah daun 5 tn 9.0 8.8 9.4 10.2 6 tn 11.9 12.5 14.2 14.3 7 tn 15.6 15.9 16.9 17.7 8 tn 26.4 27.0 25.9 30.3 9 tn 39.2 41.8 38.7 42.5 Jumlah cabang 5 tn 4.3 4.3 4.4 4.5 6 tn 4.9 5.2 5.2 5.2 7 tn 5.6 5.7 5.8 6.0 8 tn 6.2 6.3 6.4 6.6

Keterangan: P0 (kontrol), P1 (perlakuan Rhizobium sp.), P2 (perlakuan matriconditioning), P3 (matriconditioning plus Rhizobium sp.). Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5 %.

Perbedaan tingkat masak tidak berpengaruh nyata terhadap semua peubah pertumbuhan vegetatif yang diamati (tinggi tanaman, jumlah daun, dan jumlah cabang), tetapi benih dengan tingkat masak M3 (125 HST) memperlihatkan hasil yang cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat masak M1 (119 HST) dan M2 (122 HST) pada 8 dan 9 MST (Gambar 4, 5, dan 6).

Gambar 4. Tinggi tanaman kacang bogor 5-9 MST pada tiga tingkat masak benih (M1: 119 HST, M2: 122 HST, dan M3: 125 HST)

Gambar 5. Jumlah daun kacang bogor 5-9 MST pada tiga tingkat masak benih (M1: 119 HST, M2: 122 HST, dan M3: 125 HST)

Gambar 6. Jumlah cabang kacang bogor 5-8 MST pada tiga tingkat masak benih (M1: 119 HST, M2: 122 HST, dan M3: 125 HST) 15 16 17 18 19 20 21 22 5 6 7 8 9 ti n gg it a n a m a n (c m ) MST M1 M2 M3 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 5 6 7 8 9 ju m la h d a u n MST M1 M2 M3 0 1 2 3 4 5 6 7 5 6 7 8 ju m la h c a b a n g MST M1 M2 M3

Perlakuan invigorasi P3 (matriconditioning plus Rhizobium sp.) menghasilkan jumlah polong per tanaman tertinggi dibandingkan dengan perlakuan invigorasi yang lain walaupun tidak berbeda nyata dengan P1 (perlakuan Rhizobium sp). Benih dengan tingkat masak 125 HST (M3) menunjukkan hasil tertinggi, berbeda nyata dengan tingkat masak 119 HST (M1) walaupun tidak berbeda nyata dengan tingkat masak 122 HST (M2) (Tabel 10).

Tabel 10. Pengaruh perlakuan invigorasi (P) pada berbagai tingkat masak (M) terhadap jumlah polong kacang bogor per tanaman

Perlakuan invigorasi (P)

Tingkat masak (M) Rata-rata

invigorasi M1 M2 M3 P0 23.9 27.3 32.7 28.0b P1 30.2 32.5 34.2 32.3ab P2 30.0 25.1 35.0 30.0b P3 33.3 38.3 37.3 36.3a Rata-rata

tingkat masak 29.4b 30.8ab 34.8a

Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5 %.

Perlakuan P3 (matriconditioning plus Rhizobium sp.) menghasilkan bobot basah polong per petak tertinggi berbeda nyata dengan kontrol (P0) walaupun tidak berbeda nyata dengan P1dan P2. Faktor perbedaan tingkat masak tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata, tetapi dapat dilihat bahwa M3 (125 HST) menunjukkan hasil cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat masak yang lainnya (Tabel 11).

Tabel 11. Pengaruh perlakuan invigorasi (P) pada berbagai tingkat masak (M) terhadap peubah bobot basah polong kacang bogor (kg) per petak

Perlakuan invigorasi (P)

Tingkat masak (M) Rata-rata

invigorasi M1 M2 M3 P0 2.7 2.6 3.0 2.8b P1 3.3 3.6 3.4 3.4a P2 3.7 2.7 3.3 3.2ab P3 3.7 3.9 3.0 3.5a Rata-rata

tingkat masak 3.2a 3.2a 3.3a

Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5 %.

Secara umum semua perlakuan invigorasi yang digunakan (P1, P2, dan P3) memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan kontrol (P0), baik pada peubah pertumbuhan vegetatif (Tabel 9) maupun pada peubah hasil (Tabel 10 dan 11). Perlakuan matriconditioning (P2) dan matriconditioning plus

Rhizobium sp. (P3) yang diberikan mendorong pertumbuhan vegetatif tanaman

dan hasil kacang bogor. Hal ini mendukung pernyataan Khan et al. (1990) bahwa

matriconditioning mampu menurunkan waktu perkecambahan, meningkatkan

daya berkecambah benih, meningkatkan kemampuan tumbuh, dan mampu meningkatkan produktivitas di lapangan.

Hasil tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan matriconditioning plus

Rhizobium sp. (P3) baik pada tinggi tanaman (Tabel 9) maupun pada peubah hasil

kacang bogor (Tabel 10 dan 11). Hasil tersebut sejalan dengan hasil penelitian Ilyas et al. (2003), bahwa perlakuan benih dengan matriconditioning plus inokulan B. japonicum yang dikombinasikan A. lipoferum dan benomyl 0.05 % selama 13 jam mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman dan meningkatkan penambatan nitrogen pada tanaman kedelai dibandingkan dengan perlakuan

matriconditioning plus benomyl tanpa inokulan atau kontrol.

Hasil tersebut juga mendukung penelitian Faisal (2005), bahwa perlakuan

matriconditioning plus B. japonicum dan A. lipoferum selama 12 jam terbukti

dapat meningkatkan efisiensi pemupukan nitrogen sebesar 121.2 % atau dapat menghemat pemupukan N sebesar 30.5 kg urea/ha. Kombinasi perlakuan

matriconditioning plus B. japonicum dan A. lipoferum selama 12 jam dan

perlakuan pemupukan N sampai dosis 12.5 kg urea/ha lebih meningkatkan pertumbuhan tanaman kedelai, hasil kedelai, dan mutu benih kedelai yang dihasilkan dan menurun kembali ketika dosis ditingkatkan sampai 25 kg/ha urea.

Menurut Adisarwanto dan Wudianti (2002), inokulasi Rhizobium sp. pada benih kedelai akan memberikan pengaruh terhadap kesuburan tanaman kedelai sehingga mampu berproduksi dengan baik, kualitas biji kedelai yang dihasilkan menjadi lebih baik karena kandungan proteinnya lebih tinggi, mengurangi jumlah biaya karena pemberian pupuk nitrogen akan berkurang, dan tidak membahayakan lingkungan karena Rhizobium sp. tidak bersifat sebagai racun.

Perlakuan matriconditioning plus Rhizobium sp. (P3) dan perlakuan

Rhizobium sp. (P1) menunjukkan hasil yang lebih baik seperti ditunjukkan peubah

hasil kacang bogor (jumlah polong per petak dan bobot basah polong per tanaman) dibandingkan perlakuan matriconditioning tanpa inokulan dan kontrol (Tabel 10 dan 11). Hasil tersebut menunjukkan bahwa inokulasi Rhizobium sp.

Dokumen terkait